Friday, January 25, 2019

Saifuddin Quthuz Penakluk Mongol




Sebagaimana akan selalu ada pengkhianat. Namun, setiap zaman akan selalu melahirkan para pahlawan. Ksatria Islam akan datang silih berganti. Pengkhianat akan lapuk membusuk, rugi di dunia dan kecelakaan di akhirat. Kemenangan akhir hanyalah milik para mujahid yang tulus, berjuang fi sabilillah, sesulit dan seterjal apapun jalan perjuangannya.


PENDAHULUAN

N
amanya tidak setenar Shalahuddin Al-Ayyubi sang penakluk Yerussalem. Orang barat memanggil namanya sebagai Saladin. Meskipun begitu Saifuddin Quthuz, nama lengkapnya Al-Muzhaffar Saifuddin Quthuz, kisah kepahlawananya sungguh luar biasa. Beliaulah yang telah memporak-porandakan monster raksasa bernama pasukan Mongol yang terkenal kuat sekaligus bengis. Bahkan ada mitos di masa itu “Jika anda mendengar tentara Mongol kalah, jangan percaya, kabar tersebut” menggambarkan saking digdayanya tentara Mongol. Tetapi, lewat perantara beliau, keperkasaan Mongol hancur-lebur.

Sultan Saifuddin Quthuz bersama panglima Baibars bertemu dengan pasukan Mongol di sebuah tempat bernama 'Ain Jalut, terletak di Palestina, sebelah utara Baitulmuqaddis atau disebut juga Jerusalem. Pertempuran dahsyat dan menyejarah ini dengan izin Allah dimenangkan oleh pasukan Muslim.

Kemenangan ini selanjutnya menyelamatkan kota Makkah, Madinah, Afrika Utara dan juga Andalusia dari kehancuran yang menimpa kota Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasiyah, karena dalam perang 'Ain Jalut, Mongol telah bertekuk lutut. Setelah itu tidak lagi menyerang wilayah negeri-negeri Muslim lagi sebagaimana yang akan dipaparkan berikut dibawah ini. 


Mongol


Kekaisaran Mongolia didirikan oleh Jenghis Khan pada tahun 1206 sesudah mempersatukan suku-suku Mongolia yang saat itu sering berselisih di antara sesama. Setelah bersatu, dan dengan itu menjadi kuat, mulai menaklukkan benua Eurasia (Eropa-Asia). Dimulai dengan penaklukan Dinasti Xia Barat di Cina Utara dan Kerajaan Khawarezmia di Persia. Pada puncaknya, Kekaisaran Mongolia menguasai sebagian besar wilayah Asia Tenggara sampai ke Eropa tengah. Selama keberadaannya, Mongolia melakukan pertukaran budaya antar Timur, Barat dan Timur Tengah sekitar abad ke-13 dan 14.

Kekaisaran Mongolia dipimpin oleh Khagan (Khan Agung keturunan Jenghis Khan) secara turun-temurun. Sesudah kematian Jenghis Khan, Kekaisaran Mongolia pada dasarnya terbagi menjadi empat bagian yaitu: Dinasti Yuan, di Cina; Ilkhanate, di Persia; Chagatai Khanate, di Asia Tengah: dan Golden Horde, di Rusia. Semua wilayah pembagian itu dipimpin oleh keturunan Jenghis Khan.

Menurut ahli sejarah barat R. J. Rummel, diperkirakan sekitar 30 juta orang terbunuh dibawah pemerintahan Kekaisaran Mongolia dan sekitar setengah jumlah populasi Tiongkok habis dalam 50 tahun pemerintahan Mongolia. [1]


Kota Baghdad

Kota Baghdad merupakan pusat peradaban dan lentera pengetahuan dunia di abad pertengahan. Kota ini menjadi saksi bisu kekejian tentara Mongol. Ibnu Katsir telah meriwayatkan dalam ‘Kitab Al-Bidayah wan-Nihayah’, Antara 800 ribu dan 1,8 juta orang dibantai tanpa pandang bulu ketika Baghdad dikuasai tentara Mongol.

Tidak hanya itu, perpustakaan Bait Al-Hikam yang menjadi pusat pengetahuan dunia dibakar hingga sungai Tigris menjadi hitam, karena tinta dari lembaran buku-buku tersebut mengelupas dan larut dalam air. Ekspansi Mongol terus berlanjut meratakan setiap yang dilewatinya. Bayangkan saja, kekuasaanya membentang dari semenanjung Korea hingga Polandia di Eropa.

Masa kejayaan Islam telah terukir dalam sejarah. Demikian pula dengan masa kemunduran dan kehancurannya yang tidak mungkin luput dari catatan sejarah. Hal ini bisa dilihat dari pengertian sejarah sebagaimana diformulasikan oleh Prof. Dr. H. Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia, adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.

Masa khilafah Abbasiyah dielu-elukan sebagai masa keemasan Islam. Karena pada masa ini kemajuan dalam berbagai bidang sangat pesat. Namun jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut lenyap dibumihanguskan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan, cucu pendiri Mongol, Jenghis Khan.

Namun meski demikian, serangan Mongol hanyalah sebuah pamungkas yang menghancurkan kekhalifahan. Karena benih-benih kemunduran dan kehancuran sebenarnya muncul dari kekhalifahan Abbasiyah itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari banyak bermunculan dinasti yang semakin melemahkan stabilitas pemerintahan Abbasiyah saat itu. [2]

Kekaisaran Mongol tak pernah terkalahkan, andaikata kalah, mereka pasti mampu membalas dengan pembalasan yang lebih lebih mengerikan. Satu persatu tanah air umat Islam pun jatuh, banyak para raja dan ulama menggadaikan agamanya demi mendapatkan jaminan kelangsungan hidup dari kekaisaran Mongol. Dengan sejuta dalil, dan dalil mereka menjual Islam demi kenikmatan dunia yang sesaat, mereka ciut nyali menghadapi monster yang satu ini.


KISAH SAIFUDDIN QUTHUZ

D
i saat kondisi kritis seperti diuraikan diatas, Allah menepati janjiNya dengan menjaga Islam dengan munculnya seorang pahlawan besar Islam. Pahlawan ini berbeda dengan para pengkhianat itu, dengan sikap ksatria ia mengumpulkan para pembesar dan ulama negara dan berkata:

“Wahai para pemimpin muslimin! Kamu diberi gaji dari Baitul Māl sedangkan kamu tidak suka berperang. Aku akan pergi berperang. Barangsiapa yang memilih berjihad, temannya aku, tetapi siapa yang tidak mau, pulanglah! Allah akan memperhatikan kamu, dosa kehormatan kaum muslimin yang diperkosa akan kalian tanggung, wahai yang tidak ikut berjihad!”

Siapakah pahlawan itu? Dia adalah Saifuddin Quthuz, bersama rekannya Amir Ruknuddin Baibars, beliau memporak-porandakan pasukan Mongol dalam pertempuran 'Ain Jalut. Amat terkenal ditulis oleh para sejarawan. Kenapa terkenal? Karena pada pertempuran inilah pertama kalinya mitos tentara Mongol yang pantang terkalahkan, kenyataannya, terpatahkan. Tentara Mongol binasa, hancur lebur tidak mampu bangkit lagi dan membalasi sebagaimana yang sebelumnya mereka lakukan.

Saifuddin Quthuz adalah Sultan Mameluk, Mesir. Sebelum pertempuran, Hulagu Khan, pemimpin Mongol yang menjuluki dirinya sendiri sebagai ‘Raja Timur dan Barat’ memberikan surat kepada Quthuz yang memintanya menyerah atau akan merasakan kejamnya pedang tentara Mongol sebagaimana wilayah Islam yang lain. Menerima surat ini, Quthuz tidak gentar, meskipun para Penguasa dan Ulama Su' [3] telah banyak yang menyerah dan berkhianat. Quthuz berbeda, perlu diketahui, sebelum Quthuz memimpin Mesir - salah satu wilayah Islam yang tersisa - sedang lemah, karena adanya perpecahan internal, akibat dari rakus mengejar jabatan antar penguasalah penyebabnya. Di pihak luar, monster mengerikan bernama Mongol telah siap menelan sisa wilayah Islam ini. Lalu tampilnya Quthuz sebagai pemimpin menengahi perpecahan itu, dengan sikap ksatria nan diplomatis dia berkata kepada para pemimpin Mesir, beginilah kira-kira perkataanya:

"Saudaraku, yang aku inginkan dari jabatan hanyalah agar kita bersatu mengalahkan Mongol, dan hal ini tidak akan terjadi jika kita tidak berada dalam kesatuan pimpinan, setelah Mongol kalah, urusan kekuasaan ini saya serahkan kembali kepada kalian"

Sikapnya yang bijaksana tersebut membuat ketegangan internal Mameluk, Mesir mereda, bersama ‘Ulama Hanif’ yang tersisa. Quthuz memobilisasi rakyat, menyatukan kekuatan dan mengobarkan semangat jihad fi sabilillah. Hingga pertempuran berkobar pada tahun 1260. Quthuz awalnya hanya memantau dari bukit jalannya pertempuran, tapi melihat pasukannya sempat terdesak melawan kegagahan tentara Mongol, segera ia turun sembari melepas topi besinya dan berteriak:

"Demi Islam! Demi Islam!" Melihat panglimanya langsung turun, moril tentara Islam bangkit kembali. Beberapa kali libasan pedang tentara Mongol hampir membunuh dirinya, tapi ia menyahut kilatan pedang tersebut dengan bersyair: “Adapun diriku, sesungguhnya ia sedang menuju surga, adapun Islam, ia mempunyai Tuhan yang tidak akan membiarkannya”.

Tentara Islam terus merangsek (bahasa Jawa artinya maju menyerang), panglima Quthuz berdo’a: "Ya Allah, bantulah hambamu Quthuz mengalahkan Mongol." Setelah pertempuran sengit, binasalah tentara Mongol dengan mitos tak terkalahkan itu. Ditangan panglima Islam yang rendah hati, shalih dan bertakwa. Allah melalui perantara Quthuz menghancurleburkan Tentara Mongol nyaris tidak bersisa hanya dalam waktu 10 bulan setelah sebelumnya Mongol merajalela dengan bengis di tanah kaum muslimin selama sekitar 40 tahun. Allah memang sebaik-baik pembuat makar, belum habis rasa lelah kaum muslimin berperang dengan Tentara Salib dari barat, datang monster yang tidak kalah mengerikan dari sebelah timur. Allah tetap menjaga Islam lewat para mujahidin yang tulus, tidak takut celaan orang yang suka mencela. Hanya kepada Allah mereka bertawakkal.


Pertempuran 'Ain Jalut

Pertempuran ‘Ain Jalut (Mata Jalut) terjadi pada tanggal 3 September 1260 di Palestina antara Bani Mameluk (Mesir) yang dipimpin oleh Qutuz dan Baibars berhadapan dengan tentara Mongol pimpinan Naiman Kitbuqa.

Banyak ahli sejarah menganggap pertempuran ini termasuk salah satu pertempuran yang penting dalam sejarah penaklukan bangsa Mongol di Asia Tengah di mana mereka untuk pertama kalinya mengalami kekalahan telak dan tidak mampu membalasnya dikemudian hari seperti yang selama ini mereka lakukan jika mengalami kekalahan. [4]


Jalannya pertempuran

Kedua belah pihak berkemah di tanah suci Palestina pada bulan Juli 1260 dan akhirnya berhadapan di ‘Ain Jalut pada tanggal 3 September dengan kekuatan yang hampir sama yaitu lebih kurang 20 ribu tentara. Taktik yang dipakai oleh panglima Baibars adalah dengan memancing keluar pasukan berkuda Mongol yang terkenal hebat sekaligus kejam kearah lembah sempit sehingga terjebak, baru kemudian pasukan kuda mereka melakukan serangan balik dengan kekuatan penuh yang sebelumnya memang sudah bersembunyi di dekat lembah tersebut.

Akhirnya taktik ini menuai sukses besar. Pihak Mongol terpaksa mundur dalam kekacauan bahkan panglima perang mereka, Kitbuqa, berhasil ditawan dan akhirnya dieksekusi. Perlu dicatat bahwa pasukan berkuda Bani Mameluk (Mesir) secara meyakinkan berhasil mengalahkan pasukan berkuda Mongol yang belum pernah terkalahkan sebelumnya. [5]

Setelah meluluh-lantakkan tentara kekaisaran Mongol dalam pertempuran ‘Ain Jalut, Saifuddin Quthuz ditikam oleh seorang gubernur. Meskipun telah tiada, semangat juangnya akan terus menjadi obor yang menyala bagi generasi muslim. Sultan Quthuz hanya memerintahkan Mesir selama satu tahun dan diwaktu singkatnya ia berkuasa, hampir seluruhnya beliau abdikan untuk kemuliaan Islam. Beliau seorang pemimpin yang shalih, rendah hati dan pemberani. Kesuksesan beliau tidak lepas juga dari bimbingan seorang ulama hanif yaitu Al-Izz Ibnu Abdis Salam.

Jika kita perhatikan dalam sejarah Islam, ketika terjadinya puncak-puncak pengkhianatan, fitnah dan kondisi kritis selalu saja muncul para inspirator besar yang Allah jaga Islam melalui perantara tangannya. Tinggal akan ada di kubu mana kita berjalan? Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar jalan) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum. Dia (Allah) mencintai mereka, dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang memerangi), yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela.” [QS Al-Mā’idah/5:54].


PENUTUP

D
emikianlah kisah Sultan Quthuz ditengah-tengah Para Pemimpin dan Ulama Su’ yang tidak bertanggungjawab dalam memegang amanah yang sesungguhnya. Sebagaimana sejarah mencatatnya, yaitu akan selalu ada pengkhianat. Namun setiap zaman akan selalu melahirkan para pahlawan. Ksatria Islam akan datang silih berganti. Pengkhianat akan lapuk membusuk, rugi di dunia dan celaka di akhirat Kemenangan akhir hanyalah milik para mujahid yang tulus, berjuang fi sabilillah, sesulit dan seterjal apapun jalan perjuangannya.

Saksikan pula kisah Saifuddin Quthuz, Mujahid Sang Penakluk Kekaisaran Mongol dalam video. Yaitu video pertempuran ‘Ain Jalut antara Muslim Mamluk (Mesir) melawan Mongol.

Pada tanggal 25 Ramadhan 658 Hijriah bertepatan dengan tanggal 3 September 1260 Kalendar Gregorian/Masehi pasukan Mamluk yang dipimpin oleh Sultan Saifuddin Quthuz bersama panglima Baibars bertemu dengan pasukan Mongol di sebuah tempat bernama 'Ain Jalut. Pertempuran dahsyat dan menyejarah ini dengan izin Allah dimenangkan oleh pasukan Muslim.

Kemenangan ini selanjutnya menyelamatkan kota Makkah, Madinah, Afrika Utara dan juga Andalusia dari kehancuran yang menimpa kota Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasiyah, karena dalam perang 'Ain Jalut, Mongol telah bertekuk lutut dan setelah itu tidak lagi menyerang wilayah kekuasaan Islam seperti tersebut diatas. Mitos tentara Mongol yang pantang terkalahkan terpatahkan. Tentara mongol binasa, hancur lebur tidak mampu bangkit lagi dan membalasi sebagaimana yang sebelumnya mereka lakukan. VIDEO (klilk--->) PERTEMPURAN ‘AIN JALUT. Wallahu a’lam bish-shawab, billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kekaisaran_Mongol
[2]https://hasanrizal.wordpress.com/2009/10/20/kehancuran-baghdad-serangan-mongol-jenghis-khan-dan-hulagu-khan/
[3] Kata ulama adalah bentuk jama’ dari ‘alim yang artinya ahli ilmu atau ilmuwan. Sementara kata su’ adalah masdar dari sa’a-yasu’u-saw’an yang artinya jelek, buruk dan jahat. Secara bahasa arti ulama su’ adalah ahli ilmu atau ilmuwan yang buruk dan jahat. Rasulullah saw bersabda,”Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama”, HR al-Hakim. Orientasinya hanya duniawi, sehingga menyalahgunakan ilmunya demi tujuan jabatan dan materialistik.
   Ulama hakekatnya berhubungan dengan ilmu dan kebaikannya. Harta dan tahta adalah godaan bagi ulama yang bisa menjerumuskan ke dalam kehinaan. Sayyidina Anas ra meriwayatkan: “Ulama adalah kepercayaan Rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik terhadap dunia, maka mereka telah mengkhianati para Rasul, karena itu jauhilah mereka.”
   Dari Abu Dzar berkata: “Dahulu saya pernah berjalan bersama Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, “Sungguh bukan dajjal yang aku takutkan atas umatku.” Beliau mengatakan tiga kali, maka saya bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah selain dajjal yang paling Engkau takutkan atas umatmu  ?” Beliau menjawab, para tokoh yang menyesatkan”, Musnad Ahmad 35/222.

[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Ain_Jalut
dan https://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Ain_Jalut
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Ain_Jalut □□

Sumber:
http://www.voa-islam.com/read/smart-teen/2015/10/22/39997/saifuddin-quthuz-mujahid-sang-penakluk-kekaisaran-mongol/#sthash.E0u9MQyn.dpbs
www.voa-islam.com/saifuddin-quthuz-mujahid-sang-penakluk-kekaisaran-mongol/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekaisaran_Mongol
https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2018/09/20/150993/karakter-ulama-su-dan-fitnah-akhir-zaman.html
https://hasanrizal.wordpress.com/2009/10/20/kehancuran-baghdad-serangan-mongol-jenghis-khan-dan-hulagu-khan/
https://www.youtube.com/embed/8yLJy898Nq8 □□□


Wednesday, January 2, 2019

Ibnu Khaldun Asal Kehancuran Negara dan Peradaban





KATA PENGANTAR

I
bn Khaldun (1332-1406) adalah seorang ahli sejarah dan sejarawan muslim terkemuka. Dia secara luas dikenal sebagai Bapak (disiplin) modern historiografi, sosiologi, ekonomi, dan demografi. Dia terkenal karena bukunya, Muqaddimah (Prolegomena). Pendidikan terakhir Universitas Al-Karaouin, Fez Maroko. Dengan kapasitasnya -ditambah pengalamannya- seperti tersebutlah ia pantas menulis tema “Asal Kehancuran Negara Dan Peradaban” bahasan kita sekarang ini yang patut kita pelajari.

Apakah negara bubar hanya khayalan atau fiksi dalam novel dan komik? Jawabnya ternyata tidak sama sekali! Banyak negara tengelam dalam dasar sejarah. Hanya sedikit negara yang mampu bertahan lama. Dan memang banyak orang yang alpa dengan menganggap eksistensi negara itu sebuah kenyataan kekal dan final. □ AFM



IBNU KHALDUN
ASAL KEHANCURAN NEGARA
DAN PERADABAN


PENDAHULUAN

A
pakah negara bubar hanya khayalan atau fiksi dalam novel dan komik? Jawabnya ternyata tidak sama sekali! Banyak negara tenggelam dalam dasar sejarah. Hanya sedikit negara yang mampu bertahan lama, Dan memang banyak orang yang alpa dengan menganggap eksistensi negara itu sebuah kenyataan kekal dan final.

Soal bubarnya negara pun telah ditulis di Republika pada tanggal 20 Oktober 2016, ketika memuat buah pikiran pegiat sejarah Islam, Ilham Martasyabana. Dalam tulisan dia membahas tulisan sejarawan besar Muslim, Ibnu Khaldun (1332-1406), mengartikan sejarah dalam kitabnya yang fenomenal Muqaddimah sebagai “catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia”.


PEMBAHASAN

I
bnu Khaldun mempelajari tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu seperti kelahiran, keramah-tamahan, dan solidaritas golongan, tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan lain. Dan sebagai akibatnya, kemudian timbul kerajaan-kerajaan dan negara dengan tingkatan bermacam kegiatan dan kedudukan orang. Baik itu untuk mencapai kemajuan kehidupannya, berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan umumnya tentang segala macam perubahan yang terjadi di dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri.

Sebagai seorang sejarawan konsep-konsep sejarah pun bermunculan dari penjelasan Ibnu Khaldun tersebut, mulai dari “umat manusia”, “peradaban”, “watak masyarakat”, “solidaritas golongan” (ashabiyah), “revolusi”, “pemberontakan”, “kerajaan”, “negara”, “tingkatan dalam masyarakat”, “ilmu pengetahuan dan keterampilan”, “kemajuan” hingga “perubahan” atau “proses”.” Ilmu sejarah bagi Ibnu Khaldun adalah ilmu yang sangat urgen bagi umat manusia di samping sangat digemari berbagai kalangan.

Bagi Ibnu Khaldun, sejarah terbangun dari dua sisi, sisi luar (material, lahiriah) dan sisi dalam (sisi batiniah, filosofinya). Sisi luarnya sejarah menjelaskan kondisi tentang makhluk Tuhan (umat manusia), menguraikan hal ihwalnya, perluasan wilayah dan perputaran kekuasaan di berbagai negeri.

Sisi dalam, atau bisa juga dikatakan sisi batiniah sejarah merupakan tinjauan, kajian, dan analisis tentang berbagai kejadian dan elemen-elemennya, ilmu yang mendalami tentang berbagai peristiwa dan sebab-akibatnya, serta pula filsafat moralnya.

Dengan demikian, Ibnu Khaldun termasuk sejarawan yang mensyaratkan tinjauan peristiwa, analisis, pola-pola dan sebab-akibatnya sebagai syarat ilmu dan penulisan sejarah. Menarik disimak bahwa mayoritas sejarawan Muslim, termasuk Ibnu Khaldun mempercayai bahwa filsafat moral (tentu saja yang berlandaskan Islam) adalah bukan hanya sekedar unsur belaka, tetapi juga dianggap “ruh” sejarah.

Maka, hal tersebut mengingatkan pada pemikiran George Frederick Hegel, filsuf idealisme Jerman, yang membagi sejarah ke dalam tiga jenis: sejarah asli, sejarah reflektif dan sejarah filsafati. Ibnu Khaldun ditinjau darisisi “dalam” sejarahnya memiliki kemiripan dengan sejarah reflektifnya Hegel, di mana cara penyajian sejarah tidak dibatasi oleh waktu peristiwa sejarah yang ditulis sejarawan, tetapi ruhnya melampaui masa kini dan masa lalu. Sebagai contoh yang umum bagi kita, adalah penulisan sejarah yang dihubung-hubungkan dengan rasa nasionalisme, persatuan Indonesia, atau dengan “spirit Islam”.

Sejarah jenis ini selalu dihubung-hubungkan dengan spirit atau ruh yang bisa dipetik generasi masa kini tanpa selalu terkait dengan waktu peristiwa sejarahnya sendiri. Misalnya dalam buku Menemukan Sejarah dan Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara, dari beberapa aspek, kedua buku tersebut bisa mencontohkan sisi “dalam” sejarah, atau sejarah reflektif.

Sama halnya dengan Ibnu Khaldun, saya teringat Goldwin Smith, sejarawan dari Universitas Oxford di abad 19 dalam bukunya “The Study of History: Two Lectures” mengakui bahwa filsafat moral, sebagai sisi “dalam” sejarah, merupakan suatu kesatuan dengan sejarah. Smith menyatakan dengan untaian kata yang bernuansa slogan, “Sejarah adalah sebuah rangkaian fakta belaka tanpa filsafat moral, dan tanpa sejarah, filsafat moral cenderung menjadi mimpi belaka.”

Dari sisi “luar” atau lahiriyah sejarah, Ibnu Khaldun memiliki gagasan yang kemudian dikenal sebagai scientific history (sejarah ilmiah) setidak-tidaknya dengan empat tahapan.

  1. Untuk membangun rekonstruksi penulisan sejarah terlebih dahulu diungkapkan metode kritik sejarah yang menjadi landasan pemikiran sejarahnya. Dengan mengetahui kesalahan-kesalahan sejarawan terdahulu, Ibnu Khaldun akhirnya dapat merumuskan pemikiran sejarahnya sendiri. 
  2. Membuang hal-hal yang dianggap tidak diterima nalar (rasio). 
  3. Objektivitas sejarah.
  4. Pendekatan empiris pada sejarah (historical empiricism approachment).

Menurut Muhammad Enan dalam Ibnu Khaldun: His Life and Works penulisan sejarah Ibnu Khaldun didasarkan oleh dua motif yakni semangat ilmiah dan kenegarawanannya, serta argumennya dalam sejarah menggambarkan pelepasan dari belenggu tradisi ilmiah sebelumnya.

Sehingga sering dikatakan Ibnu Khaldun menciptakan bentuk baru ilmu sejarah menjadi sejarah ilmiah (scientific history), ini merupakan suatu terobosan ilmiah yang belum ada di masa itu, sebagaimana yang diutarakan Muhammad Syafi’i Ma’arif dalam Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Di Eropa, usaha-usaha untuk menjadikan sejarah sebagai “suatu disiplin yang ilmiah” baru dipopulerkan abad 19 oleh sejarawan Jerman, Leopold von Ranke.

Terkait dengan konsep “perubahan” dan “proses” sebagai konsep sejarah yang paling utama, di mana kedua konsep tersebut dianggap paling utama oleh sejarawan dan filsuf Barat di abad 19 dan abad 20, sekalipun dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda. Semua pakar Barat yang mainstream meyakini bahwa-meminjam ungkapan Anker Smith di buku Refleksi Tentang Sejarah - “pada hakikatnya sejarah merupakan suatu proses kemajuan.”

Di antara pakar yang berpendapat demikian ialah sejarawan terkemuka Jerman, Johann Gustav Droysen dalam bukunya Outline of the Principles of History, lalu George Frederick Hegel, Karl Marx, Oswald Spaengler, Goldwin Smith hingga Auguste Comte. Johann Gustav Droysen bahkan mengatakan, “History is humanity becoming and being conscious concerning itself.” Sejarah bermakna “menjadi” atau berproses untuk menjadi.

Hingga kini “perubahan” dan “proses” dianggap sebagai unsur utama sejarah. Masih dengan ungkapan Droysen, “Setiap hal di masa sekarang merupakan salah satu yang telah datang untuk menjadi,” begitu pula seterusnya. William P. Atkinson dalam On History and the Study of History menyatakan lebih jauh bahwa sejarah adalah kisah bangkit dan pertumbuhan masyarakat manusia, dan masyarakat terbentuk dari hubungan; Jika manusia bukan makhluk sosiali tidak punya sejarah.

Ibnu Khaldun tentu juga meyakini bahwa kehidupan manusia akan selalu mengalami proses dan perubahan. Ini adalah sebuah sunnatullah, di mana bukan hanya orang Muslim saja yang percaya tapi juga kepercayaan yang diterima semua keyakinan, ideologi dan agama. Hanya saja umat Islam memahami itu semua dari tuntunan wahyu ilahi kitab suci Al-Qur’an, bahwa sejak awal kehidupan manusia hingga hari kiamat senantiasa terjadi siklus masa kejayaan dan kehancuran dari berbagai masyarakat, umat maupun peradaban yang ada. Firman Allah swt yang artinya:

Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antar manusia (agar mereka mendapat pelajaran),…(QS Āli ‘Imrān 3:140).

Rasanya Ibnu Khaldun pun terinspirasi oleh ayat ini, di mana ayat yang membahas tentang Perang Uhud ini jika ditinjau secara keumuman lafazh maka bermakna senantiasa akan terjadi jatuh-bangun, kejayaan-kehancuran, maju-mundur hingga jatuh-bangunnya peradaban-peradaban manusia.

Uni Soviet yang merupakan peradaban terkuat dengan ideologi komunisnya sejak memenangi Perang Dunia II (1939-1945), mulai tahun 1980-an merosot drastis hingga benar-benar runtuh memasuki tahun 1990. Begitu juga Amerika Serikat yang sejak memasuki abad 20 merupakan ‘pemimpin’ peradaban Barat (menggantikan Inggris) dan kokoh sebagai pemuncak peradaban bahkan jauh lebih lama dari Uni Soviet (rival Amerika Serikat) menurut “hukum sejarah” dari Al-Qur’an maupun yang populer dikemukakan Ibnu Khaldun, pasti juga akan runtuh.

Hal itu dibenarkan oleh Samuel Huntington dalam buku masterpiecenya The Clash of Civilization, di mana ia mengungkap di banding tahun 1920-an, Barat termasuk Amerika Serikat jauh mengalami kemerosotan. Faktanya memang demikian, negeri-negeri seperti China, Korea Selatan, Afghanistan, Iraq hingga yang paling baru ‘komunitas’ jihad Suriah belakangan ini mampu merepotkan negara adidaya nomor wahid tersebut. Sampai-sampai Huntington berpendapat agar Amerika Serikat dan Barat ingin tetap menjadi ‘pemimpin’ peradaban-peradaban dunia, maka solusinya adalah dengan menghentikan laju dan gerak peradaban yang sedang tumbuh seperti peradaban Islam dan China, dengan cara apa pun.

Dalam teori siklus sejarah Ibnu Khaldun pun dijelaskan adanya siklus atau fase-fase, di mana peradaban lahir, tumbuh, berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya, kemudian mengalami kemunduran, hingga akhirnya mengalami keruntuhan sama sekali.

Menurut Tarif Khalidi dalam buku Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the Golden Age “Ilmu  Umran” (peradaban dan masyarakat) dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun bisa dikatakan sebuah science of social biology atau biology of civilization.

Ibnu Khaldun sendiri jelas menyatakan di bukunya bahwa peradaban umat manusia adalah sesuatu yang bergerak dan berproses layaknya makhluk hidup. Dalam kehidupan biologis ada fase-fase kehidupan yang harus dilaui, dari mulai lahir, tumbuh berkembang menjadi anak-anak, remaja hingga dewasa, kemudian mengalami proses penuaan dan akhirnya meninggal dunia. Masa kejayaan dan keruntuhan suatu peradaban berada dalam proses dialektis, berbenturan antar suatu peradaban menetap yang disebut ‘hadharah’ dan peradaban yang nomaden atau ‘bar-bar’ yan disebut badawah.

Peradaban yang dikenal dalam pemahaman modern adalah ‘hadharah’, namun menurut Ibnu Khaldun peradaban semacam ini memiliki kelemahan yang pasti, yaitu selalu berproses dan berubah ke arah keruntuhan ketika sudah mencapai fase tenang, bermegah-megahan serta bermewah-mewahan.

Fase di mana sebuah peradaban telah memuncak, materi berkelimpahan di mana-mana, baik dari penarikan pajak, hasil bumi negara dan lain-lainnya. Selain merusak jiwa manusia, kemewahan dan kemegahan merusak pula ashabiyah, ikatan fanatisme antar sesama manusia di dalam sebuah peradaban, padahal ikatan fanatisme peradaban adalah penopang peradaban itu sendiri. Kultur hadharah (peradaban) pasti bergerak dan berubah ke arah kemewahan dan kemegahan.

Kehidupan bermewah-mewahan serta bermegahan pasti membawa kehancuran, begitulah satu dari logika Ibnu Khaldun yang terkenal. Ia sendiri mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Dan Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri (peradaban), maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar mentaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)”. (QS Al-Isrā’17:16)

Rupa-rupanya Ibnu Khaldun meyakini bahwa sumber kerusakan moral serta kehancuran peradaban berawal dari kesombongan, bermewah-mewahan dan bermegah-megahan. Tidak ada satupun peradaban yang selamat dari ‘penyakit’ semacam ini, tak terkecuali peradaban Islam di masa lalu.

Dari sinilah nampak solusi dari Ibnu Khaldun, peradaban ‘hadharah’ dengan segala kekuasaan dan kejayaannya wajib diatur dan dilandasi syariah Allah, terus-menerus. Kerangka sisi “dalam” sejarah Ibnu Khaldun berujung kepada keharusannya bermoral (beradab) dan menegakan syariah.

Oleh sebab itu jika ada suara-suara dari sebagian intelektual yang menganggap Ibnu Khaldun adalah sejarawan “sekular” Muslim, maka hal tersebut keliru. Dalam perjalanan sejarah berbagai peradaban besar, pendapat Ibnu Khaldun sulit untuk dibantah karena peradaban-peradaban besar merosot dan jatuh utamanya karena kecongkakan, bermegah-megahan dan bermewahan. Sebagian sejarawan dan pakar dunia Barat seperti Spengler dan Huntington sendiri mempercayai bahwa peradaban yang meyakini ia berada di puncak kejayaan dan kedigdayaan sesungguhnya telah berada dalam kemerosotan dan kejatuhannya.

Rasulullah saw pernah bersabda: “Jika kalian telah sibuk dengan dirham dan dinar, berjual beli ‘inah (mengandung riba), mengikut ekor sapi (sibuk bertani), dan meninggalkan jihad, Allah akan memasukan kalian ke dalam kehinaan, Dia tak akan memperdulikan kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sabda lain Beliau saw “kalian dihinggapi penyakit Al-Wahn, yaitu kecintaan pada dunia dan takut mati (dalam memperjuangkan Islam)” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Nampaknya hadits ini membuat kita percaya bahwa teori perihal kemerosotan dan kejatuhan sebuah peradaban (termasuk peradaban Islam) dari Ibnu Khaldun adalah benar.

Disamping itu menurut analisis kekinian, yaitu setelah kolonialisme berakhir, kebanyakan negara-negara yang dijajah mendapatkan kemerdekaan, tapi negara tersebut tidak mampu menyejahterakan kebanyakan rakyatnya. Sebab-sebabnya adalah sebagagai berikut:

Pemimpin atau jajaran pelaksanaan pemerintah kebawah yang korupsi dan tidak mengerti kedaulatan bernegara terhadap negara asing yang ingin menguasainya; “Trias Politica” - eksekutif, legeslatif, yudikatif tidak jalan sebagaimana mestinya; Kedaulatan di tangan rakyat dalam sistim demokrasi yang  kebanyakan masih “illiterate” dalam arti tidak mengerti cara bernegara yang baik yaitu sebagai fungsi kontrol jalannya pemerintahan - karena “power tend to corrupt” - kekuasaan cenderung untuk korupsi; Jalan sistim ekonomi yang lemah; Kejujuran dan integritas pemimpinnya yang signifikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini mengakibatkan negara yang merdeka ini tidak merdeka bukan ditangan kolonial/penjajah tapi ditangan pemerintahannya sendiri yang corrupt yang tidak berintegritas. Negara tetap berdiri tapi berjalan ditempat, sementara negara maju tetap berjaya dan menguasai dunia.


PENUTUP

D
emikianlah rekaman sejarah mengajarkan manusia yang ditangkap oleh Ibnu Khaldun yang dengan itu ia menyusun teori sejarah menjadi catatan “buku sejarah.” Berdasarkan ini ia dinobatkan sebagai “Bapak Ilmu Sejarah”. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Sumber:
republikaonline dan sumber-sumber lainnya. □□