“Memang hanya “cara
hidup bersama” itu yang maksimal dapat diupayakan melalui Pancasila. Bukan
“tujuan hidup bersama”. Jadi, obsesi untuk merumuskan “tujuan hidup bersama”
adalah fatalistik karena Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang
koheren. Hermeneutik Pancasila menyebar kemana-mana. Bahkan bisa paradoksal.”
Kata
Pengantar
Sebenarnya, catatan sejarah menuliskan perjuangan
kemerdekaan ini dimulai dari umat Islam yang memperjuangkan mati-matian supaya lepas dari penjajahan dari negara-negara lain (Inggris, Belanda, Jepang).
Syuhada yang banyak gugur dalam perjuangannya adalah warga yang beragama Islam.
Sejak jaman penjajahan hingga kini warganegara
yang mayoritas adalah beragama Islam, bahkan negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam terbesar di dunia. Soekarno, Hatta, Haji Agus Salim, dan Mohammad
Natsir beragama Islam, berkesempatan mendeklarasikan dasar negara Indonesia
adalah Islam, tapi tidak.
Sedangkan lambang Garuda Pancasila, pada lambang
negara kita, dibuat oleh enam tokoh Indonesia yang tergabung dalam kepanitiaan
pembuatan lambang ini. Mereka adalah Sultan Hamid II, Ki Hajar Dewantara, Muh.
Yamin, Moh. Natsir, Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, dan MA Pellaupessy. Di
luar mereka, ada sosok warga negara asing yang juga terlibat, yaitu Dirk Rühl
Jr, warga negara asal Jerman. □
Pendahuluan
S
|
ebagaimana yang dikatakan Rocky Gerung,
dosen Departemen Filsafat Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia di
Rubrik TSKita bahwa: Setiap kali kita menghadapi krisis
politik, acuan penyelesaiannya adalah Pancasila. Seolah-olah ia adalah Panacea, diminta “turun tangan” mengobati
segala penyakit. Tetapi realisasi
dari “turun tangan” itu pernah justru sangat menyakitkan: Orde Baru (Orba) sangat
ringan tangan menghukum oposisi dengan Pancasila.
Memang, dalam sejarah politik kita, Pancasila lebih dipraktekkan sebagai
ideologi penutup kritik, ketimbang sebagai pembuka dialog. Bahkan setelah
reformasi, ideologi ini terasa atavistik,
karena klaim Sukarnoistik-nya tampil dominan.
Problematik
Pembicaraan Pancasila sering eksklusif (tidak inklusif) karena dijadikan
batas untuk mendefinisikan pendukung rezim dan pengeritiknya. Bahkan diperluas
menjadi penentu: Siapa yang Pluralis, Siapa yang Fundamentalis. Pancasila jadi
alat ukur politik. Alat ukur yang kaku
bagi kebinekaan. Akibatnya kelenturan kulturalnya hilang. Ia mengalami ratifikasi
(maksudnya pengesahan sefihak).
Secara terbuka atau terselubung, ada psikologi lama yang kini diedarkan
lagi di masyarakat: Pengeritik rezim adalah anti Pluralisme, juncto (melanggar) Pancasila. Psikologi
ini tumbuh dari arogansi yang memandang kritik kepada rezim sebagai ancaman
pada kebinekaan.
Suatu psikologi yang tadinya menyudutkan, lalu kini membelah masyarakat,
karena kalkulasi politik yang terbalik di Ibukota, yaitu dari dukungan rezim
melalui alat negara dan media sert uang yang berfihak ke rezim (power and money), semestinya Ahok menang.
Bahkan diperlihatkan untuk menebalkan batas antara pendukung dan pengeritik
rezim. Dibungkus dengan slogan-slogan teoretis, Pancasila dijadikan alat “fit and proper test” kebinekaan. Suatu
metode naif dalam berpolitik.
Cara dan suasana yang diciptakan seperti itu adalah semacam “voluntarisme”
kekanak-kanakan, memang sedang merebak di kalangan ini, karena gugup dan gagap melihat
kapasitas rezim yang ternyata tak cukup “fit
and proper”. Reaksi protektif itu menghasilkan sikap eksklusivisme. Sikap
inilah yang justeru makin menutup “percakapan kewarganegaraan” untuk mencari
“cara hidup bersama” melalui Pancasila.
“Memang hanya “cara hidup bersama” itu
yang maksimal dapat diupayakan melalui Pancasila. Bukan “tujuan hidup bersama”.
Jadi, obsesi untuk merumuskan “tujuan hidup bersama” adalah fatalistik karena
Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang koheren. Hermeneutik Pancasila
menyebar kemana-mana. Bahkan bisa paradoksal.”
Misalnya, preskripsi “Ketuhanan” dalam
sila ke-1 dapat dibatalkan oleh prasyarat “Kerakyatan” pada sila ke-4. Secara
filosofis “Ketuhanan” dan “Kerakyatan” adalah dua imperatif yang bertolak
belakang. Sangat unik tentu bila sintesanya adalah: “Kerakyatan yang
berketuhanan” atau “Ketuhanan yang berkerakyatan”. Tidak saja unik, tapi juga
aneh. Demikian di tuliskan Rocky Gerung.
Apakah kita siap masuk dalam suatu debat konseptual yang tajam seperti
itu demi memperoleh kedalaman diskursus tentang Pancasila, atau kita hindari
itu demi dalil “harga mati”?
Sebaliknya, bila Pancasila dibebaskan terbuka mengalami penafsiran, maka
semua ideologi politik besar dapat memilih bermukim di salah satu silanya.
Hizbut Tahrir misalnya, bila mau, dapat mengajukan argumen bahwa sebagai
aspirasi politik ia sejalan dengan sila ke-1 dan sila ke-5. Islam mencakup
aspek teologis sekaligus sosiologis.
Demikian halnya penganut
Marxisme. Ia berhak mendalilkan aspirasi sosialnya sebagai sejalan dengan jiwa
sila ke-2 dan ke-5, misalnya. Tetapi bagaimana mungkin itu dimungkinkan, bila
yang mungkin hanyalah versi “bukan ini, bukan itu”, versi rezim yang kini
diikuti oleh para intelektualnya, yang sebetulnya bertujuan “politics of exclusion”. Bukan negara
agama tapi bukan negara sekuler, bebas berbeda tapi bukan liberal. Titik!
Hambatan lain untuk memulai suatu pemaknaan baru dan pengayaan Pancasila
adalah mental atavistik (penafsiran
masing-masing yang katanya inilah yang asli dan satu-satunya tafsir yang benar)
yang kini beredar justru di kalangan terpelajar. Jadi, upaya membuka dialog
politik dengan platform Pancasila,
sudah dibatasi sejak awal oleh kondisi eksklusivisme (sepihak, tidak inklusif yaitu
melibatkan semua unsur warga negara) tadi.
“Padahal,
suatu dialog otentik membutuhkan kesetaraan posisi warganegara. Tak ada
kejujuran mencapai konsensus bila satu pihak menyandang stigma fundamentalis,
dan yang lain menikmati arogansi pluralis.”
Kesimpulan
Pancasila bukan ideologi yang koheren. Ia mengandung dalam dirinya
kondisi “hermeneutic”. Justru bagus untuk memulai percakaan demokratis.
Kalau Pancasila dijadikan ideologi yang sifat tafsiran sendiri-sendiri
(menurut golongan sendiri-sendiri) maka ideolaogi Pancasila seperti itu tak
pernah mampu menghasilkan keadilan, sebagaimana sejarahnya sejak dari awal
sampai kini mencatatnya.
Tetapi, hal yang lebih urgen sebetulnya bukan soal kapasitas Pancasila
sebagai ideologi, melainkan praktek material kehidupan berbangsa. Dengan itu
mari kita kaji apa itu “Penafsiran Pancasila” (Hermeneutika Pancasila).
HERMENEUTIKA PANCASILA
Sejarah
Perkembangan Hermeneutika
Pada
pertumbuhannya, Hermeneutik digunakan dalam sistem pendidikan di Yunani kuno.
Rujukan yang menjadi pedoman pendidikan pada saat itu adalah karya sastra
Homerus yang berisi nasehat-nasehat moral. Hermeneutik saat itu digunakan untuk
mentafsirkan karya filologi, yakni teks karya tangan manusia. Untuk saat ini
sering istilah ini dikaitkan dengan penelitian, yakni penelitian filologi yang
obyeknya naskah kuno, misalnya, filologi yang obyeknya naskah kuno berbahasa
Jawa dengan huruf jawa, seperti naskah babat tanah jawa, atau naskah berbahasa
Sunda kuno, atau naskah berbahasa daerah. Termasuk dalam filologi adalah naskah
yang ditulis dalam huruf Arab pegon seperti naskah Bustanus Salatin.
Dalam tradisi hermeneutik, istilah filologi dilawankan dengan teologi yang
diartikan sebagai karya tuhan.
Jika
dilihat dari segi gerak, Hermeneutik muncul dari lapangan filologi, lalu
mencoba masuk ke lapangan teologi. Sebenarnya, dalam agama Yahudi dan Kristen
telah ada tradisi penafsiran atas kitab suci. Tradisi ini disebut Biblical
exegesis, penafsiran terhadap kitab suci Bibel. Biblical exegesis tidak
bisa diartikan dengan tafsir model hermeneutik seperti pemahaman modern dan
kontemporer, sebab exegesis adalah penafsiran yang khas yang digunakan
dalam tradisi agama tersebut.
Ada
dikabarkan Philo (30 SM-50 M), seorang filsuf agama Yahudi, telah
melakukan upaya penafsiran terhadap kitab suci Yahudi dengan exegesis dan bukan
hermeneutik. Demikian pula dikalangan umat Islam, tradisi penafsiran kitab suci
agama Islam tidak memiliki kaitan dengan hermeneutik sama sekali.
Sementara
itu memang ada upaya dari kalangan Kristen protestan mamasukkan hermeneutik
menjadi metode penafsiran untuk Bibel. Upaya ini dilakukan oleh Spinosa
(1632-1677), Flacius dan Chladenius, para teolog protestan. Upaya mereka ini di
latar belakangi oleh persoalan utamanya terkait dengan ayat atau ayat-ayat yang
menurut pandangan mereka belum atau tidak jelas maknanya.
Spizona,
Flacius dan Chladinius adalah para filsuf yang masuk dalam masa pre Romantis.
Dari masa ini, hermeneutik memasuki masa Romantisisme, masa ini sesungguhnya
lebih tepat di sebut sebagai sebuah gerakan yang terjadi pada masa setelah Lhan
dan sebelum Hegel, atau masa antara Khan dan Hegel (kira-kira 1775 – 1815).
Romantisisme merupakan asosiasi para filsuf yang menyebut dirinya “Schiegel
Brothers” para anggotanya antara lain Novila, Friet, Schelling dan
Schleiermacher.
1. Definisi
Hermeneutika
Ada
yang mengidentikkan hermeneutika dengan seni atau sains penafsiran. Ada yang
mengartikan sebagai metode penafsiran, sebagian menyebut hermeneutika sebagai
teknik penafsiran atau seni menafsirkan. Hermeneutika yang lahir di tanah
Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami
perkembangan cukup signifikan melalui apa yang disebut dengan gerakan
deregionalisasi, suatu gerakan yang dirintis oleh Schleiermacher.
Plato
memilih sebutan techne hermeneias, aristoteles menyebut “peri
hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai
logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah techne
hermeneias adalah seni membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Paul
Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoprasionalkan
pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks.
Hermeneutika adalah satu disiplin yang
berkepentingan dengan upaya memahami ma’na atau arti dan maksud dalam sebuah
konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang
dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada makna
yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu
transparan, terang, jelas, dan gamblang. Apa makna yang sesungguhnya
dikehendaki oleh teks? Apa ada makna yang tersembunyi di balik teks atau di
balik suatu kalimat? Apakah konsep yang terdapat dalam teks ini berkanaan
dengan hukum atau politik? Apabila kita belum mampu memahami dengan jelas
terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas dan atau pertanyaan-pertanyaan lain yang
relevan dengan teks, maka diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu
transparan, terang, jelas dan gambling.
2. Fungsi
Hermeneutika
Sebagai
teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan
berfungsi untuk:
a. Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan
teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat
mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik,
masalah expression dan indikation serta masalah logika yang
terkandung dalam teks.
b. Membantu mempermudah menjelaskan teks,
termasuk teks kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan
waktu, hubungan teks dengansituasi atau lingkungan di mana teks disusun.
Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah
didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri
khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas
tema yang sama.
c. Memberi arahan untuk masalah yang terkait
dengan hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap
teks hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki
dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks
hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum
islam.
3. Aliran-aliran
Hermeneutika
Joseph
Bleicher di dalam bukunya membagi hermeneutika kontemporer menjadi tiga aliran,
yaitu: (1). Hermeneutika teori (Hermeneutical Theory); (2). Hermeneutika Filsafat (hermenneutic
Philoshophy); (3). Hermeneutika
kritik (Critical hermeneutics).
(1). Hermeneutika teori (Hermeneutical
Theory).
Hermeneutika
teori menfokuskan perhatian pada masalah teori umum penafsiran sebagai sebuah
metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia termasuk ilmu sosial. Hermeneutika
teori menempatkan hermenetik dalam ruang epistimologi, yakni, hermenetik di
tempatkan sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain. Betti
mengharapkan pemikiran orang lain (the mind of other) dapat dipahami
seobyektif munkin. Oleh aliran ini hermenetik diupayakan akan menemukan fondasi
yang dibutuhkan bagi penelitian ilmiyah. Tokoh-tokoh aliran ini adalah
Schleiermacher, Droysen, Dilthey dan Emilio Betti.
(2). Hermeneutika
Filsafat (hermenneutic Philoshophy)
Hermeneutika
Filsafat justru menolak upaya menemukan fondasi dan kemungkinan diperoleh
pemahaman yang obyektif melalui proses atau metode penafsiran. Pokok pandangan
Hermeneutika Filsafat ini menyatakan bahwa ilmuwan atau penafsir berada dalam
ikatan sebuah tradisi yang membuatnya telah memiliki pre understanding (pemahaman awal), terhadap obyek yang dikaji dan
dengan demikian dia tidak berangkat dari pikiran yang netral. Hermeneutika
Filsafat tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi
bertujuan hendak menjelaskan fenomena Human Desain. Tokoh-tokohnya
adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur.
(3). Hermeneutika
kritik (Critical hermeneutics).
Hermeneutika
Kritik lahir lahir dari latar belakang dua aliran diatas. Habermas melihat dua
aliran Hermeneutik yang ada, tidak mempertimbangkan faktoh extra linguistic sebagai
kondisi yang punya pengaruh terhadap pemikiran atau perbuatan seseorang,
misalnya, tekanan ekonomi yang dirasakan berat, berpengaruh pada temperatur
seseorang dan ini berpeluang menjadi faktor eksternal yang berpengaruh pada
tata pikir dan prilaku seseorang. Hermeneutika Kritik sering dikaitkan
sebagai cara pandang kaum idealis yang memiliki tingkat kesadaran yang mencapai
level tertentu dalam menganalisis secara kritis kondisi politik, ekonomi, dan
budaya namun tetap mendasarkan diri pada data atau bukti-bukti materiel yang
memadai, dan mereka memiliki kasadaran melakukan pembebasan seperti model
psikologis.
Pemecahan
Masalah Kemelut Panafsiran Pancasila
Oleh karena karya “ideologi” Pancasila adalah karya buatan manusia yang berusaha
mengakomodasi seluruh ideologi dan keyakinan beragama yang berbeda dari suluruh
warga bangsa Indonesia.
Kelihatan dari 3 kemungkan teori pemecahan mengatasi “Pemecahan Masalah Kemelut
Panafsiran ‘Ideologi’ Pancasila” adalah dialog dengan menggunakan pendekatan Hermeneutika Filsafat (hermenneutic Philoshophy). Yaitu, Hermeneutika
Filsafat tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi
bertujuan hendak menjelaskan fenomena Human Desain.
Kenapa? Karena Hermeneutika
Filsafat justru menolak upaya menemukan fondasi dan kemungkinan diperoleh
pemahaman yang obyektif melalui proses atau metode penafsiran. Pokok pandangan
Hermeneutika Filsafat ini menyatakan bahwa ilmuwan atau penafsir berada dalam
ikatan sebuah tradisi yang membuatnya telah memiliki pre understanding (pemahaman awal), terhadap obyek yang dikaji dan
dengan demikian dia tidak berangkat dari pikiran yang netral. Sebagaimana sejak
awal kemerdekaan sampai sekarang selalu terjadi “pertikaian” dalam memaknainya.
Tergantung dari golongan mana mereka datang. Sedangkan, Hermeneutika Filsafat
tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi bertujuan
hendak menjelaskan fenomena Human Desain ini.
Memang hanya “cara hidup bersama” itu
yang maksimal dapat diupayakan melalui Pancasila. Bukan “tujuan hidup bersama”.
Jadi, obsesi untuk merumuskan “tujuan hidup bersama” adalah fatalistik karena
Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang koheren. □ AFM
Bahan Kepustakaan
Pancasila
Bukan Panacea (Rocky Gerung, dosen Departemen Filsafat Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Indonesia).
Halaqah
Peradaban (Daniel Mohammad Rosyid - Guru Besar dan Pelaku
Peradaban
Heurmenetika
Al-Quran (Diakases dari bahan bacaan https://asyroff.wordpress.com/al-quran/heurmenetika-al-quran/)
Dan sumber-sumber lainnya □□□