Wednesday, April 13, 2016

Prinsip Dan Teknik Mengatasi Konflik Dunia




Pengantar

Memasuki millennium ke-3 ini konflik dunia makin menjadi-jadi, pada umumnya pengatasannya dilakukan menggunakan kekerasan, perang. Perang mana korbannya bukanlah mereka yang bertikai langsung, tapi manusia yang tak berdosa juga menjadi korban, suatu keniscayaan yang “konyol” dipandang dari  kesadaran kemanusia maupun keintelekan yang bermoral. Ini disebabkan peperangan zaman sekarang tidak seperti millennium ke-1 dan millennium ke-2 paruh pertamanya, yaitu perang tanding disuatu lapangan terbuka.

Dengan ditemukan senjata mesiu, orang perang tidak lagi perang tanding, melainkan sembunyi dan tembak kemudian sembunyi lagi. Lebih parah lagi dengan menggunakan meriam, pemboman dari udara bahkan menggunakan senjata nuklir seperti terjadi di Hiroshima dan Nagasaki. Semua mati dengan mengenaskan, tidak saja kompleks militer hancur dengan personilnya, tapi terkena juga sipil yaitu wanita, anak-anak dan orang tua serta porak porandanya bangunan, jembatan dll. Perang yang disebut Perang Dunia I dan II. Menelan kematian manusia lk seratus juta manusia, lebih dari separuhnya adalah sipil,  penduduk yang tidak bersenjata.

Sekarang senjata nuklir daya rusaknya sangat luar-luar-luar biasa, melebihi beribu kali (kalau tidak mau disebutkan berjuta kali) lipat dari nuklir yang disebut bom atom yang dijatuhkan di bumi Jepang pada Perang Dunia II. Ditambah lagi senjata biologi (kuman), senjata kimia, dan macam-macam  senjata lainnya.

Nah Perang Dingin (boleh juga disebut Perang Dunia III, karena buku “A World Without Islam” - Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam - ditulis oleh Graham E. Fuller menyebut setelah itu Perang Dunia IV dengan dalih perang melawan terorisme, tapi ditujukan kepada Islam) antara blog Timur - yang dipimpin Uni Soviet sebagai pelaku utamanya - dan blog Barat - yang dipimpin Amerika Serikat sebagai pelaku utamanya. Pertempuran mana dimenangkan oleh blok Barat.

Dalam hal ini mesti di teliti benar arti pertempuran dan peperangan. Pertempur adalah perang dalam medan pertempuran, sementara itu akar masalahnya belumlah kalah, karena boleh menang dalam pertempuran tapi perang itu belum selesai. Kekuatan latennya masih ada yaitu China dan Korea Utara, bahkan Rusia sendiri yang berazazkan ideologi Komunis masih eksis, sedangkan Barat berazazkan Kapatalisme dan Liberalisme. Dua kekuatan ideologis dunia sekarang ini yang akan berusaha menguasai dunia, sejarah mencatatnya, dan kecenderungan dari empirisme demikian pula. Demikianlah perilaku yang mau menjadi superpower dunia yang diketengahkan dalam hidup ini, kapan dunia akan damai? Kalau pola ideologinya ingin menguasai satu sama lainnya, karena hawa nafsu hubud dunya, maka tidak akan habis-habisnya, sepertihalnya meminum air laut - makin diminum makin haus.

Untuk itu ajaran Islam menawarkan untuk mengatasi konflik dunia itu dengan prinsip pendekatan menegakkan ta’aruf - saling mengenal; tafahum - saling memahami; ta’awun - kerja sama; itsar - saling membela dan tidak bertengkar.

Yang menarik dalam pembahasan ini adalah pendapat dari Murad Hofmann ketika ia sedang menjadi duta besar Jerman di Maroko, pada tahun 1992, ia mempublikasikan bukunya yang menggegerkan masyarakat Jerman: Der Islam als Alternative - Islam sebagai Alternatif. Dalam buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang sudah kropos dan kehilangan justifikasinya, namun ia secara eksplisit mengatakan bahwa alternatif Islam bagi masyarakat Barat adalah suatu keniscayaan.

Masalah hubungan antara sesama manusia seperti individu sesama individu, masyarakat sesama masyarakat, anggota masyarakat sesama masyarakat dalam suatu negara, anggota masyarakat sesama masyarakat dalam hubungan antar negara, ajaran Islam menawarkan (kalau tidak mau menggunakan kata mengharuskan) adanya prinsip hidup setiap orang atau masyarakat, bangsa dan antar bangsa menegakkan ta’aruf (saling mengenal); tafahum (saling memahami); ta’awun (kerja sama);  itsar (saling membela dan tidak bertengkar), maka konflik dapat dicegah. Dengan itu damailah dan makmurlah manusia di bumi ini.

Selanjutnya, dibawah ini akan dipaparkan “Prinsip dan Teknik Mengatasi Konflik Dunia” yang diambilkan pendekatannya berdasarkan teori manajemen usaha. Walaupun contohnya dibidang manajemen usaha, namun esensinya dapat pula sebagai pisau bedah mengatasi konflik dunia sekarang yang sangat-sangat-sangat berbahaya sekali bagi umat manusia yang hidup di dunia ini secara keseluruhan kalau tidak diatasi dengan baik. []



Definisi Manajemen Konflik.


M
anajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku, maupun pihak luar, dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif merusak tata hubungan sesama manusia.

Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.


Peran manajemen konflik dalam organisasi

Dalam sebuah organisai usaha bisnis - selanjutnya juga dalam bentuk masyarakat, negara, antar negara, pekerjaan individual maupun sekelompok pekerja saling terkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi usaha bisnis, penyebabnya selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif selalu menjadi kambing hitam.

Para manajer usaha bisnis - dan selanjutnya juga dalam bentuk masyarakat, negara, antar negara, bergantung kepada keterampilan berkomunikasi mereka dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam proses perumusan keputusan, demikian pula untuk mensosialisasikan hasil keputusan tersebut kepada pihak-pihak lain. Riset membuktikan bahwa manajer menghabiskan waktu sebanyak 80 persen dari total waktu kerjanya untuk interaksi verbal dengan orang lain.

Ketrampilan memproses informasi yang dituntut dari seorang manajer termasuk kemampuan untuk mengirim dan menerima informasi ketika bertindak sebagai monitor, juru bicara (speaker person), maupun penyusun strategi.

Sudah menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban sebagai manajer dalam usaha bisnis - juga untuk selalu dihadapkan pada konflik. Salah satu titik pening dari tugas seorang manajer dalam melaksanakan komunikasi yang efektif didalam organisasi bisnis yang ditanganinya adalah memastikan bahwa arti yang dimaksud dalam instruksi yang diberikan akan sama dengan arti yang diterima olh penerima instruksi demikian pula sebaliknya (the intended meaning of the same). Hal ini harus menjadi tujuan seorang manejer dalam semua komunikasi yag dilakukannya.

Dalam hal memanage bawahannya, manajer selalu dihadapkan pada penentuan tuntuan pekerjaan dari setiap jabatan yang dipegang dan ditangani oleh bawahannya (role expectaties) dan konflik dapat menimbulkan ketegangan yang akan berefleksi buruk kepada sikap kerja dan perilaku individual. Manajer yang baik akan berusaha untuk meminimasasi konsukensi negatif ini dengan cara membuka dan mempertahankan komunikasi dua arah yang efektif kepada setiap anggota bawahannya. Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain dari ketrampilan interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan menyelesaikan konflik.

Manajer menghabiskan 20 persen dari waktu kerja mereka berhadapan dengan konflik. Dalam hal ini, manajer bisa saja sebagai pihak pertama yang langsung terlibat dalam konflik tersebut, dan bisa pula sebagai mediator atau pihak ketiga, yang perannya tidak lain dari menyelesaikan konflik antar pihak lain yang mempengaruhi organisasi bisnis maupun individual yang terlibat di dalam organisasi bisnis yang ditanganinya.


Definisi Konflik

Menurut Nardjana (1994) Konflik yaitu akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.

Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik adalah kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)

Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) yaitu: Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and or experience some emotional antagonism with one another. Kurang lebih artinya konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.

Menurut Stoner Konflik organisasi ialah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)

Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai: (1). Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. (2). Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).


Ciri-Ciri Konflik

Menurut Wijono( 1993 : 37), ciri-ciri Konflik adalah:

1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.

2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.


3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai dengan gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.

4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.

5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.


Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik
    
            Tahapan-tahapan perkembangan kearah terjadinya konflik adalah sebagai berikut dibawah ini:     

1. Konflik masih tersembunyi (laten). Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.

2. Konflik yang mendahului (antecedent condition). Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.

3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict). Muncul sebagai akibat antecedent condition (kondisi yang mendahului) yang tidak terselesaikan.

4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior). Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.

5. Penyelesaian atau tekanan konflik. Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.

6. Akibat penyelesaian konflik. Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja. (Wijono, 1993, 38-41).


Sumber-Sumber Konflik

Sumber-sumber konflik terjadi disebabkan dari konflik dalam diri Individu (intraindividual conflict) sebagai berikut:

1. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict).

Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:

1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.

2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuan dan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.

3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain. Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.

2. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius.

Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan ambigius (galau, kabur) dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi. Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok:

1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).


Faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi

Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:

1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.

2. Penyesuaian atau kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya. Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.

3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.

4. Kalah atau menang. Ini adalah ketidak sepakatan yang disertai sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.

5. Pertarungan atau penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.

6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”. Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.

7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa diselesaikan.


Dampak Konflik

Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut:

1. Dampak Positif Konflik.

Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:

1). Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.

2). Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.

3). Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.

4). Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.

5). Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.


2. Dampak Negatif Konflik

Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:

1). Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.

2). Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab. Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.

3). Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.

4). Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.

5). Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turnover. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit (manfaat biaya).


Konflik yang tidak terselesaikan

Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:

1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.

2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.

3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.

4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.

5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.

6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.

7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).


Strategi Mengatasi Konflik

Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:

1. Pengenalan

Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).

2. Diagnosis

Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.

3. Menyepakati suatu solusi

Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.

4. Pelaksanaan

Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.

5. Evaluasi

Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.


Hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik

Stevenin (1993:139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:

1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.

2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.

3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.


Strategi Mengatasi konflik

Menurut Wijono (1993:42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu: 1. Konflik Dalam Diri Individu, 2. Konflik Antar Pribadi.

1. Konflik Dalam Diri Individu

Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
menurut Wijono (1993:42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:

1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternative
6) Memilih alternative
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar


2. Konflik Antar Pribadi

Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict) menurut Wijono (1993: 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:

1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)

Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.

Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:

a. Arbitrasi (Arbitration)

Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.

b. Mediasi (Mediation)

Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.


2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)

Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.

Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dengan win-lose strategy (Wijono, 1993:44), dapat melalui:

a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).

b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).

c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).

d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).

e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.


3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)

Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.

Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:

a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.

b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik.


3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)

Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:

1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)

Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarki) didekati dengan cara menggunakan hirarki struktural (structural hierarchical).


2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)

Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.


3) Pendekatan Sistem (System Approach)

Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul. Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.

4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)

Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.




Demikianlah paparan dalam usaha mengatasi konflik dunia yang sampai sekarang tidak habis-habisnya. Di millennium ke-3 ini kalau konsep  naïf konflik tetap dipertahankan, maka konsekwensinya sangat-sangat-sangat berbahaya bagi penduduk bumi yang cantik ini diperburuk oleh ulah manusia yang menghuninya.

Seyogyanya kami akhiri tajuk Prinsip Dan Teknik Mengatasi Konflik Dunia  dengan mengutip pendapat  Ibnu Khaldun - bapak sosiologi modern dalam bukunya Al-Muqaddimah menuliskan bahwa: “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya - jika ingin maju, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial - positif yang dibangunnya”, maka 'Masa Depan Hidup Manusia' akan lebih cerah dibanding kehidupan millennium sebelumnya. Untuk itu mari pecahkan masalah konflik sosial dalam bernegara dan berantar negara yang ada. Dan, tidak berhenti disitu saja, tapi selanjutnya cegahlah konflik sosial dalam bernegara dan berantar negara dengan memegang kuat-kuat prinsip-prinsip bersosialisasinya manusia bukan atas dasar, kekerasan perang dan kekerasan militer dengan peralatan perang yang canggih berdaya rusak konvensional atau pemusnah massal yang massive, tapi atas dasar komunikasi dalam keadilan, kejujuran, mutual respect dan “single standard” yaitu atas dasar prinsip-prinsip yang diridhoi-Nya yaitu ta’aruf - saling kenal dan berkomunikasi, tafahum - saling memaklumi perbedaan yang ada atas dasar toleransi dan jiwa besar, ta’awun - bekerjasama dalam semangat keadilan, kejujuran dan bertanggung jawab (gentleman, kesatria), dan itsar - saling membela dan tidak bertengkar. Dengan usaha dan ikhtiar manusia semacam itu, janji Allah ‘Azza wa Jalla akan membuka pintu-pintu berkah dari langit sehingga pintu hati warga-warga dunia ini tergerak untuk menempuh jalan seperti tersebut diatas.  Billahi Taufiq wal Hidayah.  □ AFM


Sumber:

http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/06/masa-depan-hidup-manusia.html

http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/07/masa-millennium-ketiga-adalah-masa-nya.html

http://pengertianmanagement.blogspot.co.id/2013/03/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html□□□