Tuesday, November 20, 2018

Muhammad Rasyid Ridha




MUHAMMAD RASYID RIDHA
PEMIKIRAN DAN PERJUANGANNYA

PENDAHULUAN

M
uhammad Rasyid Ridha (محمد رشيد رضا, Muhammad Rashīd Ridhā) lahir pada tanggal 27 Jumada al-Ula 1282 Kalendaer Hijriyah, atau 27 September 1865 Kalender Gregorian. Tempat kelahirannya di Qalmun, sebuah desa di Lebanon, dekat dengan Tripoli – ketika itu dibawah pemerintahan Kekalifahan Utsmaniyah (Ottoman) di wilayah Suriah Utsmaniyah Meninggal di Mesir, 22 Agustus 1935. Nama lengkapnya Muhammad Rasyid bin ‘Aly Ridha bin Muhammad Syams ad-Din bin Minla ‘Aly Khalifah al-Qalmuny al-Baghdady al-Hasany.


Setelah tamat di Kuttab, ia melanjutkan studi ke Madrasah Ibtidaiyyah. Satu tahun kemudian ia pindah ke sekolah Islam Husain Afandi al-Jisr, di Tripoli. Ia belajar Hadits hingga khatam kepada Mahmud Nasyabah. Kemudian ia belajar ilmu ushul dan logika ke Abdul Ghani al-Rafi. Namun dalam proses belajarnya, pola pikirnya lebih banyak dipengaruhi guru idolanya, Muhammad Abduh. Ia termasuk murid yang sangat tekun. Ia membagi waktunya untuk belajar dan ibadah, sehingga kurang waktu untuk tidur atau pun istirahat. Ia pun dikenal sebagai ahli Hadits dan memiliki cakrawala pemikiran yang mendalam.


TAFSIR AL-QUR’AN “AL-MANAR”

Muhammad Rasyid Ridha
Pencetus Tafsir yang Mencerahkan


M
uhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh, adalah tokoh yang berhasil membuka tabir ketertutupan pemikiran umat Islam. Bersama gurunya, ia bukan saja menerbitkan majalah al-Urwah al-Wutsqa. Setelah majalah ini tidak terbit lagi, dalam periode selanjutnya ia menerbitkan majalah al-Manar. Tidak berbeda jauh dengan misi al-Urwah al-Wutsqa, al-Manar juga bermaksud membuka tabir ketertutupan pikiran umat Islam saat itu. Ia pun dijuluki sebagai pembaru, reformis.

Nuansa pikiran Rasyid Ridha lebih dominan dalam tafsir al-Manar, meskipun tafsir ini ada buah dari kuliah Tafsir gurunya di al-Azhar. Tafsir al-Manar pun dianggap sebagai karya Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir inilah yang memberikan banyak nuansa pemikiran berkemajuan dalam keberislaman. Dibanding wajah-wajah tafsir pada masanya, ia lebih memilih menafsirkan al-Qur’an yang memiliki daya dorong agar umat Islam menjadi umat yang mau berpikir dan berkemajuan.


Tafsir Al-Manar

P
ergaulan keilmuannya dengan Muhammad Abduh sangat dekat. Kedekatan ini di kemudian hari menentukan garis perjuangannya. Ia terlibat dalam aktivisme politik bersama gurunya tersebut, hingga ia memutuskan menghindar sama sekali dari dunia politik. Ia pun kemudian memilih kembali pada dunia pemikiran. Sebagaimana juga yang dilakukan ketika aktif di dunia politik, ia memilih dalam dunia tulis-menulis. Ia menerbitkan majalah al-Manar. Melalui majalah inilah ia menyuarakan pentingnya pembaruan pemikiran Islam. Mengajak umat Islam berpikir maju dan modern. Dalam upaya ini pula Tafsir al-Manar ia tulis. Tafsir yang kemudian menjadi salah satu rujukan umat Islam dalam memandang modernitas dalam pandangan Islam.

Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari Al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir Al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar. Muhammad ‘Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An-Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar) dan yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya sendiri.

Sebenarnya, nama kitab tafsirnya adalah Tafsir Al-Qur`an al-Hakim. Namun kitab ini lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manar karena semula tulisan tafsirnya termuat dalam majalah al-Manar. Sayangnya, tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yusuf, ayat 101. Tafsir yang terdiri dari beberapa jilid tebal ini pun tidak lengkap tiga puluh juz. Rasyid Ridha baru menyelesaikannya sampai kira-kira sepertiga bagian dari juz ketiga belas karena ajal telah terlebih dulu menjemputnya. Penafsiran surat ini pun, selanjutnya dituntaskan oleh Bahjat al-Baithar dan kemudian diterbitkan dengan tetap memakai nama Rasyid Ridha.

Dalam banyak hal, termasuk dalam kitab tafsirnya, Rasyid Ridha banyak menukil gurunya, Muhammad Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit.


Manhaj-nya di dalam tafsir adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Menurut sebagian muridnya, ia tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir, kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat. Ini ia lakukan karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.


Rasyid Ridha memiliki motivasi dalam menulis tafsir seperti itu. Ia menyinggung tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya tafsir menyibukkan bahasan-bahasan tentang i’rab, kaidah nahwu, makna-makna, dan istilah-istilah bayan. Banyak juga yang sibuk dengan debat kusir Ahli Kalam, interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi, dan fanatisme masing-masing, terhadap aliran dan madzhabnya. Ada juga di antaranya sibuk pada banyaknya riwayat yang tercampur dengan Israiliyyat.


Metode Adab Ijtima’i

M
etode tafsirnya adalah menafsirkan ayat-ayat secara adab ijtima’i, meninggalkan ayat-ayat mutasyabihat dan mubhamat. Selain menafsirkan al-Qur’an secara kontemporerisasi, ia juga menafsirkan ayat-ayat menurut logikanya. Kelebihannya, tafsirnya mampu merombak kehidupan manusia yang masih banyak mengikuti taqlid, mengajak manusia untuk lebih maju dalam peradaban, membantu menyebarkan ajaran Islam dari segi pemahaman dakwah dan amal.


Tafsir al-Manar sangat merepresentasikan penulisnya. Ide-ide modernisasi, reformasi, dan karakteristik dan model kebangkitan umat yang ingin diwujudkan penulisnya dapat diamati dengan jelas di sela-sela interaksinya dengan ayat-ayat Kitab Suci.

Rasyid Ridha sebenarnya seorang penulis yang prolifik. Selain sebagai penulis di majalah dan tafsirnya, ia juga menghasilkan banyak karya besar, baik dalam bidang pemikiran hadits, politik, dakwah, kalam, perbandingan agama, fiqh, dan fatwa. Karya tulis dalam tema atau tajuk, antara lain sebagai berikut: Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Biografi Imam Muhammad Abduh), Nida’ li Jins al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), al-Wahyu Muhammadiy (Wahyu Nabi Muhammad), Yusr al-Islam wa Usul al-Tashri‘ al-‘Am (Kemudahan Islam dan Prinsip-prinsip Umum dalam Syari’at), al-Khilafah wa al-Imamah al-‘Uzma (Khalifah dan Imam-Imam yang Besar), Muhawarah al-Muslih wa al-Muqallid (Dialog Antara Kaum Pembaharu dan Konservatif), Zikra al-Maulid al-Nabawiy (Memperingati  Hari Kelahiran Nabi Muhammad), dan Haquq al-Mar’ah al-Salihah (Hak-hak Wanita Muslim).


PEMIKIRAN DAN PERJUANGANNYA

R
asyid Ridha atau Muhammad Rasyid Ridha menyimak betul-betul dalam mengikuti uraian-uraian dari artikel-artikel tulisan yang ada di majalah ‘al-‘Urwah al-Wutsqa’ dan artikel-artikel para ulama dan sastrawan. Terlebih lagi dari pendapat-pendapat dari gurunya, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, sampai iapun menulis dan membukukannya seperti telah disebutkan diatas.


Pemikiran Dan Perjuangannya
Dalam Berusaha Memajukan Umat

M
uhammad Rasyid Ridha simak betul bimbingan dan pendapat guru-gurunya. Ia benar-benar hormat sekali sehingga seakan gurunya lah yang telah menggerakkan akal dan pikirannya untuk membuang jauh-jauh seluruh pemikiran yang mengandung unsur-unsur bid’ah. Ia lebih tertarik kepada pemikiran bagaimana mengaplikasikan ilmu dan agama dalam dunia ‘moderen’ berjalan dengan baik serta mengupayakan tegak kokohnya umat dalam upaya menggapai kemajuannya.

Ia adalah seorang intelektual muslim - Baca Ulil Albab adalah Intelektual Muslim - dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi yang pernah ia geluti juga – Baca: Hubungan Iman Ilmu Amal Dalam Islam,  dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi yang dulunya telah dirintis dan dikembangkan oleh umat Islam di abad tengah ketika Eropa masih hidup dalam zaman abad gelap (the dark ages) – Baca:  Kontribusi Islam Bagi Kemajuan Peradaban Dunia. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.


Kesamaan dan Perbedaan
Rasyid Ridha, Afghani, dan Abduh

K
esamaan ketiga tokoh tersebut dapat diidentifikasi sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal pokok sebagaimana yang dipaparkan sebagai berikut dibawah ini, yaitu:

  • Ketiganya sama-sama menekankan perlunya Islam ditafsirkan secara rasional dan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada zaman tersebut. Mereka memerangi kestatisan (statis, stagnan) umat Islam akibat adanya faham fatalisme dan adanya sikap jumud di dalam tubuh umat Islam.
  • Sama-sama menekankan perlunya pembaharuan pemikiran di dunia Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri untuk mengejar ketertinggalan dari dunia Barat, dengan cara mengambil yang baik-baik dari pemikiran Eropa tersebut, misalnya metode berpikir rasional yang membawa umat ke dalam kehidupan yang dinamis dan dalam mengembangkan institusi-institusi modern.
  • Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang positif. Barat maju karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
2. Adapun perbedaan di antara ketiganya, bisa diidentifikasikan ke dalam beberapa poin berikut ini:

  • Antara Al-Afghani dan ‘Abduh terdapat perbedaan dalam pendekatan yang digunakan. Dalam melakukan pembaruan, gerakan ‘Abduh lebih bersifat evolusi–mengadakan gerakan secara bertahap (gradual). Sementara gurunya, Al-Afghani, cenderung revolusioner.
  • Dalam melakukan islah (pembaruan) al-Afghani menekankan perlunya perlawanan terhadap otoritarianisme dan kolonialisme lewat ‘provokasi’. Sementara Abduh menekankan perlunya pendidikan dan latihan bagi masyarakat yang menurutnya lebih penting daripada sosialisasi gerakan politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa: “Al-Afghani adalah aktivis yang intellektual, sedangkan ‘Abduh adalah intellektual yang aktivis.”
  • Adapun perbedaan antara ‘Abduh dan Rasyid Ridla, sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution (1992), adalah bahwa Muhammad Abduh lebih liberal dari muridnya.Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, karena ingin bebas dalam pemikiran. Sebaliknya, Rasyid Ridha masih memegang kuat mazhab dan masih terikat secara kuat pula pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Karenanya, dalam beberapa pemikiran beliau, terdapat persamaan dengan faham ‘wahhabiyyah’. Dalam menafsirkan ayat tajassum, misalnya, Muhammad Abduh menafsirkannya sebagai kiasan, sementara Ridla menafsirkannya secara dzahiri sebagaimana juga ketika menafsirkan QS Al-Baqarah 2:25 - di dalam tafsir Al-Manar tentang balasan di akherat.
  • Abduh menekankan tafsiran filosofis. Tafsiran itu mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima di akhirat adalah bersifat rohani. Sedangkan Rasyid Ridha dalam komentarnya lebih menekankan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani.

Namun, yang perlu dicatat disi, kita mesti berpikir bahwa perbedaan di antara ketiganya justeru saling melengkapi. Abduh mencetuskan gagasan yang tidak dilontarkan oleh Al-Afghani dan, begitu juga Rasyid Ridha mencetuskan gagasan yang tidak dilontarkan oleh Abduh.


PENUTUP

W
al Akhir, setelah mendarmabaktikan hidupnya selama puluhan tahun demi tercerahkannya kaum muslimin, Rasyid Ridha akhirnya wafat pada tahun 1354 Kalender Hijriyah bertepatan dengan tahun 1935 Kalender Gregorian. Ia wafat secara mendadak dengan penyebab yang misterius di dalam mobil yang membawanya pulang dari Suez ke Kairo. Ia dimakamkan di Kairo, Mesir, bersebelahan dengan makam gurunya, Muhammad Abduh.

Demikianlah kisah perjalanan hidup dan perjuangan Muhammad Rasyid Ridha yang perlu kita ambil hikmahnya, semoga hal ini menjadi pelajaran bagi generasi mellinnial untuk memahami perjuangannya. ‘Masa Depan’ adalah ‘Milik Mereka’ yang ‘Mempersiapkannya Hari ini’. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Bahan Penulisan:
https://id.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha
http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/01/07/muhammad-rasyid-ridha-pencetus-tafsir-yang-mencerahkan/
https://www.harjasaputra.com/riset/biografi-dan-ide-ide-pembaharuan-rasyid-ridha.html
Dan sumber-sumber lainnya. □□