Kata Pengantantar
Dalam blog --klik--> afaisalmarzuki blogspot
disebutkan: Dalam beberapa masa, peradaban Islam pun memasuki masa kelam,
sampai kemudian nampaknya hasil perjuangan yang dilakukan oleh para pembaharu
Islam yang melahirkan perbaikan dalam lapangan kehidupan peradaban Islam.
Yaitu usaha yang dilakukan oleh Al Ghazali [1]
sehingga melahirkan generasi Shalahuddin lima puluh tahun kemudian.
Apa maksud Generasi Shalahuddin? Kondisi apa
sampai perlu dibentuk dan Bagaimana cara membentuknya? Dan apa perannya?
Mari ikuti paparannya. Billahit Taufiq wal-Hidayah.
□ AFM
GENERASI SHALAHUDDIN
“Kaifa Abtasim, wal Qudsu asīr?”
Artinya:
Bagaimana
aku bisa tersenyum, sedangkan Al-Quds terjajah?
[Shalahuddin Al-Ayyubi,
1137-1193]
P
|
emuda itu, saat itu tidak segagah namanya. Ia
tak begitu besar, bahkan bisa dibilang seperti anak ingusan. Padahal ayahnya
telah lama mendidiknya untuk menjadi pejuang handal yang siap menghadang
satuan-satuan musuh dari barat. Ya, hari-hari itu adalah hari yang sulit bagi
Muslimin, dihimpit pelbagai kesusahan dari dalamnya, dan bahaya dari 22 negeri
Eropa.
Dia, adalah anak seorang gubernur. Lahir di
Benteng Tikrit [2] dan tumbuh besar di sana. Ia mengenyam kehidupan dan diajak
berjalan melihat keadaan kaum muslimin di penjuru tanah Arab, menyaksikan
banyak peristiwa yang memilukan. Kaum muslimin hidupnya terpecah-pecah; Ulama
yang rela berfatwa salah, demi nama harum di hadapan Khalifah; Pasukan Salib dari
Eropa mencabik-cabik kedigdayaan Al-Quds, Palestina.
Namun ia takut dengan darah, ia takut dengan
perang. Ia lebih suka berdamai. Ia khawatir sebilah pisau melukai kulitnya, ia
berlindung dibawah ketiak ayahnya ketika datang kabar Pasukan Salib membantai
daerah muslimin. Ia dikelilingi keresahan dan kegalauan, padahal ia anak
panglima. Ia anak yang dibesarkan di bawah kewibawaan penghuni benteng raksasa
Tikrit, tapi sampai beranjak masa remajanya, ia tumbuh jadi remaja yang akut,
takut, dan limbung saat berhadapan dengan kata jihad dan perang.
Nama kecilnya Shalahuddin Al-Ayubi adalah Yusuf.
Ia masih takut dengan darah sampai akhirnya Sang Paman, Asaduddin Syirkuh
mengajaknya, lebih tepatnya, memaksanya untuk melihat langsung bagaimana
situasi perang, mengajarinya memanah, berkuda, mendidiknya dengan tegas dan
wibawa. Asaduddin adalah panglima besar yang semangat jihadnya menginspirasi
pemuda-pemuda muslimin di era Abbasiyah untuk berdiri di garda depan, memasang
kuda-kuda, menyiapkan surat wasiat seandainya esok hari mereka telah syahid di
tangan Pasukan Salib.
Nyali Yusuf tumbuh, ia dipaksa keluar dari
ketakutaannya. Ia dipaksa beranjak dari kegelisahannya. Ia dipaksa pamannya
untuk melihat realitas yang ada; bahwa ummatnya kini terguling-guling dalam
ketidakpastian; bahwa sekarang matahari Al-Aqsha sedang dihijabi kabut-kabut
samar yang menutupi kesucian dan terangnya semasa dulu.
Semenjak tahun 1092, perintah Paus Urbanus II
dari Roma telah menggiring ratusan ribu pasukan beringas bersalib nan
berpakaian lusuh dari 22 negeri Eropa yang kebanyakannya preman-preman dan
narapidana penjara. Mereka datang dan tumpahkan darah 40 ribu jiwa muslimin tak
berdosa hanya dalam waktu 4 hari 4 malam.
Ketakutan dan kata damai yang bersemayam di
hatinya dahulu, senyum indah dan kenyamanan yang ia alami dahulu, berubah
drastis. Kini Yusuf hidup di bawah kilatan pedang, siangnya ia habiskan di atas
kudanya, matanya telah tajam melihat, meresapi makna jihad, mengulang hafalan
Al-Qur’annya di bawah terik matahari. Asaduddin Syirkuh, pamannya, telah
berhasil mendidiknya, lalu membawa Yusuf ke sebuah tempat yang akan jadi
pijakan pertamanya menyatukan muslimin, menuju Aqsha! Membebaskan Al-Quds
(Yerusalem).
Tempat kemenangan itu bermula dari; Mesir, yang
tahun-tahun itu Kerajaan Syi'ah Fathimiyah kehilangan taringnya di sana.
Berbagai cara mereka lakukan agar kekuasaannya bertahan, termasuk mengundang Pasukan
Salib Eropa untuk membantu Sang Raja yang terlalu rapuh untuk berkuasa.
Bukannya membantu, justru Pasukan Salib datangnya memperkeruh suasana Mesir.
Asaduddin dan Yusuf diperintahkan oleh Khalifah
dari Baghdad untuk berangkat bersama pasukan terbaiknya menuju Mesir, untuk
memperbaiki suasana dan menghadang ekspansi Pasukan Salib yang ingin merebut
bumi Islam. Di sanalah Allah anugerahkan keberanian besar, Allah anugerahkan azzam (kebulatan tekad yang) membara dan
membuka mata Yusuf untuk melakukan langkah besar yang bukan sekadar mengusir Pasukan
Salib, tapi lebih dari itu: membebaskan Quds yang 80 puluh tahun berada dalam
kepiluan dan jajahan Kerajaan Salib yang dipimpin Raymond saat itu.
Kemenangan diraih, Asaduddin dan Yusuf berhasil
memimpin pasukan terbaik dan menghadang Pasukan Salib dari laut tengah, memukul
mundur mereka sampai pantai-pantai Eropa selatan. Rakyat Mesir mencintainya.
Yusuf, ia telah merebut hati rakyat Mesir dan membuat mereka mengangkatnya jadi
pemimpin sejati. Ia, Yusuf, menemukan jalannya, ia menemukan tempatnya, ia menemukan
markasnya untuk membangun kekuatan besar membebaskan Al-Aqsha.
“Ketika Allah menganugerahkanku bumi Mesir, Aku
yakin Dia juga bermaksud Palestina untukku”, begitu salah satu kalimatnya yang
terjelma menyejarah hingga kini. Dengan segala upaya, pendidikan ketentaraan
dan tarbiyah ruhiyah yang menggebu-gebu, Yusuf yang telah menjadi Sultan di Mesir
menjadikan Al-Aqsha sebagai slogan-slogan kebangkitan ummat Islam. Ia
berkeliling dari kerajaan dan kehilafahan muslim yang terpecah-pecah kemudian
menyatukannya.
Namanya mulai mencuat sebagai singa yang
mengancam keberadaan Salib di kubah-kubah Al-Quds. Angin menyebarkan namanya
dan kaum muslimin menyambut panggilan jihad darinya, kuda-kuda seluruh tanah Arab
disiapkan begitu sejahtera, anak-anak muda ditempa pendidikan Qur’an sedemikian
rupa. Masjid-masjid sungguh jadi tempat para Ulama mendengungkan jihad yang
menyala-nyala. Para Ibunda melepas kepergian suami dan anak lelakinya untuk
berbaris bersama Yusuf, menuju satu tujuan, menuju kemulian, yaitu mengganti
salib di kubah Al-Aqsha menjadi bendera tauhid yang gagah berkibar-kibar!
Hittin, lembah dekat Al-Quds itu, jadi saksi
13.000 pasukan pimpinan Yusuf melawan 60.000 Pasukan Salib pimpinan Reynald De
Chatillon dan Guy De Lusignan. Muslimin menang, telak. Beranjak dari Hittin,
pasukan Muslim berbaris lurus berkilo-kilo dengan gagah. Manjaniq (Meriam
katrol pelempar bongkahan batu api) dipasang bershaf, bersiap dengan batu api.
Pasukan panah berjajar, busurnya ditarik dan anak panah diterbangkan menutupi
langit. Yusuf, bersama 13.000 pasukan (ada yang mengatakan 60.000, ada yang
mengatakan 240.000) muslimin telah meneguk janji kemenangan, mereka jadi saksi
nyata Al-Quds kembali ke pelukan kaum muslimin pada tanggal 27 Rajab, di tahun
1187 Masehi.
Kemenangan itu menyebar di saentero kawasan
kekuasaan Arab dan membangkitkan kaum muslimin dari malunya yang sungguh tak
tertahankan. Yusuf, yang saat itu telah mendirikan kerajaan Ayyubiyyah di Mesir
telah mengangkat wajah umat Islam dan membuat Eropa malu. Di Eropa namanya pun
berkibar gagah, disegani dan dihormati karena masih sempat-sempatnya
mendatangkan dokter untuk mengobati penyakit (seteru Yusuf - “Shalahuddin”)
Raymond, Raja Kerajaan Kristen yang bercokol di Yerusalem. Kawan, saksikanlah
lelaki itu, Eropa memanggilnya: Saladin The Wise. Malah ada diproduksi Tank Baja
(Panzer) handalan British Army nama tanknya Saladin. Kaum Muslimin mengenangnya:
Shalahuddin Al-Ayyubi!
Sebenarnya dalam tulisan ini kita membahas tak
sekadar biografi seorang tokoh. Memang benar kata Thomas Carlyle “Sejarah tidak
lain tidak bukan adalah kumpulan biografi orang-orang besar yang
menciptakannya”. Namun saya mengajak pembaca dan kawan sekalian untuk menelaah
dan mendalami sebuah pertanyaan: “Bagaimana Shalahuddin tercipta? Apakah dia
datang secara tiba-tiba, atau ditempa menjadi seseorang paling berharga?”
“Shalahuddin bukanlah seseorang,
ia adalah sebentuk besar generasi. Ya, Generasi Shalahuddin!” Kata Ustadz Adian
Husaini dalam salah satu talkshow
beliau. Saya dan tentu kawan-kawan mengangguk mengamini pernyataan ini.
Saya pernah mempelajari sebuah buku tentang
proses kembalinya Al-Quds menuju pelukan kaum muslimin. Dibalik kegagahan
Shalahuddin dan kegemilangan Satria-Satria Hittin yang menampar kedigdayaan
Salib, ada banyak elemen yang ikut andil dan punya pengaruh besar menyiapkan
orang-orang sehebat itu.
Yang ada bukanlah Shalahuddin saja dan
orang-orang mengikutinya, lalu bersatu dan menang. Tidak! Melainkan sebentuk
generasi yang dipersiapkan berpuluh tahun, tepat sejak Al-Quds dijajah oleh
Kaum Salib di tahun 1096. Tepat setelah mendengar kabar kejatuhan Quds di
tangan pasukan Salib itu, ulama-ulama mendengungkan jihad, mendidik anak-anak,
memenuhi masjid-masjid. Karena para Ulama sadar, dibalik jatuhnya Quds di tahun
1096, mempunyai sebuah nilai dalam: bahwa Allah ingin ingatkan umat Islam atas
kelalaian mereka dan keberpecah-belahan mereka.
Adalah deretan nama ini yang merintis pendidikan
generasi Shalahuddin: Imaduddin Zanki, Nuruddin Mahmud, Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani, dan penguasa Sholeh juga Ulama jenuis lain mempersiapkan serentak,
sebuah angkatan raksasa manusia untuk dikemudian hari menjadi tentara terbaik
dalam pembebasan Quds. Sebuah langkah visioner! Sebuah gerak tepat merespon
kejatuhan.
Urusan Sejarawan Eropa dan Arab yang
terkagum-kagum dengan kejeniusan taktik perang Shalahuddin itu nomor sekian. Di
balik kejeniusan dan kebrilianannya Shalahuddin, tentulah pasukannya juga pastinya
pasukan terbaik, dengan keshalihan tingkat tinggi, dengan ketakwaan yang
menjadi-jadi, dengan kualitas tahajjud yang tak kenal absen di malam hari.
Itulah sebentuk besar generasi. Generasi, bukan
hanya satu orang. Kita menamainya “Generasi Shalahuddin”, dan nama itu juga
yang akan kita dengungkan ke penjuru bumi muslimin hari ini. Bahwasanya bukan
satu orang tampil ke depan, lalu membuat takjub manusia dan kemudian
mengikutinya. Tapi, “ia adalah sebentuk generasi yang besar. Ya, Generasi
Shalahuddin!” Lagi-lagi mengamini kata Ustadz Adian Husaini. [3] □
Mari saksikan Video ---klik---> Shalahuddin al-Ayyubi
Catatan Kaki:
[1] Al-Ghazali
nama lengkap Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī (bahasa Arab أبو حامد محمد بن محمد الغزالي; bahasa Latin - Algazelus atau Algazel, c. 1058 - 19 Desember 1111) adalah seorang ahli teologi Muslim abad pertengahan, ahli
hukum, filsuf , dan sufi asal
Persia.
[2] Benteng
Tikrit terletak di Tikrit (تكريت, juga
dieja Takrit atau Tekrit) adalah sebuah kota di Irak, terletak
sekitar 140 km di sebelah barat laut Baghdad di Syngai Tigris. Tikrit adalah
pusat pemerintahan provinsi Salah ad-Din (Salahuddin).
[3] Adian Husaini, lahir
di Desa Kuncen, Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, pada 17 Desember 1965. Saat
ini, menetap di Pesantren at-Taqwa Depok, Adian Husaini masih mendapat amanah
sebagai Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor,
dan Pembina Pesantren at-Taqwa Depok. Gelar doktor dalam bidang Peradaban Islam
diraihnya di International Institute of Islamic Thought and Civilization --
Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), dengan disertasi
berjudul “Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican Council: A
Critical Reading of The Second Vatican Council’s Documents in The Light of the
Ad Gentes and the Nostra Aetate. □□
Sumber:
https://www.dakwatuna.com/2014/11/03/59338/generasi-shalahuddin/#axzz58coYWst0
https://id.wikipedia.org/
https://id.wikipedia.org/wiki/
https://www.youtube.com/embeded/djOqoOwVCVg
https://www.youtube.com/embeded/djOqoOwVCVg