Thursday, January 19, 2017

Membangun Kembali Peradaban Islam 3





MEMBANGUN KEMBALI PERADABAN ISLAM
Secara Sinergis, simultan dan konsisten (3)

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, MA


Membangkitkan tradisi keilmuan

J
ika substansi peradaban Islam adalah pandangan hidupnya, maka membangun kembali peradaban Islam adalah memperkuat pandangan hidup Islam. Hal ini dilakukan dengan menggali konsep-konsep penting khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menyebarkannya agar dimiliki oleh kaum terpelajarnya yang secara sosial berperan sebagai agen perubahan dan yang secara individual akan menjadi decision maker.

   Memperkuat pandangan hidup Muslim artinya memberi solusi terhadap persoalan ummat secara fundamental dan integral. Pentingnya pandangan hidup Islam ditekankan al-Attas dalam berbagai tulisannya, dan bahkan dalam kontek pengembangan sains telah diformulasikan dengan baik oleh Prof. Alparslan Acikgenc. Dengan pendekatan ini kita tidak perlu meletakkan dua pilihan yang saling bertolak belakang, atau meletakkan Islam vis a vis Barat dalam setting yang konfrontatif. Barat dan kebudayaan asing lainnya harus dilihat dalam konteks kebutuhan yang bersifat konsepsional, dalam artian bahwa disatu sisi Islam dapat “mengadapsi” atau meminjam konsep-konsep asing yang sesuai atau disesuaikan terlebih dulu dengan pandangan hidup Islam, dan di sisi lain Islam dapat menolak ide asing yang tidak diperlukan, dengan kesadaran bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara asasi dari kebudayaan manapun, termasuk Barat.

   Untuk menggambarkan pentingnya pandangan hidup Islam atau framework Islam dalam menerima dan menolak konsep-konsep asing kita rujuk sinyalemen Professor Khurshid Ahmad, pakar Ekonomi Islam asal Pakistan dibawah ini:

The capitalist and the Socialits model can have no place as our ideal-types, although we would like to avail from all those experience of mankind which can be gainfully assimilated and integrated within the Islamic framework and can serve our own purpose wihtout in any way impairing out values and norms. But we must reject the archytype of capitalism and socialism. Both this model of development are incompatible with our value system; both are exploitative and unjust and fail to treat man as man, as God’s vicegerent (khalifah) on earth. Both have been unable to meet in their own realms the basis economic, social, political, and moral chalenges of our time and the real need of a humane society and a just economy.

   Terjemahan bebasnya adalah bahwa model [ekonomi] kapitalis dan sosialis tidak bisa menjadi tipe ideal kita, meskipun kita akan memanfaatkan semua pengalaman manusia untuk diasimilasikan dan diintegrasikan dengan  framework Islam, untuk dapat membantu mencapai tujuan kita sendiri dengan tanpa mengotori nilai-nilai dan norma kita. Bahkan kita harus menolak model kapitalisme dan sosialisme. Kedua model pembangunan ini tidak cocok dengan sistem nilai kita, keduanya eksploitatif, tidak adil dan gagal memperlakukan manusia sebagai manusia, sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Keduanya telah gagal mengatasi tantangan ekonomi, sosial, politik, moral masa kini dan memenuhi kebutuhan real umat manusia dan ekonomi yang adil di dunia mereka sendiri.

   Konsep pembangunan dalam Islam tidak sama dengan konsep pembangunan kapitalis ataupun sosialis. Pembanguan ekonomi dalam literatur umum terdiri dari serangkaian kegiatan ekonomi yang menyebabkan pertumbuhan dalam produktifitas eknomi secara keseluruhan dan produktifitas pekerja secara rata-rata, dan juga pertumbuhan rasio antara tenaga kerja dan keseluruhan penduduk.Pembangunan ekonomi dalam Islam lebih luas dari itu, karena pembangunan ekonomi adalah bagian dari pengbangan manusia. Disini fungsi Islam sebagai agama dan pandangan hidup adalah memberi petunjuk bagi pengembangan manusia sesuai dengan arah dan garis yang benar. Tetap mempertimbangkan aspek-aspek eknomi, tapi selalu dalam  framework pengembangan manusia seutuhnya.

   Pernyataan Professor Khurshid di atas telah cukup jelas menunjukkan pentingnya pandangan hidup atau dalam istilahnya  framework Islam, dalam mengkaji ekonomi asing dan mengembangkan ekonomi Islam. Berdasarkan  framework itu maka pengembangan ekonomi Islam bersifat komprehensif yang meliputi aspek-aspek moral, spiritual dan material. Perkembangan merupakan tujuan dan aktivitas yang berorientasi pada nilai, diarahkan pada perkembangan manusia dari berbagai dimensi. Moral dan material, ekonomi dan sosial, spiritual dan fisikal tidak terpisahkan, demi meraih kesejahteraan hidup dunia dan akherat. Dalam Islam fokus dari upaya-upaya pembangunan adalah manusia. Pembangunan berearti pembangunan manusia secara fisik dan lingkungan sosial ekonominya.

   Barat atau kebudayaan asing lainnya dengan secara terbuka seharusnya mengakui bahwa Islam memiliki pandangan hidup, filsafat dan kebudayaannya sendiri yang harus diterima apa adanya dan tidak ada jalan rekonsiliasi, meskipun tetap membangun sikap toleransi. Bagi mereka yang gagal memahami hal ini secara akademis, baik Orientalis maupun intelektual Muslim, akan menganggap bahwa penolakan konsep Barat dalam bentuk apapun akan selalu dihubungkan dengan kecemburuan kultural dan religius (cultural and religious prejudice), yang sebenarnya tidak perlu. Sementara bagi mereka yang benar-benar dapat memahami esensi pandangan hidup Islam dan juga Barat akan dapat mengidentifikasi lebih akurat perbedaan dan bahkan pertentangan pada keduanya dan dapat dengan secara kritis menentukan apakah suatu konsep asing diterima (diadapsi) atau ditolak sama sekali. Sesungguhnya, dalam suatu pandangan hidup dan peradaban proses ‘meminjam’ atau adapsi adalah hal yang alami dan ini telah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, tapi mengadopsi suatu konsep tanpa proses tranformasi yang utamanya melibatkan pengetahuan dan kesadaran akan pandangan hidup, tidak akan memajukan peradaban yang bersangkutan tapi justru menghancurkan.

   Dengan pendekatan integral melalui konsep pandangan hidup Islam yang merujuk kepada tradisi intelektual Islam secara kritis dan kreatif akan menunjukkan bahwa pemikiran dalam Islam itu bersifat konseptual, integral dan memproyeksikan pandangan hidup Islam (worldview) yang dinamis, teratur dan rasional yang dipancarkan oleh konsep Islam sebagai Dīn. Secara teoritis, pandangan hidup Islam tercipta dari adanya konsep ilmu pengetahuan dan pengembangannya yang dibentuk dari kerangka kerja sistem metafisika Islam yang utamanya meliputi pengertian tentang kebenaran dan realitas yang Mutlak. Dalam perspektif pandangan hidup inilah kita dapat mengetahui apakah suatu pemahaman atau penafsiran tentang Islam yang berupa ilmu pengetahuan, filsafat, sains dan lainnya itu benar-benar sesuai dengan Islam dan sejalan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran yang Diwahyukan (Revealed Truth). Jika terdapat penafsiran atau pemahaman yang tidak sejalan maka perlu dikoreksi ulang (ishlah) dengan apa yang disebut dengan Perubahan Paradigma (Paradigm Shift), yang berarti perubahan pandangan hidup dan sistem metafisikanya.

   Dalam tradisi pemikiran Islam aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang ini dapat berarti tajdid yang hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang sifatnya kembali kepada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali kepada ajaran asal tidak selalu bisa difahami sebagai kembali kepada corak kehidupan di zaman Nabi, tapi harus dimaknai secara konseptual dan kreatif. Maka, sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau ishlah seperti yang didefinisikan al-Attas mempunyai implikasi membebaskan, artinya membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis dan kultur kebangsaan yang bertentangan dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil kepada fitrah atau hakekat kemanusiaannya yang benar. Proses pembebasan ini sekarang dikenal dengan sebutan Islamisasi. Dalam konteks zaman sekarang, proses ini memerlukan pengetahuan tentang paradigma dan pandangan hidup Islam yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat-pendapat para ulama terdahulu yang secara ijma’ dianggap shahih. Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun ‘memahami’ tidak selalu berarti ‘mengambil konsep’. Kita, misalnya tidak perlu mengambil konsep pembebasan dari pandangan hidup asing, sebab ia telah inheren dalam pemikiran Islam dan pembaharuan Islam. Proses pembaharuan atau Islamisasi yang merujuk kepada sumber asal ajaran Islam dan ulama yang memiliki otoritas dibidangnya menunjukkan pembaharuan dalam Islam tidak bersifat evolusioner tapi lebih bermakna devolusioner, dalam artian bahwa ia bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang terakhir lebih baik dari yang pertama, tapi suatu proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya.

   Sesungguhnya proses pembaharuan atau Islamisasi yang berulang-ulang dalam tradisi pemikiran Islam ini telah di ramalkan oleh Nabi sendiri dalam hadithnya tentang tajdid. (Sunan Abu Dawud). Namun proses Islamisasi tidak melulu berarti menyesuaikan unsur-unsur asing dengan Islam dan tidak pula bermakna bahwa ajaran asasi agama Islam itu usang dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keadaan zaman yang terus menerus berubah. Proses tajdid diperlukan karena pemahaman ummat Islam terhadap ajaran Islam, dan bukan karena ajaran Islamnya, telah semakin jauh dari bentuk dan sifat aslinya. Perlu ditekankan disini bahwa dalam tradisi Islam (sunnah) setiap usaha pembaharuan (tajdid) pamahaman dan penafsiran Islam selalu merujuk kepada kebenaran yang mutlak yang termaktub dalam al-Qur’an. Ini sangat berbeda secara diametris dengan pemikiran dalam kebudayaan Barat yang sifatnya terus menerus mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti, sehingga pendapat atau pemahaman yang baru mesti menolak pendapat yang lama dan seterusnya. Pembaharuan dalam Islam bukan menolak atau menghapuskan pendapat lama atau konsep asalnya tapi merupakan rekonseptualisasi yang kreatif berdasarkan akumulasi pemikiran lama yang dijalin dalam ikatan tradisi dan otoritas.

Membangun individu melalui universitas

   Untuk memperbaiki keadaan ini, maka umat Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar terhadap Hikmah Ilahiyyah sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam.

   Perlu dicatat bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan, target utama dan misi Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertanggung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara universitas adalah tempat dimana individu-individu yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia. Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutamanya universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi dan pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki.

   Agar universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan individu, maka sebuah universitas harus harus merupakan refleksi dari insan kamil ataupun universal (al-insan al-kulli atau al-insan al-kamil) dan mengarah kepada pembentukan insan kamil. Contoh insan kamil dan universal itu yang sangat riel adalah figur Nabi Muhammad saw sendiri. Universitas dalam Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal sholeh, dan fungsinya adalah untuk membentuk laki-laki dan wanita yang beradab dengan menirunya semirip mungkin dalam hal kualitas sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing”. Berbeda dari Islam, universitas di Barat mencerminkan keangkuhan manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal man, namun karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa: “manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak ada”. Namun berbeda dengan Islam yang memiliki ciri permanency, ukuran-ukuran Barat mengenai suatu yang ideal selalu berubah, dan berevolusi.

   Sejarah telah membuktikan bahwa keagungan suatu masyarakat adalah tercermin daripada kualitas perguruan tinggi masyarakat tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini lebih banyak mendirikan universitas yang hanya meniru pola dan model universitas masyarakat Barat. Padahal universitas Islam sepatutnya berbeda dari universitas Barat baik dalam bentuk, konsep, struktur dan epistimologinya. Universitas (al-jami’ah, al-kulliyah) harus dapat membentuk manusia universal yaitu manusia sempurna. Oleh sebab itu seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam cara pandangnya terhadap kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling terkait.

Penyataan al-Attas dalam hal ini sangat jelas:

“Sebuah universitas Islam mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat, mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk ‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’… seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.

     Karena universitas Islam modern yang berdiri di negara muslim hari ini lebih merupakan fotokopi universitas Barat, maka orientasi yang menggiring para mahasiswa kepada nilai-nilai kehidupan sekuler lebih dominan ketimbang usaha-usaha kearah penanaman pandangan hidup Islam. Pengaruh Barat juga terlihat dalam situasi kebebasan akademik di universitas-universitas itu. Kebebasan masih difahami sebagai kebebasan yang seluas-luasnya sebagaimana yang banyak ditemui dalam cara berfikir Muslim modernis, yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan terhadap otoritas ulama dan taqlid. Padahal kekebasan akademis bukanlah berarti bebas sebebasnya tanpa ikatan-ikatan keilmuan. Kebebasan akademik adalah kebebasan dalam arti “ikhtiyar“, yakni kebebasan memilih yang lebih baik (khayr) berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. Taqlid bukan berarti mengikuti sesuatu dengan membabi buta, tetapi mengikuti seseorang yang mempunyai otoritas ilmu pengetahuan.
Pengertian ini sejatinya juga terjadi di dunia akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih muda mengikuti atau memakai pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih pakar. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah berpendapat dengan sesuka hati atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat berdasarkan pada pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalan bidang masing-masing. ijtihad tidak berarti mengkesampingkan otoritas ulama terdahulu sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok modernis yang cenderung mengikuti cara berpikir Barat, khususnya gaya-gaya Protestan dalam melawan otoritas gereja.

   Selain itu kurikulum di Universitas Islam perlu direkonstruksi agar dapat lebih mengarah kepada penanaman ilmu pengetahuan Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi ilmu Fardh Ayn yang berupa Aqidah, Tauhid atau Ushuluddin pada jenjang pendidikan rendah dan menengah mestinya dikembangkan menjadi materi wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi ilmu Fard Ayn dapat dikembangkan menjadi Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Fiqih, ilmu Kalam atau filsafat dan lain sebagainya. Disini konsep-konsep tentang Tuhan, manusia, alam, akhlaq dan tentang Din dikaji secara mendalam. Itu semua hendaknya diajarkan sehingga dapat menjadi fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu fardhu kifayah. Disini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral. Integral artinya tidak berfikir dualistis: obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis. Dengan cara itu dikotomi ilmu pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu merasuk ke dalam kurikulum pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran dapat secara perlahan-lahan dihilangkan.

   Seharusnya ilmu fardhu ayn bagi seorang mahasiswa Ushuluddin, misalnya tidak sama dengan Ilmu fardhu ‘ayn bagi siswa Madrasah ‘Aliyah atau mahasiswa fakultas Sosiologi. Jika setiap cendekiawan menguasai ilmu fardhu ‘ayn sesuai dengan bidangnya, maka pada dataran epistemologis ilmu Fardhu ‘ayn ini pada akhirnya akan menyatukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang termasuk kedalam ilmu fardhu kifayah, seperti ilmu kemanusiaan, ilmu alam, sejarah, peradaban, bahasa dan lain sebagainya.

Sinegi Pembangunan Peradaban

   Proyek membangun kembali peradaban Islam tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui satu dua bidang kehidupan. Ia merupakan proses bersinergi, simultan dan konsisten. Untuk itu maka proyek ini perlu disadari bersama sebagai sesuatu yang wajib (fardhu ‘ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu dibebankan kepada seluruh anggota masyarakat Muslim. Sabda Nabi jelas “Barangsiapa tidak perduli dengan urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan bagian daripada mereka” (al-Hadith).

   Jika kita menengok sejarah kejayaan Islam di Baghdad maka kita akan temui gerakan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersinergi. Gerakan yang dimulai dengan penterjemahan karya-karya asing, khususnya Yunani itu bukan gerakan seporadis atau gerakan pinggiran. Gerakan itu didukung oleh elit masyarakat Baghdad: seperti khalifah dan putera mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan militer, pengusaha dan bankers, dan sudah tentu ulama dan saintis. Ia bukan proyek kelompok tertentu. Selain itu, gerakan disubsidi oleh dana yang tak terbatas dari perusahaan negara maupun swasta. Dan yang terpenting, ia dilakukan dengan menggunakan metodologi ilmiyah yang akurat dengan alat filologi yang eksak, sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan dengan tepat.

   Ini menunjukkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari perkembangan ilmu inilah kemudian dikembangkan bidang-bidang lain baik secara simultan ataupun secara gradual. Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh semua kelompok apapun orientasi dan strategi perjuangannya. Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, perbankan Islam dan lain sebagainya tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu. Mungkin diagram dibawah ini dapat menggambarkan konsep tersebut.

   Oleh sebab itu sebagai implikasinya, jika ilmu memberi amunisi kepada seluruh pihak dari penguasa, pengusaha, pedagang, politisi, militer, dan sebaginya maka semua pihak yang memerlukan ilmu perlu menyokong proyek pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun tidak dapat sepenuhnya mendapat dukungan seperti di zaman Abbasiyah, sekurang-kurangnya kesadaran semua pihak akan pentingnya ilmu pengetahuan Islam untuk semua bidang kehidupan perlu ditanamkan. Masyarakat Muslim perlu terus menerus mendapat pengarahan akan pentingnya bidang ini.

   Secara materiel, sedekah, zakat, infaq, wakaf pribadi dan perusahaan-perusahaan Muslim perlu diarahkan bagi pengembangan asas peradaban Islam ini, yaitu ilmu pengetahuan Islam. Selama ini belum banyak zakat bagi asnaf fi sabIlillah yang diarahkan bagi pengkajian dan penelitian ilmu-ilmu Islam. Demikian pula wakaf masyarakat pada umumnya masih berupa tanah, dan masih langka sekali wakaf berupa buku-buku yang sangat menunjang bagi kegiatan keilmuan. Secara sosial, penghargaan terhadap ulama ataupun cendekiawan perlu dilakukan melalui berbagai event sosial, agar apresiasi masyarakat terhadap ilmu meningkat. Namun penghargaan perlu diberikan secara proporsional, artinya harus berdasarkan pada prestasi di bidang keilmuan, bukan hanya sekedar reputasi sosial yang seringkali diukur dengan standar jurnalistik.

   Selanjutnya, karena spesialisasi dalam ilmu pengetahuan baik agama maupun sekuler begitu kental, maka seorang sarjana satu bidang tidak menguasai bidang yang lain. Dan yang lebih memprihatinkan lagi sarjana ilmu keislaman buta ilmu-ilmu umum (sekuler) dan sarjana ilmu umum tidak tahu sama sekali ilmu agama, meskipun mereka adalah Muslim. Dalam situasi seperti ini diperlukan kerja bersinergi, dimana sarjana pakar ilmu syariah misalnya bekerjasama dengan pakar-pakar ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu sosiologi dsb, demikian pula sarjana pakar bidang usuluddin atau pemikiran Islam berkolaborasi mengkaji sesuatu dengan pakar dibidang fisika, biologi dan matematika. Dari kerja yang bersinergi ini maka potensi ummat Islam akan dapat menghasilkan karya-karya yang dapat dimanfaatkan oleh ummat.

   Jika dukungan masyarakat terhadap pembangunan ilmu pengetahuan Islam ini telah muncul dan kolaborasi para ilmuwan Muslim dapat terjalin, maka mekanisme penyebaran (desimination) ilmu ketengah-tengah masyarakat akan timbul. Artinya, dengan adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu-ilmu Islam, produk dari kajian ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pusat studi Islam atau lembaga-lembaga pendidikan Islam memperoleh saluran penyebaran yang efektif. Media pendidikan formal, dan informal seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, ceramah-ceramah tokoh diharapkan dapat menjadi medium penyebaran ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam.

   Jika masyarakat tidak mendukung gerakan pengkajian Islam tersebut, maka keadaan seperti yang kita saksikan sekarang. Hasil seminar, penelitian dosen, workshop, konferensi dan lain-lain hanya akan berhenti di tingkat elit saja dan tidak tersebar ke tengah masyarakat. Inilah yang sering disebut dengan intellectual mechanism.

Penutup

   Peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pandangan hidup Islam. Maka dari itu, pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan berperan meningkatkan taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan ekonomi menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan yang mengarahkan seseorang untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya adalah faktor ilmu pengetahuan. Lebih penting dari ilmu dan pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, adalah intelektual. Ia berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide dan pemikiran tersebut.

   Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah merupakan fakta yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah pemikiran masyarakat. Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafi’i, Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, (Ibn Taymiyyah) dan lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. Jadi membangun peradaban Islam harus dimulai dengan membangun pemikiran umat Islam, meskipun tidak berarti kita berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam. Wallahu a’lam bissawab. [Tamat] □







Mengenai Penulis:

Hamid Fahmy Zarkasyi lahir di Gontor, 13 September 1958. Ia adalah putra ke-9 dari KH Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Beliau juga Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA dan direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS).
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menamatkan pendidikan menengahnya di Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah Pondok Modern Darussalam Gontor dan S1 di Institut Studi Islam Darussalam di pondok yang sama. Pendidikan 2 (MAEd) dalam bidang pendidikan diperolehnya di The University of Punjab, Lahore, Pakistan (1986). Pendidikan S2 (M.Phil) dalam Studi Islam diselesaikan di University of Birmingham United Kingdom (1998). Sedangkan studi S3 (PhD) bidang Pemikiran Islam diselesaikan di International Institute of Islamic Thought and Civilization - International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006.
Baru-baru ini ia dipilih menjadi Pimpinan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Sejak tahun 2003 ia aktif melakukan workshop pemikiran Islam yang berupaya bersikap kritis terhadap program liberalisasi pemikiran Islam. Murid langsung Prof. Dr. Syed Mohammad Naquib al-Attas ini juga pernah menjadi wakil umat Islam Indonesia dalam simposium tentang masa depan politik Islam di JIIA Tokyo (2008). Ia juga menjadi anggota delegasi RI (Kemenlu) dalam program Public Diplomacy Campaign ke Austria (2010).
Ia banyak melakukan lawatan ke berbagai negara Eropa dan Asia dalam program dakwah, seminar, studi banding, dsb. Selain aktif menulis di berbagai media massa dan beberapa jurnal, kesehariannya ia habiskan untuk mengajar dan memimpin Program Kaderisasi Ulama dan Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam, Gontor. □□□