Interaksi sosial kita dalam hidup bermasyarakat hendaklah sesuai
dengan cara-cara dan adab Islam yang diajarkan Rasulullah saw yang termaktub dalam Al-Hadits dan yang tercantum pula dalam Firman Allah swt dalam Kitab Suci Al-Qur’an. “Allah itu Maha Lembut yang menyukai kelembutan”
BERTINDAK LEMBUT DAN SALING BERSANGKA BAIK
D
|
ari Aisyah radhiallahu
'anha istri Nabi saw, bahwa
Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Wahai
Aisyah! Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut yang menyukai kelembutan. Allah akan
memberikan kepada orang yang bersikap lembut sesuatu yang tidak diberikan
kepada orang yang bersikap keras dan kepada yang lainnya”, Shahih Muslim
#4697.
Dari Jarir bin Abdullah ra, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan", HR Muslim.
Dari Aisyah radhiallahu
'anha, beliau berkata: Rasulullah saw
bersabda yang artinya: "Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan
mencintai sikap yang lemah lembut dalam segala perkara", Muttafaq
'alaih.
Dari ketga Hadits diatas dapatlah kita memahami
bahwa hendaknya kita berprasangka baik kepada orang muslim dan jangan sampai
berprasangka buruk terhadap seorang pun dari mereka. Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya:
“Dua perkara yang tiada
tertandingi kebaikannya, yaitu berprasangka baik kepada Allah dan berprasangka
baik kepada para hamba Allah, dan dua perkara yang tiada tertandingi keburukannya, yaitu
berprasangka buruk kepada Allah dan berprasangka buruk kepada para hamba Allah”.
Dalam Hadits lain Beliau saw bersabda yang artinya:
“Berbaik sangka itu
terpuji meskipun sangkaannya itu salah,
dan berburuk sangka itu buruk dan berdosa, meskipun
sangkaannya itu benar”.
Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata: "Puncak berprasangka baik kepada kaum muslimin adalah engkau tidak meyakini keburukan dalam perbuatan maupun ucapan mereka sedikit pun."
Prasangka baik terhadap makhluk bukti kemuliaan jiwa dan buahnya adalah khusnul khotimah dalam keadaan bangga, Qaul Rijalus Sholih.
Prasangka buruk merupakan kunci perpecahan di antara dua orang atau pihak, dengan menghindari prasangka buruk terhadap muslim lainnya maka pergaulan akan tetap utuh. Hendaklah kita menafsirkan perkataan teman kita dengan penafsiran yang paling baik, jika kita menemukan perkataan atau sikap teman kita yang tidak sesuai dengan hati kita. Kecuali jika kita yakin bahwa teman kita melakukan hal kejelekan, maka hendaklah kita menasehati mereka dengan cara yang baik.
Perlu kita sadari bahwa kita ini makhluk yang
lemah dan terbatas dalam pengetahuan kita akan apa yang tersembunyi di balik
setiap perbuatan orang lain, maka tak pantaslah kita banyak menduga-duga
kecuali dengan perkiraan yang positif (sangkaan baik). Dalam Al-Qur'an, Allah swt berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa.
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”, QS
Al-HujurÄt 49:12.
Bagi yang mendamba kesejahteraan, kedamaian dan kerukunan, baik di lingkungan masyarakat luas maupun lingkup yang lebih kecil dalam rumah tangga, maka tak ada pilihan, ia harus membuang dan menjauhi prasangka buruk.
Hadist riwayat Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda yang artinya:
"Hindarilah oleh
kamu sekalian berburuk sangka, karena buruk sangka adalah ucapan yang paling
dusta. Janganlah kamu sekalian saling memata-matai yang lain, janganlah saling
mencari-cari aib yang lain, janganlah kamu saling bersaing (dalam hal
duniawi), janganlah kamu saling
mendengki dan janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling
bermusuhan, tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara",
Shahih Muslim #4646.
SALING TOLONG MENOLONG DAN MENYELAMATKAN
J
|
alinan keakraban dan lingkungan yang aman
merupakan pilar-pilar yang diperlukan bagi terbentuknya masyarakat muslim yang
BERSATU, damai dan sejahtera, yang kesemuanya dapat terwujud manakala mereka
saling tolong-menolong dan menjaga keselamatan. Dengan tolong-menolong antara
satu dengan lainnya maka akan terlahir sikap saling menutupi kekurangan
sehingga antara satu dengan lainnya akan saling menguatkan.
Rasulullah shalallahu
alaihi wa Älihi wa shahbihi wa salam bersabda yang artinya:
“Seorang muslim bagi
muslim yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama
lain dan seperti satu badan jika ada satu anggota tubuh yang mengeluh, maka
seluruh badan ikut merasakan panasnya.”
Salafunasshalihin (ra) berkata: “Manusia ada yang diuji dan ada yang diselamatkan, oleh karena itu kasihanilah orang-orang yang teruji, dan bersyukurlah kepada Allah swt atas keselamatan itu”. Risalah Muawanah Imamul Haddad.
Keutamaan orang yang memberi kebahagiaan pada orang lain dan menolong mengangkat kesulitan orang lain, disebutkan dalam Hadits Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Dan Allah senantiasa
menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya”, HR Muslim.
Dalam Hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Manusia yang paling
dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun
amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia,
mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan
rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah
keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini (masjid
Nabawi) selama sebulan penuh”,
HR Thabrani.
Saudaraku, segala karunia yang diberikan Allah swt kepada kita merupakan sarana untuk menggapai ridha-Nya. Sayangnya, sering kali kita menyia-nyiakan kesempatan itu. Menolong seseorang sesuai kemampuan kita sebenarnya tidak sulit untuk dilakukan, akan tetapi akhir zaman ini semakin sedikit manusia yang peduli kepada orang lain. Padahal, dengan menolong dan mewujudkan hajat orang lain, Allah akan menolong dan mewujudkan hajatnya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Siapa yang biasa
membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam
hajatnya”, HR Bukhari dan Muslim.
Tanamkanlah dalam hatimu dan berusahalah untuk
menginginkan kebaikan bagi mereka seperti apa yang engkau inginkan bagi dirimu
dan tidak menginginkan keburukan menimpa mereka seperti juga engkau tidak
menginginkannya menimpa dirimu. Baginda Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Tidaklah sempurna
keimanan dari kalian hingga ia menginginkan untuk saudaranya apa yang ia
inginkan untuk dirinya”.
Di antara tanda dari keimanan adalah jika
seorang telah melihat orang beriman lainnya seakan-akan sebagai dirinya
sendiri, sehingga ia pun mencintai mereka, dimana ketika perasaan ini telah ada
di antara kaum muslimin maka pastilah mereka akan saling mengharapkan
ketenangan, ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan segala kebaikan untuk
saudara muslim lainnya sebagaimana ia mencintai segala kebaikan itu tercurah
bagi dirinya, dan sebaliknya tak ingin keburukan menimpa saudaranya sebagaimana
ia juga tak ingin itu terjadi pada dirinya.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Asy-syaikhan dari Anas ra, Nabi saw bersabda yang artinya:
“Tidak akan beriman di antara kamu sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”, HR Bukhari dan Muslim.
Jangan sampai merugikan orang lain, sebisa
mungkin kita berusaha menjadi orang yang dapat memberi manfaat kepada orang
lain, memberi bantuan kepada orang lain, menghormati hak-hak sesama, Insya
Allah kita akan selamat, tentram dan dijauhkan dari hal-hal yang tak disukai.
Dari Jabir ra
bercerita, bahwa Rasulullah saw
bersabda yang artinya:
“Sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”, HR Ahmad dan
ath-Thabrani.
Lebih baik lagi jika kita mampu menghadirkan
kebahagiaan bagi orang lain, menjadi orang yang melegakan hati semua pihak
serta saling menjaga keselamatan sesama muslim.
Hadist riwayat Ibnu Abbas ra, mengatakan bahwa Rasulullah saw
bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya amal yang
paling disukai Allah S.w.t setelah melaksanakan berbagai hal yang wajib, adalah
menggembirakan muslim yang lain”.
Rasulullah Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya:
“Yang disebut dengan
muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan
tangannya’, HR Bukhari #10 dan Muslim #40.
Beliau shallallahu
alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Demi Allah, tidak
beriman.. tidak beriman.. tidak beriman..”. Ada yang bertanya “Siapa itu wahai Rasulullah?” Beliau saw menjawab “Orang yang tetangganya (orang-orang di sekitarnya) tidak aman dari kejahatannya”, HR
Bukhari #6016 dan Muslim #46.
Al-Imam Yahya bin Mu’adz ra berpesan:
“Jikalau engkau tidak
bisa memberi manfaat bagi umat Islam, maka janganlah engkau mencelakai mereka,
jika engkau tidak bisa menghibur mereka, maka janganlah menyakiti mereka, jika
engkau tidak bisa menggembirakan mereka, maka janganlah menyusahkan mereka,
jika engkau tidak bisa memuji mereka, maka janganlah engkau menghina mereka”.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:
“Jadilah orang wara’
maka kamu akan jadi orang yang paling giat beribadah, jadilah orang qana’ah
maka kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur; cintailah orang lain seperti
kami mencintari dirimu, niscaya kamu akan jadi orang mukmin sejati; berbuat
baiklah dengan tetangga, niscaya kamu akan menjadi muslim sejati; kurangi
tertawa, sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati”, Risalah
Al-Qusyairiyyah.
MENUTUPI AIB SESAMA MUSLIM
N
|
abi Muhammad, Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Siapa pun yang yang menutupi aib saudara
muslimnya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya
Allah melindungi mereka yang sedang melindungi saudara muslimnya.”
[Catatan: Selain dengan kata ‘Musliman’, dalam redaksi hadits lain
menggunakan kata ‘AlÄ Muslim’].
Yang dimaksud menutupi
adalah menutupi cela saudara muslim lainnya dengan
tidak menggunjingnya atau membuka aib-aibnya, termasuk juga menutupi badannya
(menutupi auratnya bila tersingkap). Yang demikian berlaku bagi orang yang
belum dikenal akan kejelekannya (kejahatannya), bila
sudah maka dianjurkan dilaporkan keberadaannya pada seorang penguasa (wali).
Dan yang dimaksud “Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat” adalah Allah
tidak akan membuka kejelekan-kejelekan dan dosa-dosanya. [Tuhfah
al-AhwÄdzi IV/574].
Dalam hal ini, Imam al-Qadhi berkata “Dalam
hadits di atas dapat memberi kesan atas dua pengertian: (1) Menutupi
maksiat-maksiat, aib-aib yang telah dilakukan saudara muslim lainnya dan tidak
membeberkannya pada orang lain. (2) Tidak mencari-cari, meneliti kesalahan
orang lain serta tidak menuturkannya’. [Syarh an-Nawaawi ala Muslim 16/143].
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda yang artinya:
“Tidaklah seseorang
menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari
kiamat kelak”, Shahih Muslim.
Dikisahkan, bahwa ada seorang yang membocorkan
aib orang lain kepada temannya, ketika selesai bercerita dia bertanya: "Apakah kamu sudah mendengar dan mengerti apa
yang aku katakan?" Kemudian temannya itu menjawab: "Tidak, aku tidak paham bahkan aku telah lupa".
Apabila suatu ketika saudara muslim kita terjatuh dalam kemaksiatan, bukanlah kemudian bahwa kita boleh menyebarkan rahasia-rahasia yang telah diketahui, sesungguhnya di antara sifat dermawan itu adalah orang yang persahabatannya tetap utuh serta menjaga rahasia kawannya, baik dalam keadaan damai atau berselisih.
Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik atau
diam”, HR.Bukhari.
Imam Syafi'i ra
berkata: “Lidahmu
janganlah engkau pergunakan untuk membicarakan aib orang lain, ingatlah aibmu
juga banyak dan orang lain juga punya lidah”.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra memberi kita nasehat yang artinya:
“Ketika engkau melihat
aib orang lain, maka ingatlah barangkali engkau pernah berbuat aib yang lebih
besar darinya, dan kalaupun tidak (yakni aibmu lebih kecil), mungkin saja Allah telah mengampuni aib (besar) orang itu dan belum mengampuni aibmu yang
kecil”.
Telah bersabda Rasulullah saw yang artinya:
“Wahai sekalian orang
yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah
kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya,
janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barangsiapa yang mencari-cari aib
saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barangsiapa yang
Allah mencari aibnya, niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam
rumahnya”, HR At-Tirmidzi dan lainnya.
Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus (mencari-cari kejelekan atau kekurangan orang) dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri (agar kemudian membenahi diri). Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai.
Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada
dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada
pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan
orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya
akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya. Demikian
nasihat dari Imam Abu Hatim bin Hibban Al-Busthi.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra, beliau berkata yang artinya: Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya:
"Semua umatku akan ditutupi
segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan
terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah
bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya,
lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat
ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia
bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri
menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya", Shahih Muslim #5306.
Syekh Abu Bakar bin Salim memberi kita sebuah nasehat: “Orang yang arif dan bijak adalah orang yang memandang aib-aibnya diri sendiri, sedangkan orang yang lalai adalah orang yang menyoroti dan sibuk dengan aib-aib orang lain”.
Demikian tingginya integritas akhlaq karimah seorang muslim yang dikehendaki
ajaran moral integritas dari Islam ini. Boleh dibilang barang langka saat ini.
Betapa agungnya kaum muslimin zaman Rasulullah saw yang kemudian dilanjutkan lagi di zaman Khulafa Ar-Rasjidun.
Kemudian dilanjutkan lagi semasa tabiin dan tabiin tabiin. Pantas ketika itu
muslim berjaya dengan Bangunnya Peradaban Islam, hingga mencapai puncaknya di
zaman keemasannya di abad tengah. Wallhu
‘alam, Billahit Taufiq wal-Hidayah. [Bersambung ke-4].□ AFM