Monday, October 19, 2020

Keadilan Dalam Ajaran Islam


KATA PENGANTAR

Keadilan adalah salah satu nilai kemanusiaan yang asasi. Memperoleh keadilan adalah hak asasi bagi setiap manusia. Adil ialah tidak berat sebelah, jujur, tidak berpihak dan sama rata. Keadilan mengandung unsur kejujuran, kelurusan, keikhlasan yang tidak berat sebelah.

Allah Subhāna Wa Ta’ālā berfirman dalam Al-Qur’an: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran", QS An-Nahl 16:90.

Allah Subhāna Wa Ta’ālā memerintahkan manusia berlaku adil, termasuk dalam memutuskan suatu perkara dan memberikan kesaksian dan bergaul dalam komunitas. Keadilan dalam hukum adalah keadilan yang dapat mewujudkan ketenteraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar bagi masyarakat. Hal seperti itulah yang diingatkan Allah Rabb Al-‘Ālamīn dalam Firman-Nya dalam Surah An-Nisā’ ayat 135 menerangkan bagaimana cara menegakkan keadilan yang semestinya.

Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam semesta (universe) ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat alam semesta sebagaimana keteraturan tatasurya dimana kita hidup. Matahari, Bumi dan Bulan dan planit-planit lainnya beredar di jagat raya dengan teratur (tidak saling bertabrakan yang membuat ‘chaos’ - kiamat sebelum waktunya). Oleh karenanya, melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia yang hidup di muka Bumi - kalau tidak mengetahui Keadilan Dalam Ajaran Islam.

Paparan ‘amazing’ yang mencerdaskan selanjutnya dapat diikuti berikut ini yang terdiri dari: (1) Kata Pengantar ini, (2)  Pendahuluan, (3) Perintah Allah, (4) Ajaran Islam Dalam Keadilan, (5) Penegakan Keadilan Dalam Sejarah Islam, (6)  Penutup (Kesimpulan).


KEADILAN

Dalam Ajaran Islam

Oleh: Ahmad Faisal Marzuki

PENDAHULUAN

D

alam kitab suci Al-Qur’an digunakan beberapa istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafadz-lafadz tersebut jumlahnya banyak dan berulang-ulang. Diantaranya lafad al-adl dalam Al-Qur’an dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Lafad al-qisth terulang sebanyak 24 kali. Lafadz al-wajnu terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad al-wasth sebanyak 5 kali.

Adil adalah sifat Allah Subhāna Wa Ta’ālā (SWT). Untuk menegakkan keadilan orang harus menjadi saksi demi Allah, sekalipun itu akan mengganggu kepentingan kita sendiri, seperti yang dapat kita bayangkan, atau kepentingan mereka yang dekat kepada kita atau yang kita sayangi. Peribahasa Latin menyatakan, “Keadilan harus berjalan sekalipun langit akan runtuh.”

Keadilan Islam lebih tinggi daripada keadilan formal menurut hukum Romawi atau hukum yang mana pun yang dibuat manusia. Ia menembus sampai ke lubuk perasaan yang paling dalam, karena kita melakukannya seolah kita berada di hadapan Allah SWT, Yang mengetahui segala benda, segala kerja dan gerak hati.


PERINTAH ALLAH

Allah SWT memerintahkan manusia berlaku adil, termasuk dalam memutuskan suatu perkara dan memberikan kesaksian. Keadilan dalam hukum adalah keadilan yang dapat mewujudkan ketenteraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar bagi masyarakat.

Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisā’ ayat 135 menerangkan bagaimana cara menegakkan keadilan yang semestinya yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti (mengetahui secara detail) terhadap segala apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisā’ 4:135)

Ayat 135 Surah An-Nisā’ ini sampai dijadikan patokan atau pedoman dalam menegakkan keadilan yang sangat fundamental oleh Law School (Fakultas Hukum) Harvard University dan di pampangkan ditembok gedung perpustakaannya agar dilihat dan menjadi perhatian bagi setiap para hadirin yang berada di dalam perpustakaannya - kerena begitu agung kalimat-kalimat yang terkandung didalamnya yang dapat menjadi pelajaran yamg sangat sangat sangat berharga sekali - mereka  terjemahkan ayat Al-Qur’an itu kedalam bahasa mereka sendiri yaitu bahasa American English sebagai berikut:

O ye who believe!

Stand out firmly for justice, as witnwsses

To Allah, even as agaonst

Yourselves, or your parents,

or your kin, and whether

It be (against) rich or poor;

For Allah can best protect both.

                       Qur’an, Surah An-Nisa 4:35

Memang jauh sebelum kemerdekaan Amerika dari pemerintahan kolonial Kerajaan Inggris tahun 1776, founding father America, Thomas Jefferson telah terpikat tentang kedalaman isi ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama baginya telah memberikan pencerahan dan banyak ide dalam bidang hukum dan konstitusi (undang-undang dasar) Amerika. Kendatipun beliau beragama Kristen Protestan, namun dasar-dasar penyusunannya diambil dari Kitab Suci Al-Qur’an. Khususnya telah memberi masukan yang sangat berharga bagi hak-hak manusia menjadi merdeka dan maju sebagaimana yang diimplementasikannya bagi kemerdekaan bangsa yang disebut Amerika Serikat (United States of America) ini.

Memang sebenarnya, Kitab Al-Qur’an bukan saja bermanfaat bagi Muslim, tapi juga bermanfaat bagi umat manusia - ajarannya universal. Bagi mereka diluar Islam, Al-Qur’an telah lama sebagai sumber inspirasi bagi Ilmu Pengetahuan seperti dalam bidang Hukum; Ekonomi; Angka Matematika; Aljabar; Algaritma; Kosmologi; Astronomi; Kimia; Kedokteran; Farmasi; Embryologi; Sociologi; Sejarah dan Antropologi; Kemanusian dan Keadilan; Pengetrapan konsep-konsep ajaran Islam yang menekankan betapa pentingnya dalam berkeluarga, berkomuniti, bernegara dan antar negara perlu menegakkan kejujuran, keadilan, amanah, tanggung jawab, menepati janji sebagai kesalehan sosial kemasyarakatan dalam bernegara. Bahkan antar negara.

Denise A. Spellberg, dalam bukunya Thomas Jefferson’s Qur'an - Islam and the Founders, mengungkapkan sedikit tapi penting mengenai dimensi yang diketahuinya dari hasil penelitiannya dari kisah kebebasan beragama Amerika, yaitu, sebuah drama dimana ajaran Islam memainkan peran yang mengejutkan.

Pada tahun 1765, sebelas tahun sebelum menyusun Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, Thomas Jefferson membeli sebuah buku Al-Qur’an, terjemahan dari George Sale (warga Inggris dan tinggal disana) asli dari teks Arab. Dari mulai membaca teks Al-Qur’an inilah Jefferson dalam seumur hidup berminat mengetahui lebih jauh dan lebih dalam lagi tentang ajaran Islam - terutama dalam bidang hukum. Untuk itu ia menambah lagi literatur perpustakaan buku-buku yang dibelinya lagi berkaitan dengan Islam dalam bahasa Timur Tengah (Arab), termasuk sejarahnya dan ajaran sosial kemasyarakatan.

Dari situ ia banyak membuat catatan-catatan hasil studinya yang berkaitan khususnya dalam hukum sebagai studi banding dengan hukum umum Inggris yang ada. Jefferson juga berusaha untuk memahami Islam meskipun itu bukan berasal dari keyakinan kepercayaannya, sebagaimana umumnya kebanyakan mereka yang berkepercayaan Protestan sezamannya, baik yang berada di Inggris maupun di Amerika. Tapi tidak seperti kebanyakan dari mereka, bahwa tahun 1776 Jefferson telah bisa membayangkan Muslim bisa dan dapat sebagai warga negara masa depan negara barunya (Amerika Serikat dari pemerintahan kolonialis Kerajaan Inggris).

Berdasarkan penelitian, disebutkan bagaimana pendapat beberapa pendiri Amerika Serikat diantara mereka, terutama Jefferson tentang ide-ide masa depan Amerika Serikat. Yang menarik dari ide itu adalah adanya ide-ide cemerlang tentang toleransi Muslim. Boleh jadi ide itu timbul karena ketertarikannya kepada ajaran hukum Islam telah sedemikian majunya dibanding dengan hukum-hukum yang ada pada waktu itu, baca (klik --->) Thomas Jefferson dan Qur'an


THE KORAN By Geoge Sale


Dengan itu menandakan Muslim ini cerdas, karena sistim hukum lebih adil dan baik dari yang ada. Yang jelas saat itu umumnya telah menjadi landasan perdebatan praktis yang murni spekulatif bagi landasan pemerintah Amerika masa datang tentang kehadiran umat Islam. Padahal ketika itu kehadiran umat Islam di tanah koloni Inggris yang bernama Amerika ini belum jelas. Umat Islam masih imaginer ketika itu. Kendatipun kemudiannya, saat ini, masyarakat Amerika Serikat menganggap orang paling luar dalam masyarakat Barat.


AJARAN ISLAM DALAM KEADILAN

Setiap Mu’min – bahkan seluruh manusia - diseru untuk menjadi penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya, menjadi saksi karena Allah, yakni selalu merasakan kehadiran Ilahi, memperhitungkan segala langkah dan menjadikannya demi karena Allah. Persaksian yang ditunaikan juga hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Ilahi. Didahulukannya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah - tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’ruf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksanakan ma’ruf yang diperintahkannya itu - termasuk dirinya sendiri - ia lalai. Setiap mu’min niscaya melaksanakan keadilan atas dirinya sendiri, baru menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain. Hal inilah yang diingatkan Allah Rabb Al-‘Ālamīn dari Surah An-Nisa ayat 35 itu.

Bahkan keadilan adalah ketetapan Allah SWT bagi kosmos atau alam jagat raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh alam jagat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar keteraturan hukum kosmos kita - seperti halnya keteraturan tata surya yang masing-masing harmonis (tidak saling berbenturan) - dimana dosa ketidak adilan (ketidak teraturan) akan mempunyai dampak kehancuran tatanan peradaban masyarakat manusia. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Al-Karīm dalam Surah Al-Mā’idah ayat 8 yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti (mengetahui secara detail) apa yang kamu kerjakan". (QS Al-Mā’idah 5:8)

Ada beberapa faktor yang menunjang keadilan, diantaranya, dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan karena pengaruh hawa nafsu, ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah Shalallāhu ‘Alaihi Wasallam (SAW) dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Dalam emosi yang tidak stabil, biasanya seseorang tidak adil dalam membuat keputusan.

Selanjutnya, memperluas pandangan dengan melihat persoalannya secara objektif. Yaitu, mengumpulkan data dan fakta, sehingga dalam keputusan menjadi seadil mungkin.

Jika adil adalah sifat dan sikap fadhilah (utama), maka sebagai kebalikannya adalah sikap dzalim. Dzalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan perkara, berarti berat sebelah. Yaitu, mengambil hak orang lain lebih dari batasnya, atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya. Ada sebuah syair Arab yang baik sekali maknanya yang perlu untuk kita cermati bersama yang artinya: Aku mengenal keburukan bukan untuk berbuat keburukan. Namun aku mengenalnya agar bisa menjauhinya. Karena orang yang tidak mengenal keburukan, biasanya akan terjerumus ke dalamnya.

Sikap dzalim itu diancam Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya yang artinya:

Dan berilah mereka peringatan akan hari yang semakin dekat (hari kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan.  Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang dzalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya)". (QSAl-Mu’min/Gāfir 40:18).


Dalam ayat lain Allah SWT berfirman lagi yang artinya:

Wahai Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh, Engkau telah menghinakannya, dan tidak ada bagi seorang penolong pun bagi orang yang dzalim. (QS Āli-‘Imrān 3:192).

Dalam hal ini, para ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku dzalim, yaitu karena, cinta atau benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya atau sebaliknya, maka sekalipun anaknya salah atau bapaknya salah, anak atau bapaknya itu dibelanya.

Demikian pula kebencian kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya. Selanjutnya adalah kepentingan diri sendiri atau kelompok (golongan)-nya. Karena perasaan egois diri atau kelompok, maka keuntungan pribadi atau golongannya yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah (tidak adil atau dzalim).

Terakhir, pengaruh luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian, kewibawaan, kepasihan berbicara dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang menjadi berat sebelah (tidak adil) dalam tindakannya.

Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak objektif. Oleh karena itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kedzaliman bisa muncul karena adanya beberapa faktor, diantaranya: Pertama: Kondisi orang tersebut pada saat itu. Kedua: Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki. Ketiga: Latar belakang pengalaman yang dialaminya. Keempat: Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan. Kelima: Adanya pengaruh dari luar (external).

Sebagai gambaran dari mesti menegakkan keadilan Rasululah SAW memberi peringatan keras sebagai kepala negara dan hakim, beliau selalu menerapkan keadilan dengan betul, hingga beliau pernah menyatakan yang artinya:

"Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya". (HR Bukhori)

Subhanallah! Rasulullah dengan tegas menyatakan tidak adanya pilih kasih dalam menegakkan keadilan, sekalipun terhadap anaknya sendiri yang dikasihinya.

Kedzaliman terbagi dua, yaitu mendzalimi diri sendiri, dan mendzalimi orang lain. Mendzalimi diri sendiri ada dua bentuk yaitu syirik dan perbuatan dosa atau maksiat. Mendzalimi orang lain adalah menyakiti perasaan orang lain, mensia-siakan atau tidak menunaikan hak orang lain yang wajib ditunaikan. Dzalim secara istilah mengandung pengertian “Berbuat aniaya terhadap diri sendiri atau orang lain dengan cara-cara batil yang keluar dari jalur keadilan yang merupakan salah satu azaz dalam syariat Agama Islam.” Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia (Allah) melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran". (QS An-Nahl 16:90).

 

PENEGAKAN KEADILAN DALAM SEJARAH ISLAM

Kisah Khalifah dan Warganya. Sebuah baju besi milik Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiallāhu ‘Anhu (RA) terjatuh dari untanya dan dipungut oleh seorang Yahudi warga Madinah. Ali bin Abi Thalib RA yang tidak lupa ciri-ciri baju besinya melihat baju besi itu yang ada di tangan orang itu dan memintanya kembali. Sayangnya, orang Yahudi ini tidak mau mengembalikan baju besi itu. Ia tetap bersitegang mengaku bahwa baju itu miliknya. Dalam menhadapi persoalan itu, dicapailah kesepakatan di antara mereka agar diselesaikan di pengadilan. Di sana, akan diputuskan siapa yang berhak atas kepemilikan baju besi tersebut.

Syuraih adalah seorang hakim muslim terkenal. Ia yang akan mengadili perkara tersebut. ‘Ali RA yang pada saat itu menjadi Amirul Mu’minīn (Kepala Pemerintahan), datang ke persidangan, begitu pula orang Yahudi warga Madinah ini.

Setelah mendengar argumen kedua belah pihak yang bertikai, hakim Syuraih berkata kepada ‘Ali RA: “Untuk menguatkan tuntutan anda, bawalah dua orang saksi yang benar-benar bisa memberi keterangan meyakinkan bahwa baju besi ini memang milik Anda”. ‘Ali bin Abi Thalib RA pun akhirnya mengajukan pembantunya bernama Qundur, dan puteranya Hasan. Hakim Syuraih berkata: “Saya bisa menerima kesaksian Qundur, tetapi tidak bisa menerima kesaksian Hasan, karena Hasan adalah putra Anda”. ‘Ali RA berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda Hasan dan Husein adalah penghulu di Surga”. Dengan suara yang lembut tapi penuh wibawa, Syuraih menjawab: “Ya, memang benar, tapi saya tetap tidak bisa menerima kesaksiannya - karena dianggap bias”. Syuraih tetap dengan keputusannya, tidak dapat menerima kesaksian dari ‘Ali bin Abi Thalib RA sekalipun Khalifah (Amirul Mu’minīn, Kepala Pemerintahan).

Diputuskanlah oleh Syuraih bahwa baju besi itu adalah milik orang Yahudi. Ia memenangkan orang Yahudi itu atas Amirul Mukminīn ‘Ali bin Abi Thalib RA sebab bukti-bukti menunjukkan demikian, yaitu tidak bisa memberikan kesaksian yang lengkap bahwa itu miliknya - hanya kesaksian Qundur saja. ‘Ali RA menerima keputusan itu dengan lapang hati. ‘Ali RA menyadari bahwa ia tidak dapat menghadirkan saksi untuk memperkuat tuntutannya itu.

Melihat jalannya persidangan dan adegan yang mengharukan itu, begitu lapang hatinya ‘Ali bin Abi Thalib RA Amirul Mu’minīn, walaupun sebagai Penguasa - Kepala Pemerintahan, menerima keputusan hakim Syuraih. Orang Yahudi itu pun lalu berkata kepada majelis persidangan: “Sesungguhnya baju besi ini benar-benar milik Amirul Mu’minīn. Aku memungutnya sewaktu baju itu terjatuh dari untanya”. Mendengar ucapan itu ‘Ali bin Abi Thalib RA sebagai Amirul Mu’minīn terkejut. Tapi orang Yahudi itu meneruskan ucapannya dengan membaca dua kalimat syahadat. Dari peristiwa yang baru saja dialaminya itulah, orang Yahudi tersebut malah mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Karena menerima keadilan Islam. Tatkala ‘Ali RA mendengar orang Yahudi itu membaca syahadat, dengan segera pula ia menyatakan: “Kalau begitu baju besi ini kuhadiahkan kepadamu”. Selain itu, ‘Ali RA juga memberi hadiah kepada pria Yahudi itu uang sebanyak 900 dirham atas kejujuran pengakuannya itu.

Kisah lain adalah di masa perang Khandaq. Umat Islam pernah ditantang perang tanding satu lawan satu oleh Amr bin Abd Wad Al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini. Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini ‘Ali bin Abi Thalib RA maju, menyanggupi ajakan Amr bin Abd Wad. Melihat ‘Ali RA yang masih terlalu muda, Nabi Muhammad SAW lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya ‘Ali RA yang menyatakan berani melawan sang jawara Quraisy itu.

Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Namun faktanya, selama perkelahian posisi Amr bin Abd Wad selalu terpojok di tangan ‘Ali RA. Akhirnya paha kekarnya Amr bin Abd Wad pun kena telak dari ayunan pedang ‘Ali RA, Amr bin Abd Wad tumbang ke tanah. Kemenangan Ali sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang. Dalam situasi terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri memberontak dan tiba-tiba ia meludahi wajah ‘Ali RA. Menanggapi hinaan ini, diluar dari kebiasaan umum ‘Ali RA justru menyingkir dan mengurungkan niat membunuh hingga beberapa saat. “Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah SWT,” kata ‘Ali RA menjawab kegelisahan sebagian sahabat atas sikapnya diluar kebiasaan umum, namun alasannya sungguh luar biasa agungnya, karena seperti yang disebutkannya yaitu “Aku tidak ingin membunuhnya lantaran ego amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah SWT.

Meskipun Amr bin Abd Wad akhirnya gugur di tangan ‘Ali RA, proses peperangan ini memberikan beberapa pelajaran. Perjuangan dan pembelaan Islam harus didasarkan pada ketulusan iman, bukan kebencian dan kemarahan. Sahabat Rasulullah SAW yang kelak menjadi khalifah keempat ini juga menjernihkan bahwa spirit ketuhanan adalah satu-satunya landasan, mengalahan nafsu keinginan di balik ego pribadi dan golongan.

Kisah keadilan bagi semua golongan. Sejak diangkat menjadi gubernur Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab RA, Amr bin Ash menempati sebuah istana megah yang di depannya terhampar sebidang tanah kosong berawa-rawa, dan diatasnya hanya terdapat sebuah gubuk reyot yang hampir roboh. Selaku gubernur, ia menginginkan agar di atas tanah tersebut, didirikan sebuah masjid yang indah dan mewah agar seimbang dengan istananya. Apalagi Amr bin Ash tahu bahwa tanah dan gubuk itu ternyata milik seorang warga dari ras Yahudi yang bukan Arab. Maka Yahudi kakek tua pemilik tanah itu dipanggil menghadap istana untuk merundingkan rencana Gubernur Amr bin Ash.

Dalam pertemuan itu Gubernur ingin membeli tanah milik seorang Yahudi, sekalian gubuknya. Gubernur menawarkan harga diatas harga normal, dengan harapan Yahudi tersebut mau menjualnya. Dengan tanah ini gubernur hendak membangun masjid diatasnya. Namun warga pemilik tanah ini enggan menjualnya. Karena gebernur menginginkan sekali tanah tersebut, tawarannya dinaikkan beberapa kali lipat. Namun warga pemilik tanah ini tetap tidak mau menjualnya. Berungkali gubernur menaikkan harga tawarannya namun warga Yahudi ini menggelengkan kepalanya, “Tidak akan saya jual, Tuan.” Walaupun didesak berulang-ulang kali, tetap tidak mau menjualnya.

Maka sepeninggal kakek beragama Yahudi itu, Amr bin Ash memutuskan melalui ‘Surat Perintah’ untuk mengambil tanah serta membongkar gubuk reyotnya yang ada di atas tanah tersebut. Setelah itu didirikanlah masjid besar di atas tanahnya dengan alasan kepentingan bersama dan memperindah pemandangan daerah sekitarnya. Yahudi pemilik tanah dan gubuk tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan penguasa. Ia cuma mampu menangis dalam hati. Namun ia tidak putus asa memperjuangkan haknya. Ia bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab RA.

Sungguh ia tak menyangka, Khalifah yang namanya sangat tersohor itu tidak mempunyai istana yang mewah. Ia bahkan diterima Khalifah di halaman masjid Nabawi, di bawah sebatang pohon kurma yang rindang.

“Ada keperluan apa Tuan datang jauh-jauh kemari dari Mesir?” Tanya Khalifah Umar RA.  Yahudi tua itu gemetaran berdiri di depan Khalifah, tetapi Amirul Mukminīn (Kepala Negara) yang bertubuh tegap itu menatapnya dengan pandangan sejuk membuatnya percaya diri sehingga dengan lancar ia dapat menyampaikan keperluannya. Yahudi tua ini menuturkan keadaan dirinya, yaitu dari semenjak kerja kerasnya seumur hidup untuk dapat membeli tanah dan membangun gubuk kecil tempat tinggalnya, sampai perampasan hak miliknya oleh gubernur Amr bin Ash dan dibangunnya masjid megah diatas tanah miliknya.

Mendengar kisah itu, Umar bin Khattab RA mendadak merah padam mukanya. Dengan murka ia berkata, “Perbuatan Amr bin Ash sudah keterlaluan.” Sesudah agak reda  emosinya, Umar RA lantas menyuruh Yahudi tersebut mengambil sebatang tulang dari tempat sampah yang teronggok di dekatnya. Yahudi itu ragu melakukan perintah tersebut. Apakah ia salah dengar? Tapi karena saking wibawanya Khalifah Umar RA, apa yang dikatakannya ia lakukan. Dan kemudian tulang itu diambil dan diserahkan kepada beliau. Oleh  Khalifah, tulang itu digoreti huruf alif lurus dari atas ke bawah, lalu dipalang di tengah-tengahnya menggunakan ujung pedangnya. Kemudian tulang itu diserahkan kepada si kakek seraya berpesan, “Tuan, bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir, dan berikanlah pada gubernurku Amr bin Ash.”

Yahudi itu semakin bertanya-tanya. Ia datang jauh-jauh dari Mesir dengan tujuan memohonkan keadilan kepada Kepala Negara, namun apa yang ia peroleh? Sebuah tulang, berbau busuk lagi. Kemudian tulang itu cuma digoret-goret dengan ujung pedang. Apakah Khalifah Umar RA tidak waras? Hatinya berkata seperti itu, karena tidak mengerti apa maksud dari Khalifah.

Kemudian kakek ini berkata: “Maaf, Tuan Khalifah.” Ucapnya tidak puas. “Saya datang kemari menuntut keadilan, namun bukan keadilan yang Tuan berikan. Melainkan sepotong tulang yang tak berharga. Bukankah ini penghinaan atas diri saya?” Mendengar perkataan itu Umar RA tidak marah. Ia meyakinkan dengan penegasannya, “Wahai, kakek Yahudi. Pada tulang itulah terletak keadilan yang Tuan inginkan.” Maka, walaupun sambil mendongkol dan mengomel sepanjang jalan, kakek Yahudi itu lantas berangkat menuju tempat asalnya dengan berbekal sepotong tulang belikat unta.

Anehnya, begitu tulang yang tak bernilai tersebut diterima oleh Gubernur Amr bin Ash, tak disangka mendadak tubuh Amr bin Ash menggigil dan wajahnya menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Seketika itu pula ia memerintahkan segenap anak buahnya untuk merobohkan masjid yang baru siap, dan supaya dibangun kembali gubuk milik kakek Yahudi serta menyerahkan kembali hak atas tanah tersebut.

Anak buah Amr bin Ash sudah berkumpul seluruhnya. Masjid yang telah memakan dana besar itu hendak dihancurkan. Tiba-tiba kakek Yahudi mendatangi Gubernur Amr bin Ash dengan terburu-buru. “Ada perlu apalagi, Tuan?” Tanya Amr bin Ash. Kali ini  berubah sikap menjadi lembut dan penuh hormat. Dengan masih terengah-engah, Yahudi itu berkata: “Maaf, Tuan. Jangan dibongkar dulu masjid itu. Izinkanlah saya menanyakan perkara pelik yang mengusik rasa penasaran saya.” “Perkara yang mana?” Tanya gubernur, tidak mengerti maksud kakek itu. “Apa sebabnya Tuan begitu ketakutan dan menyuruh untuk merobohkan masjid yang dibangun dengan biaya yang sungguh sangat besar sekali, hanya lantaran menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar?”

Gubernur Amr bin Ash berkata pelan: “Wahai kakek Yahudi! Ketahuilah, tulang itu adalah tulang biasa, malah baunya busuk. Tetapi karena dikirimkan Khalifah, tulang itu menjadi peringatan yang amat tajam dan tegas dengan dituliskannya huruf alif yang dipalang di tengah-tengahnya.” “Maksudnya?” Tanya si kakek makin keheranan. “Tulang itu berisi ancaman Khalifah kepada Amr bin Ash. Ingatlah kamu. Siapapun engkau sekarang, betapapun tingginya pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus, adil di atas dan di bawah, Sebab, jika engkau tidak bertindak lurus, kupalang di tengah-tengahmu, kutebas batang lehermu.”

Yahudi itu menunduk terharu, karena ia mengerti sekarang apa yang dimaksud khalifah memberikan tulang yang telah digores itu kepada gubernur. Dengan itu, ia kagum atas sikap khalifah yang tegas, dan sikap gubernur yang patuh dengan atasannya hanya dengan menerima sepotong tulang. Benda yang rendah itu berubah menjadi putusan hukum yang ‘keramat’ dan ditaati di tangan para penguasa yang beriman. Maka Kakek Tua Yahudi itu kemudian menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf. Setelah kejadian itu, ia langsung menyatakan masuk Islam.

 

PENUTUP

Demikianlah makna yang sebenar-benarnya yang ditegakkan dalam Ajaran Islam “tajam ke bawah dan tajam pula ke atas” - adil tidak pandang bulu sebagaimana dalam sebuah hadits mengatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya", HR Bukhori. Subhanallah! Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan tidak adanya pilih kasih dalam menegakkan keadilan sekalipun dengan anaknya - yang benar ya benar, yang salah ya salah.

Setiap Mu’min - bahkan seluruh manusia - diseru untuk menjadi penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya, menjadi saksi karena Allah, yakni selalu merasakan kehadiran Ilahi, memperhitungkan segala langkah dan menjadikannya demi karena Allah. Persaksian yang ditunaikan juga hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Ilahi.

Didahulukannya perintah penegakkan keadilan atas kesaksian karena Allah - tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’ruf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksanakan ma’ruf yang diperintahkannya itu ia lalai. Setiap mu’min niscaya melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain. Hal inilah yang diingatkan Allah Rabb Al-‘Ālamīn dalam Firman-Nya dalam Surah An-Nisā’ ayat 135 menerangkan bagaimana cara menegakkan keadilan yang semestinya yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti (mengetahui secara detail) terhadap segala apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisā’ 4:135)

Bahkan ayat 135 Surah An-Nisā’ ini sampai dijadikan patokan atau pedoman dalam menegakkan keadilan yang sangat fundamental oleh Law School (Fakultas Hukum) Harvard University dan di pampangkan ditembok gedung perpustakaannya agar dilihat oleh  para hadirin yang berada di dalam perpustakaannya yang diterjemahkan dalam bahasa American English sebagai berikut:

O ye who believe! Stand out firmly for justice, as witnwsses to Allah, even as against yourselves, or your parents, or your kin, and whether it be (against) rich or poor; For Allah can best protect both. Qur’an, Surah An-Nisa 4:35

Bahkan keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam jagat raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh alam jagat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan peradaban masyarakat manusia.

Untuk mencegahnya tatanan peradaban masyarakat manusia dari kehancuran itulah Allah SWT menurunkan petunjuk-putunjuk dan ajaran-ajaran seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisā’ ayat 135 mesti dijalankan dengan konsekwen seperti yang telah diuraikan sebelumnya guna menegakkan negeri yang mendatangkan berkah-Nya yang dibangun diatas  pondasi yang kuat, yaitu: “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr” - (Negerimu) adalah negeri yang (menjadi) baik (nyaman, makmur) sedang Tuhanmu adalah Tuhan yang maha pengampun (karena penduduknya menegakkan keadilan).” Yaitu, prinsip-prinsip dasar yang benar (kebenaran) dan prinsip-prinsip dasar yang adil (keadilan) sebagai Firman-Nya menyebutkan yang artinya:

Dan di antara kaum Musa ada itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan (dasar) kebenaran dan dengan itu (pula) mereka berlaku adil menjalankan keadilan. (QS Al-A’rāf 7:159).

Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan, ada umat yang memberi petunjuk dengan (dasar) kebenaran, dan dengan itu (pula) mereka menjalankan keadilan. (QS Al-A’rāf 7:181).

Semoga tulisan dalam blog yang mencerdaskan kehidupan manusia sebagai khalifah-khalifah di muka bumi - Dialah (Allah-lah) yang menkadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi, QS Fāthir 35:39.

Yaitu membangun pribadi-pribadi yang menegakkan keadilan terhadap dirinya sendiri, maupun selain dari dirinya, sebagaimana Islam mengajarkan. Yaitu berguna sebagai insan yang utuh dan handal selaku pemakmur kehidupan di bumi berdasarkan azaz hidup ‘baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafūr’. Kisah penegakkan keadilan yang telah dipaparkan tersebut menjadi pelajaran hidup yang berharga bagi kita semua. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah, Was-Salāmu ‘Alaikum Wa-Rahmatullāhi Wa-Barakātuh. □ AFM.



REFERENSI:

http://www.muhammadiyah.or.id/9-content-190-det-tafsir-alquran.html

http://www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm

https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/10/thomas-jeffersons-quran.html

https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2020/10/makna-shalat.html

https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2017/04/sungguh-shalat-membangun-peradaban.html

(Draf Buku) Shalat Membangun Peradaban, A. Faisal Marzuki.

Thomas Jefferson dan Qur'an

Thomas Jefferson’s Qur'an – Islam and the Founders, Denise A. Spellberg, Alfred A. Knopf, Publisher, New York, 10/2013.

Terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an ke bahasa Indonesia diambil dari ALFATIH - Al-Qur’an Tafsir Per Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir. □□