Pendahuluan
H
|
eroisme perjuangan Kaum Padri dalam menegakkan
panji-panji ajaran Islam di ranah Minang luar biasa besarnya, dan berhasil
meyakinkan Kaum Adat (walaupun sebelumnya menolak) menjadikan falsafah hidup
orang Minangkabau menjadi “Adiak Basandi Syara’, Syara Basandi Kitabullah” menjadi
kenyataan. Menjadi plus lagi, karena juga melawan pemerintahan kolonialisme
Hindia-Belanda dalam upaya mengusir penjajah dari ranah Minang sebagai tanah
tumpah darahnya dengan melakukan peperangan yang begitu gigihnya selama 35
tahun atau hampir setengah abad lamanya.
Sejarah perjuangan panjang Kaum Padri adalah
perjuangan bermula untuk meluruskan pelaksanaan ajaran Islam murni yang
semestinya berlaku di ranah Minang, namun Kaum Adat, tadinya, enggan atau
menolak melaksanakannya sebagaimana mestinya. Mereka mengatakan hanya Adat saja
yang berlaku, walaupun mereka kaum Muslimin juga, tapi tidak melaksanakan
ajaran Islam sebagaimana mestinya.
Pada tahun 1803 atau mulai abad ke-19, tiga orang ulama Minangkabau
kembali dari tanah suci, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik.
Mereka mempelajari dan mengembangkan agama
yang telah diperolehnya dari Makkah, yaitu gerakan yang menghendaki agama Islam
dilaksanakan secara murni sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Gerakan mereka disebut
gerakan Padri - Artinya tokoh tokoh agama, ulama, di Sumatera Barat. Tujuan gerakan ini adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan
mengembalikan mereka pada jalan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang semestinya.
Karena
tidak jadi kesepakatan diantara mereka, maka jawabannya adalah perang, perang
mana dalam sejarah dikenal dengan nama Perang Padri, yaitu perang melawan Kaum
Padri atau Kaum Padri memerangi Kaum Adat. Perang Padri awal mulanya adalah
perang saudara antara sesama orang Minangkabau. Yaitu perang saudara antara Kaum Adat dan Kaum Paderi.
Kaum Adat memeluk agama Islam, tapi masih bersifat formal, artinya mereka
Muslim tapi tidak melakukan ajaran Syariat Islam secara semestinya. Sedang Kaum
Paderi adalah kaum yang ingin menjalankan ajaran Syariat Islam berdasarkan apa
yang ada dalam Kitabullah.
Dalam
peperangan ini Kaum Adat kewalahan dalam menghadapi ketangguhan Kaum Padri yang
unggul dalam pertempuran itu, maka agar tidak dapat dikalahkan, Kaum Adat meminta
bantuan kepada Hindia-Belanda yang telah mulai menduduki ranah Minang. Dengan
bantuan Belanda ini, selanjutnya perang berikutnya adalah perang Kaum Adat dan
(dibantu) Belanda melawan Kaum Paderi. Kaum Paderi pantang menyerah, walaupun
digempur, tetap melakukan perlawanan, bukan hanya dari Kaum Adat, namun juga
dari Belanda.
Namun
kemudiannya, Kaum Adat menyadari bahwa Belanda adalah sekutunya yang tidak
baik. Mereka tahu bahwa Belanda bermaksud menjajah ranah Minang saja, karena dirasakan
bahwa Belanda membantunya (Kaum Adat) setengah-setengah, tidak sebenarnya.
Dengan kesadaran seperti itu Kaum Adat berdamai dengan Kaum Paderi, kemudian
bersama Kaum Paderi melawan Belanda menjadi musuh bersama mereka.
Walaupun
mereka selama 35 tahun berjuang akhirnya kalah dalam medan pertempuran dengan Hindia-Belanda,
tapi mereka berhasil bersatu antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang melahirkan
kesepakatan yaitu: Adat bersendikan kepada syariat Islam, sedangkan syariat
Islam ini bersendikan kepada kitab suci al-Qur’an. Dalam bahasa Minang
menyebutkan “Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” menjadi orientasi
atau falsafah hidup orang Minangkabau sampai sekarang.
Jalan Sejarah Perjuangan Kaum Paderi
Kisahnya
dimulai dari kepulangan tiga orang Haji dari Makkah sekitar tahun 1803, yaitu
Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam
yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Walaupun masyarakat Minang telah Islam namun
kebiasaan mereka jauh dari apa yang diajarkan oleh Islam. Mereka masih marak
melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau,
sirih, dan juga aspek hukum adat
matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual
formal agama Islam, lihat Gambar - 1. Khususnya
masalah minuman keras, tidak lain ketika itu Inggris dan Belanda telah masuk ke
Nusantara antara lain ke ranah Minang ini untuk menjajahnya dengan tinggal
(berkoloni). Adat kebiasaan Belanda yang biasa meminum minuman keras ini di
adopsi pula oleh orang Minang.
Sepulangnya
mereka dari Makkah mereka bertekad untuk merubah adat kebiasaan buruk ini.
Penganjur dakwah Islam yang sesungguhnya ini disebut kemudiannya sebagai Kaum
Paderi dan masyarakat Minang yang tidak mau menerima ajaran Islam yang
sebenarnya ini disebut Kaum Adat - karena kebiasaan hidupnya masih menggunakan
Adat kebiasaan yang ada, sedang Islamnya adalah Islam formal saja, artinya
syariat Islam yang sebenarnya tidak dijadikan adat kebiasaan hidupnya. Dari
sinilah awalnya terjadi pertentangan antara Kaum Adat - walaupun Muslim, tapi
tetap menjalankan kebiasaan (adat lama), sementara Kaum Paderi adalah Muslim,
tapi menyadari bahwa syariat Islam sesungguhnya tidak dilaksanakan oleh Kaum
Adat.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal
telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum
Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Perang Padri
Adapun asal-usul nama Padri terdapat adalah Pedir atau Pideri yaitu sebuah nama kota kecil di pantai Barat Sumatera Utara
tempat dimana mereka berangkat dan pulang ke dan dari haji ketika itu untuk
berhaji. Dan ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa Portugis, Padre - “Pendeta”. Atau dalam bahasa Belanda Vader, yang
berarti “Ayah”. maksudnya dalam hal ini “Pendeta” juga. Pendeta ini
pemimpin agama (Gereja) atau umat Kristiani. Jadi dengan demikian Kaum Padri adalah kaum pendeta bagi orang Minang menurut pengertian
orang Hindia-Belanda atas Kaum Paderi ini. Boleh jadi karena yang memerangi
Belanda adalah para ulama dan ulama ini dalam bahasa Belanda,Vader. Atau
Portugis artinya, Padre. Dalam bahasa Indonesia yang berasal dari umat
Kristiani ulama ini disebut pendeta. Namun bisa juga berarti kaum atau orang-orang
yang berangkat dan pulang dari berhaji melalui kota Pedir atau Pideri. Padri
bisa juga ditulis Paderi yang mendekati nama kota di Pantai Barat Sumatera
Utara.
Perang
Padri dimulai tahun 1803 hingga
tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau
Nan Salapan sedangkan Kaum Adat
dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit
keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan
bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat
dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu
yang cukup panjang yaitu selama 35 tahun, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini
selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya
perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari
kawasan konflik.
Perang
Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Makkah sekitar
tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minagkabau.
Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung
keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau
yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau
Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa
perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring
itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun
1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung
dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari
catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung, lihat Gambar - 2, pada
tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan
Pagarayung yang sudah terbakar.
Keterlibatan
Belanda
Karena
terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak
pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sutan Tangkal Alam Bagagar meminta
bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya
Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian
dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda
menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda,
kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan
Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda
dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh
pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen
James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desembar 1821 datang tambahan pasukan
yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan
yang telah dikuasai tersebut.
Pada
tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff
berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda
membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen,
lihat Gambar - 3, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.
Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh
Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada
tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita
luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September
1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh
serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah
mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang
Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada
tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada
tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke
Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Raja
terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan
Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April
1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.
Sementara
pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans
Leamlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto
Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biora dan Kapau,
namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin
meninggal dunia di Padang.
Gencatan
senjata
Perlawanan
yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Residennya di
Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tanggal 15
November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah
Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan
Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama
periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan
juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu
kompromi yang dikenal dengan nama “Plakat Puncak Pato” di Bukit Marapalam, Kabupaten
Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama
Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku
Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin
dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai
Imam di Bonjol. Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah
Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Pada
masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang
terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan
sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.
Peperangan
Jilid Kedua
Setelah
berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah
Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat
didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas
di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19,
komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di
Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring
dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku
perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara
Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya
untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu
kawasan yang mampu memproduksi mesiU dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat
kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama
Fort de Kock, lihat Gambar - 4.
Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock
Pada
awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah
Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan
perlawanan dari kawasan Luhak Lima Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel
Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832,
ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah
seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas
pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian
Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau
justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda
membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum
Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di
Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap
dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan
mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan
dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan.
Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara
Belanda.
Pada
bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulan Krieger, untuk mempercepat
penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober
1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan
meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan
berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat
ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga
kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya
pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih
menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun
kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat
posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan
Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dalam
pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita
luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk
diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga
jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Perlawanan
Bersama Kaum Adat
Sejak
tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri. Di ujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau
itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah
dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.
Pada
tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang
secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau; disebutkan ada sekitar 139
orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam
Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar,
ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di
Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia,
walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal
keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah
Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para
perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan
Gadang di Batipuh. Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum
Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah
Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut “Plakat
Panjang” berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau
tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk
berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh
para Penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda
berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan
sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti
menjualnya kepada Belanda.
Serangan
ke Bonjol
Lamanya
penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes
van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari
dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya
di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera,
Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng
Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum
datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng
Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka
sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den
Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal
10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga
jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan
gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju
serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir
semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya
dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang
melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833,
sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud,
Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang
diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian
selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang
mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol.
Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada
beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada
tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan
besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai
pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer,
memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing
dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu
tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki
gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada
tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang
Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya
ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum
Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda
dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa
henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang
jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke
hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan
moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu
pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau
pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir
sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang.
Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas
yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni
1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.
Selanjutnya
pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur
Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan
Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan
Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada
tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu
pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan meriam houwitser dan mortir,
pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam
dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang
kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada
tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000
orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni
1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju
sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng
Bonjol
Benteng
Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan
nama Bukit Tajadi, lihat Gambar - 5. Tidak begitu jauh dari benteng ini
mengalir sungai Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan
aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk
segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis
setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang
dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan
teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya
ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri
dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
Semak
belukar dan
hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum
Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang
dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang
strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.
Pengepungan
Bonjol
Melihat
kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap
Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan
Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru
kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak
diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya, lihat Gambar - 6. Di saat
bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang
telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau
dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol
sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha
untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah
bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada
pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu
pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada
pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu
pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi. Namun
sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit
Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu
pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan
Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan
Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada
tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak
Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan
kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan
pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian
posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade
yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat
keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda,
sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati
mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda, lihat Gambar - 7.
Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang
bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda,
perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir
setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali
melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha
terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian
Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil
membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan
semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan
musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan
meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan
penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacgues
de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya
yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan
besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupakan
seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang
Benteng Stelsel.
Selanjutnya
Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar
enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa
perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku,
seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi,
1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche
hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura).
Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah
Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten
MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya.
Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto
Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo,
Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari
Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada
tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa
dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda,
direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs,
serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan
yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri
yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya,
serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3
Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan
terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada
tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, lihat Gambar - 8, dan pada
tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan.
Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan
didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Perundingan
Dalam
pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan
konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah,
namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus
menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk
bertempur kembali.
Dalam
kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di
Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan
kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih
dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan
senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat
perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk
menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan
kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi
kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada
tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838,
ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku
Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah
menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864,
Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya, lihat Gambar - 9.
Akhir Peperangan
Meskipun
pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol
berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai
akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu
telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya
benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya
pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini
dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax
Netherlandica dan wilayah Padangse
Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
Warisan
sejarah
Pengaruh
dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi
masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, lihat
Gambar - 10, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang
kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi
peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di
Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat
juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen
Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan
beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Kesimpulan
Perang Padri terjadi di Sumatera Barat dan
sekitarnya tepatnya di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini terjadi akibat adanya pertentangan dalam masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Pada abad ke-19 tiga orang ulama Minangkabau kembali dari tanah suci, yaitu Haji
Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik. Mereka mempelajari dan mengembangkan agama yang telah diperolehnya dari Makkah, yaitu gerakan yang
menghendaki agama Islam dilaksanakan secara murni
sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Gerakan mereka disebut
gerakan Padri - Artinya tokoh tokoh agama, ulama, di Sumatera Barat. Tujuan gerakan ini adalah
memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka pada jalan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang benar.
Gerakan Padri disambut baik
oleh para ulama dan sebaliknya gerakan tersebut ditentang keras oleh Kaum Adat yang menolak dihapusnya
adat kebiasaan yang telah berakar meskipun melanggar agama. Maka terjadi
ketegangan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat setempat.
Penyebab
terjadinya Perang Padri
Adanya perselisihan antara Kaum Adat dan Kaum Padri sebagai akibat dari usaha
yang dilakukan kaum Padri untuk memurnikan ajaran
Islam dengan menghapus adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Campur tangan Belanda dengan membantu Kaum Adat. Pertempuran Pertama terjadi dikota Lawas kemudian meluas ke daerah
daerah lain. Sehingga muncul pemimpin
pemimpin yang mendukung gerakan Kaum Padri seperti Datuk Bandaro, Datuk Malim
Basa (Imam Bonjol), Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Rencek,
Tuanku Nan Cerdik, dan Tuanku Nan Gapuk.
Sejarah Perang
Padri Tahap 1 (1821-1825)
Peperangan terjadi antara Kaum Adat dan Kaum Padri karena masalah agama. Berkobar sebelum perang Diponegora. Dari kota Lawas pertempuran meluas ke
Alahan panjang dan Tanah datar. Kaum adat meminta bantuan kepada
Inggris namun ditolak karena Inggris sudah didak mempunyai
kekuasaan lagi di Nusantara (Indonesia). Kemudian Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda tahun 1821 sehingga Kaum Padri menyerang pos-pos Belanda di Semawang , Sulit Air dan Lintau.
Belanda mendirikan benteng
Fort Van Capellen di Batusangkar dan Fort De Kock di Bukit tinggi untuk
menggempur Kaum Padri. Upaya ini gagal sehingga Belanda mundur menuju ke Pagar Ruyung.
Tahun 1822 terjadi pertempuran
di Baso dipimpin oleh Tuanku Nan Rencek. Di Bonio Kaum Padri berhasil menyerang pos Belanda yang di pimpin oleh Letnan Maartius dan Kapten Brusse.
24 September 1822 Pasukan Paderi menyerang Belanda di Agam. Tahun 1825 posisi Belanda semakin sulit apalagi di
Pulau Jawa
sedang berlangsung perang Diponegoro, sehingga Belanda
mengajak Kaum Padri untuk melaksanakan perundingan. Maka diadakanlah kontrak Perdamaian
pada tanggal 19 Oktober 1825 di Padang. Untuk sementara perang terhenti Belanda memusatkan pasukannya di Pulau
Jawa untuk
menghadapi Perang Diponegoro yang telah berkobar.
Sejarah Perang
Padri - Tahap II (1831-1838)
Merupakan perang antara
masyarakat Minangkabau melawan Belanda untuk mempertahankan
wilayah mereka dari Belanda. Perang ini berkobar setelah perang Diponegoro.
Tahun 1831 serangan Kaum Padri mulai gencar perang
berkobar di Muara Palam. Tahun 1832 Tuanku Nan Cerdik bergabung Dengan Tuanku Imam Bonjol menyerang pos-pos Belanda di Mangapo. Belanda
menerapkan taktik adu domba dengan cara mengirim pasukan pimpinan Sentot Prawirodirjo. Sentot adalah salah seorang pemimpin Perang Diponegoro yang menyerah. Ternyata Sentot membantu Kaum Padri melawan Belanda sehingga ia ditangkap dan diasingkan di Cianjur Jawa Barat. Tahun 1833 pertempuran meletus di daerah Agam. Kaum
Padri mulai mengalami kekalahan karena menyerahnya beberapa pemimpin perlawanan
seperti Tuanku Nan Cerdik.
Akhir tahun1834 Belanda memusatkan pasukannya untuk
menduduki daerah sekitar Bonjol dengan sasaran utamanya menguasai Bonjol.
Belanda menutup jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah lain.
Pasukan Paderi pantang menyerah mempertahankan Bonjol dengan membuat parit
parit sehingga Belanda kesulitan masuk Bonjol. Maka Belanda menyerang Bonjol
dengan meriam.
Tanggal 8 februari 1835 Tuanku Imam Bonjol bersedia
mengadakan gencatan senjata Belanda memaksanya menyerah. Ia bersedia dengan
syarat pasukan Belanda ditarik dari Alahan Panjang. Belanda menolak sehingga
kembali terjadi pertempuran.
Bulan Agustus 1835 Tuanku Imam Bonjol bersedia
berunding kembali tetapi Belanda menolak dengan alasan Kaum Paderi akan
menggunakan kesempatan ini untuk menyusun siasat. Pertempuran akhirnya meletus
kembali.
Bulan Oktober 1835 Bonjol dikepung dan tembakan
dilancarkan kearah Benteng Bonjol. Akhirnya benteng Bonjol jatuh ketangan Belanda setelah selama
2 tahun dipertahankan mati-matian oleh kaum Padri.
Tanggal 15 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol menyerah
sehingga perlawanan rakyat Minangkabau melemah dan dianggap sudah tidak ada
artinya lagi oleh pasukan Belanda.
Akhir Perang
Padri
Akhirnya pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat
dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap, tetapi
peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di
Dalu-Dalu, yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28
Desember 1838. Hancurnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai
mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah kenegeri sembilan semenanjung Malaya
dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan
yang berarti.
Meskipun
mereka kalah dalam medan pertempuran dengan Belanda, tapi mereka berhasil
bersatu antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang melahirkan kesepakatan yaitu: Adat
bersendikan kepada syariat Islam, sedangkan syariat Islam ini bersendikan
kepada kitab suci al-Qur’an. Dalam bahasa Minang menyebutkan “Adaik Basandi
Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” menjadi orientasi atau falsafah hidup orang
Minangkabau sampai sekarang.
Kalimat berjalin berkelindan ini adalah
sebuah hasil kesepakatan di kalangan Kaum Adat dan Kaum Agama di Minangkabau
yang menjadi substansi dari Sumpah Satie Bukik Marapalam. Terjadi di puncak
Bukit Marapalam, lihat Gambar - 11.
Nama bukit itu awalnya sebuah nama
panggilan, berdasarkan folklor berasal dari kata “Merapatkan Alam”, yaitu
merapat atau terhubung dengan alam Luhak nan Tigo. Puncak bukit tertinggi di
Kabupaten Tanah Datar berada di puncak Bukit Marapalam, dinamakan Puncak Pato.
Nama itu berasal dari kata fakto atau pakta dari puncak dalam membuat kesepakatan
perjanjian.
Memang, ada beberapa versi terkait
waktu terjadinya Sumpah Satie Bukik Marapalam. Namun, falsafah "Adat
Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" bisa disebut sebagai subtansi
dari Sumpah Satie Bukik Marapalam tersebut.
Pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, jika bicara masalah “Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah”, benang merah historisnya sudah ada sejak beberapa abad silam. Kisah ini memang digoreskan dalam tinta emas lembaran sejarah Minangkabau.
Kalimat “Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah” itu bisa dimaknai dalam pepatah syarak mandaki, adat manurun; syarak mangato, adat mamakai.
“Maksudnya, agama masuk ke darek (pedalaman Minangkabau) dan adat turun dari darek ke pesisir Minangkabau. Maka, agama dan adat di Minangkabau tidak bisa dipisahkan”.
Pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, jika bicara masalah “Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah”, benang merah historisnya sudah ada sejak beberapa abad silam. Kisah ini memang digoreskan dalam tinta emas lembaran sejarah Minangkabau.
Kalimat “Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah” itu bisa dimaknai dalam pepatah syarak mandaki, adat manurun; syarak mangato, adat mamakai.
“Maksudnya, agama masuk ke darek (pedalaman Minangkabau) dan adat turun dari darek ke pesisir Minangkabau. Maka, agama dan adat di Minangkabau tidak bisa dipisahkan”.
Falsafah ini muncul pertama kali ketika
peristiwa Sumpah Satie Bukik Marapalam didengungkan tahun 1837. Peristiwa ini
terjadi seusai Perang Paderi.
Rusli Amran dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang menyebutkan,
sumpah ini lahir dari win-win solution demi mempertautkan kembali
Minangkabau yang terbelah akibat Perang Paderi.
Setelah sumpah ini digemakan, Kaum Adat dan Kaum Agama pun saling berangkulan dan melupakan konflik di antara mereka yang berlangsung lebih dari 30 tahun.
Hasil dari Sumpah Satie Bukik Marapalam
itu dituangkan dalam filsafat adat berbunyi “Adat Basandi Syara', Syara'
Basandi Kitabullah”. Syara' mangato-Adat mamakai. Adat yang buruk dibuang, adat
yang baik dipakai. Syara' jo adaik bak aua jo tabiang-sanda manyanda kaduonyo.
Maksudnya, adat Minangkabau itu
didasarkan pada agama Islam dan agama berdasarkan Kitabullah atau Al-Qur’an.
Agama memberikan fatwa, adat melaksanakannya.
Adat yang baik adalah sesuai dengan norma-norma Islam, harus dipertahankan. Sementara adat yang buruk, yang bertentangan dengan Islam, harus dibuang. Antara syara' (agama) dan adat tidak dipertentangkan sebagai filosofi pandangan hidup orang Minangkabau.
Dari untaian falsafah ini, ada beberapa
hal yang perlu dipahami dalam hubungan persoalan adat dan Islam di Minangkabau.
Adat lebih dahulu hadir di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.
Ketika Islam masuk ke Minangkabau, pada dasarnya sudah berhadapan langsung dengan masyarakat yang mengenal konsep Tuhan yang disebut dengan “Nan Bana”, yang berdiri dengan sendirinya.
Adat dan syara' mengandung nilai-nilai yang mengatur hidup masyarakat Minangkabau. Pengaturan adat lebih bersifat duniawi. Nilai-nilai syara' mengatur secara seimbang antara hidup di dunia dan akhirat.
"Dengan demikian, ajaran Islam yang bersumber dari Allah dan Rasul diakui lebih sempurna dibanding adat. □ AFM
Sumber:
●https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri
●http://www.artikelsiana.com/2014/09/sejarah-perang-paderi-padri-1821-1837-Latar-Belakang.html
●http://www.portalsejarah.com/sejarah-terjadinya-perang-paderi.html
●http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-islam/perang-padri-1803-1838-dan-keterlibatan-belanda-10016.htm
●http://sosial-belajar.blogspot.com/2015/03/sejarah-perang-padri-lengkap-penyebab.html
●http://daerah.sindonews.com/read/957612/29/sumpah-satie-bukik-●marapalam-1422535883□□□