Sunday, March 13, 2022

Tasawuf Moderen Buya Hamka


Pengantar

Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Abdullah) dalam bukunya “Tasawuf Modern” menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat akan memahaminya sebagai hidup menjauh dari dunia dan lebih fokus ke akhirat saja. Kekayaan dijauhi, kekuasaan diabaikan. Hidup sepenuhnya untuk beribadah saja.

     Pemahaman seperti itu bisa dipahami mengingat pada awal munculnya, para pengamal tasawuf, dikenal sebagai sufi yang memilih untuk menjauh dari dunia, menepi dan mengasingkan diri, sibuk berdzikir dan beribadah maghdoh saja.

     Tasawuf dalam buku Buya Hamka ini tidaklah dimaknai seperti itu. Buya Hamka memaknai tasawuf atau sufi sejalan dengan Al-Junaid al-Baghdadi yang mengartikan tasawuf sebagai ‘kehendak memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersihkan bathin) yang mana ini mudah untuk dipahami karena tasawuf identik dengan taskiyatun-nafs (pembesihan jiwa). Ini lah sebenarnya tujuan awal hadirnya ta-sawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat akhlaq atau budi pekerti  dengan menekan segala kelobaan (memiliki sebanyak-banyaknya) dan kerakusan, apa lagi dengan jalan untuk mencapainya mengha-lalkan dengan segala cara.

     Bahasan selanjutnya mari ikuti blog ini. Selamat menyimak, semoga bermanfaat hendaknya bagi kita semuanya. Billāhit Taufiq wal Hidāyah. □ AFM


TASAWUF MODEREN BUYA HAMKA

Oleh: Ahmad Faisal Marzuki

B

uya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Abdullah) dalam bukunya “Tasawuf Modern” menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat akan memahaminya sebagai hidup menjauh dari dunia dan lebih fokus ke akhirat saja. Kekayaan dijauhi, kekuasaan diabaikan. Hidup sepenuhnya untuk beribadah saja.

     Pemahaman seperti itu bisa dipahami mengingat pada awal munculnya, para pengamal tasawuf, dikenal sebagai sufi yang memilih untuk menjauh dari dunia, menepi dan mengasingkan diri, sibuk berdzikir dan beribadah maghdoh saja.

     Tasawuf dalam buku Buya Hamka ini tidaklah dimaknai seperti itu. Buya Hamka memaknai tasawuf atau sufi sejalan dengan Al-Junaid al-Baghdadi yang meng-artikan tasawuf sebagai ‘kehendak memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (mem-bersihkan bathin) yang mana ini mudah untuk dipahami karena tasawuf identik dengan taskiyatun-nafs (pembesihan jiwa). Ini lah sebenarnya tujuan awal hadirnya tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat akhlaq atau budi pekerti  dengan menekan segala kelobaan (memiliki sebanyak-banyaknya) dan kerakusan, apa lagi dengan jalan untuk mencapainya menghalalkan dengan segala cara.

   Dengan pemahaman seperti itu, bagi Buya Hamka tidak ada yang salah dengan bekerja keras dalam mendapatkan harta atau berupaya tanpa kenal lelah untuk menggapai kuasa. Justru ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong ummatnya untuk mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam hidup.

    Namun jangan salah menempatkannya. Kekayaan, kekuasaan, dan segala kesenangan dunia ditempatkan sebagai jalan atau ladang ibadah, bukan tujuan. Dalam menggapai kebahagiaan misalnya, kekayaan adalah jalan, bukan keba-hagiaan itu sendiri.

   Perjalanan kita di dunia ibarat pelayaran kapal yang singgah di sebuah pulau yang indah. Namun sejak awal nakhoda sudah mengingatkan bahwa izin turun hanya untuk berjalan-jalan sejenak. Silahkan melihat-lihat, tapi jangan lalai bila datang penggilan hendak melanjutkan pelayaran sesuai skedul.

   Setengah orang, diikutinya perintah nakhoda itu, dia turun ke daratan, mengambil barang-barang sekedar yang diperlukan, tidak membuang-buang tempo. Setelah selesai dia pun kembali ke kapal. Setengahnya lagi terpedaya dan terlambat naik, sehingga tempat duduknya telah diganti orang lain.

       Adapun yang sebagian itu dan inilah yang terbesar, lalai dan lengah, terpedaya dan lupa bahwa perjalanannya masih jauh. Tertarik dia dengan keindahan yang ada di pulau itu, sehingga disangkanya tidak ada lagi keindahan dan kecantikan sesudah itu. Telah berkali-kali lonceng berbunyi tanda menyuruh naik ke kapal, dia masih acuh tak acuh. Tiba-tiba datang masa waktunya, kapal membongkar sauhnya dan mereka tertinggal dalam pulau itu.

      Maka, agar tidak salah langkah saat mengarungi dunia, agama harus menjadi pijakan. Hidup dengan berpedoman pada agama itulah jalan kebahagiaan sejati. Bahwa takdir kaya atau miskin, sebagai penguasa atau rakyat jelata, sukses atau gagal dalam usaha tidak menghalangi untuk hidup bahagia. Karena baginya, semuanya merupakan jalan untuk menggapai kebahagian sejati di akhirat nanti.

     Tasawuf modern bagi Buya Hamka adalah penerapan dalam sifat qanaah (sifat syukur dan ridho), ikhlas, siap fakir tetapi tetap semangat dalam bekerja. Selain dari itu seorang sufi di abad moderen juga juga dituntut untuk bekerja secara giat dengan diniati karena Allah swt. Buya Hamka memberi panduan dalam beretika atau bersikap bagi seorang sufi berdasarkan profesi profesi masing-masing. Terdapat etika di bidang pemerintahan, binis dan ekonomi, serta kedokteran. Buya Hamka menulis etika untuk guru, murid, dokter, pengacara, pengarang (penulis). Jika seorang muslim dengan beberapa profesi tersebut dapat mengaplikasikan nilai-nilai Islam maka Ia bisa disebut seorang sufi di abad moderen.

     Sebagaimana yang disebutkan Buya Hamka begitu pula Syekh Abdul Kadir Jailani. Syekh Abdul Kadir Jailani menyeru kepada murid-muridnya untuk bekerja keras dalam kehidupan. Ketasawufan atau kesufian tidak berarti membelakangi kehidupan (di dunia). - Disebutkan dalam firman Allah swt dalam Surat ke-28, Al-Qashash ayat 77: Dan carilah negeri Akhirat (dengan beribadah kepadaNya) dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (iman-taqwa, akhlaq, hikmah, ilmu, tenaga, waktu, akal, rezeki, kesehatan). Tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu (selaku pemakmur bumi dengan membangun peradaban) di dunia (sebagai ladang ibadah). - Dalam berdakwah Syekh Abdul Kadir Jailani berpegang teguh pada kebenaran dan prinsip perjuangan. Beliau tidak segan-segan memberi nasehat kepada penguasa. Ketika itu penguasanya adalah Khalifah al-Muktafi mengangkat Ibnu Muzahim yang dikenal sebagai seorang yang lalim (sewenang-wenang) sebagai hakim, Abdul Kadir Jailani naik mimbar dan berkhutbah lebih kurang sebagai berikut: Wahai Amirul Mukminin, Tuan angkat seorang yang terkenal paling lalim menjadi kadi (hakim) bagi kaum muslimin. Apakah jawaban Tuan nanti bila ditanya hal itu oleh Allah Yang Maha Penyayang? Khalifah gemetar dan menangis mendengar khotbah tersebut. Setelah itu ia memecat langsung kadi yang telah diangkatnya itu. □ AFM



Sumber:

Draf Buku, “Limabelas Surat Pengajaran Syekh Abdul Kadir Jailani”, Ahmad Faisal Marzuki. □□