Monday, March 21, 2016

Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam?







PENDAHULUAN

J
udul buku ‘A World Without Islam’ - terjemahan literalnya: Suatu Dunia Tanpa Islam. Namun - sesuai dengan makna isi buku - terjemahannya yang lebih tepat dari judul buku ini (setidaknya oleh penerjemah) adalah ‘Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam?’  Buku ini ditulis oleh Graham E. Fuller, seorang guru besar sejarah di Simon Fraser University Kanada, ini sangat kontroversial. Mengapa dia harus membahas tentang pengandaian ketiadaan Islam di tengah adanya kecamuk global terhadap Islam - apa hikmahnya?

Meskipun begitu, kehadiran buku ini dengan sudut pandang yang berbeda dari kaca mata kebanyakan pemikir Barat sendiri, ditulis cermat berdasarkan pengkajian yang cukup dalam oleh seorang intelektual Barat yang memiliki pengalaman dan tinggal serta bekerja di Dunia Islam selama dua decade.

Kekhususan buku yang ditulis oleh Graham E. Fuller menjadi sangat membuat penasaran. Bahkan banyak “tidak disukai” oleh kalangan pemikir Barat yang kelihatannya lebih pro kepada teorinya Samuel P. Huntington seperti yang dipaparkan dalam bukunya ‘The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order’ -Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia’ yang “mengenyampingkan” peran (peradaban) Islam - terlebih lagi karena 9/11 yang menusuk tajam rasa super power Barat terhadap peristiwa itu, sementara Graham E. Fuller tidak.

Empat belas bab yang ada di buku ini, ditulis dengan gaya penuturan yang segar dan provokatif. Tak hanya itu, dari paparan buku ini didapatkan beberapa pencerahan tentang sumber-sumber konflik yang mengganggu keharmonisan dunia saat ini. Buku ini diawali dengan catatan tentang pandangan antara ‘agama-agama Abraham’ serta kawasan Arabia sebagai titik awal pembahasan. Pandangan Yahudi terhadap Islam dan Kristen, perspektif Islam terhadap Yahudi dan Kristen, kemudian pandangan-pandangan Yahudi dan Kristen terhadap Islam, membuka cakrawala pembaca tentang sudut pandang sejarah keberadaan agama-agama ini.

Keterkaitan antara kondisi sosial, terutama perkembangan politik terhadap perkembangan agama-agama di masa lalu menjadi salah satu landasan pembahasan. Dalam buku ini isu agama yang berkembang dibahas secara kontekstual, tidak terlepas dari struktur dan situasi kehidupan manusia yang memeluknya.

Penulis The Future of Political Islam Graham E. Fuller bersama Ralph E. Lapp ini juga mampu mengutarakan berbagai rentetan sejarah yang terjadi di agama-agama samawi lainnya. Seperti yang tertuang dalam Bab V membawa pembaca untuk meninjau ulang dengan apa yang terjadi saat Perang Salib. Jika selama ini Perang Salib selalu diasosiasikan dengan permasalahan agama, Graham E. Fuller mencoba meninjau perang bersejarah ini dari sudut pandang berbeda. Bahwa sangat mungkin ada kekuatan-kekuatan dahsyat lainnya yang bekerja: sebuah dorongan untuk perluasan kekuasaan dan perkembangan-perkembangan politik, ekonomi, dan sosial yang melatarbelakangi terjadinya perang besar tersebut.

Fuller kemudian bertanya kepada pembaca; “Andaikata Islam tidak ada - alasan yang jelas bagi petualangan Perang Salib - mungkinkah sebuah bentuk Perang Salib Barat melawan Timur masih terjadi?” Salah satu hal yang membuat buku ini semakin menarik adalah bagaimana Fuller membuat uraian sejarah tentang proses pertemuan Islam dengan agama bahkan kaum-kaum tertentu yang pernah ada di muka bumi. Ada lima bab di bagian dua yang secara gamblang mengungkapkan pertemuan-pertemuan Islam di batas-batas peradabannya, mulai dari Romawi, Rusia, Eropa, India, hingga China.

Di negara terakhir yang disebutkan, kembali Fuller menulis bahwa beberapa permasalahan yang terjadi di sana bukanlah Islam sebagai penyebab utamanya. Penganut Islam Han China telah terintegrasi dan secara kreatif membangun hubungan-hubungan antara budaya Muslim dan budaya China, keragaman etnis di China-lah yang menjadi masalah, bukan Islam. Demikian seperti ditulis Graham E. Fuller di akhir Bab XI.

Lalu di mana posisi Islam di era modern seperti sekarang? Tiga bab yang tersisa di bagian akhir buku dengan judul asli ‘A World Without Islam’ ini memberi gambaran tentang wajah Islam yang mengalami fluktuasi saat menghadapi isu kolonialisme, nasionalisme, jihad, terorisme, sampai dengan tanggapan terhadap kebijakan-kebijakan baru dengan dunia Islam.

Buku ini ibarat kumpulan saripati atas kajian-kajian yang dilakukan oleh berbagai pemikir tentang sejarah dan perkembangan agama-agama yang ada di dunia. Referensi yang dijadikan sumber tulisan yang ada di buku ini begitu berbobot, beberapa hasil pemikiran dan kajian dari kampus, lembaga, maupun tokoh yang terbiasa memunculkan hasil kajian yang memiliki expertise di bidangnya disadur dan dikutip di dalam buku yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan ini.

Meskipun demikian, buku ini menghasilkan kesimpulan yang cukup berbeda dan mungkin di luar nalar berpikir sebagian orang Barat. Graham E. Fuller berargumen bahwa andai dunia tanpa Islam, tetap saja Barat akan menyerang Timur Tengah walaupun tidak ada Perang Salib, karena yang mendorongnya sedemikian kuat adalah nafsu imperialismenya. India mungkin tidak memiliki kekayaan seperti sekarang jika saja tidak mewarisi budaya Islam Mughal. Perpecahan tetap terjadi antara Gereja Ortodoks dengan Gereja Roma. Serta aksi bom bunuh diri mungkin tetap ada, karena bukan muslim yang pertama kali melakukannya. Sehingga tak heran jika penulis yang juga mantan Wakil Ketua National Intelligence Council di CIA ini menganggap bahwa buku ini adalah salah satu buku yang menawarkan sejarah alternatif, selain sejarah yang selama ini kita pelajari bahkan telah diyakini keberadaannya.



ANALISA ISI BUKU

B
uku ini hadir dan terbit di Barat (Eropa dan Amerika) di mana di sana beredar pemahaman yang salah kaprah tentang Islam. Islam masih diasosiasikan sebagai biang keladi segala macam teror dan konflik dunia saat ini, juga masa lalu. Pertama: Fuller melalui buku ini mencoba menjelaskan bahwa betulkah faktor Islam yang membuat segala jenis teror dan konflik dunia? Selanjutnya, yang kedua: Bagaimana bila Islam tidak pernah hadir di muka bumi ini, Apakah teror dan konflik yang pernah dan sedang berlangsung dalam sejarah akan hilang?


Membedah Sejarah Konflik

P
enceritaan Fuller sangat menarik dan berbeda dari buku-buku yang membahas tentang “konflik Islam-Barat” dan semacamnya. Fuller membedah sejarah konflik dengan teliti, lalu menghilangkan satu bagiannya - Islam, kemudian Fuller juga berani menyimpulkan “prediksi jalannya sejarah tanpa Islam” tersebut. Fuller seperti yang dia jelaskan dalam buku ini, menyatakan bahwa mungkin tidak semua orang sepakat dengan kesimpulan yang akan ia hasilkan, namun metode dan data-data sejarah yang dipakai bisa jadi bukti kuat untuk orang mempunyai “prediksi lain” tapi sejatinya “akan serupa” setidaknya membuat penilaian orang pada sejarah konflik Islam-Barat akan sama sekali berbeda.

Fuller berangkat pada asumsi bahwa kejadian sejarah, tidak pernah memiliki faktor tunggal, selalu melibatkan banyak faktor yang saling terkait, tiap faktor itu penting, tetapi bila satu faktor dihilangkan, faktor yang lain akan berinteraksi dengan faktor-faktor lainnya untuk menjadi penyebab dari suatu kejadian sejarah. Dan bukan tidak mungkin kejadian yang timbul tidak jauh berbeda. Begitupun yang terjadi dengan kejadian-kejadian dalam sejarah Timur Tengah masa lampau dan saat ini maupun dalam kejadian-kejadian yang disebut sebagai konflik antara Islam dengan Barat.

Fuller memulai narasinya dengan menjelaskan tentang evolusi agama (teologis) yang berlangsung di Timur Tengah, dimana perkembangan evolusi dari kehadiran agama Yahudi, Kristen Ortodoks, lalu Islam, yang menyebabkan tidak ada shock teologis di Timur Tengah. Secara doktrin teologis, Islam tidak berbeda jauh dengan agama-agama pendahulunya, semisal Yahudi yang menyerukan monoteisme dan hidup menjalani hukum-hukum Tuhan, kemudian hadirnya Kristen Ortodoks yang lebih mementingkan keimanan daripada hukum-hukum ala ajaran Yahudi. Sedangkan kaum Yahudi jelas tidak mudah menerima ajaran Kristen dengan Trinitasnya, dan banyak komunitas Timur Tengah masa pra- Islam ada persamaan dengan Yahudi dalam hal pemahaman terhadap konsep ketuhanan monoteisme - karena bersumber dari kepercayaan Ibrahim sebagai “the father” dari Yahudi-Kristen-Islam dibanding Trinitas. Islam lahir seolah sebagai penghubung, di satu sisi mementingkan hukum (syariat) di sisi lain mementingkan pula keimanan dalam konsep monoteisme yang “simple”. Pun dalam ajaran dasar masing-masing, sangatlah dijunjung tinggi toleransi terhadap penganut keyakinan lain.

Konflik baru terjadi setelah “kekuasaan” menggunakan agama sebagai dalih untuk menyatakan mana yang benar mana yang salah, mana yang murni mana yang bid’ah. Penguasa Romawi menggunakan ajaran Kristen untuk menyebut penganut Yahudi bukan sebagai agama tersendiri akan tetapi sebagai kaum yang menolak ajaran Yesus. Paus di masa Perang Salib dalam seruannya tidak menyebut sama sekali Islam (muslim sebagai agama tersendiri) akan tetapi disebut sebagai pelaku bid’ah (seolah sekte yang menyimpang dari Kristen).

Pun dalam tradisi Romawi baik di Roma maupun di Konstantinopel, begitu banyak sekte-sekte di luar versi resmi ajaran Kristen (Roma Katolik) yang difatwakan Dewan Gereja (Roma Katolik). Diluar ajaran Roma Katolik mengalami penindasan, pembunuhan, dan sebagainya karena mereka dianggap sebagai pelaku bid’ah, tidak murni lagi ajarannya. Menurut Fuller, Hal ini pun terjadi dalam sejarah Timur Tengah maupun Islam, dimana konflik yang terjadi bukanlah murni karena ajaran Islam itu mengharuskan adanya konflik yang demikian, akan tetapi karena kepentingan politik (kekuasaan) dan ekonomi. Misalnya, peperangan negara-negara Timur Tengah melawan Turki Utsmani jelas bukan lagi konflik karena agama walau tiap penguasa Arab (Timur Tengah) berusaha menggunakan retorika agama dalam menjatuhkan legitimasi kekuasaan Turki Utsmani.

Bahkan konflik panjang antara Romawi (Katolik) dengan Konstantinopel (Ortodoks) jelas bukan konflik antara agama karena dilakukan sesama penganut Kristen, namun lebih kepada konflik politik dimana faktor agama hanya dipakai sebagai pemersatu ke dalam, dan pembeda ke luar. Pun dalam konflik kerajaan Jerman (Protestan) dengan Romawi (Katolik), sedikit banyak karena faktor politik dan ekonomi. Bahkan dengan berani memprediksi, jika Islam tidak pernah lahir di Timur Tengah, secara geopolitik Timur Tengah akan didominasi penganut Kristen Ortodoks dimana Konstantinopel sebagai penguasanya, dan Perang Salib kemungkinan akan tetap lahir, mungkin dengan kadar dan dimensi yang berbeda antara Roma (Katolik) melawan Konstantinopel (Ortodox). Kita tentu tahu fakta sejarah Perang Salib ketiga dimana Tentara Salib yang berangkat dari Eropa yang awalnya bertujuan membebaskan Palestina dari Penguasaan Muslim, berujung pada peperangan dengan Konstantinopel (Ortodox) dan pasukan dari Eropa berhasil merebut tahta Konstantinopel untuk sementara waktu. Jelas perebutan monopoli (pengaruh) Kepausan antara Roma dan Kontantinopel yang menyebabkan kedua kubu Kristen ini terus saling berperang bahkan di saat musuh (Islam) berhasil merebut kota suci dimana Yesus dilahirkan. Dalam konteks menjelaskan tentang Perang Salib, Fuller dengan sangat piawai membedah faktor-faktor sejarah apa sajakah yang memungkinkan itu terjadi dan mencoba menghilangkan faktor Islam, lalu memprediksi jalannya sejarah tanpa “faktor (Islam)” tersebut, hingga sampai pada kesimpulan yang disebut di atas, bahwa Perang Salib dalam skala dan dimensi yang berbeda sangat mungkin akan tetap terjadi walau tanpa adanya “faktor Islam” sekalipun.


Retorika Anti-Barat

F
uller kemudian mencoba membedah faktor adanya retorika anti-Barat yang menurut sebagian besar orang Barat, merupakan bawaan dari ajaran Islam itu sendiri. Fuller menjelaskan, bahwa retorika dan ideologi anti-Barat menyebar dari Asia, Afrika, hingga Amerika Latin, dengan beragam ideologi, dari mulai nasionalisme, komunisme, dan lainnya. Bahkan di Timur-Tengah sendiri, ideologi Marxisme dianut sebagian aktor dan menggemakan retorika anti-Amerika. Ideologi nasionalisme-Arab (disebut sebagai Naserisme di Mesir, Sudan dan sekitarnya), mengikuti penyeru utamanya Presiden Gamal Abdul Naser; atau Ba’athisme di Suriah, Irak, dan sekitarnya mengikuti nama partai Ba’ath) pernah menjadi pemersatu anti-Barat (anti-Amerika, anti-Inggris, anti-Israel). Dan layaknya agama Kristen menjadi budaya dan pemersatu identitas di Amerika Latin kemudian memunculkan perlawanan anti-Barat yang khas Amerika Latin dengan warna Kristennya, hal serupa sangat wajar terjadi di Timur-Tengah, dimana identitas budaya (dan agama: Islam) menjadi pemersatu bagi perlawanan anti-Barat untuk mendapat dukungan dan simpati publik lebih luas.


Bantahan Fuller Terhadap Huntington

F
uller kemudian coba membantah hipotesa Samuel Huntington tentang konflik peradabannya yang menjelaskan dimana garis-garis perbatasan antar peradaban akan menjadi garis-garis berdarah. Fuller mencoba membedah hubungan dan konflik antara Islam dengan Rusia, India, China, dan Eropa.

Hubungan Islam dan Rusia

Dalam konteks hubungan Islam dengan Rusia, Fuller menjelaskan terlebih dahulu tentang klaim Rusia sebagai Romawi-Ketiga, penguasa yang paling berhak menjadi penerus ajaran Kristen (setelah keruntuhan Kerajaan Romawi,  dan Konstantinopel di bawah Turki Utsmani), Kerajaan Rusia resmi menganut Kristen-Ortodoks dan mempromosikan diri sebagai kelanjutan penguasa Konstantinopel. Dalam perjalanan sejarahnya, tarik-menarik antara kepentingan Gereja-Ortodoks untuk lebih memperlihatkan sifat Ortodoks pada Rusia atau sifat plural dimana di sebagian negara taklukan Rusia terdapat komunitas (saat ini negara) berpenduduk mayoritas Muslim dengan bahasa dan budaya lebih dekat kepada Turki dibanding Rusia. Jumlah penduduk Muslim yang besar (terutama di daerah taklukan, ini menyebabkan terbesar dibanding negara Eropa lainnya) membuat Rusia memilih bentuk kebijakan yang lebih prulalistik dalam konteks keagamaan. Sedangkan konflik dengan negara taklukan, seperti misalnya Rusia versus Chechnya, pastilah terjadi dan itu tidaklah khas Kristen-Ortodoks melawan Islam. Kemunculan komunisme di Rusia (yang berubah menjadi Uni Soviet) menambah suram konflik dengan negara taklukan yang beragama Islam, dan hingga kini trauma dan kecurigaan mendalam umat Islam pada Rusia (bekas negara Komunis) masih belum lah hilang.

Setelah sebagian besar negara pecahan Soviet merdeka dan membentuk negara sendiri, konflik Rusia dengan “Islam” mungkin tinggal sedikit, yaitu misalnya Chechnya, dimana konflik lama bahkan sebelum Rusia berubah menjadi Uni Soviet. Perjuangan politik secara damai dari pejuang Checnhya guna mendapatkan kemerdekaan, diinfiltrasi oleh pejuang-pejuang dari gerakan radikal-Islam dari luar Chechnya pasca perang Soviet-Afghanistan. Jelas hubungan Rusia dan Islam sangat lah kompleks dan mengalami pasang surut, akan tetapi tidak dalam kondisi garis perbatasan yang berdarah-darah seperti yang disebutkan Huntington.

Terlebih, dalam konteks perimbangan adikuasa dunia, Rusia masih diharapkan terutama oleh negara Timur-Tengah untuk mengerem kebijakan Amerika. Fuller pun memperlihatkan posisi yang sering berseberangan antara Eropa (Kristen-Katolik) dengan Rusia (Kristen-Ortodoks) yang memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi tidak bisa disederhanakan dengan Islam versus Rusia begitu saja.

Hubungan Islam dan India

Dalam membedah hubungan antara Islam dengan India. Fuller memperlihatkan perbedaan penerimaan Islam di wilayah selatan India (Gujarat) dengan wilayah utara India. Proses penerimaan Islam pada komunitas Hindu India di wilayah selatan relatif berlangsung damai, karena Islam masuk melalui interaksi sosial (dakwah) antara komunitas pedagang Arab atau Turki dengan penduduk setempat. Berbeda dengan penaklukan wilayah selatan India kemudian berdiri dinasti Mughal, dan ini bukanlah khas konflik Islam-Hindu, karena dimanapun konflik antara budaya penakluk dengan budaya pribumi yang ditaklukan sesuatu yang tak terelakkan. Konflik diperparah oleh kedatangan Inggris dimana pada awalnya Inggris lebih memihak komunitas Hindu daripada komunitas Muslim, walau pada akhirnya Inggris mengakui kesalahan tersebut karena komunitas Hindu pun akan melalukan perlawanan kepada Inggris. Akan tetapi, keberpihakan awal Inggris kepada komunitas Hindu dimanfaatkan gerakan Radikal-Hindu untuk melakukan balas dendam yang sudah lama dipendam kepada komunitas Muslim. Hingga India merdeka, persoalan ini belum lah berakhir, akan tetapi, solusi pendirian negara Pakistan (Islam) yang terpisah dengan India (Hindu) hanya menambah derita komunitas Islam di India yang semakin menjadi minoritas. Konflik diperparah dengan terlibatnya Pakistan dalam melatih, mendanai, dan menyusupkan kelompok-kelompok anti-India. Kekerasan antara Hindu-Muslim seringkali menjadikan komunitas Muslim sebagai korban yang paling banyak dan paling rawan karena berada pada posisi minoritas. Jelas dalam kasus India, Islam bukan lah ideologi yang secara superior ingin menghabisi dan menciptakan konflik dengan yang lain, akan tetapi Islam justru menjadi kelompok minoritas yang mencoba mempertahankan diri (baik secara budaya, eksistensi, maupun agama). India dengan Taj Mahal dan peninggalan pengetahuan di masa Dinasti Mughal (Islam) merupakan sejarah tersendiri yang sulit untuk tidak disebutkan mewarnai India saat ini.

Hubungan Islam dan China

Dalam konteks hubungan Islam dengan China, Fuller pun mencoba menarasikan, bahwa hubungan Islam dan China pun kompleks dan tidak bisa disimplifikasi sebagai perbatasan yang berdarah-darah. Hubungan Islam dengan China dimana penganut Islam mampu diterima dan bahkan berperan aktif dalam sejarah Kerajaan China terlihat dari kisah masyhur Laksamana Cheng Ho. Akan tetapi, di akhir kerajaan China dimana Dinasti Tang yang berasal dari etnis Manchu, dijadikan alat propaganda menjelang revolusi China yang dipimpin oleh Sun Yat Sen. Sun Yat Sen mencoba memprosikan nasionalisme Han dimana etnis Han dianggap lebih layak berkuasa di China dibanding penguasa saat itu (etnis Manchu) walau pada akhirnya Sun Yat Sen meluaskan nasionalisme etnisnya tidak hanya pada etnis Han. Akan tetapi, budaya Han jelas mendominasi China. Dimana etnis Uighur (mayoritas berada di provinsi Xinjiang) beragama Islam dan dengan budaya lebih dekat ke keturunan Turki, semisal negara-negara sekitarnya yang pecahan Soviet. Revolusi Mao menambah runyam permasalahan perbedaan budaya ini. Namun itu bukan lah khas China versus Muslim karena hal yang sama terjadi pada penduduk Tibet yang mayoritas beragama Budha dengan budaya yang berbeda pula dengan budaya Han. Bahkan hingga kini pemimpin spiritual Tibet dan sebagian besar pendukungnya masih hidup di pengasingan.

Seperti halnya hubungan Rusia dengan komunitas radikal-Islam, China pun tergiur bergabung dalam agenda perang melawan terorisme guna menjadi justifikasi melakukan represi dan diskriminasi pada komunitas Uighur. Jelas itu menambah dimensi konflik. Akan tetapi, China bersama Rusia sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, diharapkan oleh sebagian komunitas Islam menjadi penyeimbang baru bagi dominasi Amerika. Bukan tidak mungkin hubungan China-Islam akan berubah menjadi lebih positif, begitu juga hubungan Rusia-Islam bila negara-negara Islam mempergunakan pengaruh politik (dan ekonominya) bagi perbaikan-perbaikan yang ada misalnya untuk penyelesaian konflik di Chechnya (Rusia) maupun Uighur (China). Karena kerjasama politik dan ekonomi semacam itu sangat dimungkinkan dan kondisi demikian jauh dari gambaran perbatasan yang berdarah.

Hubungan Eropa dan Islam

Permasalahan Muslim di Eropa. Muslim di Eropa awalnya datang sekitar tahun 1960-an sebagai pekerja kasar, karena orang-orang Eropa tidak mau bekerja kasar lagi. Mereka datang ke Eropa, sebagian besar dari Timur Tengah (termasuk dari Afrika Utara), Asia Selatan, Turki, hingga kini. Sekitar 5% dari penduduk Eropa adalah Muslim, terbesar berada di Prancis sekitar 4.5 juta lebih, di Jerman sekitar lebih dari 3 juta, di Inggris sekitar 1.6 juta, dan di negara-negara Eropa lain lebih kecil dari itu, dan selanjut kelahiran di Eropa dari keluarga pendatang.

Kenapa Muslim saat itu berbondong-bondong ke Eropa? Banyak faktor, antara lain lapangan kerja yang terbatas dan kalau ada gaji atau upah yang diterima tidak memadai. Dengan itu artinya mencari kesempatan hidup yang lebih baik dari negeri asal. Faktor lain karena birokrasi pemerintahan yang korup sehingga pelayanan kepada warganya tidak memadai sebagai negara yang mestinya mensejahterakan hidup warga negaranya. Disamping itu penuh dengan konflik intern negara, yang membuat warganya tidak betah tinggal di negaranya.

Eropa sebagai bangsa dengan budaya yang mapan yang berbeda dengan Amerika sebagai negara imigran, para pendatang mengalami masalah dalam memperlakukan imigran Muslim. Selain karena sebagian berasal dari kalangan rendahan (baik pendidikan, pekerjaan, ekonomi) juga perbedaan budaya yang dialami kelompok Muslim juga menyebabkan ada shock budaya.

Kebanyakan para imigran Muslim ini akhirnya hidup berkelompok, membangun solidaritas antar sesamanya, dalam rangka bertahan hidup (baik ekonomi maupun budaya) di tengah masyarakat Eropa yang sudah mapan. Dan menurut John L. Esposito, dalam bukunya Future of Islam, fenomena ini biasa terjadi di kalangan imigran, tidaklah khas “Muslim”, bukanlah artinya Muslim tidak mau berbaur dengan warga Eropa. Bahkan para imigran awal Amerika dari Inggris berkelompok menurut koloni-koloninya, tidak langsung berbaur melebur menjadi satu kesatuan. Itu pula dialami nenek moyang Esposito yang imigran asal Italia, berkelompok sesamanya.

Permasalahan makin runyam saat Amerika mengumumkan perang melawan terorisme, tidak lupa Bush beretorika itu sebagai Perang Salib dan disambut hangat oleh negara-negara Eropa sekutu Amerika, terlebih fakta pelaku pembajakan pesawat 9-11 lahir dan hidup di Eropa. Dan sejak saat itu, Muslim Eropa, imigran Muslim, seolah berbeda dengan imigran yang lain dan patut dicurigai sebagai teroris, terlebih sikap tidak mau membaur dengan budaya Eropa.

Tariq Ramadhan, salah seorang intelektual Muslim Eropa, pernah menyampaikan bahwa masalah utamanya adalah pemerintah (Eropa) tidak punya kebijakan sosial yang mumpuni untuk menyelesaikan masalah sosial ekonomi penduduk miskin (sebagian imigran Muslim Eropa berstatus tersebut) sehingga lebih suka mengarahkan telunjuk ke pihak lain bahwa penyebabnya adalah “mereka” (imigran Muslim Eropa sendiri).

Di sisi lain, warisan ingatan masyarakat Eropa tentang Islam dan budaya Islam sangat minim (jika tidak dibilang negatif) karena sejarah perjumpaan Islam dan Eropa pada masa lalu tidak terwariskan secara utuh, Eropa di masa kejayaannya setelah Abad Kegelapan lenyap, mengalami penciutan ingatan hubungan Eropa-Muslim dalam Ilmu Pengetahuan (kedokteran, matematik, teknologi, ilmu sosial dan filsafat) seperti yang diingat hanya Perang Salib (perang dengan Islam - Muslim). Sedangkan dalam penjelajahannya ke dunia baru (yang pada akhirnya diikuti dengan penjajahannya) Eropa menemukan dan menjuluki negeri-negeri Muslim sebagai tidak beradab, barbar, dsb. Perjumpaan Eropa-Islam di jantung Eropa tidak banyak terwariskan, selain (apa yang disebut Eropa sebagai Penjajahan) Turki Utsmani di Balkan, dan (penjajahan Muslim) di Spanyol. Sebagiannya “merasa trauma abad tengah Eropa yang gelap” dengan itu tidak mau mengakui adanya kejayaan dan peranan Islam di Eropa, kecuali merasa hanya dari peradaban Yunani dan Romawi yang notabene bangsa Eropa juga. Bahwasanya ada fakta-fakta yang baru terungkap kemudiannya yaitu ilmu pengetahuan dari dunia Islamlah yang banyak berperan dalam kebangkitan Eropa di masa lalu, terlambat diakui dan terkubur dalam puing-puing prasangka baru akibat gencarnya wacana perang melawan terror.

PR (Pekerjaan Rumah) bagi masyarakat Eropa dimana memiliki budaya yang sudah mapan, bagaimana kembali berubah dalam dunia yang faktanya berubah. Eropa sekarang bukan hanya diisi oleh Eropa yang dulu, dan sudah berubah dengan susunan masyarakat yang lebih multikultur. Dan tentu sulit bagi masyarakat dengan budaya yang sudah mapan (terlebih sudah lama merasa superior) untuk mengakui bahwa ada masyarakat dengan budaya berbeda yang hidup di sekitarnya yang patut dihormati.

Tidaklah perlu memaksa Muslim Eropa untuk mengakui atau mendeklarasikan dirinya sebagai apa dalam hal identitasnya, apakah sebagai Muslim (dengan karakteristik budaya-nya) apakah sebagai Eropa, atau sebagai apa. Apalagi fakta bahwa Muslim Eropa pun beragam, hampir separuhnya berasal dari Arab, kemudian Turki, Asia Selatan, dst. Imigran Muslim Prancis sebagian besar berasal dari Afrika Utara (negara bekas jajahan Prancis). Di Jerman sebagian besar asal Turki, bahkan sekarang banyak asal Eropa Timur dan Balkan. Di Inggris banyak asal Asia Selatan (bekas jajahan Inggris). Bahkan sebagian Muslim Eropa yang lahir di Eropa (dari ibu-bapak imigran) berbicara dalam bahasa negara-negara Eropa dan tidak lagi menggunakan bahasa asalnya. Dengan itu Eropa seharusnya, fokus membuka diri dan berubah mengakui masyarakat Eropa yang multikultur, tidak berhenti dengan kemapanan yang sudah ada.

Di sisi lain, pemerintah negara-negara Eropa, seharusnya fokus menyelesaikan permasalahan sosial-ekonomi bagi masyarkat miskin (sebagiannya imigran Muslim dan keturunannya) dengan kebijakan-kebijakan sosial yang tepat, tidak malah melemparkan telunjuk ke imigran sebagai biang masalah, apalagi jika retorika seperti itu hanya untuk menarik pemilih saat kampanye pemilihan umum. Terlebih setelah ekonomi Eropa mengalami krisis, pemerintah (Eropa) seharusnya fokus membenahi ekonominya, karena banyak kekecewaan-kekecewaan dari masyarakat Eropa walaupun secara salah mengarahkan telunjuk kepada Muslim Eropa, yang sebagiannya dituduh merebut mata pencaharian orang Eropa atau sebagai beban ekonomi negara yang harus memberikan bantuan-bantuan  sosialnya.

Perlu diingat, Eropa masa lalu, komunitas Yahudi mengalami diskriminasi kewarganegaraan yang parah dalam masyarakat Eropa yang Kristen, dan sebagai pertahanan diri menghadapi diskriminasi, Yahudi pun berkelompok satu sama lain untuk mempertahankan budaya dan ekonominya dari diskriminasi Eropa. Dan Eropa (khususnya Jerman) pernah melakukan kesalahan fatal dalam menangani komunitas Yahudi Eropa. Yaitu, pertama, membunuhi orang Yahudi (hingga dalam bahasa orang Jerman diburu seperti tikus got). Kedua memberikan kompensasi tindakan brutalnya terhadap komunitas Yahudi, Eropah memfasilitasi program imigrasi besar-besaran warga Yahudi Eropa menduduki tanah Palestina sebagai negara jajahan Eropa (Inggris) yang diambil dari Turki. Dengan itu ribuan orang Palestina harus dan terpaksa merelakan tanahnya untuk diduduki. Sebagiannya, mengungsi ke luar dari negrinya (hingga sekarang). Seharusnya Eropa belajar dari itu untuk tidak mengulangi hal yang sama.

Dan bilamana Eropa (sesuai konstitusi Eropa) mampu memberikan jaminan demokrasi, kebebasan berekspresi, perlindungan terhadap minoritas, seharusnya lah hal yang sama diberlakukan terhadap Muslim Eropa. Jika Eropa tidak ingin orang miskin dari negara-negara Muslim berbondong-bondong datang ke Eropa dan menetap, maka Eropa harus menghentikan dukungannya kepada rezim diktator atau mendukung salah satu dari kelompok “perang saudara” di negara-negara Islam.

Sedangkan bagi Muslim Eropa, PR pun tidak kalah banyak, hingga kini para imigran Muslim Eropa tidak pernah berhenti berusaha untuk diterima sebagai bagian dari masyarakat Eropa, walau ditengah tingkat pendidikan yang rendah, diskriminasi, prasangka, dll. Tentu tidak mudah, tapi sebagiannya terlihat misalnya dengan lahirnya anak-anak mereka dan hidup dengan bahasa masyarakat Eropa tidak lagi menggunakan bahasa ibu asal negaranya. Akan tetapi permalahan budaya pun belumlah selesai, imigran Muslim Eropa berada diantara pilihan-pilihan dalam keadaan yang sulit, apakah berasimilasi penuh dalam masyarakat Eropa, artinya meninggalkan seluruh budaya Muslim negara asal, ataukah menarik diri dan tidak mau berinteraksi sama sekali dengan budaya Eropa untuk melindungi budaya (dan agamanya). Tariq Ramadhan, dalam buku Teologi Dialog Islam-Barat, merumuskan bahwa masyarakat imigran Eropa bisa untuk menjadi Muslim sekaligus Eropa, karena ajaran-ajaran Islam mengharuskan Muslim berkontribusi positif dalam lingkungannya tanpa menghilangkan identititas budayanya, menyerap modernitas masyarakat Eropa, namun di sisi lain tidak mengambil ekses dan perilaku negatif masyarakat Eropa yang tidak sesuai dengan Islam dan budaya Muslim. Dan itu bisa dilakukan tentu dengan keterlibatan aktif dua pihak, Eropa dan Muslim, masyarakat Eropa tidak bisa diam begitu saja hanya meminta Muslim memahami mereka tanpa berlaku hal yang sebaliknya juga.

Pun, masyarakat muslim secara umum harusnya lebih punya keinginan untuk merumuskan dialog yang kontruksif dalam pergaulan global daripada menarik diri dan menjuluki peradaban lain sebagai tidak islami secara keseluruhan, yang pada akhirnya menjadi tanah yang subur bagi pemikiran-pemikiran radikal termasuk di jantung Eropa sendiri.


Penggunaan Kekerasan Teror

Fuller kemudian beranjak menjelaskan tentang penggunaan teror (kekerasan),  kekerasan bukanlah khas Islam, bahkan daftar organisasi teroris yang dicatat di Eropa sebelum peristiwa 11 September 2001, sebagian di dominasi oleh organisasi komunis, ultra-kanan, dan fasis. Konflik kekerasan (perang) paling mutakhir di abad 20 yaitu Perang Dunia pertama dan kedua bukanlah karena alasan agama, apalagi Islam.



KESIMPULAN

D
i akhir narasinya, Fuller mencoba memberikan solusi, lalu jika semua konflik di Timur-Tengah atau konflik dengan Barat bukan karena faktor Islam, lalu apa yang harus dilakukan Barat? Solusi yang ditawarkan Fuller tidaklah asing dan baru, hanya berupa pengulangan-pengulangan yang sering disebutkan para kritikus kebijakan Barat lainnya, diantaranya:

1. Barat harus menghentikan intervensi baik secara militer maupun secara politik kepada negara-negara Islam, karena intervensi tersebut hanya akan menjadi pembenaran bagi propaganda anti-Barat.

2. Barat harus berhenti mendukung diktator-diktator di Timur-Tengah (negara Islam), dan mendorong adanya demokratisasi.

3. Barat harus membiarkan actor-aktor demokrasi lokal mencari jalannya sendiri bagi terbentuknya demokrasi yang cocok bagi mereka.

4. Barat harus menghilangkan cara-cara represi bagi penindakan terhadap terorisme dan lebih mengutamakan instrumen hukum.

5. Barat harus mencari penyelesaian persoalan Palestina dengan segera karena permasalahan Palestina selalu digunakan gerakan radikal sebagai justifikasi sikap anti-Barat.

6. Anggaran bagi perang melawan teror, hendaknya dialihkan untuk lebih membantu negara-negara Islam dalam kerangka memberikan pelayanan kepada publik seperti penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, dan lainnya, agar negara memiliki legitimasi dan kepercayaan di mata rakyatnya sehingga rakyatnya tidak tertarik bergabung dengan kelompok-radikal.

Terlepas dari kritik-kritik dari kalangan Barat sendiri, buku ini sangat menarik karena metode Fuller yang berbeda dan berani dalam memberikan narasi sejarah alternatif seandainya “Dunia Tanpa Islam”, konflik-konflik di dunia tetap saja terjadi. Billahit Taufiq wal-Hidayah □ AFM


Saksikan pula video Vimeo ini (24:36 menit, klik --->)  A World Without Islam by Graham Fuller on Vimeo    Setelah itu klik lagi tanda panahnya yang ada pada website Vimeo ini.


Biografi Graham E. Fuller:

Graham E. Fuller, Profesor Sejarah di Simon Fraser University di Vancouver, Canada. Dia memiliki gelar BA dan MA dari Harvard - dalam studi Rusia dan Timur Tengah. Bekerja 20 tahun sebagai petugas operasi CIA, tujuh belas tahunnya berkantor di luar negeri yaitu di Turki, Lebanon, Arab Saudi, Yaman, Afghanistan dan Cina. Kemudian menjadi Wakil Ketua Dewan Intelejen Nasional di CIA, dengan tanggung jawab keseluruhan untuk peramalan strategis tingkat nasional.

Setelah meninggalkan dinas pemerintahan Fuller adalah seorang Ilmuwan Politik Senior di RAND Corporation selama 12 tahun, dan banyak menulis publikasi berbagai masalah terutama masalah (geo) politik. Dalam publikasinya menulis  tentang Islam dan politiknya di berbagai negara, geopolitik dunia Muslim. Dia dapat berbicara dalam beberapa bahasa Timur Tengah (Arab), Rusia dan Cina.

Ia juga menulis banyak buku dan artikel tentang geopolitik Timur Tengah dan Asia Selatan, termasuk The Center of the Universe: Geopolitik Iran; Geopolitik Islam dan Barat; Turki - Wajah Timur: Geopolitik Baru Turki dari Balkan ke Asia Tengah; Arab Syiah; dan Masa Depan Politik Islam, 2003; Republik Turki Baru - Peran Penting Turki di Timur Tengah, 2008. Buku terbarunya adalah A World Without Islam, 2010. □□


Sumber:
  1. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam? - Sebuah Narasi Sejarah Alternatif, Diterjemahkan dari A World Without Islam karya Graham E. Fuller, Penerbit PT Mizan Pustaka, Cetakan II, Februari 2015.
  2. http://www.kompasiana.com/ariflukman/apa-jadinya-dunia-tanpa-islam_55a18410177b61de07f6601f
  3. https://pijarkecillibrary.wordpress.com/2015/01/31/ulasan-buku-apa-jadinya-dunia-tanpa-islam/
  4. https://pijarkecillibrary.wordpress.com/2015/01/09/permasalahan-muslim-eropa/□□□