MEMBANGUN KEMBALI PERADABAN ISLAM
Secara Sinergis, simultan dan
konsisten (3)
Oleh: Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, MA
Membangkitkan
tradisi keilmuan
J
|
ika
substansi peradaban Islam adalah pandangan hidupnya, maka membangun kembali
peradaban Islam adalah memperkuat pandangan hidup Islam. Hal ini dilakukan
dengan menggali konsep-konsep penting khazanah ilmu pengetahuan Islam dan
menyebarkannya agar dimiliki oleh kaum terpelajarnya yang secara sosial
berperan sebagai agen perubahan dan yang secara individual akan menjadi decision
maker.
Memperkuat pandangan hidup Muslim artinya
memberi solusi terhadap persoalan ummat secara fundamental dan integral.
Pentingnya pandangan hidup Islam ditekankan al-Attas dalam berbagai tulisannya,
dan bahkan dalam kontek pengembangan sains telah diformulasikan dengan baik
oleh Prof. Alparslan Acikgenc. Dengan pendekatan ini kita tidak perlu meletakkan
dua pilihan yang saling bertolak belakang, atau meletakkan Islam vis a
vis Barat dalam setting yang konfrontatif. Barat dan kebudayaan
asing lainnya harus dilihat dalam konteks kebutuhan yang bersifat konsepsional,
dalam artian bahwa disatu sisi Islam dapat “mengadapsi” atau meminjam
konsep-konsep asing yang sesuai atau disesuaikan terlebih dulu dengan pandangan
hidup Islam, dan di sisi lain Islam dapat menolak ide asing yang tidak
diperlukan, dengan kesadaran bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara
asasi dari kebudayaan manapun, termasuk Barat.
Untuk menggambarkan pentingnya pandangan
hidup Islam atau framework Islam dalam menerima
dan menolak konsep-konsep asing kita rujuk sinyalemen Professor Khurshid Ahmad,
pakar Ekonomi Islam asal Pakistan dibawah ini:
The
capitalist and the Socialits model can have no place as our ideal-types,
although we would like to avail from all those experience of mankind which can
be gainfully assimilated and integrated within the Islamic framework and can
serve our own purpose wihtout in any way impairing out values and norms. But we
must reject the archytype of capitalism and socialism. Both this model of
development are incompatible with our value system; both are exploitative and
unjust and fail to treat man as man, as God’s vicegerent (khalifah) on earth.
Both have been unable to meet in their own realms the basis economic, social,
political, and moral chalenges of our time and the real need of a humane
society and a just economy.
Terjemahan bebasnya adalah bahwa model
[ekonomi] kapitalis dan sosialis tidak bisa menjadi tipe ideal kita, meskipun
kita akan memanfaatkan semua pengalaman manusia untuk diasimilasikan dan
diintegrasikan dengan framework Islam,
untuk dapat membantu mencapai tujuan kita sendiri dengan tanpa mengotori
nilai-nilai dan norma kita. Bahkan kita harus menolak model kapitalisme dan
sosialisme. Kedua model pembangunan ini tidak cocok dengan sistem nilai kita,
keduanya eksploitatif, tidak adil dan gagal memperlakukan manusia sebagai
manusia, sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Keduanya telah gagal mengatasi
tantangan ekonomi, sosial, politik, moral masa kini dan memenuhi kebutuhan real umat
manusia dan ekonomi yang adil di dunia mereka sendiri.
Konsep pembangunan dalam Islam tidak sama
dengan konsep pembangunan kapitalis ataupun sosialis. Pembanguan ekonomi dalam
literatur umum terdiri dari serangkaian kegiatan ekonomi yang menyebabkan
pertumbuhan dalam produktifitas eknomi secara keseluruhan dan produktifitas
pekerja secara rata-rata, dan juga pertumbuhan rasio antara tenaga kerja dan
keseluruhan penduduk.Pembangunan ekonomi dalam Islam lebih luas dari itu,
karena pembangunan ekonomi adalah bagian dari pengbangan manusia. Disini fungsi
Islam sebagai agama dan pandangan hidup adalah memberi petunjuk bagi pengembangan
manusia sesuai dengan arah dan garis yang benar. Tetap mempertimbangkan
aspek-aspek eknomi, tapi selalu dalam framework
pengembangan manusia seutuhnya.
Pernyataan Professor Khurshid di atas telah
cukup jelas menunjukkan pentingnya pandangan hidup atau dalam istilahnya framework Islam,
dalam mengkaji ekonomi asing dan mengembangkan ekonomi Islam. Berdasarkan framework itu
maka pengembangan ekonomi Islam bersifat komprehensif yang meliputi aspek-aspek
moral, spiritual dan material. Perkembangan merupakan tujuan dan aktivitas yang
berorientasi pada nilai, diarahkan pada perkembangan manusia dari berbagai
dimensi. Moral dan material, ekonomi dan sosial, spiritual dan fisikal tidak
terpisahkan, demi meraih kesejahteraan hidup dunia dan akherat. Dalam Islam
fokus dari upaya-upaya pembangunan adalah manusia. Pembangunan berearti
pembangunan manusia secara fisik dan lingkungan sosial ekonominya.
Barat atau kebudayaan asing lainnya dengan
secara terbuka seharusnya mengakui bahwa Islam memiliki pandangan hidup,
filsafat dan kebudayaannya sendiri yang harus diterima apa adanya dan tidak ada
jalan rekonsiliasi, meskipun tetap membangun sikap toleransi. Bagi mereka yang
gagal memahami hal ini secara akademis, baik Orientalis maupun intelektual
Muslim, akan menganggap bahwa penolakan konsep Barat dalam bentuk apapun akan
selalu dihubungkan dengan kecemburuan kultural dan religius (cultural
and religious prejudice), yang sebenarnya tidak perlu. Sementara
bagi mereka yang benar-benar dapat memahami esensi pandangan hidup Islam dan
juga Barat akan dapat mengidentifikasi lebih akurat perbedaan dan bahkan
pertentangan pada keduanya dan dapat dengan secara kritis menentukan apakah
suatu konsep asing diterima (diadapsi) atau ditolak sama sekali. Sesungguhnya,
dalam suatu pandangan hidup dan peradaban proses ‘meminjam’ atau adapsi adalah
hal yang alami dan ini telah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, tapi mengadopsi
suatu
konsep tanpa proses tranformasi yang utamanya melibatkan pengetahuan dan
kesadaran akan pandangan hidup, tidak akan memajukan peradaban yang
bersangkutan tapi justru menghancurkan.
Dengan pendekatan integral melalui konsep
pandangan hidup Islam yang merujuk kepada tradisi intelektual Islam secara
kritis dan kreatif akan menunjukkan bahwa pemikiran dalam Islam itu bersifat
konseptual, integral dan memproyeksikan pandangan hidup Islam (worldview) yang
dinamis, teratur dan rasional yang dipancarkan oleh konsep Islam sebagai Dīn.
Secara teoritis, pandangan hidup Islam tercipta dari adanya konsep ilmu pengetahuan
dan pengembangannya yang dibentuk dari kerangka kerja sistem metafisika Islam
yang utamanya meliputi pengertian tentang kebenaran dan realitas yang Mutlak.
Dalam perspektif pandangan hidup inilah kita dapat mengetahui apakah suatu
pemahaman atau penafsiran tentang Islam yang berupa ilmu pengetahuan, filsafat,
sains dan lainnya itu benar-benar sesuai dengan Islam dan sejalan dengan
pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran yang Diwahyukan (Revealed
Truth). Jika terdapat penafsiran atau pemahaman yang tidak
sejalan maka perlu dikoreksi ulang (ishlah)
dengan apa yang disebut dengan Perubahan Paradigma (Paradigm
Shift), yang berarti perubahan
pandangan hidup dan sistem metafisikanya.
Dalam tradisi pemikiran Islam aktivitas
koreksi ulang atau konseptualisasi ulang ini dapat berarti tajdid yang
hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang
sifatnya kembali kepada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali
kepada ajaran asal tidak selalu bisa difahami sebagai kembali kepada corak
kehidupan di zaman Nabi, tapi harus dimaknai secara konseptual dan kreatif.
Maka, sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau ishlah seperti
yang didefinisikan al-Attas mempunyai implikasi membebaskan,
artinya membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis,
animistis dan kultur kebangsaan yang bertentangan dengan Islam; pembebasan
manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau
pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil
kepada fitrah atau hakekat kemanusiaannya yang benar.
Proses pembebasan ini sekarang dikenal dengan sebutan Islamisasi. Dalam
konteks zaman sekarang, proses ini memerlukan pengetahuan tentang paradigma dan
pandangan hidup Islam yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah serta
pendapat-pendapat para ulama terdahulu yang secara ijma’ dianggap
shahih.
Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap kebudayaan asing dan pemikiran
yang menjadi asasnya, namun ‘memahami’ tidak selalu berarti ‘mengambil konsep’.
Kita, misalnya tidak perlu mengambil konsep pembebasan dari pandangan hidup
asing, sebab ia telah inheren dalam pemikiran Islam dan pembaharuan Islam.
Proses pembaharuan atau Islamisasi yang merujuk
kepada sumber asal ajaran Islam dan ulama yang memiliki otoritas dibidangnya
menunjukkan pembaharuan dalam Islam tidak bersifat evolusioner
tapi
lebih bermakna devolusioner, dalam
artian bahwa ia bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang
terakhir lebih baik dari yang pertama, tapi suatu proses pemurnian dimana
konsep pertama atau konsep asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi
lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan penjelasan itu tidak bertentangan
dengan aslinya.
Sesungguhnya proses pembaharuan atau
Islamisasi yang berulang-ulang dalam tradisi pemikiran Islam ini telah di
ramalkan oleh Nabi sendiri dalam hadithnya tentang tajdid.
(Sunan Abu Dawud). Namun proses Islamisasi tidak melulu berarti menyesuaikan
unsur-unsur asing dengan Islam dan tidak pula bermakna bahwa ajaran asasi agama
Islam itu usang dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keadaan zaman yang
terus menerus berubah. Proses tajdid diperlukan
karena pemahaman ummat Islam terhadap ajaran Islam, dan bukan karena ajaran
Islamnya, telah semakin jauh dari bentuk dan sifat aslinya. Perlu ditekankan
disini bahwa dalam tradisi Islam (sunnah)
setiap usaha pembaharuan (tajdid) pamahaman dan
penafsiran Islam selalu merujuk kepada kebenaran yang mutlak yang termaktub dalam
al-Qur’an. Ini sangat berbeda secara diametris dengan pemikiran dalam
kebudayaan Barat yang sifatnya terus menerus mencari dan tidak memiliki rujukan
yang mutlak dan pasti, sehingga pendapat atau pemahaman yang baru mesti menolak
pendapat yang lama dan seterusnya. Pembaharuan dalam Islam bukan menolak atau
menghapuskan pendapat lama atau konsep asalnya tapi merupakan rekonseptualisasi
yang kreatif berdasarkan akumulasi pemikiran lama yang dijalin dalam ikatan
tradisi dan otoritas.
Membangun
individu melalui universitas
Untuk memperbaiki keadaan ini, maka umat
Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang
memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di
dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus
dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas
pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai
dari pendidikan universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus terlebih
dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar terhadap Hikmah
Ilahiyyah sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan
pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam.
Perlu dicatat bahwa penekanan pada
pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi
perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan, target utama dan misi
Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertanggung jawab.
Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya
pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu universitas juga merupakan
tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara
universitas adalah tempat dimana individu-individu yang menonjol menjalani
pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia.
Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju
universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah
lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutamanya universitas, tidak
direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi dan pandangan hidup Islam, ia
akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi maka
kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki.
Agar universitas benar-benar Islami dan
merupakan medium pengembangan individu, maka sebuah universitas harus harus
merupakan refleksi dari insan kamil ataupun universal (al-insan
al-kulli atau al-insan al-kamil) dan
mengarah kepada pembentukan insan kamil. Contoh insan
kamil dan universal itu yang sangat riel adalah figur Nabi
Muhammad saw sendiri. Universitas dalam Islam harus merefleksikan figur Nabi
Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal sholeh, dan fungsinya adalah untuk
membentuk laki-laki dan wanita yang beradab dengan menirunya semirip mungkin
dalam hal kualitas sesuai dengan kemampuan dan potensi
masing-masing”. Berbeda dari Islam, universitas di Barat mencerminkan
keangkuhan manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal man, namun
karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di
atas segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa:
“manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah ada,
dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak ada”. Namun berbeda dengan
Islam yang memiliki ciri permanency, ukuran-ukuran
Barat mengenai suatu yang ideal selalu berubah, dan berevolusi.
Sejarah telah membuktikan bahwa keagungan
suatu masyarakat adalah tercermin daripada kualitas perguruan tinggi masyarakat
tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini lebih banyak mendirikan universitas
yang hanya meniru pola dan model universitas masyarakat Barat. Padahal
universitas Islam sepatutnya berbeda dari universitas Barat baik dalam bentuk,
konsep, struktur dan epistimologinya. Universitas (al-jami’ah,
al-kulliyah) harus dapat membentuk manusia universal yaitu
manusia sempurna. Oleh sebab itu seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang
spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam
cara pandangnya terhadap kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang
keilmuan yang saling terkait.
Penyataan
al-Attas dalam hal ini sangat jelas:
“Sebuah
universitas Islam mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat,
mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh
para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi
Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk
‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’… seorang ulama Muslim bukanlah
seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang
yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa
bidang keilmuan yang saling berkaitan.
Karena universitas Islam modern yang berdiri
di negara muslim hari ini lebih merupakan fotokopi universitas Barat, maka
orientasi yang menggiring para mahasiswa kepada nilai-nilai kehidupan sekuler
lebih dominan ketimbang usaha-usaha kearah penanaman pandangan hidup Islam.
Pengaruh Barat juga terlihat dalam situasi kebebasan akademik di
universitas-universitas itu. Kebebasan masih difahami sebagai kebebasan yang
seluas-luasnya sebagaimana yang banyak ditemui dalam cara berfikir Muslim
modernis, yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan
terhadap otoritas ulama dan taqlid.
Padahal kekebasan akademis bukanlah berarti bebas sebebasnya tanpa
ikatan-ikatan keilmuan. Kebebasan akademik adalah kebebasan dalam arti
“ikhtiyar“, yakni kebebasan memilih yang lebih baik (khayr)
berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. Taqlid bukan
berarti mengikuti sesuatu dengan membabi buta, tetapi mengikuti seseorang yang
mempunyai otoritas ilmu pengetahuan.
Pengertian
ini sejatinya juga terjadi di dunia akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih
muda mengikuti atau memakai pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih
pakar. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah berpendapat
dengan sesuka hati atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat
berdasarkan pada pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalan
bidang masing-masing. ijtihad tidak berarti
mengkesampingkan otoritas ulama terdahulu sebagaimana yang dilakukan oleh
kelompok modernis yang cenderung mengikuti cara berpikir Barat, khususnya
gaya-gaya Protestan dalam melawan otoritas gereja.
Selain itu kurikulum di Universitas Islam
perlu direkonstruksi agar dapat lebih mengarah kepada penanaman ilmu
pengetahuan Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi ilmu Fardh
Ayn
yang berupa Aqidah, Tauhid atau Ushuluddin pada
jenjang pendidikan rendah dan menengah mestinya dikembangkan menjadi materi
wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi ilmu Fard
Ayn
dapat dikembangkan menjadi Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Fiqih, ilmu Kalam
atau filsafat dan lain sebagainya. Disini konsep-konsep tentang Tuhan, manusia,
alam, akhlaq dan tentang Din dikaji secara mendalam. Itu
semua hendaknya diajarkan sehingga dapat menjadi fondasi bagi pengkajian
disiplin ilmu lain atau ilmu fardhu kifayah.
Disini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan
intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral. Integral artinya
tidak berfikir dualistis: obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis.
Dengan cara itu dikotomi ilmu pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu merasuk
ke dalam kurikulum pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran dapat
secara perlahan-lahan dihilangkan.
Seharusnya ilmu fardhu
ayn bagi seorang mahasiswa Ushuluddin, misalnya tidak sama
dengan Ilmu fardhu ‘ayn bagi siswa Madrasah
‘Aliyah atau mahasiswa fakultas Sosiologi. Jika setiap cendekiawan menguasai
ilmu fardhu ‘ayn sesuai dengan bidangnya, maka
pada dataran epistemologis ilmu Fardhu ‘ayn ini
pada akhirnya akan menyatukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang termasuk
kedalam ilmu fardhu kifayah,
seperti ilmu kemanusiaan, ilmu alam, sejarah, peradaban, bahasa dan lain
sebagainya.
Sinegi
Pembangunan Peradaban
Proyek membangun kembali peradaban Islam
tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui satu dua bidang kehidupan. Ia
merupakan proses bersinergi, simultan dan konsisten. Untuk
itu maka proyek ini perlu disadari bersama sebagai sesuatu yang wajib (fardhu
‘ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu dibebankan kepada
seluruh anggota masyarakat Muslim. Sabda Nabi jelas “Barangsiapa tidak perduli
dengan urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan bagian daripada mereka” (al-Hadith).
Jika kita menengok sejarah kejayaan Islam di
Baghdad maka kita akan temui gerakan pengembangan ilmu pengetahuan yang
bersinergi. Gerakan yang dimulai dengan penterjemahan karya-karya asing,
khususnya Yunani itu bukan gerakan seporadis atau gerakan pinggiran. Gerakan
itu didukung oleh elit masyarakat Baghdad: seperti khalifah dan putera
mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan militer, pengusaha dan bankers, dan sudah
tentu ulama dan saintis. Ia bukan proyek kelompok tertentu. Selain itu, gerakan
disubsidi oleh dana yang tak terbatas dari perusahaan negara maupun swasta. Dan
yang terpenting, ia dilakukan dengan menggunakan metodologi ilmiyah yang akurat
dengan alat filologi yang eksak, sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan
dengan tepat.
Ini menunjukkan bahwa pengembangan ilmu
pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari perkembangan ilmu inilah kemudian
dikembangkan bidang-bidang lain baik secara simultan ataupun secara gradual.
Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh semua kelompok apapun orientasi dan
strategi perjuangannya. Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, perbankan
Islam dan lain sebagainya tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu. Mungkin diagram
dibawah ini dapat menggambarkan konsep tersebut.
Oleh sebab itu sebagai implikasinya, jika
ilmu memberi amunisi kepada seluruh pihak dari penguasa, pengusaha, pedagang,
politisi, militer, dan sebaginya maka semua pihak yang memerlukan ilmu perlu
menyokong proyek pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun tidak dapat
sepenuhnya mendapat dukungan seperti di zaman Abbasiyah, sekurang-kurangnya
kesadaran semua pihak akan pentingnya ilmu pengetahuan Islam untuk semua bidang
kehidupan perlu ditanamkan. Masyarakat Muslim perlu terus menerus mendapat
pengarahan akan pentingnya bidang ini.
Secara materiel, sedekah, zakat, infaq,
wakaf pribadi dan perusahaan-perusahaan Muslim perlu diarahkan bagi
pengembangan asas peradaban Islam ini, yaitu ilmu pengetahuan Islam. Selama ini
belum banyak zakat bagi asnaf fi sabIlillah yang
diarahkan bagi pengkajian dan penelitian ilmu-ilmu Islam. Demikian pula wakaf
masyarakat pada umumnya masih berupa tanah, dan masih langka sekali wakaf
berupa buku-buku yang sangat menunjang bagi kegiatan keilmuan. Secara sosial,
penghargaan terhadap ulama ataupun cendekiawan perlu dilakukan melalui berbagai
event
sosial, agar apresiasi masyarakat terhadap ilmu meningkat. Namun penghargaan
perlu diberikan secara proporsional, artinya harus berdasarkan pada prestasi di
bidang keilmuan, bukan hanya sekedar reputasi sosial yang seringkali diukur
dengan standar jurnalistik.
Selanjutnya, karena spesialisasi dalam ilmu
pengetahuan baik agama maupun sekuler begitu kental, maka seorang sarjana satu
bidang tidak menguasai bidang yang lain. Dan yang lebih memprihatinkan lagi
sarjana ilmu keislaman buta ilmu-ilmu umum (sekuler) dan sarjana ilmu umum
tidak tahu sama sekali ilmu agama, meskipun mereka adalah Muslim. Dalam situasi
seperti ini diperlukan kerja bersinergi, dimana sarjana pakar ilmu syariah
misalnya bekerjasama dengan pakar-pakar ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu
sosiologi dsb, demikian pula sarjana pakar bidang usuluddin atau pemikiran
Islam berkolaborasi mengkaji sesuatu dengan pakar dibidang fisika, biologi dan
matematika. Dari kerja yang bersinergi ini maka potensi ummat Islam akan dapat
menghasilkan karya-karya yang dapat dimanfaatkan oleh ummat.
Jika dukungan masyarakat terhadap pembangunan
ilmu pengetahuan Islam ini telah muncul dan kolaborasi para ilmuwan Muslim
dapat terjalin, maka mekanisme penyebaran (desimination) ilmu
ketengah-tengah masyarakat akan timbul. Artinya, dengan adanya kesadaran
masyarakat akan pentingnya ilmu-ilmu Islam, produk dari kajian ilmu pengetahuan
Islam yang dihasilkan oleh pusat studi Islam atau lembaga-lembaga pendidikan
Islam memperoleh saluran penyebaran yang efektif. Media pendidikan formal, dan
informal seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet,
ceramah-ceramah tokoh diharapkan dapat menjadi medium penyebaran ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai Islam.
Jika masyarakat tidak mendukung gerakan
pengkajian Islam tersebut, maka keadaan seperti yang kita saksikan sekarang.
Hasil seminar, penelitian dosen, workshop, konferensi dan lain-lain hanya akan
berhenti di tingkat elit saja dan tidak tersebar ke tengah masyarakat. Inilah
yang sering disebut dengan intellectual mechanism.
Penutup
Peradaban Islam adalah peradaban yang
dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pandangan hidup
Islam. Maka dari itu, pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari
pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan
ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan
berperan meningkatkan taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan
ekonomi menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan
yang mengarahkan seseorang untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang
sedang dihadapinya adalah faktor ilmu pengetahuan. Lebih penting dari ilmu dan
pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, adalah intelektual. Ia
berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide dan pemikiran
tersebut.
Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan
oleh ide dan pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah
merupakan fakta yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di
Barat ide-ide para pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel,
John Dewey, Adam Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi
rujukan dan merubah pemikiran masyarakat. Demikian pula dalam sejarah peradaban
Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafi’i, Hanbali, Imam al-Ghazzali,
Ibn Khaldun, (Ibn Taymiyyah) dan lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir
masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. Jadi membangun peradaban Islam harus
dimulai dengan membangun pemikiran umat Islam, meskipun tidak berarti kita
berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan
Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam. Wallahu
a’lam bissawab.
[Tamat] □
Kembali ke: Membangun Kembali Peradaban Islam 1
Mengenai Penulis:
Hamid
Fahmy Zarkasyi lahir di Gontor, 13 September 1958. Ia adalah putra ke-9 dari KH
Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Beliau juga Pemimpin
Redaksi Majalah ISLAMIA dan direktur Institute for the Study of Islamic
Thought and Civilization (INSISTS).
Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi menamatkan pendidikan menengahnya di Kulliyatul
Mu'allimin al-Islamiyah Pondok Modern Darussalam Gontor dan S1 di Institut
Studi Islam Darussalam di pondok yang sama. Pendidikan 2 (MAEd) dalam bidang
pendidikan diperolehnya di The University of Punjab, Lahore, Pakistan (1986).
Pendidikan S2 (M.Phil) dalam Studi Islam diselesaikan di University of
Birmingham United Kingdom (1998). Sedangkan studi S3 (PhD) bidang Pemikiran
Islam diselesaikan di International Institute of Islamic Thought and
Civilization - International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM)
Malaysia pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006.
Baru-baru
ini ia dipilih menjadi Pimpinan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
(MIUMI). Sejak tahun 2003 ia aktif melakukan workshop pemikiran Islam yang
berupaya bersikap kritis terhadap program liberalisasi pemikiran Islam. Murid
langsung Prof. Dr. Syed Mohammad Naquib al-Attas ini juga pernah menjadi wakil
umat Islam Indonesia dalam simposium tentang masa depan politik Islam di JIIA
Tokyo (2008). Ia juga menjadi anggota delegasi RI (Kemenlu) dalam program Public
Diplomacy Campaign ke Austria (2010).
Ia
banyak melakukan lawatan ke berbagai negara Eropa dan Asia dalam program
dakwah, seminar, studi banding, dsb. Selain aktif menulis di berbagai media
massa dan beberapa jurnal, kesehariannya ia habiskan untuk mengajar dan
memimpin Program Kaderisasi Ulama dan Pascasarjana Institut Studi Islam
Darussalam, Gontor. □□□