Wednesday, September 28, 2016

Dicari Pemimpin Sejati Bukan Penguasa






Di era gamang itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang jujur, kuat, konsisten, yang memiliki perencanaan yang jelas, menempatkan rasionalitas dan moralitas di atas segalanya.

“Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil.” [Demokrasi Kita, Hatta]



P


ada tahun 1953, tujuh tahun setelah Indonesia merdeka, George Mc Turnan Kahin menulis dalam buku ‘Indonesia & Revolusi Nasional’ bahwa tantangan terbesar bagi Republik yang saat itu masih belia adalah masalah kepemimpinan. Terbukti, setelah lebih dari setengah abad atau hampir tiga perempat abad, prediksi Kahin tetap  menemukan kebenarannya.

Padahal salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan demokratisasi adalah adanya peningkatan kualitas kepemimpinan politik yang berkolerasi dengan sirkulasi kepemimpinan politik yang lancar dengan sokongan kaderisasi kepemimpinan yang melembaga.


Pemimpin transaksional vs transformasional

Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 ternyata, di satu sisi, seperti membuka kotak pandora yang dikisahkan dalam mitologi Yunani kuno. Yang saat dibuka akan memunculkan beragam masalah. Ledakan kebebasan di mana-mana malah melahirkan ketidakpastian ekonomi dan politik serta terjadi ketidaktertataan pemerintahan (ungovernability).

Akhirnya, demokrasi hanya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat prosedural. Ada indikasi yang sangat kuat bahwa reformasi di tingkat kelembagaan dan birokrasi yang telah digulirkan selama lebih dari satu dasawarsa di negeri ini, nyaris tidak disertai dengan perbaikan yang signifikan pada jalur kepemimpinan politik, baik di segi regenerasi maupun kualitas kepemimpinan. Publik seolah masih dipaksa untuk memberi ruang di panggung politik bagi aktor-aktor lama yang mendadak berubah wajah menjadi tokoh baru. Atau kepada pemimpin dengan wajah baru tetapi bermental usang.


Gambar: Perbedaan Pemimpin Transaksional dan Tranformasional


Dalam khasanah studi kepemimpinan, gaya kepemimpinan yang muncul belakangan ini di Indonesia bisa dikategorikan sebagai kepemimpinan transaksional (transactional leadership). Menurut Burn, model kepemimpinan ini terjadi ketika pola relasi antara pemimpin dengan konstituen, maupun antara pemimpin dengan elit politik lainnya dilandasi oleh semangat pertukaran kepentingan ekonomi atau politik. Transaksi suara, janji-janji material bagi pemilih dan penghargaan atas loyalitas personal merupakan praktik-praktik yang lazim dilakukan dalam kultur kepemimpinan transaksional.

Selain itu, dalam model kepemimpinan ini, muncul kepemahaman yang menyatakan bahwa pemimpin itu adalah penguasa yang memiliki hak istimewa, privilise. Sudah semestinya, jika yang berkuasa memperoleh hak-hak istimewa. Hak yang sangat rawan dimanfaatkan serta disalahgunakan.

Akhirnya, para tokoh politik disini -baik yang merupakan produk Pemilukada, maupun hasil Pemilu- bukanlah pemimpin sejati bagi rakyatnya, yang senantiasa memikirkan dan melakukan sesuatu untuk kebajikan bangsanya. Yang mampu menjadi mercusuar bagi rakyat ini untuk keluar dari berbagai permasalahannya.

Penguasa sama dengan Perikekuasaan, lihat perilakunya.

Para tokoh politik sekarang malah menjelma menjadi penguasa layaknya zaman feodal. Mereka disibukkan dengan upaya-upaya meningkatkan kekayaan pribadi sembari mempertahankan kekuasaannya. Mereka melupakan rakyat yang memilihnya, bahkan sengaja membiarkan rakyat tetap berada dalam kebodohan dan kemiskinannya. Rakyat diajari pragmatis, hanya menilai keberhasilan dari segi materi alias uang. Yang  merangsang menjamurnya mental koruptif dan praktik money politic.

Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan pemimpin sejati. Bukan yang berkarakter pemimpin yang demokratis saja. Dibutuhkan pemimpin demokratis yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat untuk secara efektif menetapkan  prioritas agenda penyelesaian masalah bangsa. Namun tentu sudah lewat masanya, ketika kita dipimpin oleh figur kuat yang memusatkan seluruh proses dan dinamika politik pada genggaman kekuasaannya.

Karena itu, bangsa ini membutuhkan suatu perpaduan antara gaya kepemimpinan yang kuat serta kapasitas visioner dan kemampuan untuk membangun kultur dan cara pandang baru.

Ketegasan tanpa dipandu oleh visi dan dikawal nurani, hanya akan melahirkan diktator baru. Kapasitas visioner minus ketegasan dan logika hanya akan menciptakan negeri yang penuh wacana dan miskin karya.

Plus, diperlukan juga keteladanan pemimpin yang dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya. Berupa adanya sikap asketis terhadap kesempatan dan kekuasaan. Yang tidak tergoda, apalagi terbawa dalam rayuan kemewahan yang identik dengan sebuah kekuasaan.

Model kepemimpinan inilah yang dikenalkan oleh Bernard Bass dan Keller sebagai gaya kepemimpinan transformasional (transformational leadership).


Teladan dari Founding Father

Sebenarnya dalam lintasan sejarah bangsa ini, kita pernah memiliki para pemimpin bergaya transformasional ini. Itulah para Bapak Bangsa kita. Bung Hatta salah satu contohnya.

Sosok yang dikenal sederhana namun tegas dan pendiam tapi visioner ini, berjasa menyumbang beberapa pasal penting dalam penyusunan konstitusi yang menegaskan pentingnya negara melindungi kedaulatan rakyat serta kehidupan ekonomi mereka, yaitu hak berkumpul dan berserikat dan penguasaan negara atas sumber daya alam.

Hatta jugalah yang menyodorkan konsep politik luar negeri yang bebas aktif, yang diadopsi pemerintah Indonesia hingga kini.

Tidak berhenti disitu, Hatta berhasil membuktikan teori-teorinya tersebut ke alam nyata. Jurus ekonominya, yang dikenal dengan Hattanomics, berhasil membuat kemandirian dan ketahanan ekonomi nasional berbasis ekonomi kerakyatan selama satu dasawarsa pertama pemerintahan Presiden Soekarno. Pembangunan pabrik Semen Gresik dan pendirian Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang tumbuh menjadi konglomerasi dengan memiliki pabrik-pabrik tekstil sendiri, merupakan dua proyek percontohannya.

Sayangnya, pelaksanaan politik perekonomian prorakyat ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sehingga tidak mampu mengimbangi ledakan uang gara-gara politik budget yang over ekspansif di era Demokrasi Terpimpin. Akibatnya sampai sekarang, cita-cita hidup bersama yang adil dan makmur serta ‘memurahkan ongkos hidup’ kehilangan daya ikhtiarnya. 

Uniknya, dengan jabatannya sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri saat itu serta kebesaran gagasan-gagasannya bagi bangsa, Hatta tetap setia hidup sederhana. Hatta masih sering berjalan kaki dari rumah ke kantornya sambil menegur warga yang tidak menjaga kebersihan lingkungan rumahnya.

Pada medio 1950-an, gajinya dinaikan 200% menjadi Rp 5 ribu. Awalnya kenaikan ini ditolaknya dengan keras walau akhirnya ia menerimanya juga. Sebab, jika ia tetap menolak, bisa mengakibatkan gaji pegawai negeri lainnya akan ikut mandek.

Di ujung jabatannya sebagai wakil presiden pada Desember 1956, Hatta memerintahkan I Wangsawijaya, Sekretaris Pribadinya, untuk mengembalikan dana taktis wakil presiden sebesar Rp 25 ribu. Padahal dana taktis tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan.

Sikap asketis ini tetap dibawanya hingga pensiun. Pasca pensiun, Hatta menolak semua tawaran menjadi komisaris perusahaan dari beberapa perusahaan, termasuk perusahaan asing. Kenapa?

“Apa kata rakyat nanti?” alasannya. Ia khawatir nanti dituduh, perjuangannya tidak murni lagi untuk rakyat.


Pemimpin, Rakyat dan Partai Politik

Yang perlu disadari, pelajaran dari para pendahulu kita tadi bukanlah sebuah glorifikasi, seolah-olah masa lalu lebih baik dari sekarang dan masa sekarang tidak ada kebaikan sedikit pun. Tetapi keteladanan kepemimpinan para Bapak Bangsa kita itu masih sangat aktual dan relevan untuk diwujudkan oleh para tokoh politik sekarang yang punya ambisi memimpin suatu daerah, bahkan negara ini.

Dan yang penting disadari pula, bahwa tampilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu ke panggung utama bukanlah melalui proses yang instan namun melalui penitian karier secara berjenjang dan melalui proses yang berliku.

Disinilah dibutuhkan modernisasi partai politik sebagai institusi utama dalam proses demokratisasi. Jangan sampai, partai politik terlalu disibukkan dengan terjadinya faksi-faksi di internalnya lalu bercorak pragmatis.

Partai politik harus mengambil peran sebagai guru bagi rakyat dengan mengoptimalkan pendidikan politik kepada konstituennya.

Para elit politik jangan hanya menjadikan para konstituennya itu sebagai sapi perahan menjelang Pemilukada atau Pemilu saja, sembari menawarkan janji-janji muluk yang tidak akan diwujudkan.

Rakyat harus dicerdaskan agar tidak terasing dari politik. Maka kaidah tentang ‘warga negara yang baik adalah yang membiarkan negara berpikir sendiri’ harus bergeser menjadi pemikiran Aristoteles berabad-abad yang lalu: ‘warga negara yang baik adalah yang ikut memikirkan keadaan negaranya’.

Dengan demikian, demokratisasi tidak dipandang sebagai ‘gerakan menanti negara berbaik hati’ melainkan ‘gerakan memaksa negara mengubah sikapnya melalui perubahan komposisi politik di dalamnya’, yang dimulai dengan memilih pemimpin, bukan penguasa.


PENUTUP

Demikianlah gambaran antara ‘fakta’ yang ada (yang mesti harus diganti dengan) dan ‘norma’ yang seharusnya ‘ada’ dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. We had to change, dengan itu baru dapat membawa INDONESIA MAJU dan RAKYAT menjadi SEJAHTERA. Sudah waktunya di era reformasi ini kinerja para politisi dan para eksekutif pemerintahan mengacu kepada PEMIMPIN yang TRANFORMASIONAL dan BUKAN LAGI Pemimpin yang Transaksional yang banyak keburukannya seperti telah di paparkan (lihat juga Gambar Perbedaan Pemimpin Transaksional dan Tranformasional) diatas. Wallahu ‘Alam bish-Shawab, Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM



Sumber:
http://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2016/09/hatta-dan-demokrasi-kita-2.html
http://pkspalembang.or.id/read/77/dicari--pemimpin-sejati-bukan-penguasa/□□□

Tuesday, September 27, 2016

Baghdad Gudang Ilmu dan Pusat Intelektual 2





L


anjutan dari tajuk ‘Baghdad Gudang Ilmu dan Pusat Intelektual 1’ adalah dengan mengajak pembaca blog ini menelusuri kembali sejarah yang berkaitan dengan pusat ilmu pengetahuan dan intelektual – House of Wisdom yang artinya Rumah Ahli Hikmah atau disebut juga Rumah Para Intelektual yaitu suatu Akademi Ilmu Pengetahuan di zaman kejayaan Islam ini yaitu pendirian The House of Wisdom.


Pendirian The House of Wisdom

Khalifah paling terkenal di Baghdad diantaranya adalah Khalifah  Al-Rasyid dan Khalifah Al-Ma’mun, secara pribadi mereka suka sekali mengoleksi karya-karya ilmiah dari penjuru dunia. Seperti halnya mengoleksi buku-buku dari Timur (India, China, Mesir, Irak, Iran) dan Barat (Yunani), bersamaan dengan itu mereka membawa pula para sarjana dari segala penjuru tanah Muslim untuk membuat satu akademi intelektual terbesar dalam sejarah.

The House of Wisdom awalnya dibangun oleh Khalifah Harun Al-Rasyid (memerintah tahun 786-809) sebagai perpustakaan megah bernama Khizanat al-Hikmah (Library of Wisdom, Perpustakaan bagi Para Intelektual) yang terdiri dari naskah-naskah dan buku-buku yang dikumpulkan oleh ayah dan kakeknya dari berbagai subjek seni dan ilmu-ilmu pengetahuan dalam bahasa-bahasa yang berbeda.





Dalam tiga decade kemudian, koleksinya bertambah sangat banyak sekali sehingga anaknya, Khalifah Al-Ma’mun, perlu membangun bangunan tambahan. Bangunan asli berubah menjadi sebuah bangunan akademi yang diperluas menjadi lebih besar lagi yang bernama Bayt al-Hikmah (Rumah Para Ahli Hikmah, Rumah Para Intelektual - Akademi Ilmu Pengetahuan) yang terdiri dari berbagai cabang pengetahuan. Kemudian, ia menambah lagi pusat-pusat studi lainnya dengan itu memungkinkan menempatkan lebih banyak lagi para sarjana untuk melakukan penelitian mereka, termasuk sebuah bangunan observatorium pada tahun 829.


Bersambung ke  Baghdad Gudang Ilmu dan Pusat Intelektual 3



Let us re-discover some of the history related to this centre of knowledge and intellect - the House of Wisdom:

Development

Some of Baghdad’s most famous Caliphs including Al-Rashid and Al-Ma’mun had taken a personal interest in collecting global, ground-breaking scientific works. As well as collecting books from East and West, they brought together scholars from the corners of the Muslim land to create one of the greatest intellectual academies in history.

The House of Wisdom was initially built by Caliph Haround Al-Rasheed (ruled 786 – 809 CE) as a magnificent library named Khizanat al-Hikma (Library of Wisdom) that included manuscripts and books collected by his father and grandfather about various subjects in the arts and the sciences and in different languages.

Three decades later, the collection had grown so large that his son, Caliph Al-Ma’mun, built extensions to the original building turning it into a large academy named Bayt al-Hikma (the House of Wisdom) that housed different branches of knowledge. Later, he added numerous other study centres to allow more scholars to pursue their research, and an observatory in 829.
 
Sumber:
www.muslimheritage.com/article/abbasids-house-wisdom-baghdad□□□


Hatta dan Demokrasi Kita 2





Di era gamang itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang jujur, kuat, konsisten, yang memiliki perencanaan yang jelas, menempatkan rasionalitas dan moralitas di atas segalanya.

“Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil.” [Demokrasi Kita, Hatta]


H
atta mungkin belum menghasilkan “kanon pemikiran” semacam itu. Tapi obsesinya adalah ingin melumerkan struktur ekonomi yang dipatrikan para administratur Belanda. “Ide koperasi Hatta itu sesungguhnya untuk melemahkan konsep pamong praja, karena pamong praja adalah warisan kolonial,” kata Daniel Lev. Banyak pendapat bahwa gagasan koperasi Hatta masih relevan sampai kini, meski harus diinterpretasikan ulang menurut perubahan-perubahan yang ada (baca: Hattanomics, Setelah Setengah Abad).

Menurut Dawam Rahardjo, misalnya, pada masa Hatta ada dua proyek ekonomi kecil yang berhasil, yaitu koperasi batik dan Semen Gresik. Saat itu koperasi-koperasi batik diberi hak impor mori (bahan tekstil). Mereka kemudian bersatu menjadi Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). GKBI-yang langsung dibina Hatta-akhirnya tumbuh menjadi “konglomerasi” yang memiliki pabrik-pabrik sendiri. “Sampai sekarang GKBI bertahan. Kita bisa mandiri di bidang pertekstilan. Industri tekstil praktis bisa kita kuasai,” kata Dawam.

Jadi, seandainya Hatta masih hidup dan ia sukses mewujudkan Indonesia ini menurut impiannya, bagaimanakah kira-kira wajah Indonesia tercinta ini? Marilah kita bermain imajinasi. Indonesia, di tangan Hatta, tentunya akan menjadi pemerintahan sipil berkabinet ramping, berisi menteri yang profesional sebagaimana kabinet Hatta dahulu. Kekuasaan tak akan memusat di Jakarta karena setiap daerah memiliki otonomi yang kuat dan mampu berdikari secara ekonomi sesuai dengan cita-cita federalisme Hatta. Di mana-mana tumbuh koperasi-koperasi industri rakyat yang kuat. Seperti petani di Kanada, koperasi petani kita akan memiliki pabrik pupuk sendiri. Seperti di AS, koperasi petani kita akan memiliki industri minyak. Seperti di pedesaan-pedesaan Jepang, koperasi petani akan memiliki supermarket kecil. Singkatnya, namanya juga mimpi, akan terjadi jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Koperasi menjadi semacam alat untuk mengendalikan pasar secara bersama.

TENTU SAJA itu semua adalah fantasi yang termuluk. Kenyataannya, di samping industri rakyat yang dinyatakan berhasil oleh Dawam Rahardjo tersebut, toh banyak juga yang rontok. “Sosialisme Hatta belum teruji benar,” kata pakar sejarah Taufik Abdullah. Koperasi, dalam pelaksanaannya, banyak mengalami penyimpangan. Kita ingat kasus bagi-bagi uang pada Pemilu 1999 yang menyebabkan lahirnya koperasi karbitan. “Koperasi hanya bagus dijalankan di dalam skala yang kecil. Untuk skala nasional, apalagi global, tidak (akan berhasil),” kata Sarbini Sumawinata.

DI USIANYA yang senja, di tahun 1976, Hatta mengejutkan masyarakat Indonesia. Namanya disebut-sebut dalam sebuah kasus makar yang rada-rada berbau kebatinan yang belakangan dikenal sebagai Kasus Sawito. Sawito Kartowibowo, menantu R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo - Kapolri pertama -dituduh telah melakukan upaya subversi karena merencanakan menurunkan Presiden Soeharto. Sawito mengaku memperoleh wangsit setelah bertapa di Gunung Muria. Wahyu itu berisi agar Soeharto ditekan supaya menyerahkan jabatannya secara damai kepada Hatta. Ia mengumpulkan tanda tangan pendukung para “tokoh sepuh” selain Hatta, yaitu mertuanya sendiri R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo, kemudian Kardinal Justinus Darmojuwono (Ketua Majelis Wali Gereja Indonesia), Buya Hamka (Ketua Majelis Ulama Indonesia), dan T.B. Simatupang (Ketua Dewan-Dewan Gereja Indonesia). Dalam “melaksanakan” wangsit itu, Sawito menyiapkan lima naskah pernyataan. Sementara tokoh-tokoh lain cuma meneken satu naskah, Bung Hatta menandatangani tiga naskah. Tentu saja masyarakat tak mudah percaya, tapi toh bertanya-tanya, betulkah Bung Hatta, yang tak suka petualangan politik ini, sudah berkomplot. Atau, ini hanya akal-akalan Sawito? Siapakah Sawito sebenarnya? Tak syak, pengadilan terhadap Sawito menyedot banyak pengunjung. “Saya sendiri kaget, Hatta kok ikut-ikutan,” tutur Sarbini, mengenang. Kejaksaan Agung memerlukan diri mengajukan pertanyaan tertulis untuk Bung Hatta. Sawito bersiteguh bahwa dia hanyalah seorang liaison. Sawito menguraikan pertemuan-pertemuan di rumah Hatta di Megamendung (Puncak).

Para penanda tangan mengaku khilaf dan merasa terbujuk Sawito. Mereka meminta maaf kepada Soeharto. “Bung Hatta tertipu,” kata Taufik Abdullah. Itu dibenarkan putri Bung Hatta, Meuthia Hatta. “Bung Hatta sangat sakit hati kepada Sawito karena merasa dipermainkan,” kata Meuthia kepada TEMPO. Meuthia yakin bahwa tak mungkin ayahnya, yang sangat rasional, bisa percaya pada Sawito. Dua puluh empat tahun kemudian, apakah masih ada yang disembunyikan Sawito? Sore itu, TEMPO menemui Sawito di rumahnya yang sederhana di bilangan Cimanggis, Bogor. Di usianya yang ke-69 tahun, Sawito berbincang dari soal perkenalannya dengan Hatta pada tahun 1954 hingga pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Hatta. “Saya bertemu dengan Bung Hatta minimum seminggu tiga kali, atau bahkan tiap hari, sampai saya ditangkap. Pertemuannya itu pindah-pindah. Kadang di rumah Bung Hatta, kadang di rumah saya, atau di rumah tokoh Angkatan 45 lainnya, tutur Sawito. Sawito mengaku bahwa selama Sawito di penjara, Hatta tetap menulis surat kepada Sawito melalui seorang perantara. Hingga sekarang, seluruh kasus Sawito dan keterlibatan Hatta memang masih menjadi tanda tanya. Yang jelas, kasus itu tak mengurangi rasa hormat masyarakat terhadap Hatta. Ia memang bukan seorang yang pandai berdalih dalam arena politik, tetapi kemampuan Hatta mengekang diri adalah sebuah aset, karena dengan sendirinya ia akan selalu berpegang teguh pada konstitusi. Sebuah negeri di masa transisi, seperti pernah ditulis Vaclav Havel, selalu mengalami kesukaran dalam menentukan urutan terbaik yang harus dijalani.

Kelambanan penanganan akan menyebabkan negeri itu bagai rumah kartu yang mudah roboh. Di era gamang itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang jujur, kuat, konsisten, yang memiliki perencanaan yang jelas, menempatkan rasionalitas dan moralitas di atas segalanya. Hatta, yang di makamkan di Tanah kusir-sesuai dengan permintaannya-bisa menjadi cermin.

Dalam akhir risalah Demokrasi Kita, Hatta mengutip kalimat penyair Jerman, Schiller: “Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil.” Itu adalah kalimat kritik Hatta terhadap para pemimpin partai politik di masa itu, yang dianggap gagal melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin bangsa. Itu adalah kritik terbesar Hatta kepada pasangan dwitunggalnya, Sukarno. Dan, agaknya, kritik Hatta ini masih berlaku untuk Indonesia masa kini, yang tengah mengalami krisis kepemimpinan.

“Tetapi Sedjarah memberi peladjaran djuga pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa murni, demokrai jang tertidur sementara akan bangun kembali” (Demokrasi Kita, Hatta)

Pemikiran Hatta sebagai pejuang kemerdekaan dan pengisi kemerdekaan serta proklamator kemerdekaan Indonesia seperti paparan diatas “jiwa pemikirannya” masih up to date sampai hari ini. Tentu dan sebaiknya para politisi; pejabat negara baik tingkat pelaksana (eksekutif) dan jajaran kebawahnya sebagai pelaksana administrative; pelaksana penegakkan hukum seperti hakim, jaksa dan polisi dan jajaran kebawahnya sebagai pelaksana administrative;  dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya patut menghargai dan menjalankan pesannya itu. Yang sudah, sudahlah. Mari buat Indonesia maju dan berkembang dalam menyongsong cita-cita kemerdekaan kita, begitu pula genereasi muda, sebagai pelanjut cita-cita bangsa. Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM





Auto Biography Hatta

Dr. H. Mohammad Hatta atau sering disebut Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Pria yang akrab disapa dengan sebutan Bung Hatta ini merupakan pejuang kemerdekaan RI yang kerap disandingkan dengan Soekarno. Tak hanya sebagai pejuang kemerdekaan, Bung Hatta juga dikenal sebagai seorang organisatoris, aktivis partai politik, negarawan, proklamator, pelopor koperasi, dan seorang wakil presiden pertama di Indonesia.

Kiprahnya di bidang politik dimulai saat ia terpilih menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond wilayah Padang pada tahun 1916. Pengetahuan politiknya berkembang dengan cepat saat Hatta sering menghadiri berbagai ceramah dan pertemuan-pertemuan politik. Secara berkelanjutan, Hatta melanjutkan kiprahnya terjun di dunia politik.

Sampai pada tahun 1921 Hatta menetap di Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan sebuah perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya, organisasi tersebut hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Di Perhimpunan Indonesia, Hatta mulai meniti karir di jenjang politiknya sebagai bendahara pada tahun 1922 dan menjadi ketua pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta mengumandangkan pidato inagurasi yang berjudul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan".

Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu berdasarkan landasan kebijakan non-kooperatif. Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI sampai tahun 1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan berkembangnya jalan pikiran politik rakyat Indonesia.

Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian di Berville, Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama Indonesia dan sejak saat itu nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi internasional. Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda dan berkenalan dengan aktivis nasionalis India, Jawaharhal Nehru.

Aktivitas politik Hatta pada organisasi ini menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat sebelum akhirnya dibebaskan setelah ia berpidato dengan pidato pembelaan berjudul: Indonesia Free. 

Selanjutnya pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia dengan adanya pelatihan-pelatihan.

Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras oleh Hatta. Ia mulai menulis mengenai pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah pemerintah kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia dan menangkap pimpinan para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke Digul, Papua.

Pada masa pengasingan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya. Selanjutnya, pada tahun 1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.

Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun 1942. Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua.

Sehari sebelum hari kemerdekaan dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat di rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan keesokan harinya dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul Soekarni.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hatta sebagai Wakil Presiden.

Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda berkeinginan kembali untuk menjajah Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan dengan Belanda yang menghasilkan perjanjian linggarjati dan perjanjian Reville. Namun, kedua perjanjian tersebut berakhir kegagalan karena kecurangan Belanda.

Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke India dengan menemui Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan melakukan protes terhadap tindakan Belanda dan agar dihukum pada PBB. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh rakkyat Indonesia memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI sedangkan Soekarno dan Hatta ditawan ke Bangka. Selanjutnya kepemimpinan perjuangan dipimpin oleh Jenderal Soedirman.

Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia. Pada tanggal 27 desembar 1949, Ratu Juliana memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.

Setelah kemerdekaan mutlak Republik Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam karangan dan membimbing gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli 1951, Hatta mengucapkan pidato di radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima hari kemudian dia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.

Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan Halida.

Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi Republik Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" yang diberikan oleh Presiden Soeharto. [Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan].

Pendidikan

Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1921)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1919)
Europeesche Lagere School (ELS), Padang, 1916
Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)

Karir

Ketua Panitia Lima (1975)
Penasihat Presiden dan Penasehat Komisi IV (1969)
Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959)
Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-1961)
Wakil Presiden, Perdana menteri, dan Menteri Luar Negeri NKRIS (1949-1950)
Ketua delegasi Indonesia Konferensi Meja Bundar, Den Haag (1949)
Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan (1948-1949)
Wakil Presiden RI pertama (1945)
Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
Wakil Ketua Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (1945)
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (1945)
Kepala Kantor Penasehat Bala Tentara Jepang (1942)
Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
Wakil Delegasi Indonesia Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
Ketua Perhimpunan Indonesia, Belanda (1925-1930)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
Partai Nasional Indonesia

Organisasi:

Club pendidikan Nasional Indonesia Liga menentang Imperialisme Perhimpunan Hindia Jong Sumatranen Bond

Penghargaan

Pahlawan Nasional Bapak Koperasi Indonesia Doctor Honoris Causa, Universitas Gadjah Mada, 1965 Proklamator Indonesia The Founding Father's of Indonesia 


Referensi:
1.     Demokrasi Kita, Dr. Mohammad Hatta, Pustaka Antara Djakarta, 1966.
2.     Hatta, Suara Yang Tak Pernah Hilang, Tempo Edisi 13 Agustus 2001
3.     Bunh Hatta dan Demokrasi, Franz Magnis-Suseno, S.J. Rohaniwan, guru besar filsafat sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Sumber:
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/05/26/o7qkrs385-tanah-kusir-demokrasi-kita-dan-hajinya-bung-hatta-part1
https://serbasejarah.wordpress.com/2010/07/28/hatta-dan-demokrasi-kita/
http://profil.merdeka.com/indonesia/m/mohammad-hatta/
●Wikipedia, facebook Faisal Marzuki. □□□