Saturday, April 23, 2016

Sejarah Perjuangan Kaum Padri




Pendahuluan

H
eroisme perjuangan Kaum Padri dalam menegakkan panji-panji ajaran Islam di ranah Minang luar biasa besarnya, dan berhasil meyakinkan Kaum Adat (walaupun sebelumnya menolak) menjadikan falsafah hidup orang Minangkabau menjadi “Adiak Basandi Syara’, Syara Basandi Kitabullah” menjadi kenyataan. Menjadi plus lagi, karena juga melawan pemerintahan kolonialisme Hindia-Belanda dalam upaya mengusir penjajah dari ranah Minang sebagai tanah tumpah darahnya dengan melakukan peperangan yang begitu gigihnya selama 35 tahun atau hampir setengah abad lamanya.

Sejarah perjuangan panjang Kaum Padri adalah perjuangan bermula untuk meluruskan pelaksanaan ajaran Islam murni yang semestinya berlaku di ranah Minang, namun Kaum Adat, tadinya, enggan atau menolak melaksanakannya sebagaimana mestinya. Mereka mengatakan hanya Adat saja yang berlaku, walaupun mereka kaum Muslimin juga, tapi tidak melaksanakan ajaran Islam sebagaimana mestinya.

Pada tahun 1803 atau mulai abad ke-19, tiga orang ulama Minangkabau kembali dari tanah suci, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik. Mereka mempelajari dan mengembangkan agama yang telah diperolehnya dari Makkah, yaitu gerakan yang menghendaki agama Islam dilaksanakan secara murni sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Gerakan mereka disebut gerakan Padri - Artinya tokoh tokoh agama, ulama, di Sumatera Barat. Tujuan gerakan ini adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka pada jalan  yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang semestinya.

Karena tidak jadi kesepakatan diantara mereka, maka jawabannya adalah perang, perang mana dalam sejarah dikenal dengan nama Perang Padri, yaitu perang melawan Kaum Padri atau Kaum Padri memerangi Kaum Adat. Perang Padri awal mulanya adalah perang saudara antara sesama orang Minangkabau. Yaitu perang  saudara antara Kaum Adat dan Kaum Paderi. Kaum Adat memeluk agama Islam, tapi masih bersifat formal, artinya mereka Muslim tapi tidak melakukan ajaran Syariat Islam secara semestinya. Sedang Kaum Paderi adalah kaum yang ingin menjalankan ajaran Syariat Islam berdasarkan apa yang ada dalam Kitabullah.

Dalam peperangan ini Kaum Adat kewalahan dalam menghadapi ketangguhan Kaum Padri yang unggul dalam pertempuran itu, maka agar tidak dapat dikalahkan, Kaum Adat meminta bantuan kepada Hindia-Belanda yang telah mulai menduduki ranah Minang. Dengan bantuan Belanda ini, selanjutnya perang berikutnya adalah perang Kaum Adat dan (dibantu) Belanda melawan Kaum Paderi. Kaum Paderi pantang menyerah, walaupun digempur, tetap melakukan perlawanan, bukan hanya dari Kaum Adat, namun juga dari Belanda.

Namun kemudiannya, Kaum Adat menyadari bahwa Belanda adalah sekutunya yang tidak baik. Mereka tahu bahwa Belanda bermaksud menjajah ranah Minang saja, karena dirasakan bahwa Belanda membantunya (Kaum Adat) setengah-setengah, tidak sebenarnya. Dengan kesadaran seperti itu Kaum Adat berdamai dengan Kaum Paderi, kemudian bersama Kaum Paderi melawan Belanda menjadi musuh bersama mereka.

Walaupun mereka selama 35 tahun berjuang akhirnya kalah dalam medan pertempuran dengan Hindia-Belanda, tapi mereka berhasil bersatu antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang melahirkan kesepakatan yaitu: Adat bersendikan kepada syariat Islam, sedangkan syariat Islam ini bersendikan kepada kitab suci al-Qur’an. Dalam bahasa Minang menyebutkan “Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” menjadi orientasi atau falsafah hidup orang Minangkabau sampai sekarang.

Jalan Sejarah Perjuangan Kaum Paderi

Kisahnya dimulai dari kepulangan tiga orang Haji dari Makkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.  Walaupun masyarakat Minang telah Islam namun kebiasaan mereka jauh dari apa yang diajarkan oleh Islam. Mereka masih marak melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam, lihat Gambar - 1. Khususnya masalah minuman keras, tidak lain ketika itu Inggris dan Belanda telah masuk ke Nusantara antara lain ke ranah Minang ini untuk menjajahnya dengan tinggal (berkoloni). Adat kebiasaan Belanda yang biasa meminum minuman keras ini di adopsi pula oleh orang Minang.

 

Sepulangnya mereka dari Makkah mereka bertekad untuk merubah adat kebiasaan buruk ini. Penganjur dakwah Islam yang sesungguhnya ini disebut kemudiannya sebagai Kaum Paderi dan masyarakat Minang yang tidak mau menerima ajaran Islam yang sebenarnya ini disebut Kaum Adat - karena kebiasaan hidupnya masih menggunakan Adat kebiasaan yang ada, sedang Islamnya adalah Islam formal saja, artinya syariat Islam yang sebenarnya tidak dijadikan adat kebiasaan hidupnya. Dari sinilah awalnya terjadi pertentangan antara Kaum Adat - walaupun Muslim, tapi tetap menjalankan kebiasaan (adat lama), sementara Kaum Paderi adalah Muslim, tapi menyadari bahwa syariat Islam sesungguhnya tidak dilaksanakan oleh Kaum Adat.

Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Perang Padri

Adapun asal-usul nama Padri terdapat adalah Pedir atau Pideri yaitu sebuah nama kota kecil di pantai Barat Sumatera Utara tempat dimana mereka berangkat dan pulang ke dan dari haji ketika itu untuk berhaji. Dan ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa Portugis, Padre - “Pendeta”. Atau dalam bahasa Belanda Vader, yang berarti “Ayah”. maksudnya dalam hal ini  “Pendeta” juga. Pendeta ini pemimpin agama (Gereja) atau umat Kristiani. Jadi dengan demikian Kaum Padri adalah kaum pendeta bagi orang Minang menurut pengertian orang Hindia-Belanda atas Kaum Paderi ini. Boleh jadi karena yang memerangi Belanda adalah para ulama dan ulama ini dalam bahasa Belanda,Vader. Atau Portugis artinya, Padre. Dalam bahasa Indonesia yang berasal dari umat Kristiani ulama ini disebut pendeta. Namun bisa juga berarti kaum atau orang-orang yang berangkat dan pulang dari berhaji melalui kota Pedir atau Pideri. Padri bisa juga ditulis Paderi yang mendekati nama kota di Pantai Barat Sumatera Utara.

Perang Padri dimulai tahun 1803 hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang yaitu selama 35 tahun, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Makkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minagkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.

Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung, lihat Gambar - 2, pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagarayung yang sudah terbakar.



Keterlibatan Belanda

Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sutan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.  Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.

Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desembar 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, lihat Gambar - 3, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.



Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.

Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Leamlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biora dan Kapau, namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.

Gencatan senjata

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama “Plakat Puncak Pato” di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.

Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.

Peperangan Jilid Kedua

Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.

Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiU dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock, lihat Gambar - 4.

 

Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock

Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Lima Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.

Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulan Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.

Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.

Perlawanan Bersama Kaum Adat

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.  Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.

Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau; disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh. Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut “Plakat Panjang” berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para Penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

Serangan ke Bonjol

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.

Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.

Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.

Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.

Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.

Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.

Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan meriam houwitser dan mortir, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.

Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.

Benteng Bonjol

Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi, lihat Gambar - 5. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir sungai Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
 


Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.

Pengepungan Bonjol

Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya, lihat Gambar - 6. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.



Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.

Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.

Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda, lihat Gambar - 7. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.


Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.

Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacgues de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.

Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.

Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, lihat Gambar - 8, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

 

Perundingan

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.

Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya, lihat Gambar - 9.



Akhir Peperangan

Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.

Warisan sejarah

Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, lihat Gambar - 10, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.



Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.

Kesimpulan

Perang Padri terjadi di Sumatera Barat dan sekitarnya tepatnya di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini terjadi akibat adanya pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Pada abad ke-19 tiga orang ulama Minangkabau kembali dari tanah suci, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik. Mereka mempelajari dan mengembangkan agama yang telah diperolehnya dari Makkah, yaitu gerakan yang menghendaki agama Islam dilaksanakan secara murni sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Gerakan mereka disebut gerakan Padri - Artinya tokoh tokoh agama, ulama, di Sumatera Barat. Tujuan gerakan ini adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka pada jalan  yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang benar.

Gerakan Padri disambut baik oleh para ulama dan sebaliknya gerakan tersebut ditentang keras oleh Kaum Adat yang menolak dihapusnya adat kebiasaan yang telah berakar meskipun melanggar agama. Maka terjadi ketegangan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat setempat.

Penyebab terjadinya Perang Padri

Adanya perselisihan antara Kaum Adat dan Kaum Padri sebagai akibat dari usaha yang dilakukan kaum Padri untuk memurnikan ajaran Islam dengan menghapus adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Campur tangan Belanda dengan membantu Kaum Adat. Pertempuran Pertama terjadi dikota Lawas kemudian meluas ke daerah daerah lain. Sehingga muncul pemimpin pemimpin yang mendukung gerakan Kaum Padri seperti Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa (Imam Bonjol), Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Rencek, Tuanku Nan Cerdik, dan Tuanku Nan Gapuk.

Sejarah Perang Padri Tahap 1 (1821-1825)

Peperangan terjadi antara Kaum Adat dan Kaum Padri karena masalah agama. Berkobar sebelum perang Diponegora. Dari kota Lawas pertempuran meluas ke Alahan panjang dan Tanah datar. Kaum adat meminta bantuan kepada Inggris namun ditolak karena Inggris sudah didak mempunyai kekuasaan lagi di Nusantara (Indonesia). Kemudian Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda tahun 1821 sehingga Kaum Padri menyerang pos-pos Belanda di Semawang , Sulit Air dan Lintau.

Belanda mendirikan benteng Fort Van Capellen di Batusangkar dan Fort De Kock di Bukit tinggi untuk menggempur Kaum Padri. Upaya ini gagal sehingga Belanda mundur menuju ke Pagar Ruyung.

Tahun 1822 terjadi pertempuran di Baso dipimpin oleh Tuanku Nan Rencek. Di Bonio Kaum Padri berhasil menyerang pos Belanda yang di pimpin oleh Letnan Maartius dan Kapten Brusse.

24 September 1822 Pasukan Paderi menyerang Belanda di Agam. Tahun 1825 posisi Belanda semakin sulit apalagi di Pulau Jawa sedang berlangsung perang Diponegoro, sehingga Belanda mengajak Kaum Padri untuk melaksanakan perundingan. Maka diadakanlah kontrak Perdamaian pada tanggal 19 Oktober 1825 di Padang. Untuk sementara perang terhenti Belanda memusatkan pasukannya di Pulau Jawa untuk menghadapi Perang Diponegoro yang telah berkobar.

Sejarah Perang Padri - Tahap II (1831-1838)

Merupakan perang antara masyarakat Minangkabau melawan Belanda untuk mempertahankan wilayah mereka dari Belanda. Perang ini berkobar setelah perang Diponegoro.

Tahun 1831 serangan Kaum Padri mulai gencar perang berkobar di Muara Palam. Tahun 1832 Tuanku Nan Cerdik bergabung Dengan Tuanku Imam Bonjol menyerang pos-pos Belanda di Mangapo. Belanda menerapkan taktik adu domba dengan cara mengirim pasukan pimpinan Sentot Prawirodirjo. Sentot adalah salah seorang pemimpin Perang Diponegoro yang menyerah. Ternyata Sentot membantu Kaum Padri melawan Belanda sehingga ia ditangkap dan diasingkan di Cianjur Jawa Barat. Tahun 1833 pertempuran meletus di daerah Agam. Kaum Padri mulai mengalami kekalahan karena menyerahnya beberapa pemimpin perlawanan seperti Tuanku Nan Cerdik.

Akhir tahun1834 Belanda memusatkan pasukannya untuk menduduki daerah sekitar Bonjol dengan sasaran utamanya menguasai Bonjol. Belanda menutup jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah lain. Pasukan Paderi pantang menyerah mempertahankan Bonjol dengan membuat parit parit sehingga Belanda kesulitan masuk Bonjol. Maka Belanda menyerang Bonjol dengan meriam.

Tanggal 8 februari 1835 Tuanku Imam Bonjol bersedia mengadakan gencatan senjata Belanda memaksanya menyerah. Ia bersedia dengan syarat pasukan Belanda ditarik dari Alahan Panjang. Belanda menolak sehingga kembali terjadi pertempuran.

Bulan Agustus 1835 Tuanku Imam Bonjol bersedia berunding kembali tetapi Belanda menolak dengan alasan Kaum Paderi akan menggunakan kesempatan ini untuk menyusun siasat. Pertempuran akhirnya meletus kembali.
Bulan Oktober 1835 Bonjol dikepung dan tembakan dilancarkan kearah Benteng Bonjol. Akhirnya benteng  Bonjol jatuh ketangan Belanda setelah selama 2 tahun dipertahankan mati-matian oleh kaum Padri.

Tanggal 15 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol menyerah sehingga perlawanan rakyat Minangkabau melemah dan dianggap sudah tidak ada artinya lagi oleh pasukan Belanda.

Akhir Perang Padri

Akhirnya pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil  ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu, yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah kenegeri sembilan semenanjung Malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan yang berarti.

Meskipun mereka kalah dalam medan pertempuran dengan Belanda, tapi mereka berhasil bersatu antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang melahirkan kesepakatan yaitu: Adat bersendikan kepada syariat Islam, sedangkan syariat Islam ini bersendikan kepada kitab suci al-Qur’an. Dalam bahasa Minang menyebutkan “Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” menjadi orientasi atau falsafah hidup orang Minangkabau sampai sekarang.

Kalimat berjalin berkelindan ini adalah sebuah hasil kesepakatan di kalangan Kaum Adat dan Kaum Agama di Minangkabau yang menjadi substansi dari Sumpah Satie Bukik Marapalam. Terjadi di puncak Bukit Marapalam, lihat Gambar - 11.



Nama bukit itu awalnya sebuah nama panggilan, berdasarkan folklor berasal dari kata “Merapatkan Alam”, yaitu merapat atau terhubung dengan alam Luhak nan Tigo. Puncak bukit tertinggi di Kabupaten Tanah Datar berada di puncak Bukit Marapalam, dinamakan Puncak Pato. Nama itu berasal dari kata fakto atau pakta dari puncak dalam membuat kesepakatan perjanjian.

Memang, ada beberapa versi terkait waktu terjadinya Sumpah Satie Bukik Marapalam. Namun, falsafah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" bisa disebut sebagai subtansi dari Sumpah Satie Bukik Marapalam tersebut.

Pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, jika bicara masalah “Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah”, benang merah historisnya sudah ada sejak beberapa abad silam. Kisah ini memang digoreskan dalam tinta emas lembaran sejarah Minangkabau. 

Kalimat “Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah” itu bisa dimaknai dalam pepatah syarak mandaki, adat manurun; syarak mangato, adat mamakai.

“Maksudnya, agama masuk ke darek (pedalaman Minangkabau) dan adat turun dari darek ke pesisir Minangkabau. Maka, agama dan adat di Minangkabau tidak bisa dipisahkan”.

Falsafah ini muncul pertama kali ketika peristiwa Sumpah Satie Bukik Marapalam didengungkan tahun 1837. Peristiwa ini terjadi seusai Perang Paderi.

Rusli Amran dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang menyebutkan, sumpah ini lahir dari win-win solution demi mempertautkan kembali Minangkabau yang terbelah akibat Perang Paderi.

Setelah sumpah ini digemakan, Kaum Adat dan Kaum Agama pun saling berangkulan dan melupakan konflik di antara mereka yang berlangsung lebih dari 30 tahun.

Hasil dari Sumpah Satie Bukik Marapalam itu dituangkan dalam filsafat adat berbunyi “Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah”. Syara' mangato-Adat mamakai. Adat yang buruk dibuang, adat yang baik dipakai. Syara' jo adaik bak aua jo tabiang-sanda manyanda kaduonyo.

Maksudnya, adat Minangkabau itu didasarkan pada agama Islam dan agama berdasarkan Kitabullah atau Al-Qur’an. Agama memberikan fatwa, adat melaksanakannya.

Adat yang baik adalah sesuai dengan norma-norma Islam, harus dipertahankan. Sementara adat yang buruk, yang bertentangan dengan Islam, harus dibuang. Antara syara' (agama) dan adat tidak dipertentangkan sebagai filosofi pandangan hidup orang Minangkabau.

Dari untaian falsafah ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam hubungan persoalan adat dan Islam di Minangkabau. Adat lebih dahulu hadir di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

Ketika Islam masuk ke Minangkabau, pada dasarnya sudah berhadapan langsung dengan masyarakat yang mengenal konsep Tuhan yang disebut dengan “Nan Bana”, yang berdiri dengan sendirinya.

Adat dan syara' mengandung nilai-nilai yang mengatur hidup masyarakat Minangkabau. Pengaturan adat lebih bersifat duniawi. Nilai-nilai syara' mengatur secara seimbang antara hidup di dunia dan akhirat.

"Dengan demikian, ajaran Islam yang bersumber dari Allah dan Rasul diakui lebih sempurna dibanding adat. □ AFM


Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri
http://www.artikelsiana.com/2014/09/sejarah-perang-paderi-padri-1821-1837-Latar-Belakang.html
http://www.portalsejarah.com/sejarah-terjadinya-perang-paderi.html
http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-islam/perang-padri-1803-1838-dan-keterlibatan-belanda-10016.htm
http://sosial-belajar.blogspot.com/2015/03/sejarah-perang-padri-lengkap-penyebab.html
http://daerah.sindonews.com/read/957612/29/sumpah-satie-bukik-marapalam-1422535883□□□