Monday, November 26, 2018

Sejarah Bangsa Uighur




SEJARAH BANGSA UIGHUR
DIBAWAH KEKUASAAN CHINA


Kata Pengantar

K
omite PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial menyatakan sejumlah laporan yang dapat dipercaya mengindikasikan bahwa Beijing telah “menjadikan daerah otonomi Uighur menjadi sesuatu yang mirip dengan kamp pengasingan besar-besaran.”

Penahanan sekitar satu juta Muslim Uighur di Cina, mengkhawatirkan kata PBB. PBB menyatakan khawatir atas penahanan massal kelompok Muslim Uighur di Cina dan menuntut pembebasan mereka.

Kelompok hak asasi manusia termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch memberikan laporan kepada komite PBB yang mencatat tuduhan penahanan massal pada kamp di mana para tahanan dipaksa melakukan sumpah setia kepada Presiden Cina, Xi Jinping.

‘World Uighur Congress’ (WUC, Kongres Uighur Sedunia) menyatakan dalam laporannya bahwa para tahanan dipenjarakan tanpa dakwaan dan dipaksa meneriakkan slogan Partai Komunis. Mereka juga dilaporkan tidak diberikan makanan yang cukup dan muncul laporan penyiksaan yang meluas. Kebanyakan tahanan tidak pernah didakwa melakukan kejahatan dan tidak pernah menerima bantuan hukum.

Pernyataan terbaru PBB dikeluarkan di tengah terjadinya peningkatan ketegangan menyangkut agama di kawasan lain di Cina. Di wilayah Ningxia barat laut, ratusan Muslim yang berusaha mencegah pengrusakan masjid dan bentrok dengan pemerintah.

Inilah ciri-ciri kesemena-menaan Komunisme jika telah berkuasa. Boleh jadi PKI Indonesia yang bekerja sama dengan RRC (Republik Rakyat China) melalui kudeta G30S/PKI tahun 1965 menang, nasib mayoritas muslim Indonesia – yang telah merintis kemerdekaan dan mengantarkan kepada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan seperti bangsa Uighur.

Untuk itu mari ikuti pembahasan sejarah Bangsa Uighur ini dalam bab-bab: Pendahuluan; Keadaan Bangsa Uighur yang terus memburuk; Sejarah Bangsa Uighur Dibawah Kekuasaan China; Penutup. □ AFM



PENDAHULUAN


Bangsa yang tidak waspada dan peduli dengan Bangsanya, akan dimakan oleh Serigala Bangsa Lain. Menurut sejarah manusia dalam “Hukum Rimba hawa nafsu Hubud Dunya” bangsa Yang Kuat mengalahkan Yang Lemah. Selanjutnya Yang Kalah menjadi Kuat bertarung dengan Yang Menang menjadi Kalah. Begitu seterusnya dan berulang sebagaimana sejarah mencatatkannya, tidak ada damai yang sejati.

Doktrin Nafsu Hubud Dunya akan Mengalah Doktrin ‘Saling Kenal’ Yang Damai, jika Konsep Hidup Ta’aruf tidak diperkenaljuangkan yang terdapat dalam ajaran Islam, QS Al-Hujurāt 49:13. [1] [A. Faisal Marzuki]


U
IGHUR MASA KINI. Otoritas di China melarang kelompok minoritas Muslim Uighur yang berada di propinsi Xinjiang (uraian selanjutnya disebut Xinjiang) mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif Pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya Bangsa Uighur ini? Bangsa Uighur adalah bangsa yang sudah lama (pertama) menduduki Xinjiang yang kini sebagai etnis minoritas di China yang secara kultural lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah, ketimbang mayoritas bangsa Han (pendatang yang didatangkan dari propinsi Cina lainnya). Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis.

KONDISI ALAM PROPINSI XINJIANG. Xinjiang adalah provinsi terbesar di China dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera yang kesohor yang dicatat dalam sejarah dunia. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang.

FAKTOR EKONOMI DAN KULTURAL. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal Uighur. Laporan BBC mengungkap, akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh China. Akibatnya, etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti China di kalangan etnis Uighur.

Untuk menekan Penduduk asli Uighur - etnis Turk di Xinjiang, baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum. Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang “sebagai gejala radikalisme agama”.



KEADAAN BANGSA UIGHUR
YANG TERUS MEMBURUK

H
ubungan antara pemerintah pusat China dan warga muslim etnis Uighur yang berdiam di Provinsi Xinjiang terus memburuk. Insiden paling mutakhir (2018) adalah pemulangan 100 warga Uighur yang kabur menjadi imigran ke Thailand pekan lalu.

Negeri Gajah Putih (Thailand) tidak bersedia memberikan suaka pada warga yang tertindas di China itu, kemudian memulangkan mereka. Hubungan Thailand dengan negara-negara muslim, terutama Turki, memanas.

Channel News Asia melaporkan dua hari lalu kantor kedutaan Thailand di Ibu Kota Ankara, Turki, ditutup karena protes ribuan orang. Kaca jendela kedutaan tersebut pecah akibat dilempar benda keras, kemudian beberapa perlengkapan yang ada di kedutaan dirusak.

Pemerintah China memuji keputusan Thailand memulangkan imigran Uighur tersebut. Negeri Tirai Bambu (China) mengabaikan tekanan internasional yang menuntut etnis Uighur mendapat perlakuan yang lebih laik.

Sebaliknya, Beijing membuat tudingan kemarin (13/7/2018), menyatakan 100 imigran itu sejak awal ingin bergabung dengan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). “Mereka dalam perjalanan untuk bergabung dengan gerakan jihad,” kata salah satu petinggi pemerintah China seperti dilansir Xinhua. Ada 20 juta penduduk muslim di Negeri Panda (RR-China) itu. Termasuk etnis Hui yang salah satu nenek moyangnya adalah Laksmana Cheng Ho, pemimpin armada muslim Tiongkok ke nusantara beberapa abad lalu.

Namun, dibanding etnis lainnya, warga Uighur dilaporkan menerima tekanan lebih besar dari aparat pemerintah yang berpusat di Beijing. Apa sebabnya?

Kajian yang dilansir Global Voices menunjukkan, kecurigaaan Beijing terhadap etnis Uighur berakar sejak dua abad lalu. Wilayah Xinjiang (dalam bahasa Mandarin artinya ‘daerah kekuasaan baru’) baru tunduk pada ekspedisi militer Dinasti Qin pada 1750. Selama berabad-abad mereka hidup mandiri tanpa tunduk pada kekuasaan manapun. Warga Uighur punya fisik (badannya berkulit putih, tidak seperti kulit China) secara budaya lebih dekat dengan ras Turkistan. Ini sebabnya.

Dukungan warga Turki pada imigran Uighur tempo hari sangat besar. Ketika pecah perang dunia, warga Xinjiang berusaha bergabung dengan Soviet. Upaya itu berakhir, ketika pasukan nasionalis kiriman Beijing akhirnya kembali memaksa warga Uighur bertahan dalam wilayah kedaulatan Republik Rakyat China pada 1949. Sejak itu, cap warga Uighur yang punya kecenderungan ‘memberontak’ selalu disematkan oleh petinggi di Beijing. Kebijakan ekonomi China yang mengutamakan etnis Han memperburuk suasana.

Akibat rasa paranoid pada Uighur yang dianggap ingin melepaskan diri dari RRC, muncul diskriminasi tambahan Human Rights Watch mengatakan lebih dari 10 juta warga Uighur dipersulit untuk membuat paspor. Berbeda dari warga Han yang mudah melenggang ke luar negeri, untuk etnis Uighur, petugas imigrasi mewajibkan mereka menyerahkan puluhan dokumen serta wawancara buat memeriksa ideologi politik mereka.

Komplikasi segala persoalan itu memicu beberapa warga Uighur menyerang balik. Sasaran mereka adalah aparat dari etnis Han. Serangan paling keras terjadi pada Januari 2007. Diperkirakan 18 orang Uighur ditembak mati dengan tuduhan bergabung dengan jaringan teroris internasional.

China menuding pihak asing berada di balik gerakan politik warga Uighur. Organisasi Kongres Uighur Sedunia (WUC) yang berpusat di Jerman, dituding Tiongkok menyebarkan pamflet berisi ajakan menjadi anggota kelompok radikal.

Beberapa waktu lalu, RRC membantah tudingan dunia internasional, termasuk laporan media massa, soal diskriminasi terhadap warga minoritas muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Kabar adanya serangan militer ke beberapa kampung yang dituding sarang teroris, termasuk larangan berpuasa bagi warga Uighur selama bulan Ramadan, dibantah keras oleh birokrat Partai Komunis. Negeri Tirai Bambu (China) menjamin setiap warga bebas menjalankan keyakinannya. “Warga Uighur hidup dan bekerja dalam keadaan damai. Mereka menikmati kebebasan beragama di bawah konstitusi China,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying.

Selepas pertemuan dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta (6/7/2018), Duta Besar China untuk Indonesia Xie Feng turut membantah isu yang menyudutkan negaranya. Menurutnya, laporan bahwa muslim Uighur dilarang berpuasa hanyalah propaganda Inggris dan Amerika Serikat. “Kenyataannya jauh berbeda dengan isi berita yang dibuat-buat media barat,” kata Feng.

Juru bicara WUC Dilxat Raxit menyerang pembelaan RRC tersebut. Dia menyatakan punya setumpuk bukti China menindas muslim Uighur secara sistematis bertahun-tahun. Dia pun khawatir, 100 imigran yang tempo hari dipulangkan Thailand akan dieksekusi mati setibanya di Xinjiang. “Semua tudingan bahwa para imigran itu ingin bergabung dengan jaringan teroris adalah dusta. Kami khawatir mereka akan disiksa atau malah dieksekusi,” ungkapnya.


SEJARAH BANGSA UIGHUR
DIBAWAH KEKUASAAN CHINA

K
eberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Bangsa Uighur adalah keturunan klan Turki yang hidup di Asia Tengah, terutama di propinsi Cina, Xinjiang. Namun, sejarah etnis Uighur menyebut daerahnya itu Uighuristan atau Turkestan Timur.

Menurut sejarah, bangsa Uighur merdeka telah tinggal di Uighuristan lebih dari 2.000 tahun (20 abad, 2 millennial). Tapi Cina mengklaim daerah itu warisan sejarahnya, dan oleh karenanya tak dapat dipisahkan dari Cina. Orang Uighur percaya, fakta sejarah menunjukkan klaim Cina tidak berdasar dan sengaja menginterpretasikan sejarah secara salah, untuk kepentingan ekspansi wilayahnya.

Uighuristan merupakan tanah subur 1.500 mil dari Beijing, dengan luas 1.6 juta km2 -- hampir 1/6 wilayah Cina. Dan Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina. Di utara, tanah Uighur berbatasan dengan Kazakstan; Mongolia di timurlaut; Kirghiztan dan Tajikistan di baratlaut; dan dengan Afghanistan-Pakistan di baratdaya.

Keturunan-keturunan klan Turki di Asia Tengah memiliki asal, bahasa, tradisi dan kebudayaan dan agama yang sama. Tahun 1924, rezim bolshevik Rusia, Joseph Stalin, membagi etnis ini menjadi Uighur, Kazakh, Lyrgyz, Ubzek, Turkmen, Bashkir dan Tatar -- dalam konferensi etnik dan pembagian negara di Tashkent, Uzbekistan.

Tahun 1949, 96 persen penduduk Xinjiang adalah klan Turki. Namun, sensus Cina terakhir menyebutkan kini hanya ada 7,2 juta Uighur dari 15 juta warga Xinjiang. Selain itu ada etnis Kazakh (1 juta), Kyrgyz (150 ribu), dan Tatar (5 ribu). Para tokoh Uighur percaya jumlah mereka di sana 15 juta. Selain itu, kini di Xinjiang tinggal juga etnis ras Asia: Han-Cina, Manhcu, Huis, dan Mongol.

Pada awal abad ke-20 etnis bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaan mereka dengan nama Turkistan Timur. Namun pada tahun 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan China dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme. Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar enam persen dari total penduduk China. Di tahun 2010, jumlahnya sudah berlipatganda menjadi 40 persen. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas. Sebenarnya, bangsa Uighur bukan etnis muslim terbesar di China, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim China yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil, seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama. Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida, dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.

Di luar Uighuristan diperkirakan ada 5 juta Uighur di Turkistan Barat, kini masuk negara-negara pecahan Uni Soviet: Kazaktstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan Tajikistan. Selain itu, 75 ribu Uighur tinggal di Pakistan, Afgahnistan, Saudia Arabia, Turki, Eropa dan Amerika Serikat.

Orang Uighur berbeda ras dengan China-Han. Mereka lebih mirip orang Eropa Kaukasus, sedang Han mirip orang Asia. Bangsa Uighur memiliki sejarah lebih dari 4.000 tahun. Sepanjang itu, mereka telah mengembangkan kebudayan uniknya, sistem masyarakat, dan banyak menyumbang dalam peradaban dunia.

Di awal abad ke-20, melalui ekspedisi keilmuan dan arkelogis di wilayah Jalur Sutra, di Uighuristan ditemukan peninggalan kuno bangsa Uighur berupa candi-candi, reruntuhan biara, lukisan dinding, dan barang-barang lainnya, juga buku dan dokumen.

Penjelajah Eropa, Amerika, bahkan Jepang sangat kagum terhadap kekayaan sejarah di daerah itu. Dan laporan-laporan merekalah yang mengundang kedatangan orang luar ke sana. Saat ini, peninggalan peradaban Uighur banyak tersimpan di museum Berlin, London, Paris, Tokyo, Leningrad, dan Musium Islam di New Delhi, India.

Berabad-abad lalu, Uighur telah menggunakan skrip. Saat bersatu di bawah Kerajaan Uighur-Kok Turk abad ke-6 dan ke-7, mereka menggunakan tulisan Orkhun, yang lalu diadposi menjadi tulisan Uighur. Tulisan ini digunakan hampir 800 tahun, tidak hanya oleh bangsa Uighur tapi juga oleh suku-suku klan Turki lainnya, oleh orang Mongol (saat kekaisaran Genghis Khan), oleh orang Manchu (terutama pada masa awal Manchu mulai menguasai Cina). Setelah memeluk Islam di abad ke-10, Uighur menyerap dan menggunakan alpabet Arab.

Sejak dulu, banyak orang Uighur menjadi pengajar di kekaisaran Cina, menjadi duta besar di Roma, Istambul, Baghdad. Kebanyakan karya sastra awal keberadaan Uighur diterjemahkan ke teks agama Budha dan Manichean. Namun ada juga karya naratif, puisi dan epik yang telah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Inggris dan Rusia.

Walau telah memeluk Islam, dominasi kebudayan Uighur asli tetap bertahan di Asia Tengah. Malah dengan masuknya Islam, karya sastra dan ilmu Uighur semakin berkembang. Beberapa karya sastra yang terkenal misalnya ‘Kutatku Bilik’ karya Yusuf Has Najib (1069-1070), ‘Divani Lugarit Turk’ oleh Mahmud Kashari, dan ‘Atabetul Hakayik’ oleh Ahmet Yukneki.

Bangsa Uighur juga dikenal ahli pengobatan. Zaman Dinasti Sung (906-960), seorang ahli obat-obatan Uighur bernama Nanto mengembara ke Cina. Ia membawa berbagai jenis obat yang saat itu belum dikenal di Cina. Bangsa ini pada masa itu itu telah mengenal 103 tumbuan obat -- dicatat dalam buku obat-obatan Cina oleh Shi-zhen Li (1518-1593). Bahkan sebagian ahli barat percaya akupuntur bukan asli milik orang Cina, tapi awalnya dikembangkan Uighur.

Orang Uighur juga memiliki kemampuan arsitektur, musik, seni dan lukisan yang tinggi. Mereka bahkan telah bisa mencetak buku berabad-abad sebelum ditemui oleh Gutenberg. Pada abad pertengahan, karya sasta, teater, musik dan lukisan sastrawan Cina juga sangat dipengaruhi Uighur.

Yen-de Wang, seorang dutabesar Cina (981-984) untuk kerajaan Kharakhoja-Uighur menulis dalam biografinya: ''Saya sangat terkesan dengan tinggi peradaban di kerajaan Uighur. Keindahan candi-candinya, biara, lukisan dinding, patung, menara-menara, kebun, rumah-rumah dan istana-istana di seluruh negeri tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Bangsaa Uighur sangat ahli dalam kerajian emas dan perak, dan tembikar. Orang berkata Tuhan telah mewariskan keahlian-Nya hanya pada bangsa ini.''

Sebelum masuknya Islam, Uighur menganut Shamanian, Budha dan Manicheism. Saat ini, bisa dilacak candi yang dikenal sebagai Ming Oy (Seribu Budha) di Ughuristan. Reruntuhannya ditemui di kota Kucha, Turfan dan Dunhuang, dulunya tempat tinggal orang Kanchou-Uighur.

Orang Uighur memeluk Islam sejak tahun 934, saat pemerintahan Satuk Bughra Khan, pengusaha Kharanid. Saat itu, 300 masjid megah dibangun di kota Kashgar. Islam lalu berkembangan dan menjadi satu-satunya agama orang Uighur di Uighuristan.

Masjid-masjid yang megah karya bangsa Uighur contohnya Azna (dibangun abad ke-12), Idgah (abad ke-15) dan Appak Khoja (abad ke-18). Pada masa kejayaan itu di Kashgar saja telah ada 18 madrasah besar dengan lebih 2.000 siswa baru yang masuk pertahunnya.

Selain agama, di madrasah-madrasah inilah anak Uighur belajar membaca, menulis, logika, aritmatik, geometri, etik, astronomi, tibb (pengobatan), pertanian. Pada abad ke-15 di kota ini telah ada perpustakaan dengan koleksi 200 ratus ribu buku. Orang Uighur juga telah mengenal pertanian semi intensif sejak 200 SM. Pada abat ke-7 pertanian mereka semakin berkembang dengan menaman jagung, gandum, kentang, kacang tanah, anggut, melon dan kapas.

Mereka juga telah mengembangkan sistem irigasi (kariz) untuk mengalirkan air dari sumber yang jauh dari lahan pertanian. Satu sistem irigasi kuno ini masih bisa dilihat di kota Turfan. Boleh dikatakan, kebudayaan Uighur mendominasi Asia Tengah sepanjang 1.000 tahun sebelum bangsa ini ditaklukan penguasa Manchu yang memerintah di Cina.


PENUTUP

B
angsa Uighur adalah keturunan klan Turki yang hidup di Asia Tengah, terutama di propinsi China, Xinjiang. Namun, sejarah etnis Uighur menyebut daerahnya itu Uighuristan atau Turkestan Timur.

Menurut catatan sejarah, bangsa Uighur merdeka telah tinggal di Uighuristan lebih dari 2.000 tahun. Tapi China mengklaim daerah itu warisan sejarahnya, dan oleh karenanya tak dapat dipisahkan dari China. Orang Uighur percaya, fakta sejarah menunjukkan klaim China tidak berdasar dan sengaja menginterpretasikan sejarah secara salah, untuk kepentingan ekspansi wilayahnya.

Xinjiang tempat asal mula Uighur adalah provinsi terbesar di China sekarang dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera yang kesohor yang dicatat dalam sejarah dunia. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Faktor ini yang mendorong China tetap mempertahankan sebagai wilayahnya. Sementara penduduk asli yang muslim yang telah lama berdomisili disana sedang pemerintah China komunis yang kebiasaannya jauh berbeda.  Uighur tetap berkeras mempertahankan budaya dan keyakinan agama Islamnya dengan teguh, maka ditekanlah bangsa Uighur ini dengan berbagai cara termasuk dengan cara kekerasan yang menimbulkan protes dari PBB kepada China. Seperti yang telah dipaparkan diatas.

Demikianlah keadaan bangsa Uighur - berjaya dulunya kemudian jatuh - yang menyedihkan sebagai salah satu bangsa/suku di dunia diantaranya juga Rohinga di Burma dan mayoritas penduduk muslim di Palestina.

Boleh jadi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bekerja sama dengan RRC (Republik Rakyat China) melalui kudeta G30S/PKI tahun 1965 menang. Maka nasib mayoritas muslim Indonesia asli (pribumi) yang telah berjuang keras sampai titik darah penghabisan yang menggelimangi tanah tumpah darah dalam merintis kemerdekaan dan mengantarkan kepada Proklamasi Kerdekaan Indonesia akan bernasib sama, seperti bangsa Uighur ini. Waspadalah! Mari selalu belajar dari catatan sejarah. Allahu ‘alam bish-Shawab. Billāhit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling KENAL MENGENAL (TA’ARUF). [QS Al Hujurāt 49:13].

Kata kunci dalam bersosial kemasyarakatan dalam ajaran Islam berada pada kata Ta’aruf (kenal mengenal). Maka pemaknaan Ta’aruf ini seterusnya berkelanjutan kepada Tafahum, Ta’awun, dan Itsar yang makna masing-masing adalah:

1) Ta’aruf, yaitu saling kenal mengenal yang tidak hanya bersifat fisik atau biodata ringkas belaka, tetapi lebih jauh lagi menyangkut latar belakang sejarah dan pendidikan, budaya, keagamaan, pemikiran, ide-ide, cita-cita, serta problem-problem hidup yang di alami suku dan bangsa tersebut baik dalam pengertian seorang atau kelompok orang pada umumnya.

2) Tafahum, yaitu saling memaklumi kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahpahaman dapat di hindari. Kemudian dicari kesamaan-kesamaan titik temu. Kalau ada perbedaan yang tidak dapat dipersatukan, dimaklumi saja, asalkan tidak menyalahi ajaran pokok Islam sebenarnya.

3) Ta’awun, yaitu tolong menolong adalah kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri sebagai makhluk sosial. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan atau apa saja selalu membutuhkan pihak lain. Pekerjaan tidak akan dapat dilakukan sendirian oleh seseorang meski dia memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu (adanya gotong royong dan teamwork) adalah suatu keharusan dalam hidup manusia yang ada secara naluriah dalam hati yang bersih. Mestinya tidak ada keraguannya.

Untuk itu perlu Allah Subhana wa Ta’ala mengingatkan manusia yang mungkin hatinya telah lalai - sehingga ragu dalam menyadarinya, dengan berfirman-Nya mempertegas sebagai berikut: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” [QS Al-Maidah  5:2].

Ta’awun dalam artian semangat teamwork dalam bekerja, yaitu tolong menolong dimana yang kuat menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong orang yang kekurangan. Nah kalau ada saja pandangan atau paradigma yang menjadi ideologi masing-masing individu seperti tersebut, maka harapan hidup tanpa konflik yang yang serius akan dapat dihindari.

4) Itsar, artinya adalah mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri. Maknanya diambil dari surat ke-59, Al-Hasyir, ayat 9 yang kisahnya terjadi dalam menghadapi para pendatang dari Makkah yang berimigrasi ke Madinah (karena tekanan Musyrikin Makkah terpaksa menyingkir ke Madinah) yang tidak banyak membawa perbekalan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Dengan itu penduduk Madinah memberi kemudahan dan pertolongannya.

Dalam pengertian praktisnya, yaitu saling tolong menolong dan saling kerjasama. Tidak bertengkar dan tidak memusuhi, melainkan peduli (caring each other). □□


Sumber:
Merdeka.com
BBC News Indonesia
Independent.co.uk
Republika.co.id
international.kompas.com □□□

Thursday, November 22, 2018

Muhammad Abduh Tokoh Pembaharuan



“Islam itu tertutup oleh pengikut-pengikut Islam itu sendiri”.
“Agama adalah sejalan dengan akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal”.
“Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu sains”. [Muhammad Abduh]


PENDAHULUAN

M
uhammad Abduh (محمد عبده), nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.  Lahir di Delta Nil desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 Kalender Gregorian (kG) dan wafat di Ikandariyah tanggal 11 Juli pada tahun 1905 kG pada umur 55/56 tahun. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab. [1]

Muhammad Abduh adalah murid dari Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemikir Muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan Islamisme dalam menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.

Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena dituduh dalam keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Lebanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersama al-Afghani menerbitkan jurnal Islam Al-Urwatul Wutsqa - The Firmest Bond (?).

Pemikirannya banyak terinspirasi dari Ibnu Taimiyah, selanjutnya pemikiran Muhammad Abduh itu banyak menginspirasi organisasi-organisasi Islam lainnya, salah satunya Muhammadiyah di Indonesia, karena Muhammad Abduh berpendapat, Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu sains.

Sebenarnya di abad tengah sudah dirintis, dikembangkan dan di Baghdad dan diajarkan pula serta diaplikasikan di Andalusia (Al-Andalus) - Eropa Selatan (semenanjung Iberia, Spanyol dan Portugal sekarang).

Salah satunya Algoritma yang dengan itu enkripsi data dan komputer dapat digunakan di akhir abad ke-20 sampai sekarang terus berkembang dan dimanfaatkan Barat. Barat merintis dan menghasilkan produk-produk seperti Laptop, Desktop, Tablet, Smartphone, Electronic Games, Whatsup, Facebook dst, dan kini diikuti oleh Jepang dan Korea.

Perkembangan mana berkat penemuan Al-Khwarizmi seorang ilmuan Muslim dalam angka nol, aljabar dan algoritmi. Lahir sekitar tahun 780 di Khwārizm (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850 di Baghdad. Baca Al-Khwarizmi Bapak Aljabar 1;  Al-Khwarizmi Bapak Aljabar 2.

Karya tulis Muhammad Abduh yang terkenal adalah: Tafsir Juz Amma; Tafsir Al-Qur’an Hakim, yang kemudian diteruskan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Qur’an Al-Manar; dan Risalah At-Tauhid terbit tahun 1897.


LATAR BELAKANG PENDIDIKANNYA

P
endidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al-Qur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di Masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistem pembelajarannya yang dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang yang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf.


Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al- Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877. [2] Ketika menjadi mahasiswa di Al-Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Jamaluddin Al-Afghani, dalam sebuah diskusi.

Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al-Afghani dan banyak belajar darinya. Al-Afghani adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik (tapi stagnan).

Udara baru yang ditiupkan oleh Al-Afghani, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al-Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam - Mu'tazilah, maka banyak yang menuduh dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab: “Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ariy, maka mengapa saya harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan hanya berpegang kepada dalil yang ada”.


LATAR BELAKANG PEMIKIRANNYA

M
uhammad Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan hidup dalam masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan yang berasal di Eropa. Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha,  memberikan gambaran singkat mengenai masyarakat tersebut yakni ”suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan khurafat. [15] Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu. [3]

Keadaan masyarakat Eropa tersebut sesungguhnya telah menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan ekspedisi Prancis (Napoleon) ke Mesir pada tahu 1798. Namun secara jelas tumbuhnya benih-benih tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu gerbang Al-Azhar. Waktu itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan ulamanya telah terbagi kedalam dua kelompok, mayoritas dan minoritas.

Kelompok pertama, mayoritas, menganut pola taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihapal, tanpa mengantarkan pada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.

Sedangkan kelompok kedua minoritas menganut pola tajdid (pembaharu) yang menitik beratkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan kesadaran. [4]

Berkat pengetahuan Abduh tentang ilmu tasawuf serta dorongan Syaikh Darwisy, gurunya, agar ia selalu mempelajari berbagai bidang ilmu, yang diterimanya ketika usia muda dulu, maka tidak mengherankan jika naluri Abduh yang didukung Syaikh tersebut membuat Abduh lebih condong untuk berpihak kepada kelompok minoritas yang ketika itu dipelopori oleh  Syekh Hasan Al-Thawil yang telah mengajarkan filsafat dan logika jauh sebelum Al-Azhar mengenalnya.

Pada sisi lain pertemuan Abduh dengan Al-Afgani menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya untuk tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati kehidupan masyarakatnya, serta berkomunikasi dengan pemikir-pemikir Eropa ketika itu. [5]


CORAK PEMIKIRANNYA

C
orak pemikiran Muhammad Abduh adalah moderen, reformis tapi konservatif - dalam artian - tetap berpegang teguh dan erat kepada salafusshaleh. Bagaimana gambaran kemoderenan, kereformasian dan kekonservatifannya damat diikuti uraian berikut ini.

1. Modernisasi

Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al-Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya.

Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
  1. Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan. 
  2. Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan. 
  3. Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Al-Qur’an, terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musyrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya. [6]

Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern. [7] Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Al-Qur’an.

Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. [8] Islam menurut Abduh “harus mampu meluruskan ketimpangan-ketimpangan  dan perbedaan (dengan peradaban) Barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya”. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam. [9]

2. Reformis

Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perspektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis. [10]

3. Konservatif

Gerakan pembaharuan yang diangkat Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Buku Risalah Tauhid yang di tulisnya merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan. [11]

Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama (modernisasi) lebih menekankan pada aspek selektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban Barat. Corak kedua (reformis) lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga (konservatif) memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan  (ajaran) Islam.


INTI PEMIKIRANNYA

I
nti pemikiran yang dimaksudkan seperti yang telah dipaparkan seperti tersebut diatas maksudnya adalah sebagaimana diuraikan dalam paparan dibawah ini:
  1. Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah swt untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal. 
  2. Memperbaiki bahasa Arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia. 
  3. Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu. [12]
Kita melihat di sini bahwa agenda pembaharuan dibidang bahasa, politik, dan akidah dan tuntunan umum. Dan dalam semua sisi itu, Abduh mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti seluruhnya adalah pendidikan Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya pendidikan. [13]


AGENDA PEMBAHARUANNYA

U
ntuk melaksanakan cita-citanya itu maka diperlukan pemurnian (purifikasi) pemahan ajaran dan kepahaman yang ada dan berkembang saat ini yang perlu dikaji. Kemudian jika ditemukan hal-hal yang menghambat dan melambatkan perkembangan Islam yang dengan itu perlu diperbaiki (reformasi). Semua upaya-upaya tersebut adalah dalam rangka peneguhan atau pembelaan terhadap ‘kemurnian’ ajaran Islam itu sendiri (pembelaan Islam). Selanjutnya di reformasi segala apa yang ada yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Paparan yang dimaksud dapat diikuti seperti berikut.

1. Purifikasi

Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah [14] dan khurafah [15] yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslimin.

2. Reformasi

Dengan agenda reformasinya, Muhammad Abduh berambisi untuk melenyapkan sistem dualisme dalam pendidikan di Mesir. Dia menawarkan kepada sekolah modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral. Dengan mengandalkan aspek intelektual saja sekolah modern hanya akan melahirkan pendidikan yang merosot moralnya. [16]

Sedangkan kepada sekolah agama, seperti Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai pionirnya, ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu Barat kepada Al-Azhar, disamping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam klasik yang orisinil, seperti Muqadimah karya Ibnu Khaldun. [17]

Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muhammad Abduh pada Universitas almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku kelasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. Usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan matakuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intlektualisme Islam yang padam diharapkan hidup kembali.

3. Pembelaan Islam

Muhammad Abduh lewat buku Risalah Al-Tauhidnya tetap mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran Illahi yang dipelajari melalui agama.

 4. Reformulasi

Agenda reformulasi tersebut dilaksanakan Muhammad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan ekternal. Muhammad Abduh dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya. [18]


MANHAJ PEMIKIRAN KEAGAMAANNYA

I
slam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan, satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf). Namun dalam kesempatan ini, penulis memilih hanya membahas sedikit manhaj pemikiran Muhammad Abduh tentang Syariah dan Aqidah. Karena inilah yang mungkin paling mempengaruhi seseorang dalam bertindak. [19]


1. Hukum Islam

Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati(mu jma’ ‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Yang kedua adalah hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai  jelas. [20]

Disinilah peranan para mujtahid, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang tidak pasti tersebut.

Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan.

Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli. Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman,tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan  kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu. [21]

Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahayatak lid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.

Menurut Rasyid Ridha, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab. [22]

Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat  dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bias dihindarkan.

Abduh menuding para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab al Qur’an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa kitab tersebut. [23]

Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah dalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.

Tantangannya yang keras terhadap taklid tampaknya juga dilandasi oleh pandangan teologinya yang memberikan harkat yang tinggi kepada manusia dengan anugerah akal yang ada padanya, di samping kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut. Dengan keduanya, seharusnya manusia juga mampu memahami nash-nash yang mujmal. Dengan demikian manusia tidak selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang lain tanpa memikirkan alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut. Walaupun beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad. Akan tetapi bagi mereka yang awan pun taklid tidak boleh dilakukan.

Di samping itu, agaknya apa yang dia saksikan di Barat juga merupakan salah satu sebab tantangannya yang keras terhadap taklid. Dia melihat kemajuan barat yang menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya mereka dari ikatantakl id dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam berpikir dan memahami sesuatu. Tampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu bias diterapkan di kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat juga dirasakan kaum muslimin dengan lebi baik.

2. Bagian Aqidah

Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah. Rupanya, pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini. [24]

Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan membawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.

Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.

Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.

Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah juga meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut, menurut Abduh, Allah adalah Tuhan yang mengatur segala sesuatu menurut kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada setiap sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam  tersebut. Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia. [25]

Menurutnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan perbuatannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukan, kemudian dia mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia secara alami mempunyai kebebasandalam menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan atas pertimbangan inilah dia mengambil keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang dimaksud.

Namun, manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwa-peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. Artinya, kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, terutama sekali karena di atas manusia masih ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistem hukum sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh ketidak mampuan manusia sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum alam yang berintikan hukum sebab akibat itu. [26]


METODE PEMBAHARUANNYA

D
alam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat islam. Melaui pendidikan, pembelajaran,dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana telah didefinisikan bahwa pembaharuan (tajdid) adalah kebangkitan dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana pada zaman Rasullullah dan para sahabat. Yang selama ini sempat hilang, terlupakan, bahkan terhapus dari tubuh umat Islam. [27]

Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau membagi umat Islam kepada 2 bagian yaitu:

  1. Mereka yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka itu yang biasa disebut al-Muqallid. 
  2. Mereka yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan Barat serta berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya, dan kemajuannya dalam bidang materi.

Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua kelompok diatas.

Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut. Yaitu antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti Barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu al-Qur’an dan al-Hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.


DAMPAK PEMIKIRANNYA
DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER


M
uhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor. Muhammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin Al-Afghani.

Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya:

1. Reformasi Pendidikan

Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.

2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial.

Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jamiâah khairiyah islamiyah, jami’ah ihya al-ulum al-arabiyah,dan juga jami’ah at-taqorrub baina al-Adyan.

3. Mendirikan Sekolah Pemikiran.

Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini. [28]


KESIMPULAN

I
de-ide yang dibawa oleh Syeikh Muhammad Abduh telah mengubah pandangan umat Islam terhadap Islam yang sering taqlid dengan sebagian sarjana Muslim yang jumud dan pasif. Syeikh Muhammad Abduh berjasa dalam memberi gambaran yang jelas tentang keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam bidang pendidikan. Ide pembaharuan Syeikh Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan, khususnya di Universitas Al-Azhar telah memberi kesan yang mendalam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam. Antara ide tersebut ialah: mewujudkan mata pelajaran Matematik, Geometri, Algebra, Geografi, dan Sejarah, mewujudkan farmasi khusus untuk pelajar Universitas Al-Azhar, menyediakan gaji guru dari perbendaharaan negara dan waqaf negara, memperbaiki asrama pelajar dengan menekankan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan, mengganti metode pengajaran yang bersifat hafalan kepada penalaran atau lebih dekat dengan diskusi.

Metode Muhammad Abduh dalam pembaharuan.

Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat Islam. Melaui pendidikan, pembelajaran, dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama Islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan.

Pembaruan pemikiran yang dilakukan Muhammad Abduh bukanlah hanya sebuah penolakan secara satu persatu atau secara global terhadap pemikiran-pemikaran yang telah ada, yang terdahulu. Pembaruannya juga bukan hanya sebuah pemeliharaan terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut. Akan tetapi pembaruan yang dilakukannya merupakan usaha untuk memperbaiki, mengembangkan, dan menjadikan intisari pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut agar sesuai dengan tuntutan zaman.

Kita telah mengetahui, banyak dari kalangan pemikir dan pengamat, di antaranya Muhammad Abduh, yang berusaha untuk mewujudkan sebuah keadaan yang baik, sebuah kondisi yang sesuai dengan tuntunan Islam dan dapat menghadapi tuntutan zaman. Muhammad Abduh dengan pemikirannya berusaha untuk memperbaiki pemikiran-pemikiran yang  ada. Kesalahan-kesalahan tidak terletak pada pemikiran-pemikiran yang telah ada, tetapi terletak dalam sudut pandang pemahaman yang dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran tersebut, yang tidak terlepas dari pandangan yang jumud, taqlid, dan tidak berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

Berbagai macam cara dan jalan yang dilakukan Muhammad Abduh untuk memerangi hal tersebut, antara lain dengan cara melawan keras opini kejumudan dan stagnasi masyarakat melalui pendekata-pendekatan sastra, pembahasan-pembahasan linguistik, agar masyarakat memahami dan mengerti kalimat dan makna kata yang tersirat dari sebuah pemikiran. Terkadang dengan melalui pendekatan yang lebih moderat, membina masyarakat agar lebih mengerti dan memahami, dan terlepas dari kejumudannya.

Tujuan Muhammad Abduh merupakan tujuan yang mulia, memperbaiki sesuatu yang telah usang dan rusak dengan sesuatu yang baru. Muhammad Abduh berusaha keras untuk mengambil jalan dan cara yang lebih bijak untuk menengahi semua opini yang hidup di kalangan masyarakat. Dia tidak langsung menolak mentah-mentah dan menentang opini yang salah, dan tidak langsung menerima terhadap opini yang dianggapnya benar. Ia menyaring semuanya dan mencernanya dengan baik melalui pemikirannya, agar semuanya sesuai dengan tantangan zaman. Hal inilah yang membedakan dengan pemikir lainnya.


Pembaharuan di Bidang Pendidikan Politik.

Ketertarikan Muhammad Abduh pada dunia politik dimulai semenjak perkenalannya dengan seorang tokoh pembaharu yaitu Jamaludin Al- Afgani pada tahun 1870 sewaktu ia masih menjadi mahasiswa di al-Azhar. Sewaktu Al-Afgani diusir dari Mesir pada tahun 1879, karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khadewi Tawfiq, Muhammad Abduh dipandang ikut campur dalam soal ini, Ia dibuang keluar Cairo. Tapi ditahun 1880 Ia boleh kembali ke ibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah “Al-Waqi’ Al-Misriyah”.

Al Waqi’ Al-Misriyah, surat kabar resmi pemerintah dibawah pimpinan Muhammad Abduh, mempunyai peranan penting dalam perjuangan rakyat Mesir melawan kolonial, dimana surat kabar bukan hanya menyiarkan berita-berita resmi, tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan bangsa Mesir dan senantiasa mendorong rasa nasionalisme rakyat Mesir untuk membela negaranya.

Setelah Urabi Pasya, dari golongan nasionalis sepenuhnya dapat mengontrol dan menguasai tentara Mesir dari perwira-perwira Turki dan Sarkas, Inggris tidak berkenan dan menganggap berbahaya bagi kepentingannya di Mesir, untuk itu mereka ingin menjatuhkan Urabi Pasya dengan mengebom Alexandria dari laut pada tahun 1882. Pengeboman Inggris atas Alexandria mendapat perlawanan sengit dari kaum nasionalis, walaupun pada akhirnya kaum nasionalis dapat dikalahkan pasukan Inggris, Mesir pun jatuh dibawah kekuasaan Inggris.


Dalam revolusi Urabi Pasya itu, Muhammad Abduh turut memainkan peranan. Dia bersama-sama pemimpin lainnya ditangkap, dipenjarakan dan kemudian dibuang keluar negeri pada tahun 1882. Pertama ke Beirut Libanon kemudian ke Paris. Pada tahun 1884 ia bersama-sama Jamaludin Al-Afgani mendirikan majalah “Al-Urwatul Wutsqa” di Paris.

Melalui majalah ini ia bersama Jamaludin Al-Afgani menyusun gerakan bernama Al-Urwatul Wutsqa, yaitu gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Dengan perantaraan majalah itulah ditiupkannya suara kesadaran ke seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya melepaskan cara berpikir fanatik dan kolot serta bersatu membangun kebudayaan dunia berdasarkan nilai-nilai Islam. Suara lantang lantang sekali tersiar dan dengan pesat menggema ke seluruh dunia, memperlihatkan pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga dalam tempo yang singkat kaum imperalis menjadi gempar dan cemas. Akhirnya majalah itu ditutup pemerintah Perancis di kala majalah itu baru terbit delapan belas nomor.

Dibidang politik kenegaraan, Abduh memiliki ide-ide yang berbeda dengan gurunya Jamaludin Al-Afgani. Al-Afgani menghendaki pembaharuan umat Islam melalui pembaharuan negara, sedangkan Abduh berpendapat bahwa pembaharuan negara dapat dicapai melalui pembaharuan umat. Abduh tidak menghendaki jalan revolusi tapi melalui jalan evolusi. Oleh karena itu Abduh tidak menghendaki sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat memperbaiki umat dari dalam.

Dalam soal kekuasaan, Muhammad Abduh memandang perlu membatasi kekuasaan dengan institusi yang jelas. Tanpa konstitusi akan timbul tindakan sewenang-wenang. Untuk itu, Muhammad Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.


Pembaharuan dibidang Sosial Keagamaan

Menurut Muhammad Abduh, sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam. Karena faham jumud inilah umat Islam tidak menghendaki perubahan, umat Islam statis tidak mau menerima perubahan dan umat Islam berpegang teguh tradisi.

Untuk mencerahkan umat Islam dari kejumudan itu, Muhammad Abduh menerbitkan majalah al-Manar. Penerbitan majalah ini diteruskan oleh muridnya yaitu Rasyid Ridla (1865-1935) yang kemudian menjadi tafsir Al-Manar.

Adapun pokok-pokok pemikiran Muhammad Abduh dibidang sosial keagamaan adalah:

  1. Kemajuan agama Islam itu tertutup oleh umat Islam sendiri, dimana umat Islam beku dalam memahami ajaran Islam, dihapalkan lapadznya tapi tidak berusaha mengamalkan isi kandungannya. Dalam hal ini ungkapan Abduh yang terkenal didunia Islam yang artinya: “Islam itu tertutup oleh pengikut-pengikut Islam itu sendiri”.
  2. Akal mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam dengan itu “Agama adalah sejalan dengan akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal”. Dari akal akan terungkap misteri alam semesta yang diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Hanya dengan ketinggian akal dan ilmu manusia mampu mendudukan dirinya sebagai makhluk Allah yang tunduk berbakti kepada yang Maha Pencipta. 
  3. Ajaran Islam sesuai dengan pengetahuan modern begitu pula Ilmu Pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam.

Dampak pemikirannya dalam pemikiran Islam kontemporer

Mohammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Dr. Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin Al-Afghani.

Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya: 1. Reformasi Pendidikan; 2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial; 3. Mendirikan Sekolah Pemikiran; 4. Penafsiran Al-Quran.

1. Reformasi Pendidikan

Mohammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Yaitu, menjadikan pendidikan sebagai faktor utama guna menyelamatkan masyarakat Mesir dengan cara melakukan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.

2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial.

Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jami’ah Khairiyah Islamiyah, Jami’ah Ihya al-Ulum al-Arabiyah, dan juga Jami’ah at-Taqarrub Baina al-Adyan.

3. Mendirikan Sekolah Pemikiran.

Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat itu.

4. Penafsiran Al-Qur’an

Di antara pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh adalah dengan menghadirkan buah karya penafsiran al-Qur’an. Adalah Tafir Al-Mannar yang di tulis Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha yang telah meberikan corak baru dalam ilmu tafsir. Corak tafsir yang dikembangkan ini disebut Mufassirin Adabi Ijtima’i (budaya atau adab dalam masyarakat). Corak ini menurut Muhammad Husein adz-Dzahabi menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan segi-segi petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan peradaban dunia.


Diantara prinsip Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat adalah, Al-Qur’an menjadi pokok utama, maksudnya, al-Qur’an didasarkan atas segala mazhab dan aliran keagamaan - bukannya mazhab-mazhab dan aliran yang menjadi pokok dimana ayat-ayat Al-Qur’an hanya dijadikan pendukung mazhab-mazhab tersebut. Kecuali itu, Muhammad Abduh membuka lebar pintu ijtihad. Menurutnya dengan membuka pintu ijtihad akan memberi semangat dinamis terhadap perkembangan Islam dalam seluruh aspeknya.

Demikianlah pemaparan dari Muhammad Abduh sebagai tokoh pembaharu Islam yang hidup diantara penghujung abad ke-19 dan di permulaan Abad ke-20. Pada waktu itu dalam masyarakat Mesir berada di dalam kondisi-kondisi hidupnya dipertanyakannnya yaitu “nasionalisme” (kebangsaan) ke-Mesir-annya mulai bangkit.

Sementara itu pemerintahan “ke-Khilafah-an” Islam yang sudah dimulai sejak sesudah masa Khulafa Ar-Rashidun sudah berkembang luas sekali bukan saja Timur Tengah, tapi Afrika (Maroko, Tunisia, Aljazair), Eropah (Andalusia, Sisilia), Asia (India, Persia, Negeri-negeri di kawasan Balkan, ‘Negeri-negeri di lintas jalan sutra’ (Uzbekistan, Tajikistan, China bagian Barat - Uighur). Terdiri dari barbagai ras suku-suku bangsa yang sangat luas (beda budaya, bahasa, adat istiadat) yang kepemimpinannya di bawah Kekhalifahan Turki Utsmani yang bukan ‘Arab atau berbahasa Arab.


Sementara itu masuklah kolonialisme bangsa-bangsa Eropa yang menjajah belahan dunia lain termasuk negeri-negeri berpenduduk muslim, dalam hal Mesir yaitu Perancis dan Inggris. Semuanya ini terasa bahwa di “negeri” nya Muhammad Abduh, Mesir, tempat lahir-tumbuh-berkembang dan asal dari nenek moyangnya sampai saat ini “pendatangnya” lebih baik keadaannya, sementara penduduk asli tidak. Kenapa? Karena kebiasaan dan cara pandangnya terpecah belah, jumud, statis, stagnan. Dalam kondisi itu lahirlah Muhammad Abduh sebagai pembaharunya. Baca juga: Muhammad Rasyid Ridha; Jamaluddin Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 1; Jamaluddin Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 2. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 19.
[2] Ibid. hal, 19-20
[3] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 17
[4] Ibid, hal. 15
[5] Ibid, hal. 18
[6] Nur Cholis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 172
[7] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hal. 258
[8] M. Qurais Shihab, Studi Kritis Tafsir Al Manar, hal. 19
[9] Ibid, hal. 20
[10] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 265
[11] Ibid, hal. 266
[12] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 487 – 488
[13] Muhammad Al Bahiy, Pemikiran Islam Modern, terj. Su’adi Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 95
[14] Secara bahasa bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumya. Secara istilah (syariat) adalah sebagaimana perkataan Imam Asy-Syatibi, “Bid’ah adalah suatu cara yang diada-adakan di dalam agama yang menyerupai agama dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”
Bukan termasuk bid’ah jika sesuatu itu diada-adakan di luar agama (ibadah ghairah mahdhah) untuk kemaslahatan dunia, seperti adanya sains dan teknologi yang menghasilkan transportasi, industri, atau yang lainnya.
“Hati-hatilah kalian terhadap perkara yang diada-adakan (dalam ibadah mahdhah), karena setiap perkara baru itu bid’ah. Dan setiap kebid’ahan adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR Baihaqi, An Nasa’i); “Barang siapa melakukan suatu amalan (dalam agama, ibadah maghdah) yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim); “Barangsiapa yang mengada-adakan hal baru dalam urusan kami ini (agama, ibadah maghdah) padahal bukan dari bagiannya maka ia tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim).
[15] Secara istilah, pengertian khurafat adalah suatu kepercayaan dan keyakinan pada segala sesuatu yang menyalahi aturan agama Islam; Khurafat adalah berita yang dibumbuhi dengan kedustaan.
[16] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intlektual, terj. Ashin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995), hal. 70
[17] Ibid, hal. 77-78
[18] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rsullullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 246-247
[19] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, hlm 25.
[20] Ibid, hlm 26.
[21] Ibid, hlm 29.
[22] Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam, hlm 79.
[23] Muhammad Abduh, hlm 40.
[24] Muhammad Abduh, 42.
[25] Muhammad Abduh, hlm 50.
[26] Muhammad Abduh, hlm 51.
[27] Nasution, Harun.1984.teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press. Hal, 172
[28] Ridho, Muhammad Rashid. Tarikh al-Ustaadz  al-Imam Muhammad Abduh. Mesir: Al-Manar. Hal, 56-57 □□


Daftar Kepustakaan:
Abduh Muhammad. Risalah Tauhid, Cet. VII, Mesir: Dar al Manar, 1353 H
Al Bahiy, Muhammad. Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995
Madjid, Nur Cholis. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989
Nasution Harun, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1981
Nasution, Harun. teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1984
Ridha Muhammad Rasyid, Târîkh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, Juz I, Cet. II, Mesir: Dar al-Manâr, 1367 H
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intlektual, terj. Ashin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1995
Sani, Abdul. Lintas Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Peersada, 1998
Shihab, M.Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid ridha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
Suharto,Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Arruzz, 2006
Syar’i, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Qutub Sayyid, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam: Republika, 2002, Jakarta. □□□


Sumber:
http://just4th.blogspot.com/2015/06/biografi-dan-pemikiran-abduh.html
https://hikmawansp.wordpress.com/2012/01/03/muhammad-abduh-dan-pemikirannya-tokoh-pembaharuan/
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh
www.risalahislam.com
Dan sumber-sumber lainnya. □□□□