Wednesday, July 19, 2017

Hidup Bermasyarakat Dalam Ajaran Islam 1






KATA PENGANTAR

T
ajuk  Hidup Bermasyarakat (berorganisasi, berkomuniti) Dalam Ajaran Islam yang lengkap terdiri dari  4 serial tulisan. Tadinya penulis memperkirakan cukup sekali bahas dalam satu serial saja. Ternyata setelah membaca dari berbagai sumber ulasannya menjadi berkembang dan cukup lengkap dan panjang, karena perlu ditambah dengan keterangan-keterangan seperlunya guna memahami satu arti kata dari beberapa kata yang perlu diketahui agak dalam arti dan maknanya.

Serial pertama ini terdiri dari: (1) Pokok-pokok Paradigma Ajaran Islam Dalam Bermasyarakat, (2) Ideal Masyarakat Islam Yang Kita Tuju. Dua sub tema ini akan mengantarkan kepada pembahasan yang lebih detail lagi yang berpedoman dari dalil-dalil baik dari Kitab Suci Al-Quran dan As-Sunnah.  AFM



HIDUP BERMASYARAKAT
DALAM AJARAN ISLAM


PARADIGMA AJARAN ISLAM DALAM BERMASYARAKAT

Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan Islam, maka bila kami mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam maka Allah akan menghinakan kami.” [Umar bin al-Khatthab Radhiallahu Anhu]

K
ata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan (1483) di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin yaitu paradigma yang artinya “model atau pola”. Dalam bahasa Yunani paradeigma yang berasal dari dua kata para dan deiknunai. Para artinya bersebelahan dan deik artinya memperlihatkan. “Paradeigma” dalam bahasa Yunani ini arti “untuk membandingkan”.

“Dalam disiplin intelektual” Paradigma adalah: “Cara Pandang orang terhadap diri dan lingkungan yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif)”. Paradigma juga dapat berarti: “Seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama”, khususnya dalam disiplin intelektual.

Jadi “Paradigma Ajaran Islam Dalam Bermasyarakat” maksudnya adalah bagaimana ajaran (konsep dan nilai dalam) Islam mengajarkan manusia pada umumnya dan umat khususnya dalam memandang diri dan lingkungan untuk “bertingkah laku yang baik dan pantas” dalam bermasyarakat agar dalam interaksi sesamanya dapat mengurangi “gesekan-gesekan” yang menjurus kepada “perpecahan” yang tidak diharapkan itu melainkan bertindak “positif”. Dengan itu diperlukan “konsep acuan” dan “aturan main” serta tujuannya sebagaimana yang dikatakan Umar bin al-Khattab ra mengatakannya yang artinya:

Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan Islam, maka bila kami mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam maka Allah akan menghinakan kami.” [Umar bin al-Khatthab Radhiallahu Anhu]


Acuan dan Tujuan dari interaksi sosialnya adalah:

“Interaksi sosial kita dalam hidup bermasyarakat hendaklah sesuai dengan cara-cara dan adab Islam yang diajarkan Rasulullah saw, Insya Allah akan tercipta jalinan sosial yang indah dan berkah, yang akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat”


Ideal Masyarakat Islam Yang Kita Tuju


Islam adalah agama rahmah, yang penuh kasih sayang, ajaran yang menjaga nilai-nilai kemanusiaan, individu dan masyarakat pada setiap sisi fenomena kehidupan dan setiap gerak serta waktu di alam jagat raya ini. Hidup rukun dalam bermasyarakat adalah moral yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Jika umat Islam memberikan perhatian dan sungguh-sungguh menjalankan konsep yang telah diajarkan Rasulullah saw, niscaya akan tercipta kehidupan masyarakat yang tenteram, aman dan nyaman, di lingkungan tempat tinggal kita, di lingkungan pendidikan, lingkungan arisan, lingkungan pengajian, lingkungan organisasi atau komuniti dan di tengah masyarakat umum, baik bersama orang-orang yang sebaya atau tua muda ataupun yang sama keinginan dan kebutuhannya dengan kita, atau siapa saja.

Sayyidina Umar bin al-Khatthab Radhiallahu Anhu berkata:

Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan Islam, maka bila kami mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam maka Allah akan menghinakan kami.

Setiap manusia adalah makhluk sosial, seseorang tidak bisa lepas dari interaksi dengan sesamanya. Bahkan seringkali dia harus dibantu oleh orang lain dalam memenuhi kebutuhannya dan demikian pula sebaliknya. Atas dasar inilah, kaum muslimin diperintahkan untuk saling menghormati, saling memahami kondisi dan perasaan dan saling mengasihi terhadap yang memerlukan, saling berterima kasih dan saling memberi kebaikan, sikap demikianlah yang akan mengantarkan kita kepada nikmat-nikmat-Nya berlipat ganda.

Firman Allah swt yang artinya:

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”, QS Al Hujurāt 49:13.

Hubungan sosial antar sesama ini merupakan kehendak Allah swt yang kesemuanya dalam bentuk, cara, dan peraturan yang diatur sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Masyarakat yang harmonis, dipenuhi rasa kebersamaan dan kekeluargaan pastilah menjadi harapan kita, dan sudahlah pasti bahwa hanyalah dengan aturan Allah dan Rasul-Nya akan terwujud ikatan hubungan masyarakat yang kuat dalam jalinan kasih sayang di antara kaum muslim, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh masyarakat kaum Anshar dan Muhajirin.

Rasulullah Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya:

Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan memperbaiki hubungan di antara sesama kalian, karena sesungguhnya Allah memperbaiki hubungan di antara orang-orang yang beriman pada hari kiamat”, HR Hakim dari Anas bin Malik ra.

Allah swt berfirman yang artinya:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”, QS Al-Ma'idah 5: 2.

Ketahuilah saudaraku, bahwa dalam hidup bermasyarakat (berinteraksi sosial) sehari-hari, tidaklah mudah bagi seseorang untuk mendapatkan kerelaan orang lain sehingga dapat hidup bersama-sama mereka dengan penuh kasih sayang, sementara kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat merupakan kondisi ideal yang semestinya harus terus diusahakan.

Maka perlulah upaya kita untuk menggapai keridha'an Allah swt dalam bergaul dengan sesama, yang tiada jalan lain selain apa yang telah diatur dan dituntun oleh Rasul-Nya, Allah swt berfirman yang artinya:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”, QS Al-Ahzāb 33:21.

Untuk membahas apa yang menjadi judul dari tulisan ini tentunya tak akan cukup dengan bahasan yang singkat, namun apa yang hendak kami sampaikan ini adalah hanyalah 'sedikit' dari samudra tuntunan Rasulullah saw, terkhusus dalam hidup bermasyarakat. Semoga kita semua dapat menjadi lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya, dengan terus membenahi diri, mengikuti dan mencontoh budi pekerti Nabi kita tercinta, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:

Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah tergolong orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang celaka”, HR Hakim.

Allah swt berfirman dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang artinya:

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling KENAL MENGENAL (TA’ARUF). [QS Al Hujurāt 49:13].

Kata kunci dalam bersosial kemasyarakatan dalam ajaran Islam berada pada kata Ta’aruf (kenal mengenal). Maka pemaknaan Ta’aruf ini seterusnya berkelanjutan kepada Tafahum, Ta’awun, dan Itsar yang makna masing-masing adalah:

1) Ta’aruf, yaitu saling kenal mengenal yang tidak hanya bersifat fisik atau biodata ringkas belaka, tetapi lebih jauh lagi menyangkut latar belakang sejarah dan pendidikan, budaya, keagamaan, pemikiran, ide-ide, cita-cita, serta problem-problem hidup yang di alami suku dan bangsa tersebut baik dalam pengertian seorang atau kelompok orang pada umumnya.

2) Tafahum, yaitu saling memaklumi kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahpahaman dapat di hindari. Kemudian dicari kesamaan-kesamaan titik temu. Kalau ada perbedaan yang tidak dapat dipersatukan, dimaklumi saja, asalkan tidak menyalahi ajaran pokok Islam sebenarnya.

3) Ta’awun, yaitu tolong menolong adalah kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri sebagai makhluk sosial. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan atau apa saja selalu membutuhkan pihak lain. Pekerjaan tidak akan dapat dilakukan sendirian oleh seseorang meski dia memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu (adanya gotong royong dan teamwork) adalah suatu keharusan dalam hidup manusia yang ada secara naluriah dalam hati yang bersih. Mestinya tidak ada keraguannya.

Untuk itu perlu Allah Subhana wa Ta’ala mengingatkan manusia yang mungkin hatinya telah lalai - sehingga ragu dalam menyadarinya, dengan berfirman-Nya mempertegas sebagai berikut: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” [QS Al-Maidah  5:2].

Ta’awun dalam artian semangat teamwork dalam bekerja, yaitu tolong menolong dimana yang kuat menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong orang yang kekurangan. Nah kalau ada saja pandangan atau paradigma yang menjadi ideologi masing-masing individu seperti tersebut, maka harapan hidup tanpa konflik yang yang serius akan dapat dihindari.

4) Itsar, artinya adalah mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri. Maknanya diambil dari surat ke-59, Al-Hasyir, ayat 9 yang kisahnya terjadi dalam menghadapi para pendatang dari Makkah yang berimigrasi ke Madinah (karena tekanan Musyrikin Makkah terpaksa menyingkir ke Madinah) yang tidak banyak membawa perbekalan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Dengan itu penduduk Madinah memberi kemudahan dan pertolongannya.

Dalam pengertian praktisnya, yaitu saling tolong menolong dan saling kerjasama. Tidak bertengkar dan tidak memusuhi, melainkan peduli (caring each other).

Untuk sampai kepada hal-hal yang disebut pada tulisan yang dijelaskan seperti tersebut diatas, maka diperlukan Akhlakul Karimah. Akhlakul Karimah ini seumpama peraturan lalu lintas di jalan raya. Tanpa diatur lalu lintas ini dengan baik, maka bukan saja akan kacau balau diantara pengemudi mobil, pengemudi truk, sepeda motor dan pejalan kaki, tapi aksiden akan terjadi, korban lalu lintas akan banyak terjadi. Maka dua kata ini mesti diperhatikan dan setelah itu dikerjakan dengan konsisten, yaitu: do it” (kerjakan) dan don’t do it” (jangan kerjakan).

Mudah-mudahan kita semua termasuk orang-orang yang beruntung seperti termaktub dalam Firman Allah swt dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw dalam kumpulan kitab-kitab Hadits seperti tersebut diatas, Āmīn. Billahit Taufiq wal-Hidayah. [Bersambung ke-2]. □ AFM


Serial: (klik --->)   1    2    3    4  


1


1