Tuesday, December 19, 2017

Mengapa Negara Gagal



Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan







Judul: Mengapa Negara Gagal – Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan
Pengarang: Daron Acemoglu dan James A. Robinson
Penerjemah: Arif Subianto
Pengantar : Komarudin Hidayat
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun: 2014
Tebal : 582 hal


Pendahuluan

M
Mengapa Negara Gagal: Awal Mula  Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Pertama kali diterbitkan pada tahun 2012, adalah buku non-fiksi oleh pakar ekonomi Turki-Amerika Daron Acemoglu dari Institut Teknologi Massachusetts, dan ilmuwan politik Inggris James A. Robinson dari Universitas Chicago.

   Buku ini menerapkan wawasan ekonomi kelembagaan, ekonomi pembangunan dan sejarah ekonomi untuk memahami mengapa negara berkembang secara berbeda, yang satu berhasil mengakumulasi kekuatan dan kemakmuran dan yang lainnya gagal, melalui berbagai studi kasus historis.

   Dalam lima belas bab, Acemoglu dan Robinson mencoba untuk meneliti faktor mana yang bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan politik dan ekonomi negara. Mereka berpendapat bahwa penjelasan yang ada tentang kemunculan kemakmuran dan kemakmuran, misalnya bisa terjadi karena geografi, iklim, budaya, agama, atau ketidaktahuan para pemimpin politik yang tidak cukup pengetahuannya yang dengan itu tidak tepat atau tidak mampu dalam menjelaskannya.

   Acemoglu dan Robinson mendukung tesis mereka dengan membandingkan studi kasus di beberapa negara. Mereka mengidentifikasi negara-negara yang serupa dengan banyak faktor yang disebutkan di atas, namun karena pilihan politik dan institusional yang berbeda menjadi yang satu kurang sejahtera dan yang lainnya lebih sejahtera. Contoh yang paling tajam adalah Korea, yang dibagi menjadi Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 1953. Kedua ekonomi negara tersebut telah berbeda sepenuhnya,  Korea Selatan menjadi salah satu negara terkaya di Asia sementara Korea Utara tetap berada di antara negara-negara yang paling miskin. Contoh lebih lanjut termasuk kota perbatasan Nogales (Sonora, Meksiko) dan Nogales (Arizona, AS). Dengan merujuk kota-kota perbatasan, penulis menganalisis dampak lingkungan kelembagaan terhadap kemakmuran rakyat dari wilayah geografis dan budaya yang sama, tapi berbeda perkembangan ekonominya.

   Tesis utama Acemoglu dan Robinson adalah bahwa kemakmuran ekonomi sangat bergantung terutama pada inklusivitas institusi ekonomi dan politik. Institusi "inklusif" ketika banyak orang memiliki pendapat dalam pengambilan keputusan politik yang berlawanan dengan kasus di mana sekelompok kecil orang mengendalikan institusi politik dan tidak mau berubah, diperbandingkan mereka yang berpendapat bahwa sebuah negara demokratis dan pluralistik yang berfungsi menjamin aturan hukum – hasilnya berbeda. Penulis berpendapat bahwa yang institusi inklusif mempromosikan kemakmuran ekonomi karena mereka menyediakan struktur insentif yang memungkinkan bakat dan gagasan kreatif dihargai, akan ekonominya akan berhasil.

   Sebaliknya, para penulis menggambarkan institusi "ekstraktif" sebagai institusi yang mengizinkan elit untuk memerintah dan mengeksploitasi orang lain, mengekstrak kekayaan dari orang-orang yang bukan elite, maka negara-negara yang memiliki sejarah lembaga ekstraktif belum bisa makmur - menurut mereka, karena pengusaha dan warga negara kurang memiliki insentif untuk berinvestasi dan berinovasi. Salah satu alasannya adalah bahwa elit yang berkuasa takut akan “merubah cara yang sudah ada” (creative destruction) - sebuah istilah yang diciptakan oleh ekonom Austria Joseph Schumpeter - proses pemusnahan institusi lama dan buruk yang terus berlanjut saat menghasilkan yang baru dan yang baik. Kerusakan materiil akan membuat kelompok baru yang bersaing memperebutkan kekuasaan melawan elit penguasa, yang akan kehilangan akses eksklusif mereka terhadap sumber ekonomi dan keuangan sebuah negara.

   Penulis menggunakan contoh kemunculan pluralisme demokratik di Inggris Raya setelah Revolusi Agung tahun 1688 sebagai kritis bagi Revolusi Industri. Buku ini juga mencoba menjelaskan perkembangan ekonomi baru-baru ini di China menggunakan kerangka kerjanya. Masa lalu China tidak bertentangan dengan argumen buku ini: terlepas dari rezim otoriter China, pertumbuhan ekonomi di China disebabkan oleh kebijakan ekonomi yang semakin inklusif oleh Deng Xiaoping, arsitek kebijakan pembukaan China setelah Revolusi Kebudayaan.

   Menurut kerangka Acemoglu dan Robinson, pertumbuhan ekonomi akan mengubah distribusi sumber daya ekonomi dan dengan demikian mempengaruhi institusi politik. Oleh karena itu, terlepas dari pertumbuhan pesat saat ini, jika China tidak memperbaiki inklusivitas politiknya, China diperkirakan akan runtuh seperti Uni Soviet pada awal 1990an.


Pembahasan

Sudah banyak teori yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa, antara lain hipotesis  geografi,  kebudayaan dan kebodohan.

  Hipotesis geografi menyatakan bahwa penyebab kesenjangan adalah kondisi geografis, antara lain iklim tropis menyebabkan penduduknya malas, penguasanya zalim, dan merupakan sarang penyakit sehingga produktivitas rendah, atau mempengaruhi keanekaragaman spesies tumbuhan dan hewan yang dapat mendorong kemajuan.

● Hipotesis kebudayaan mendasarkan pada perbedaan antara budaya Eropa, yang memiliki sifat-sifat yang mendorong kemajuan, dan budaya lainnya yang tidak memiliki sifat tersebut.

   Sedangkan hipotesis kebodohan mendasarkan pada kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemimpin negara-negara tersebut.

   Acemoglu dan Robinson berpendapat lain. Menurut mereka, penyebab utama kesenjangan adalah institusi politik di masing-masing negara, karena institusi politik itulah yang akan menentukan institusi ekonomi suatu negara, dan selanjutnya mempengaruhi kemajuan perekonomiannya.

Tesis dari buku ini sangat sederhana: Institusi ekonomi inklusif akan mendorong kreativitas dan kemajuan ekonomi suatu bangsa, sebaliknya, institusi ekonomi ekstraktif akan memiskinkan. Sayangnya, sebagian besar bangsa-bangsa di dunia ini memiliki institusi ekonomi ekstraktif, sehingga sulit mencapai kemakmuran, khususnya tidak dapat mengambil manfaat ketika terjadi revolusi industri. Sementara itu Inggris dapat menjadi pelopor revolusi industri karena telah memiliki institusi politik yang inklusif, yang telah dimulai dengan adanya Magna Charta pada tahun 1490. 

   Penulis mendefinisikan institusi ekonomi inklusif sebagai sistem yang memungkinkan adanya jaminan kepemilikan atas asset dan properti serta adanya peluang ekonomi yang merata bagi seluruh masyarakat. Hal ini hanya dapat terjadi apabila terdapat kepastian hukum, pelayanan publik, dan kebebasan mengikat kontrak. Oleh karena itu institusi ekonomi tergantung kepada institusi politik, karena penegakan hukum dan penyediaan pelayanan publik merupakan tugas negara. Dan institusi politik yang dapat mendukung institusi ekonomi inklusif adalah sistem yang bersifat demokratis atau yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat luas dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap pemimpin atau pemerintahnya, serta mencegah terjadinya penindasan, yang merupakan ciri dari  negara yang memiliki institusi ekonomi ekstraktif

   Menurut penulis, revolusi industri terjadi di Inggris karena adanya satu episode sejarah dan perbedaan kecil. Wabah pes pada tahun 1348 membuat jumlah petani jauh berkurang, sehingga mereka berani menuntut perlakuan yang lebih baik dari para bangsawan tuan tanah, bahkan melakukan pemberontakan pada tahun 1381. Meskipun pemberontakan tersebut gagal, namun keadaan telah berubah, karena para petani mendapat perlakuan lebih baik sehingga lambat laun sistem feudal lenyap. Wabah pes di Eropa Timur juga menimbulkan kelangkaan tenaga kerja,  namun tuan tanah disana melakukan penindasan lebih kejam sehingga para petani semakin miskin dan institusi ekonomi ekstraktif terus bertahan selama berabad-abad.

   Inggris dapat melahirkan revolusi industri karena pada abad 17 telah memiliki institusi ekonomi inklusif. Namun hal tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan melalui berbagai tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan Glorious Revolution pada tahun 1688. Pemberontakan tersebut mengurangi kekuasaan raja dan memberi wewenang parlemen Inggris untuk menentukan struktur ekonomi. Setelah revolusi, pemerintah menjamin hak kepemilikan atas asset dan properti, hak paten, dan membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya, kanal dan kereta api. Selain itu pungutan pajak secara semena-mena dan monopoli dihapuskan. Hal ini mendorong inovasi dan perkembangan teknologi.

   Keadaan di atas tidak terjadi di negara-negara Eropa lainnya dimana monarki masih berkuasa penuh, misalnya di Spanyol dan Prancis. Sementara itu di Eropa Timur, bahkan sampai dengan tahun 1800 institusi ekonomi politik  masih bersifat ekstraktif, karena para tuan tanah masih menerapkan sistem serfdom atau perbudakan terhadap para petani.  Perbedaan kecil pada abad 14 – yaitu lebih kuatnya petani dan buruh di Eropa Barat dari pada di Eropa Timur – mengakibatkan persitiwa wabah pes menghasilkan hal yang berbeda pada abad 17, 18 dan 19: yaitu lenyapnya feodalisme di Eropa Barat dan penindasan kedua di Eropa Timur.

   Sepanjang sejarah, institusi ekonomi ekstraktif terdapat pada banyak negara. Sistem ini juga dapat menghasilkan pertumbuhan dan kemakmuran, meskipun bersifat sementara, asalkan terdapat sentralisasi politik, yang memungkinkan negara menegakkan ketertiban umum. Dalam sistem ini  penguasa menentukan alokasi sumber daya dengan menindas rakyat yang hasilnya digunakan untuk memicu pertumbuhan serta memakmurkan pihak-pihak di lingkaran kekuasaan. Misalnya, di Karibia para elite mendorong produksi gula dengan menindas budak, sedangkan di Uni Soviet pemerintah mendorong pertumbuhan industri dengan merelokasi sumber daya agrikultur. Namun pertumbuhan tersebut akan terbatas masanya, karena tanpa adanya penghancuran kreatif – munculnya kelompok baru yang mampu  meraih kemakmuran tetapi berpotensi mengurangi kemakmuran dan hak-hak istimewa kelompok elite - dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan terhenti, sebagaimana terjadi di Uni Soviet. Selain itu, terkonsentrasinya kemakmuran hanya pada segelintir elite penguasa menimbulkan keinginan pihak lain melakukan kekerasan untuk merebut kekayaan tersebut. Hal ini banyak terjadi pada negara-negara Afrika, dimana sebagian besar para pemimpinnya melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyatnya, bahkan melebihi kaum penjajah, sehingga sering terjadi perang saudara untuk memperebutkan sumber daya sementara rakyat semakin miskin.

   Pemerintahan yang bersifat absolut pada umumnya memiliki institusi ekonomi yang bersifat ekstraktif, yang sifatnya selain menindas rakyat juga menolak teknologi baru, sehingga menghambat kemajuan dan kemakmuran.

Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejarah kekaisarann Ottoman (Turki), Spanyol, Austria-Hungaria, Rusia, Cina, Etiopia, dan Somalia. Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan mesin cetak sejak tahun 1485 (tahun 1460 sudah ada percetakan di Prancis), dan percetakan baru diizinkan berdiri tahun 1727. Namun buku yang akan dicetak harus melalui sensor ketat, antara lain diperiksa dulu oleh para ahli hukum syariah, hakim dan ulama. Tidak mengherankan sebuah percetakan yang sempat berdiri akhirnya tutup pada tahun 1797 setelah mencoba bertahan selama 45 tahun dan menerbitkan hanya 24 buku, dan tingkat buta huruf mencapai 98%.

   Sementara itu di Rusia satu persen kelompok ningrat menguasai petani dan pekerja dengan penindasan, sedangkan di Spanyol kerajaan memonopoli perdagangan, tidak melindungi hak rakyat atas kekayaan,dan menghalangi masuknya teknologi baru. Demikian pula kekaisaran Habsburg  dan Rusia, keduanya melestarikan feodalisme, menghambat industrialisasi dan memonopoli perdagangan. Sedangkan Cina melarang perdagangan internasional dan pelayaran sejak tahun 1436. Namun negara yang institusi ekonominya paling ekstraktif adalah Etiopia, dimana raja sangat berkuasa, sehingga semua tanah adalah miliknya dan dapat diambil sewaktu-waktu dari rakyat yang sedang menggarap tanah tersebut, dan ketika muncul bangsa Eropa yang mencari budak, kerajaan langsung memonopoli bisnis tersebut serta menindas rakyat lebih kejam.

   Kedua penulis juga menguraikan mengenai hal-hal yang membuat kondisi koloni Eropa di Amerika dan Australia berbeda dengan wilayah koloni lainnya. Mengapa di kedua wilayah tersebut, muncul institusi ekonomi yang inklusif sedangkan di wilayah lain tidak? Apakah karena mereka bangsa kulit putih juga? Tidak. Hal tersebut karena jumlah penduduk asli di kedua wilayah tersebut sangat sedikit, sehingga tidak dapat dieksploitasi, karena itu penduduk kulit putih yang menghuni kedua koloni tersebut harus bersusah payah membangun institusi ekonomi yang inklusif. Sementara itu di wilayah lain yang banyak penduduknya, penjajah dapat menciptakan institusi ekstraktif yang sama sekali baru atau mengambil alih yang telah ada (misalnya kerajaan lokal) untuk mengeruk kekayaan alam dan memiskinkan rakyatnya (penduduk asli), misalnya yang terjadi di Maluku.

   Kesimpulannya, bangsa-bangsa yang memiliki pemerintahan bersifat absolut tidak memiliki institusi politik yang dapat mengontrol perilaku para pemimpinnya, sehingga institusi ekonominya akan bersifat ekstraktif, yang mengakibatkan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elit, memiskinkan dan menindas rakyat, menciptakan kekerasan karena perebutan kekuasaan (dan kekayaan) dan pengurasan sumber daya (alam) suatu negara.

Memang, apabila kita meneliti sejarah bangsa-bangsa, hal ini terlihat sangat jelas, di Afrika misalnya, dimana hampir seluruh pemerintahnya bersifat korup dan menindas rakyat, demikian pula pada banyak negara Asia. Di negara-negara ini tingkat kepercayaan antar warga sangat rendah dan korupsi sangat tinggi. Tidak beda jauh dengan Indonesia, dimana sangat sulit menemukan orang yang dapat dipercaya atau memiliki integritas.

Berdasarkan kenyataan ini, teori Acemoglu dan Robinson masih belum dapat menjawab pertanyaan mendasar: Mengapa begitu banyak bangsa yang demikian sulit untuk membentuk institusi politik ekonomi yang inklusif? Apakah karena bangsa-bangsa tersebut rakyatnya memang demikian lemah, atau pada dasarnya juga memiliki sifat korup yang tercermin dari para pemimpin dan atau pemerintahnya?

   Mengapa sampai kini pemimpin bangsa-bangsa Afrika jauh lebih ekstraktif dari pada Asia? Apakah karena rakyat Afrika jauh lebih lemah dari Asia? Mengapa kudeta dan perang saudara lebih mudah terjadi di Afrika dari pada di Asia?  Mengapa bangsa Eropa Barat dapat mencapai revolusi yang memungkinkan tahap dimilikinya institusi politk ekonomi inklusif, sedangkan banyak bangsa lain tidak, bahkan meskipun telah didorong dengan adanya tekanan internasional?

Mengapa Negara Gagal memberikan cukup banyak informasi dan sejarah yang menarik untuk direnungkan. Guns, Germs and Steel - yang banyak dikritik kedua penulis – memberikan teori tentang asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa yang terjadi di masa awal peradaban. Acemoglu dan Robinson mencoba menerangkan kondisi di masa kini.


Penutup

Mengapa Negara Gagal benar-benar sebuah buku yang hebat. Acemoglu dan Robinson berhasil membedah salah satu masalah terpenting dalam ilmu sosial - sebuah pertanyaan yang selama berabad-abad telah memeras otak para filsuf terkemuka - sekaligus menyodorkan jawaban yang sederhana namun bernas dan sangat bermutu. Buku yang meramu kajian sejarah, ilmu politik dan ekonomi dengan apik ini dijamin akan mengubah cara kita memandang dan menyikapi pembangunan ekonomi. Mengapa Negara Gagal adalah buku yang wajib Anda baca.” ― Steven Levitt, penulis buku Freakonomics “Anda punya tiga alasan untuk menyukai buku. Isinya membahas isu kesenjangan pendapatan nasional antarnegara di era modern, yang mungkin merupakan masalah global terbesar dewasa ini. Buku ini juga penuh dengan kisah-kisah menarik yang dapat Anda jadikan bahan obrolan yang mengasyikkan—misalnya kisah tentang Botswana yang berjaya sebagai negara termaju di Afrika, sementara Sierra Leone masih terpuruk dalam kemelaratan. Buku ini benar-benar bahan bacaan yang memikat. Seperti saya, Anda akan terpukau dan tak tidak mau berhenti membaca, dan ketagihan untuk membacanya berkali-kali.”

   Jared Diamond, pemenang hadiah Pullitzer, penulis buku-buku laris Guns, Germs, and Steel dan Collapse . Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, mengapa masih ada negara yang kaya dan negara yang miskin? Mengapa kesenjangan pendapatan dan sosial antara negara kaya dan negara miskin bisa sangat jauh berbeda, sampai-sampai eksistensi negara miskin dibayangi oleh cap “Negara Gagal”? Buku ini mengupas bagaimana sebuah negara dapat sukses atau pun gagal, terlepas dari faktor demografis, geografis, dan lain-lain. Sebuah pembahasan menarik tentang hidup bernegara dan berpolitik yang dapat dinikmati bahkan bagi awam politik sekali pun.

   Namun, masih ada banyak hal yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan di atas dengan memuaskan, seperti pembahasan “pembiaran ada korup” walaupun ada lembaganya tapi tidak efektif hasilnya – karena kaum elit pemerintahan terlibat didalamnya? Begitu juga Pemilihan Umum yang cara pelaksaannya belum seutuhnya berintegritas, kandidat yang belum memadai kapabelitas dalam pengikut sertaan orang banyak, begitu pula para elit politisi? Gagalnya penegakkan hukum ? - hal yang esensial bagi negara untuk maju dan kuat. □ AFM


Lihat Pula Videonya:  Klik  -->  Mengapa Negara Gagal


Sumber:
ravibooks.blogspot.com
en.wikipedia.com
gramedia.com
Elex Media Preview □□