Wednesday, July 19, 2017

Hidup Bermasyarakat Dalam Ajaran Islam 2






"Bukanlah orang kuat itu dengan menang bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah". Shahih Muslim #4723.

"Tahukah engkau semua, apakah kedustaan besar itu? Yaitu ‘namimah atau banyak bicara adu domba antara para manusia", Hadits Riwayat Muslim.



INTERAKSI SOSIAL

I
nteraksi sosial kita dalam hidup bermasyarakat hendaklah sesuai dengan cara-cara dan adab Islam yang diajarkan Rasulullah saw. Adapun “Pokok-pokok Paradigma Ajaran Islam Dalam Bermasyarakat”, dan “Ideal Masyarakat Islam Yang Kita Tuju” yang telah diterangkan dalam serial pertama adalah sebagai pendahualan untuk menggambarkan “potret” dari dasar-dasar dan tujuan dari masyarakat yang hendak dibentuk.

Berikut ini adalah pembahasan "Hidup Bermasyarakat Dalam Ajaran Islam 2" yang merupakan kelanjutan tulisan yang sebelumnya, yaitu pada dasarnya suatu pekerjaan itu adalah “don’t do it” - jangan kerjakan. Selanjutnya do it” - kerjakan.

Dengan prinsip seperti tersebut diatas, maka selamatlah kita dalam "berlalu lintas" dalam bermasyarakat. Karena bermasyarakat itu layaknya seperti berada di jalan raya besar yang banyak simpang dan belokannya, dan diisi dengan berbagai macam kendaraan dan pejalan kaki. Maka dari itu perhatikan tanda-tanda dan rambu-rambunya. Tanda-tanda dan rambu-rambu "lalulintas berorganisasi" inilah yang dibahas berikut ini.


JANGAN MARAH! TINGGALKAN DENDAM DAN HASUD

D
ari Abu Hurairah ra bahwasanya ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi saw, "Ya Rasulullah, Berikanlah wasiat padaku!" Nabi saw menjawab: "Janganlah engkau marah", Orang itu mengulang-ulangi lagi permintaan wasiatnya sampai beberapa kali, tetapi Beliau saw tetap menjawab: "Janganlah engkau marah." [HR Muslim].

Dengan itu kita jangan mengunakan kata-kata atau cara-cara yang mengakibatkan orang lain menjadi marah.

Hadist riwayat Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya:

"Bukanlah orang kuat itu dengan menang bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah". Shahih Muslim #4723.

Cabang iman 43-44 disebutkan dalam bait:

"Tinggalkan dan cegahlah olehmu setiap dendam dan hasud, haramkan bagi kehormatan orang-orang muslim, maka engkau akan selamat".

Dendam adalah buah dari kemarahan, sedangkan letak dari kekuatan marah adalah hati. Marah adalah mendidihnya darah hati untuk menuntut hukuman. Arti dendam ialah apabila hati selalu merasa berat dan benci, sedangkan perasaan tersebut langgeng dan tetap. Rasulullah saw bersabda yang artinya: "Orang mukmin itu bukanlah pendendam".

Definisi dari dendam adalah benci terhadap kenikmatan (kesuksesan, keberhasilan) yang ada pada orang lain dan senang apabila kenikmatan (kesuksesan, keberhasilan)  lenyap dari orang tersebut.

Sayyidina Hasan bin Ali ra meriwayatkan, dari Rasulullah bersabda yang artinya:

"Dendam dan hasud memakan amal kebajikan, sebagaimana api memakan kayu bakar".

Hasud adalah buah dari dendam, sedangkan dendam adalah buah dari marah. Jadi hasud adalah cabang dari cabang, sedangkan marah adalah asal dari asal. Rasulullah saw bersabda yang artinya:

"Janganlah kamu sekalian saling berbuat hasud. Janganlah saling menambah penawaran. Janganlah saling membenci. Janganlah bercerai-berai. Janganlah salah seorang dari kamu sekalian saling berebut pembeli. Dan jadilah kamu sekalian para hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim adalah saudara orang muslim".

 Di antara hikmah dari hadits di atas ialah agar kita sekalian jangan saling mengangan-angankan nikmat (kesuksesan, keberhasilan) yang ada pada orang lain hilang. Kita hendaknya menyibukkan diri untuk melaksanakan ajaran agama Islam seolah-olah kita sekalian adalah berasal anak-anak dari satu orang, sebagaimana sesungguhnya kita adalah para hamba Allah swt. Hal tersebut didasarkan dari kalimat ini, “Bahwa sesungguhnya orang muslim adalah saudara dari orang muslim lainnya dalam agama”.

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:

“Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki dan janganlah kalian saling membelakangi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan (tidak berbaikan, tidak bertegur sapa) saudaranya melebihi tiga malam”, Shahih Bukhari #5612.


LARANGAN MENCELA DAN MENGADU DOMBA ORANG MUSLIM


J
angan meremehkan orang lain, karena masing-masing manusia sudah diberikan kelebihan dan kekurangan. Tidak mutlak seseorang yang berpenampilan menarik, berhati baik. dan jangan mengira yang berpakaian compang-camping atau terlihat sederhana, di sisi Allah lantas mereka hina. Manusia menjadi mulia karena takwanya bukan karena faktor dunia, pangkat jabatan atau lainnya. Allah swt berfirman yang artinya:

"Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa", QS Al Hujurāt 49:13.


Makna Kata Taqwa

Kata taqwa itu sendiri yang sudah menjadi bahasa Indonesia, sebenarnya diambil dari lughowi (bahasa) Al-Qur’an itu sendiri yakni bahasa ‘Arab yang langsung diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sebahagiannya boleh jadi ada yang kurang tahu makna dari kata ‘taqwa’ itu. Untuk itu akan dijelaskan sebagai berikut:

Taqwa atau Takwa (ىتقو taqwā) adalah istilah dalam Islam yang merujuk kepada kepercayaan akan adanya Allah, membenarkannya, dan ‘takut’ akan Allah. Istilah ini sering ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-Muttaqin (لِّلْمُتَّقِينَ Al-Muttaqin) yang merujuk kepada orang-orang yang bertaqwa, atau dalam perkataan Ibnu Abbas, "orang-orang yang meyakini (Allah) dengan menjauhkan diri dari perbuatan syirik dan patuh akan segala perintah-Nya."

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, arti dasar dari "taqwa" adalah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai-Nya. Umar bin Khattab ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai taqwa. Ubay bertanya, "Pernahkah kamu berjalan di jalan yang penuh dengan duri?" Umar menjawab, "Ya." Ubay bertanya lagi, "Apa yang engkau lakukan?" Umar menjawab, "Aku menggulung lengan bajuku dan berusaha (melintasinya)." Ubay berkata, "Inilah (makna) taqwa, melindungi seseorang dari dosa (kesalahan, kekeliruan) -  berjalan di jalan “yang lurus”, dalam perjalanan kehidupan yang berbahaya sehingga ia mampu melewati jalan itu tanpa terkena dosa (melanggar peraturan)."

Ketika Abu Dzarr Al-Ghifari meminta nasihat kepada baginda Rasulullah saw, maka pesan paling pertama dan utama yang beliau sampaikan kepada sahabatnya itu adalah ‘taqwa’. Rasulullah saw bersabda yang artinya:

"Saya wasiatkan kepadamu, bertaqwalah engkau kepada Allah karena takwa itu adalah pokok dari segala perkara", Tanbihul Ghofilin, Abi Laits As-Samarkindi.

Abu Sulaiman Ad-Dardani menyebutkan: "Orang-orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang kecintaan terhadap hawa nafsunya dicabut dari hatinya oleh Allah."

Selanjutnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah menegaskan, bahwa hakikat taqwa adalah taqwa hati (qalb, perasaan atau kesadaran yang paling dalam) bukan taqwa anggota badan." [Al-Fawaid].

Menurut hadits Nabi saw, pengertian takwa berintikan pelaksanaan perintah Allah swt atau kewajiban agama: 

"Laksanakan segala apa yang diwajibkan Allah, niscaya kamu menjadi orang yang paling bertakwa", HR Ath-Thabrani.

Pengertian takwa menurut sahabat Nabi saw dan ulama di atas tentu saja merujuk pada Qur’an dan Hadits.

Al-Qur’an menyebutkan, takwa itu adalah beriman kepada yang ghaib (Yang Mahagaib: Allah swt), Hari Akhir, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, beriman pada kitab-kitab Allah, dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menjalankan hidupnya, QS Al-Baqarah 2:2-7.

Orang bertaqwa senantiasa meluangkan waktu untuk beribadah dalam pengertian ibadah mahdhah seperti kewajiban utama seperti shalat dan zakat, serta puasa Ramadhan dan Haji bagi yang mampu. Dan ibadah lainnya seperti beradab atau berakhlaq dalam bermasyarakat dan bernegara bahkan berantar negara, menuntut ilmu, dst. Demikian gambaran dari makna bertaqwa itu.


DALAM HIDUP BERMASYARAKAT SERING KALI TERJADINYA “GESEKAN-GESEKAN”, AKAN TETAPI PERMASALAHAN YANG MUNCUL ITU TIDAK BOLEH MENJADI MUNCULNYA KERETAKAN DAN PERMUSUHAN.


G
esekan-gesekan dalam hidup bermasyarakat bisa saja terjadi. Gesekan-gesekan itu timbul bila ada orang terhadap orang lain melakukannya, seperti: mencaci; menghina; mempermalukan; mencela; ghibah; mengejek; mengumpat; mengutuk; berkata keji; dan berkata kotor; mengadu domba dst. Perbuatan-perbuatan seperti tersebut akan dibahas berikut ini.

Jika terjadi gesekan dalam kehidupan bermasyarakat maka diantara satu dengan yang lain haruslah menghindari terjadinya caci makian, apalagi dilanjutkan menjadi baku hantam, yaitu perkelahian dari mereka yang bersengketa. Oleh sebab itu hindarilah, karena dengan perbuatan seperti itu akan memperburuk dan merusak hubungan masing-masing. Itulah sebabnya mengapa dosa akibat dari cacian itu dipikul oleh orang yang lebih dahulu memulai. Sebagaimana pada hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasul saw bersabda yang artinya:

Apabila dua orang terlibat saling mencaci, dosa cacian itu dipikul oleh yang memulai, selama yang dicaci tidak membalas melampaui batas”, HR Muslim.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:

Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk, biarlah ia yang menanggungnya”, HR Tirmidzi #2722.

Ketahuilah, bahwa seseorang itu dianggap cukup melakukan kejahatan apabila dia menghina saudaranya sesama muslim, semisal sebab kemelaratannya atau lainnya. Seorang muslim seharusnya memuliakan dan menghormati sesama muslim lainnya, semua perbuatan yang menyakitkan orang muslim lain adalah haram (terlarang keras), seperti menumpahkan darahnya, mengambil hartanya dan mencelanya, baik di hadapannya (menghina) maupun pada saat dia tidak hadir (menggunjing, ghibah).

Sabda Rasulullah saw yang artinya:

“Seseorang dianggap berbuat jahat bila ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap orang muslim atas orang muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.

Dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya:

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan bertaubat dari ghibah (menggunjing orang lain), maka dia adalah orang yang terakhir masuk surga. Dan Barangsiapa yang mati dalam keadaan terus menerus (membandel, tidak peduli) berbuat ghibah, maka ia adalah orang pertama yang masuk neraka dalam keadaan menangis”. Tahukah kamu apa ghibah itu? Para Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau saw bersabda: “Menyebut-nyebut sesuatu tentang saudaramu hal-hal yang dia tidak sukainya”, HR Muslim.

Imam Qurtubi memberikan penjelasan tentang firman Allah swt: “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati”, QS Al-Hujurāt 49: 12.

Allah memberikan perumpamaan mengenai kejelekan ghibah dengan memakan daging orang mati karena orang mati tidak mungkin mengetahui kalau dagingnya sedang dimakan, seperti saat ia hidup tidak mengetahui bahwa dirinya sedang digunjingkan (membicarakan - yang biasanya membicarakan keburukannya tidak dihadapannya).

Baginda Rasulullah saw bersabda yang artinya:

Mengejek seorang mukmin adalah perbuatan ‘fasik’ sedangkan membunuhnya termasuk kekafiran.

Pengertian fasik secara bahasa berarti keluar dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah fasik berarti seseorang yang menyaksikan, tatapi tidak menyakini dan melaksakan. Dalam agama Islam orang yang fasik adalah orang yang telah keluar atau menyimpang dari ketaatannya kepada Allah swt dan Rasul-Nya serta cenderung kepada melaksanakan  suatu kemaksiatan.

Sedang maksiat bisa disebut sayyi'ah, bisa disebut khathi'ah, bisa disebut itsmun, bisa juga disebut dzanbun.  Semua sinonimnya, memiliki makna yang berdekatan. Yang wajib dilakukan adalah mewaspadainya. Perbuatan maksiat seperti ghibah, bisa disebut dzanbun, bisa disebut maksiat, bisa juga disebut khathi'ah.

Arti ‘ghibah’ adalah membicarakan kejelekan orang lain tidak didepannya. Penjelasannya: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullulah saw bersabda: "Tahukah engkau apa itu ghibah?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Ia berkata: "Engkau menyebut kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain." Beliau ditanya: "Bagaimana jika yang ia sebutkan sesuai kenyataan?" Jawab Nabi saw: Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya", HR Muslim #2589.

Dengan demikian, setiap mukmin wajib menjauhi segala yang Allah haramkan baginya. Baik dia sebut dosa, itsmun, khathi'ah, atau maksiat. Menghindari semua perbuatan buruk yang Allah haramkan. Baik dinamakan khathi'ah, sayyi'ah, maksiat, atau itsmun. Semua harus diwaspadai atau dijauhi, karena semua itu adalah nama untuk segala yang Allah larang.

Dalam ayat-ayat Al - Qur'an telah banyak disebutkan tentang fasik ini. Adapun ciri ciri orang fasik dalam Al-Qur'an ialah: "Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik", QS Al-Baqarah 2:99.


WASIAT-WASIAT RASULULLAH SAW

D
i antara wasiat-wasiat Rasulullah saw adalah janganlah menghina orang lain. Suatu ketika Abu Jurayy berkata kepada Rasulullah saw, Berilah wasiat kepadaku, Ya Rasulullah”, Nabi saw pun memberi wasiat yang artinya: Janganlah engkau menghina seorang pun.

Setelah Rasul saw menyampaikan wasiat ini, sahabat ini tidak pernah lagi menghina seorang pun, walau pada seorang budak bahkan hewan, Abu Jurayy berkata: Aku tidak pernah lagi menghina seorangpun setelah itu, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta maupun domba.

Allah swt memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lainnya, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”, QS Al-Hujurāt 49:11.


Menjaga Lisan dan Hati

Berhati-hatilah dalam menjaga lisan dan hati ini daripada menghina atau melecehkan orang lain, terkadang apa yang kita benci malah itu baik untuk kita dan begitu juga sebaliknya sesuatu yang kita suka padahal itu tidak ada kebaikannya untuk kita. Belajarlah hidup sehat dan islami dengan tidak menyakiti pada sesama, saling menghormati, rukun dan damai.

Rasulullah saw bersabda yang artinya:

"Barangsiapa yang menjaga kehormatan saudaranya muslim di dunia, niscaya Allah Ta'ala akan mengutus malaikat pada hari kiamat untuk menjaganya dari api neraka".

Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah saw yang artinya:

Wahai Rasulullah, si fulanah sering shalat malam dan puasa, namun lisannya pernah (atau sering) menyakiti tetangganya“. Rasulullah saw bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka”, HR Al-Hakim.

Imam al-Ghazali ra menasehatkan: Jika engkau melihat orang jahat, jangan anggap kita lebih mulia karena mungkin satu hari nanti dia akan insyaf dan bertaubat atas kesalahannya. Sesungguhnya, jika kita benar-benar takut kepada Allah, maka hati dan lisan ini akan selalu terjaga dari mengotori dengan cacian makian kepada orang lain, bahkan kepada orang yang belum insyaf sekalipun.

Rasulullah saw bersabda yang artinya:

Seorang mukmin bukanlah seorang pengumpat, pengutuk, yang suka berkata keji dan berkata kotor”, HR Turmudzi.


Mengadu Domba

Janganlah merusak hubungan di antara sesama dengan mengadu domba, membicarakan keburukannya dan hal-hal lain yang menyebabkan perpecahan, karena hal itu termasuk dosa yang amat besar di sisi Allah swt Nabi Shalallahu Alaihi wa Ālihi wa Shahbihi wa Salam bersabda yang artinya:

Orang yang paling dibenci oleh Allah di antara kalian adalah yang selalu mengadu domba di antara orang-orang yang saling kasih sayang, yang membuat perpecahan di antara saudara-saudara.

   Di dalam Islam, telah dijelaskan mengenai haramnya mengadu domba, yaitu memindahkan kata-kata antara para manusia dengan tujuan hendak membuat perpecahan di antara mereka, membuat mereka saling bermusuhan, merusak (hubungan kedekatan atau persaudaraan) dan dengan memfitnah mereka. Sabda Rasulullah saw yang artinya: Tidak akan masuk surga seorang pengadu domba.

Dari Hudzaifah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya: Tidak dapat masuk syurga seorang yang gemar mengadu domba”, Muttafaq 'alaih.

Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra: Sesungguhnya Nabi Muhammad saw pernah bersabda yang artinya:

"Maukah kamu sekalian aku beritahukan tentang apa itu adhhu? Adhhu adalah perkataan adu-domba yang selalu diucapkan di antara orang banyak".

Dan sesungguhnya Nabi Muhammad saw juga pernah bersabda:

"Sesungguhnya seseorang selalu berkata jujur sehingga dia tercatat sebagai orang jujur dan seseorang selalu berdusta sehingga dia dicatat sebagai seorang pendusta", Shahih Muslim #4718.

Dari Ibnu Mas'ud ra, bahwasanya Nabi saw bersabda:

"Tahukah engkau semua, apakah kedustaan besar itu? Yaitu ‘namimah atau banyak bicara adu domba antara para manusia", Hadits Riwayat Muslim.

Maka apa yang telah diterangkan diatas jauhilah sejauh-jauhnya segala sifat-sifat yang negatif itu, karena merugikan kita semua. Merugikan persatuan yang tidak mudah memeliharanya. Untuk itu mari berpegang denga sifat-sifat “akhlakul karimah” (segala sesuatu yang baik-baik) yang di ajarkan oleh ajaran Islam. Billahit Taufiq wal-Hidayah. [Bersambung ke-3]. □ AFM



Serial: [klik --->]   1     2     3     4