KATA PENGANTAR
T
|
ajuk
Hidup Bermasyarakat (berorganisasi, berkomuniti) Dalam Ajaran Islam yang
lengkap terdiri dari 4 serial tulisan.
Tadinya penulis memperkirakan cukup sekali bahas dalam satu serial saja.
Ternyata setelah membaca dari berbagai sumber ulasannya menjadi berkembang dan
cukup lengkap dan panjang, karena perlu ditambah dengan keterangan-keterangan
seperlunya guna memahami satu arti kata dari beberapa kata yang perlu diketahui
agak dalam arti dan maknanya.
Serial pertama ini terdiri dari: (1) Pokok-pokok
Paradigma Ajaran Islam Dalam Bermasyarakat, (2) Ideal Masyarakat Islam Yang
Kita Tuju. Dua sub tema ini akan mengantarkan kepada pembahasan yang lebih
detail lagi yang berpedoman dari dalil-dalil baik dari Kitab Suci Al-Quran dan
As-Sunnah. □ AFM
HIDUP BERMASYARAKAT
DALAM AJARAN ISLAM
PARADIGMA AJARAN ISLAM DALAM BERMASYARAKAT
“Kami adalah suatu kaum
yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan Islam, maka bila
kami mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam maka Allah akan
menghinakan kami.” [Umar bin al-Khatthab Radhiallahu Anhu]
K
|
ata paradigma sendiri berasal dari abad
pertengahan (1483) di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin
yaitu paradigma yang artinya “model atau pola”. Dalam bahasa Yunani paradeigma
yang berasal dari dua kata para dan deiknunai. Para artinya bersebelahan dan deik
artinya memperlihatkan. “Paradeigma” dalam bahasa Yunani
ini arti “untuk membandingkan”.
“Dalam disiplin intelektual” Paradigma adalah:
“Cara Pandang orang terhadap diri dan lingkungan yang akan mempengaruhinya
dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif)”.
Paradigma juga dapat berarti: “Seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik
yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama”,
khususnya dalam disiplin intelektual.
Jadi “Paradigma Ajaran Islam Dalam
Bermasyarakat” maksudnya adalah bagaimana ajaran (konsep dan nilai dalam) Islam
mengajarkan manusia pada umumnya dan umat khususnya dalam memandang diri dan
lingkungan untuk “bertingkah laku yang baik dan pantas” dalam bermasyarakat
agar dalam interaksi sesamanya dapat mengurangi “gesekan-gesekan” yang menjurus
kepada “perpecahan” yang tidak diharapkan itu melainkan bertindak “positif”.
Dengan itu diperlukan “konsep acuan” dan “aturan main” serta tujuannya
sebagaimana yang dikatakan Umar bin al-Khattab ra mengatakannya yang artinya:
“Kami adalah suatu kaum
yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan Islam, maka bila kami
mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam maka Allah akan menghinakan
kami.” [Umar bin al-Khatthab Radhiallahu Anhu]
Acuan dan Tujuan dari interaksi sosialnya adalah:
“Interaksi sosial kita dalam hidup bermasyarakat
hendaklah sesuai dengan cara-cara dan adab Islam yang diajarkan Rasulullah saw,
Insya Allah akan tercipta jalinan sosial yang indah dan berkah, yang akan
membawa kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat”
Ideal Masyarakat Islam Yang Kita Tuju
Islam adalah agama rahmah, yang penuh kasih
sayang, ajaran yang menjaga nilai-nilai kemanusiaan, individu dan masyarakat
pada setiap sisi fenomena kehidupan dan setiap gerak serta waktu di alam jagat
raya ini. Hidup rukun dalam bermasyarakat adalah moral yang sangat ditekankan
dalam ajaran Islam. Jika umat Islam memberikan perhatian dan sungguh-sungguh
menjalankan konsep yang telah diajarkan Rasulullah saw, niscaya akan tercipta kehidupan masyarakat yang tenteram, aman
dan nyaman, di lingkungan tempat tinggal kita, di lingkungan pendidikan,
lingkungan arisan, lingkungan pengajian, lingkungan organisasi atau komuniti
dan di tengah masyarakat umum, baik bersama orang-orang yang sebaya atau tua
muda ataupun yang sama keinginan dan kebutuhannya dengan kita, atau siapa saja.
Sayyidina Umar bin al-Khatthab Radhiallahu Anhu berkata:
“Kami adalah suatu kaum
yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan Islam, maka bila kami
mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam maka Allah akan menghinakan
kami.”
Setiap manusia adalah makhluk sosial,
seseorang tidak bisa lepas dari interaksi dengan sesamanya. Bahkan seringkali
dia harus dibantu oleh orang lain dalam memenuhi kebutuhannya dan demikian pula
sebaliknya. Atas dasar inilah, kaum muslimin diperintahkan untuk saling
menghormati, saling memahami kondisi dan perasaan dan saling mengasihi terhadap
yang memerlukan, saling berterima kasih dan saling memberi kebaikan, sikap
demikianlah yang akan mengantarkan kita kepada nikmat-nikmat-Nya berlipat
ganda.
Firman Allah swt
yang artinya:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”, QS Al Hujurāt 49:13.
Hubungan sosial antar sesama ini merupakan
kehendak Allah swt yang kesemuanya
dalam bentuk, cara, dan peraturan yang diatur sesuai dengan fitrah manusia itu
sendiri. Masyarakat yang harmonis, dipenuhi rasa kebersamaan dan kekeluargaan
pastilah menjadi harapan kita, dan sudahlah pasti bahwa hanyalah dengan aturan
Allah dan Rasul-Nya akan terwujud ikatan hubungan masyarakat yang kuat dalam
jalinan kasih sayang di antara kaum muslim, sebagaimana yang telah ditunjukkan
oleh masyarakat kaum Anshar dan Muhajirin.
Rasulullah Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya:
“Hendaklah kalian
bertaqwa kepada Allah dan memperbaiki hubungan di antara sesama kalian, karena
sesungguhnya Allah memperbaiki hubungan di antara orang-orang yang beriman pada
hari kiamat”, HR Hakim dari Anas bin Malik ra.
Allah swt berfirman yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”,
QS Al-Ma'idah 5: 2.
Ketahuilah saudaraku, bahwa dalam hidup
bermasyarakat (berinteraksi sosial) sehari-hari, tidaklah mudah bagi seseorang
untuk mendapatkan kerelaan orang lain sehingga dapat hidup bersama-sama mereka
dengan penuh kasih sayang, sementara kerukunan dan keharmonisan dalam
masyarakat merupakan kondisi ideal yang semestinya harus terus diusahakan.
Maka perlulah upaya kita untuk menggapai
keridha'an Allah swt dalam bergaul
dengan sesama, yang tiada jalan lain selain apa yang telah diatur dan dituntun
oleh Rasul-Nya, Allah swt berfirman
yang artinya:
“Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu
uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (Rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah”, QS Al-Ahzāb 33:21.
Untuk membahas apa yang menjadi judul dari
tulisan ini tentunya tak akan cukup dengan bahasan yang singkat, namun apa yang
hendak kami sampaikan ini adalah hanyalah 'sedikit' dari samudra tuntunan
Rasulullah saw, terkhusus dalam hidup
bermasyarakat. Semoga kita semua dapat menjadi lebih baik dari waktu-waktu
sebelumnya, dengan terus membenahi diri, mengikuti dan mencontoh budi pekerti
Nabi kita tercinta, Rasulullah Shalallahu
'Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:
“Barang siapa hari ini
lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, barang
siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah tergolong orang yang
merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah
tergolong orang yang celaka”, HR Hakim.
Allah swt berfirman dalam Kitab Suci
Al-Qur’an yang artinya:
Wahai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling KENAL MENGENAL (TA’ARUF). [QS Al Hujurāt 49:13].
Kata kunci dalam bersosial kemasyarakatan dalam
ajaran Islam berada pada kata Ta’aruf
(kenal mengenal). Maka pemaknaan Ta’aruf
ini seterusnya berkelanjutan kepada Tafahum, Ta’awun, dan Itsar
yang makna masing-masing adalah:
1) Ta’aruf, yaitu saling kenal
mengenal yang tidak hanya bersifat fisik atau biodata ringkas belaka, tetapi
lebih jauh lagi menyangkut latar belakang sejarah dan pendidikan, budaya,
keagamaan, pemikiran, ide-ide, cita-cita, serta problem-problem hidup yang di
alami suku dan bangsa tersebut baik dalam pengertian seorang atau kelompok
orang pada umumnya.
2) Tafahum, yaitu saling memaklumi
kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala
macam bentuk kesalahpahaman dapat di hindari. Kemudian dicari kesamaan-kesamaan
titik temu. Kalau ada perbedaan yang tidak dapat dipersatukan, dimaklumi saja,
asalkan tidak menyalahi ajaran pokok Islam sebenarnya.
3) Ta’awun, yaitu tolong menolong adalah
kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri sebagai makhluk sosial.
Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan atau apa saja selalu membutuhkan
pihak lain. Pekerjaan tidak akan dapat dilakukan sendirian oleh seseorang meski
dia memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Ini menunjukkan, bahwa
tolong-menolong dan saling membantu (adanya gotong royong dan teamwork)
adalah suatu keharusan dalam hidup manusia yang ada secara naluriah dalam hati
yang bersih. Mestinya tidak ada keraguannya.
Untuk itu perlu Allah Subhana wa Ta’ala
mengingatkan manusia yang mungkin hatinya telah lalai - sehingga ragu dalam
menyadarinya, dengan berfirman-Nya mempertegas sebagai berikut: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” [QS Al-Maidah 5:2].
Ta’awun dalam artian semangat
teamwork dalam bekerja, yaitu tolong menolong dimana yang kuat menolong
yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong orang yang kekurangan. Nah
kalau ada saja pandangan atau paradigma yang menjadi ideologi masing-masing
individu seperti tersebut, maka harapan hidup tanpa konflik yang yang serius
akan dapat dihindari.
4) Itsar, artinya adalah mendahulukan
kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri. Maknanya diambil dari
surat ke-59, Al-Hasyir, ayat 9 yang kisahnya terjadi dalam menghadapi para
pendatang dari Makkah yang berimigrasi ke Madinah (karena tekanan Musyrikin
Makkah terpaksa menyingkir ke Madinah) yang tidak banyak membawa perbekalan dan
tidak mempunyai tempat tinggal. Dengan itu penduduk Madinah memberi kemudahan
dan pertolongannya.
Dalam pengertian praktisnya, yaitu saling tolong
menolong dan saling kerjasama. Tidak bertengkar dan tidak memusuhi, melainkan
peduli (caring each other).
Untuk sampai kepada hal-hal yang disebut pada
tulisan yang dijelaskan seperti tersebut diatas, maka diperlukan Akhlakul Karimah. Akhlakul Karimah ini
seumpama peraturan lalu lintas di jalan raya. Tanpa diatur lalu lintas ini
dengan baik, maka bukan saja akan kacau balau diantara pengemudi mobil,
pengemudi truk, sepeda motor dan pejalan kaki, tapi aksiden akan terjadi,
korban lalu lintas akan banyak terjadi. Maka dua kata ini mesti diperhatikan
dan setelah itu dikerjakan dengan konsisten, yaitu: “do it” (kerjakan) dan “don’t do it” (jangan
kerjakan).
Mudah-mudahan kita semua termasuk orang-orang
yang beruntung seperti termaktub dalam Firman Allah swt dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw dalam kumpulan kitab-kitab Hadits
seperti tersebut diatas, Āmīn. Billahit Taufiq wal-Hidayah. [Bersambung ke-2].
□ AFM
Serial: (klik --->) 1 2 3 4
1
|
1
|