Wednesday, May 24, 2017

Pemecahan Masalah Kemelut Panafsiran Pancasila







Memang hanya “cara hidup bersama” itu yang maksimal dapat diupayakan melalui Pancasila. Bukan “tujuan hidup bersama”. Jadi, obsesi untuk merumuskan “tujuan hidup bersama” adalah fatalistik karena Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang koheren. Hermeneutik Pancasila menyebar kemana-mana. Bahkan bisa paradoksal.



Kata Pengantar

   Sebenarnya, catatan sejarah menuliskan perjuangan kemerdekaan ini dimulai dari umat Islam yang memperjuangkan mati-matian supaya lepas dari penjajahan dari negara-negara lain (Inggris, Belanda, Jepang). Syuhada yang banyak gugur dalam perjuangannya adalah warga yang beragama Islam.

   Sejak jaman penjajahan hingga kini warganegara yang mayoritas adalah beragama Islam, bahkan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam terbesar di dunia. Soekarno, Hatta, Haji Agus Salim, dan Mohammad Natsir beragama Islam, berkesempatan mendeklarasikan dasar negara Indonesia adalah Islam, tapi tidak.

   Sedangkan lambang Garuda Pancasila, pada lambang negara kita, dibuat oleh enam tokoh Indonesia yang tergabung dalam kepanitiaan pembuatan lambang ini. Mereka adalah Sultan Hamid II, Ki Hajar Dewantara, Muh. Yamin, Moh. Natsir, Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, dan MA Pellaupessy. Di luar mereka, ada sosok warga negara asing yang juga terlibat, yaitu Dirk Rühl Jr, warga negara asal Jerman.


Pendahuluan

S
ebagaimana yang dikatakan Rocky Gerung, dosen Departemen Filsafat Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia di Rubrik TSKita bahwa: Setiap kali kita menghadapi krisis politik, acuan penyelesaiannya adalah Pancasila. Seolah-olah ia adalah Panacea, diminta “turun tangan” mengobati segala penyakit. Tetapi realisasi dari “turun tangan” itu pernah justru sangat menyakitkan: Orde Baru (Orba) sangat ringan tangan menghukum oposisi dengan Pancasila.

   Memang, dalam sejarah politik kita, Pancasila lebih dipraktekkan sebagai ideologi penutup kritik, ketimbang sebagai pembuka dialog. Bahkan setelah reformasi, ideologi ini terasa atavistik, karena klaim Sukarnoistik-nya tampil dominan.


Problematik

   Pembicaraan Pancasila sering eksklusif (tidak inklusif) karena dijadikan batas untuk mendefinisikan pendukung rezim dan pengeritiknya. Bahkan diperluas menjadi penentu: Siapa yang Pluralis, Siapa yang Fundamentalis. Pancasila jadi alat ukur politik. Alat ukur yang kaku bagi kebinekaan. Akibatnya kelenturan kulturalnya hilang. Ia mengalami ratifikasi (maksudnya pengesahan sefihak).

   Secara terbuka atau terselubung, ada psikologi lama yang kini diedarkan lagi di masyarakat: Pengeritik rezim adalah anti Pluralisme, juncto (melanggar) Pancasila. Psikologi ini tumbuh dari arogansi yang memandang kritik kepada rezim sebagai ancaman pada kebinekaan.

   Suatu psikologi yang tadinya menyudutkan, lalu kini membelah masyarakat, karena kalkulasi politik yang terbalik di Ibukota, yaitu dari dukungan rezim melalui alat negara dan media sert uang yang berfihak ke rezim (power and money), semestinya Ahok menang. Bahkan diperlihatkan untuk menebalkan batas antara pendukung dan pengeritik rezim. Dibungkus dengan slogan-slogan teoretis, Pancasila dijadikan alat “fit and proper test” kebinekaan. Suatu metode naif dalam berpolitik.

   Cara dan suasana yang diciptakan seperti itu adalah semacam “voluntarisme” kekanak-kanakan, memang sedang merebak di kalangan ini, karena gugup dan gagap melihat kapasitas rezim yang ternyata tak cukup “fit and proper”. Reaksi protektif itu menghasilkan sikap eksklusivisme. Sikap inilah yang justeru makin menutup “percakapan kewarganegaraan” untuk mencari “cara hidup bersama” melalui Pancasila.

   Memang hanya “cara hidup bersama” itu yang maksimal dapat diupayakan melalui Pancasila. Bukan “tujuan hidup bersama”. Jadi, obsesi untuk merumuskan “tujuan hidup bersama” adalah fatalistik karena Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang koheren. Hermeneutik Pancasila menyebar kemana-mana. Bahkan bisa paradoksal.

Misalnya, preskripsi “Ketuhanan” dalam sila ke-1 dapat dibatalkan oleh prasyarat “Kerakyatan” pada sila ke-4. Secara filosofis “Ketuhanan” dan “Kerakyatan” adalah dua imperatif yang bertolak belakang. Sangat unik tentu bila sintesanya adalah: “Kerakyatan yang berketuhanan” atau “Ketuhanan yang berkerakyatan”. Tidak saja unik, tapi juga aneh. Demikian di tuliskan Rocky Gerung.

   Apakah kita siap masuk dalam suatu debat konseptual yang tajam seperti itu demi memperoleh kedalaman diskursus tentang Pancasila, atau kita hindari itu demi dalil “harga mati”?

   Sebaliknya, bila Pancasila dibebaskan terbuka mengalami penafsiran, maka semua ideologi politik besar dapat memilih bermukim di salah satu silanya. Hizbut Tahrir misalnya, bila mau, dapat mengajukan argumen bahwa sebagai aspirasi politik ia sejalan dengan sila ke-1 dan sila ke-5. Islam mencakup aspek teologis sekaligus sosiologis.

   Demikian halnya penganut Marxisme. Ia berhak mendalilkan aspirasi sosialnya sebagai sejalan dengan jiwa sila ke-2 dan ke-5, misalnya. Tetapi bagaimana mungkin itu dimungkinkan, bila yang mungkin hanyalah versi “bukan ini, bukan itu”, versi rezim yang kini diikuti oleh para intelektualnya, yang sebetulnya bertujuan “politics of exclusion”. Bukan negara agama tapi bukan negara sekuler, bebas berbeda tapi bukan liberal. Titik!

   Hambatan lain untuk memulai suatu pemaknaan baru dan pengayaan Pancasila adalah mental atavistik (penafsiran masing-masing yang katanya inilah yang asli dan satu-satunya tafsir yang benar) yang kini beredar justru di kalangan terpelajar. Jadi, upaya membuka dialog politik dengan platform Pancasila, sudah dibatasi sejak awal oleh kondisi eksklusivisme (sepihak, tidak inklusif yaitu melibatkan semua unsur warga negara) tadi.

Padahal, suatu dialog otentik membutuhkan kesetaraan posisi warganegara. Tak ada kejujuran mencapai konsensus bila satu pihak menyandang stigma fundamentalis, dan yang lain menikmati arogansi pluralis.


Kesimpulan

   Pancasila bukan ideologi yang koheren. Ia mengandung dalam dirinya kondisi “hermeneutic”. Justru bagus untuk memulai percakaan demokratis.

   Kalau Pancasila dijadikan ideologi yang sifat tafsiran sendiri-sendiri (menurut golongan sendiri-sendiri) maka ideolaogi Pancasila seperti itu tak pernah mampu menghasilkan keadilan, sebagaimana sejarahnya sejak dari awal sampai kini mencatatnya.

   Tetapi, hal yang lebih urgen sebetulnya bukan soal kapasitas Pancasila sebagai ideologi, melainkan praktek material kehidupan berbangsa. Dengan itu mari kita kaji apa itu “Penafsiran Pancasila” (Hermeneutika Pancasila).



HERMENEUTIKA PANCASILA


Sejarah Perkembangan Hermeneutika

   Pada pertumbuhannya, Hermeneutik digunakan dalam sistem pendidikan di Yunani kuno. Rujukan yang menjadi pedoman pendidikan pada saat itu adalah karya sastra Homerus yang berisi nasehat-nasehat moral. Hermeneutik saat itu digunakan untuk mentafsirkan karya filologi, yakni teks karya tangan manusia. Untuk saat ini sering istilah ini dikaitkan dengan penelitian, yakni penelitian filologi yang obyeknya naskah kuno, misalnya, filologi yang obyeknya naskah kuno berbahasa Jawa dengan huruf jawa, seperti naskah babat tanah jawa, atau naskah berbahasa Sunda kuno, atau naskah berbahasa daerah. Termasuk dalam filologi adalah naskah yang ditulis dalam huruf Arab pegon seperti naskah Bustanus Salatin. Dalam tradisi hermeneutik, istilah filologi dilawankan dengan teologi yang diartikan sebagai karya tuhan.

   Jika dilihat dari segi gerak, Hermeneutik muncul dari lapangan filologi, lalu mencoba masuk ke lapangan teologi. Sebenarnya, dalam agama Yahudi dan Kristen telah ada tradisi penafsiran atas kitab suci. Tradisi ini disebut Biblical exegesis, penafsiran terhadap kitab suci Bibel. Biblical exegesis tidak bisa diartikan dengan tafsir model hermeneutik seperti pemahaman modern dan kontemporer, sebab exegesis adalah penafsiran yang khas yang digunakan dalam tradisi agama tersebut.

   Ada dikabarkan Philo (30 SM-50 M), seorang filsuf agama Yahudi, telah melakukan upaya penafsiran terhadap kitab suci Yahudi dengan exegesis dan bukan hermeneutik. Demikian pula dikalangan umat Islam, tradisi penafsiran kitab suci agama Islam tidak memiliki kaitan dengan hermeneutik sama sekali.

   Sementara itu memang ada upaya dari kalangan Kristen protestan mamasukkan hermeneutik menjadi metode penafsiran untuk Bibel. Upaya ini dilakukan oleh Spinosa (1632-1677), Flacius dan Chladenius, para teolog protestan. Upaya mereka ini di latar belakangi oleh persoalan utamanya terkait dengan ayat atau ayat-ayat yang menurut pandangan mereka belum atau tidak jelas maknanya.

   Spizona, Flacius dan Chladinius adalah para filsuf yang masuk dalam masa pre Romantis. Dari masa ini, hermeneutik memasuki masa Romantisisme, masa ini sesungguhnya lebih tepat di sebut sebagai sebuah gerakan yang terjadi pada masa setelah Lhan dan sebelum Hegel, atau masa antara Khan dan Hegel (kira-kira 1775 – 1815). Romantisisme merupakan asosiasi para filsuf yang menyebut dirinya “Schiegel Brothers” para anggotanya antara lain Novila, Friet, Schelling dan Schleiermacher.


1. Definisi Hermeneutika

   Ada yang mengidentikkan hermeneutika dengan seni atau sains penafsiran. Ada yang mengartikan sebagai metode penafsiran, sebagian menyebut hermeneutika sebagai teknik penafsiran atau seni menafsirkan. Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup signifikan melalui apa yang disebut dengan gerakan deregionalisasi, suatu gerakan yang dirintis oleh Schleiermacher.

   Plato memilih sebutan techne hermeneias, aristoteles menyebut “peri hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks.
Hermeneutika adalah satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami ma’na atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan gamblang. Apa makna yang sesungguhnya dikehendaki oleh teks? Apa ada makna yang tersembunyi di balik teks atau di balik suatu kalimat? Apakah konsep yang terdapat dalam teks ini berkanaan dengan hukum atau politik? Apabila kita belum mampu memahami dengan jelas terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas dan atau pertanyaan-pertanyaan lain yang relevan dengan teks, maka diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas dan gambling.


2. Fungsi Hermeneutika

   Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk:

a. Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.

Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation serta masalah logika yang terkandung dalam teks.

b. Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.

Membantu mengandaikan hubungan teks dengan waktu, hubungan teks dengansituasi atau lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang sama.

c. Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.

Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks  hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum islam.

3. Aliran-aliran Hermeneutika

   Joseph Bleicher di dalam bukunya membagi hermeneutika kontemporer menjadi tiga aliran, yaitu: (1). Hermeneutika teori (Hermeneutical Theory); (2). Hermeneutika Filsafat (hermenneutic Philoshophy); (3). Hermeneutika kritik (Critical hermeneutics).

(1). Hermeneutika teori (Hermeneutical Theory).

   Hermeneutika teori menfokuskan perhatian pada masalah teori umum penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia termasuk ilmu sosial. Hermeneutika teori menempatkan hermenetik dalam ruang epistimologi, yakni, hermenetik di tempatkan sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain. Betti mengharapkan pemikiran orang lain (the mind of other) dapat dipahami seobyektif munkin. Oleh aliran ini hermenetik diupayakan akan menemukan fondasi yang dibutuhkan bagi penelitian ilmiyah. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Schleiermacher, Droysen, Dilthey dan Emilio Betti.

(2). Hermeneutika Filsafat (hermenneutic Philoshophy)

   Hermeneutika Filsafat justru menolak upaya menemukan fondasi dan kemungkinan diperoleh pemahaman yang obyektif melalui proses atau metode penafsiran. Pokok pandangan Hermeneutika Filsafat ini menyatakan bahwa ilmuwan atau penafsir berada dalam ikatan sebuah tradisi yang membuatnya telah memiliki pre understanding (pemahaman awal), terhadap obyek yang dikaji dan dengan demikian dia tidak berangkat dari pikiran yang netral. Hermeneutika Filsafat tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi bertujuan hendak menjelaskan fenomena Human Desain. Tokoh-tokohnya adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur.

(3). Hermeneutika kritik (Critical hermeneutics).

   Hermeneutika Kritik lahir lahir dari latar belakang dua aliran diatas. Habermas melihat dua aliran Hermeneutik yang ada, tidak mempertimbangkan faktoh extra linguistic sebagai kondisi yang punya pengaruh terhadap pemikiran atau perbuatan seseorang, misalnya, tekanan ekonomi yang dirasakan berat, berpengaruh pada temperatur seseorang dan ini berpeluang menjadi faktor eksternal yang berpengaruh pada tata pikir dan prilaku seseorang. Hermeneutika Kritik sering dikaitkan  sebagai cara pandang kaum idealis yang memiliki tingkat kesadaran yang mencapai level tertentu dalam menganalisis secara kritis kondisi politik, ekonomi, dan budaya namun tetap mendasarkan diri pada data atau bukti-bukti materiel yang memadai, dan mereka memiliki kasadaran melakukan pembebasan seperti model psikologis.


Pemecahan Masalah Kemelut Panafsiran Pancasila

   Oleh karena karya “ideologi” Pancasila adalah karya buatan manusia yang berusaha mengakomodasi seluruh ideologi dan keyakinan beragama yang berbeda dari suluruh warga bangsa Indonesia.

   Kelihatan dari 3 kemungkan teori pemecahan mengatasi “Pemecahan Masalah Kemelut Panafsiran ‘Ideologi’ Pancasila” adalah dialog dengan menggunakan pendekatan  Hermeneutika Filsafat (hermenneutic Philoshophy). Yaitu, Hermeneutika Filsafat tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi bertujuan hendak menjelaskan fenomena Human Desain.

   Kenapa? Karena Hermeneutika Filsafat justru menolak upaya menemukan fondasi dan kemungkinan diperoleh pemahaman yang obyektif melalui proses atau metode penafsiran. Pokok pandangan Hermeneutika Filsafat ini menyatakan bahwa ilmuwan atau penafsir berada dalam ikatan sebuah tradisi yang membuatnya telah memiliki pre understanding (pemahaman awal), terhadap obyek yang dikaji dan dengan demikian dia tidak berangkat dari pikiran yang netral. Sebagaimana sejak awal kemerdekaan sampai sekarang selalu terjadi “pertikaian” dalam memaknainya. Tergantung dari golongan mana mereka datang. Sedangkan, Hermeneutika Filsafat tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi bertujuan hendak menjelaskan fenomena Human Desain ini.  

Memang hanya “cara hidup bersama” itu yang maksimal dapat diupayakan melalui Pancasila. Bukan “tujuan hidup bersama”. Jadi, obsesi untuk merumuskan “tujuan hidup bersama” adalah fatalistik karena Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang koheren. □ AFM


Bahan Kepustakaan

Pancasila Bukan Panacea (Rocky Gerung, dosen Departemen Filsafat Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia).

Halaqah Peradaban (Daniel Mohammad Rosyid - Guru Besar dan Pelaku Peradaban

Heurmenetika Al-Quran (Diakases dari bahan bacaan https://asyroff.wordpress.com/al-quran/heurmenetika-al-quran/)

Dan sumber-sumber lainnya □□□