Saturday, January 4, 2020

Kisah orang-orang Spanyol Islam


Dari atas kiri seperti arah putaran jarum jam: Kota kecil Orgiva; Pegunungan Alpujarra; Ayam Tagina masakan khas Maroko; Restoran Halal Baraka


Kata Pengantar

Tulisan ini disajikan dalam dua bahasa Indonesia dan Inggris. Pertama dalam bahasa Indonesia selanjutnya dalam bahasa Inggris dapat diikuti dalam blog ini. (This paper is presented in two languages, Indonesian and English. First in Indonesian and then in English can be followed in this blog.)

Tulisan ini bersumber dari BBC News | Indonesia. Judul Asli “The Europeans who chose Mystical Islam.  Dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan Kisah orang-orang Spanyol (Eropa) yang pindah agama Islam.” (This article is sourced from BBC News | Indonesia. Original title "The Europeans who chose Mystical Islam. In the Indonesian language translated the story of the Spaniards (Europeans) who converted to Islam.")

Imej gambar-gambarnya diambil dari BBC News | Indonesia yang bersumber dari ‘Thinkstock’ dan ‘Qasim Barrio Raposo’. (Images taken from BBC News | Indonesia sourced from 'Thinkstock' and 'Qasim Barrio Raposo'). Selamat Membaca. (Happy Reading). □ AFM




KISAH ORANG-ORANG SPANYOL ISLAM


Walaupun Spanyol adalah negeri dengan banyak orang imigran dari Afrika Utara, orang-orang Spanyol yang masuk Islam - khususnya yang memilih ajaran Sufisme atau Tasawuf- adalah sesuatu yang langka.


I
a memperkenalkan diri, “Nama saya,” sapa seorang wanita berkerudung serta bersandal warna merah muda dan ungu, “adalah Bahia - yang berarti lautan kecantikan dan kasih sayang’ dalam bahasa Arab. Selamat datang di sekolah saya,” lanjutnya.

Kemudian dituangkanlah air teh ke dalam gelas-gelas, selanjutnya disodorkan makanan-makanan manis. Kami duduk di tempat teduh di bawah pepohonan zaitun berumur lebih dari 100 tahun yang berada di halaman belakang ‘sekolah kecil’ metode ‘Montessori’ untuk berbicara tentang ajaran sufi (Islam mistik).

Namun katanya lagi, “Kami tidak berada di negara Islam, melainkan di Spanyol selatan yang merupakan negara Katolik”. Yaitu sebuah kota kecil bernama Órgiva,  terletak di sekitar 60 kilometer (km) dari Granada di bagian tenggara dan menyempil di kawasan pegunungan Alpujarra, adalah suatu tempat yang luar biasa indahnya, lihat flyer imej gambar diatas.

Jumlah populasi kota kecil tersebut hanya di bawah 6.000 orang, tapi yang mengagumkan adalah jumlah tersebut meliputi 68 kebangsaan yang berbeda, termasuk komunitas umat Buddha, O Sel Ling, dan hamparan tenda-tenda di perkemahan orang-orang Rainbow (Pelangi) - suatu kelompok yang berkomitmen terhadap prinsip anti kekerasan dan pro egaliter -  dinamakan ‘Beneficio’- Hidup Yang Bermanfaat.

Lanjutnya: “Tapi, saya datang ke daerah pegunungan ini untuk menemui komunitas peradaban terbesar di sini, yang terdiri dari 35 keluarga Sufi yang masuk Islam dari agama Katolik”.

Walaupun Spanyol adalah negeri dengan banyak orang imigran dari Afrika Utara, orang-orang Spanyol yang masuk Islam - khususnya ajaran Sufisme atau Tasawuf- adalah sesuatu yang langka.

Katanya lagi, “Saya ingin tahu apa yang mendorong mereka untuk masuk Islam, dan mengapa mereka memilih untuk tinggal di daerah terpencil di Andalusia (Spanyol bagian selatan)”. Bahia, yang nama aslinya adalah Maria Jose Villa Cascos, menjelaskan bahwa dia lahir di Seville, sekitar 320 km bagian barat dari Órgiva. Dia kuliah hukum dan bekerja di Madrid sebagai pengacara.


Pencarian Jalan Hidup

“Pencarian saya terhadap jalan hidup yang benar, sesungguhnya dimulai di perguruan tinggi Katolik tempat saya bersekolah di Seville,” katanya. “Butuh waktu bertahun-tahun untuk belajar, menggali, meragukan, dan bereksperimen hingga saya akhirnya menemukan filosofi dan ajaran Sufi. Cara hidup ajaran Sufi, ajaran toleransi, pemahaman luas, kasih sayang terhadap umat manusia tanpa pamrih, dan penolakan total terhadap kekerasan yang menjadikan alasan saya masuk Islam. Kami berkonsentrasi pada kesederhanaan hidup, lebih menghargai spiritual daripada material. Itu juga salah satu alasan kenapa saya meninggalkan profesi saya sebagai pengacara dan mengajar anak-anak,” lanjutnya panjang lebar.

Dia menjelaskan bahwa Umar, yang ditunjuk sebagai emir (kepala) ajaran Sufi pada 1970-an, kebetulan tinggal di Órgiva sebelum Umar memeluk ajaran tersebut.

Selama bertahun-tahun, para pemeluk Sufi baru lainnya pindah ke sini, seperti Bahia yang langsung memutuskan menjalankan sekolah saat peluang tersebut muncul.


Kaum Sufi Yang Hidup Normal

Namun, pemeluk Sufi di Órgiva bukanlah orang-orang pengkhayal atau tertinggal. Mereka menggunakan ponsel, internet, dan Instagram. Mereka menjalankan bisnis, seperti Bahia dengan sekolah Montessorinya serta suaminya yang memiliki toko peralatan listrik. Orang-orang lainnya bertani-beternak dan menjual produk-produk hasilnya. Tapi, seluruh kehidupan mereka didominasi oleh kepercayaan Sufi. Satu hal yang membedakan mereka adalah pakaiannya yang khas. Para pria mengenakan celana panjang serta kemeja longgar, dan para wanita mengenakan kerudung, baju berlengan panjang dan rok panjang semata kaki.


Teror vs Kebajikan Islam

Saya bertanya-tanya, dengan adanya perasaan takut terhadap serangan-serangan teror di Spanyol akhir-akhir ini, juga beberapa orang mulai menghubungkan agama Islam dengan pejihad dan radikalisasi, bagaimana reaksi orang-orang terhadap mereka.

“Di sini, di Órgiva, tak ada orang yang menoleh dua kali karena kami berkomunitas cukup besar. Di tempat-tempat lain, orang-orang mungkin menatap dari cara saya berpakaian dan mungkin berpikir saya orang asing, tapi…,” dia mengangkat bahu.

Daripada merisaukan tatapan-tatapan orang dan bisikan-bisikan, Bahia fokus pada pengajaran toleransi, kasih sayang, dan memahami sesama. “Dalam masa-masa bergejolak seperti saat ini, orang-orang memiliki pandangan yang sangat sepihak terhadap Islam. Bom dan serangan teror menjadi pokok berita, sedangkan (berita-berita) tentang kebajikan (Islam dan ajarannya) tidak (ada)," ujar Bahia.

"Ketidakseimbangan ini perlu ditangani dan orang-orang harus memahami bahwa Islam dan sufi khususnya, berarti ajaran damai dan ketaatan total kepada Allah, yang merupakan perahu yang membantu kita mengarungi samudra kehidupan,” katanya.


Percakapan Lebih Lanjut

Untuk mengetahui lebih lanjut, saya pergi ke Restoran dan Kedai The Baraka, yang dimiliki oleh pemeluk Sufi lainnya, Pedro Barrio, yang sekarang bernama Qasim. Qasim berasal dari keluarga Katolik di Bilbao di mana dia dulu menjalankan restoran keluarga.

Dia juga mencari haluan spiritual mulai saat dia berusia muda. “Saya sudah bereksperimen dengan banyak hal,” ucapnya. “Pada suatu saat, saya bahkan mempraktikkan ajaran Buddha, lalu tertarik pada Syamanisme dan vivation yang merupakan teknik pernapasan. Melalui seorang teman, saya menjadi akrab dengan ajaran Sufi. Saat saya menemukan ajaran Sufi dan mengetahui bahwa Yesus adalah nabi dalam agama Islam, saya merasa saya sudah kembali ke jalan saya. Segalanya (terasa) akrab bagi saya dan saya tahu bahwa inilah kepercayaan yang ingin saya ikuti, jadi saya memutuskan untuk memeluknya. Ajaran ini memberikan saya kedamaian dan tujuan hidup,” jelasnya.

“Bagaimana reaksi keluarga Anda?” tanya saya. “Tidak terlalu baik. Ibu saya yang lebih memahami, tapi ayah saya marah. (Waktu itu saya) juga ada masalah dengan restoran kami. Saya sholat di masjid, lalu harus pergi ke restoran, menjamu pelanggan dengan minuman alkohol dan memotong ham (daging babi). Saya tidak bisa menjalani hidup seperti itu,” ujarnya.

“Takdir menyelamatkan saya. Seorang kawan Sufi di Órgiva ingin membuka restoran Islamiah (restoran halal) kecil, tapi tak punya uang. Dia menghubungi saya, dan karena saya mempunyai dana, saya menjadi mitra pertamanya dan sekarang saya adalah pemilik tunggal.”

Restoran Baraka sering dikunjungi oleh tamu sesama Sufi, orang-orang New Age yaitu suatu gerakan spiritual zaman baru, wisatawan, dan orang-orang seperti penduduk lokal. Restoran ini tidak menyediakan alkohol atau daging babi, tapi tidak sepenuhnya vegetarian. Semuanya dimasak ala masakan rumah dan berbahan organik.

Saya memesan ayam tagine khas Maroko yang lezat, lalu ditutup dengan menyantap kue kurma-kayu manis dengan whipped cream. Duduk di teras di Baraka dapat dijadikan pelajaran bagaimana perbedaan kebangsaan, ideologi, dan agama bisa berinteraksi dengan damai.

Orang-orang berambut gimbal dan berkerudung, bahkan terkadang biksu-biksu berjubah oranye juga tampak di sana. Saya mendengar orang-orang berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, Arab dan kadang-kadang Spanyol juga.
“Anda berbahasa Arab?” saya bertanya. “Tidak,” Qasim menjawab sambil tersenyum, “Kami berdoa dalam bahasa Arab, tapi itu sejauh pengetahuan saya tentang bahasa Arab.”


Mengunjungi Dargah

Kendati ia benar-benar sibuk, Qasim selanjutnya membawa saya ke dargah (rumah peribadatan) mereka, di mana setiap malam Kamis komunitas tersebut menyelenggarakan zikir yaitu memuji-muji Allah, dan hadra yaitu bermeditasi. Pada hari suci setiap Jumat, digelar lebih banyak doa dan makan bersama.

Dargah tersebut merupakan bangunan sederhana, tersembunyi di antara pepohonan zaitun dan jeruk sekitar 2 km di luar desa. Di sana ada ruang sholat kecil, sebuah dapur, dan tiga kamar tamu seadanya yang disediakan untuk mengunjungi orang-orang sesama Sufi. Tampak anak-anak berlari-larian ketika para perempuan mempersiapkan makanan dan menjamu sekelompok tamu.

“Mereka (para tamu) adalah orang-orang dari Maroko dan negara-negara Islam lainnya yang ikut serta dalam tur yang disebut Pariwisata Halal, (mereka) mengunjungi komunitas-komunitas Muslim di negara-negara lain. Tur ini menjadi cukup populer,” Qasim menjelaskan.


Menyebarkan Pesan Ta'aruf

Dia setuju dengan Bahia tentang perlunya menyebarkan pesan tentang perdamaian, cinta kasih, dan saling memahami (ta'aruf) kepada umat non-muslim. “Selain dari menjalani apa yang kami percayai, kami (juga) menyambut para pengunjung seperti Anda yang bisa menceritakan tentang kami kepada dunia,” katanya.

Sebelum mengucapkan selamat jalan kepada saya, dia menambahkan, “Mungkin suatu hari nanti kita semua bisa hidup damai, insya Allah.”


Penutup

Akhirul Kalam, semoga uraiannya bermanfaat bagi kita semua, āmīn. Billāhi Taufiq wal-Hidāyah. Germantown, MD. 9 Jumādī-Awal 1441 H / 4 Januari 2020 M. □ AFM




In English

The Europeans who chose Mystical Islam


Despite Spain being home to many North African immigrants, Spaniards who convert to Islam – particularly the order of Sufism – are a rarity. By Inka Piegsa-Quischotte, 29 September 2016

“My name,” said the lady, clad from headscarf to sandals in shades of pink and purple, “is Bahia, which means ‘ocean of beauty and compassion’ in Arabic. Welcome to my school.”

Tea was poured, sweets were proffered and we sat down in the shade of more than 100-year-old olive trees in the backyard of her tiny Montessori school to talk about Sufism, the mystical branch of Islam.

But we weren’t in a Muslim country – we were in the south of Catholic Spain.

Órgiva, located approximately 60km southeast of Granada and tucked away in the Alpujarra mountain region, is an extraordinary place. The small town’s population is just under 6,000 – but amazingly, this comprises 68 nationalities, as well as the Buddhist community O.Sel.Ling and a sprawling tent camp of Rainbow people (a group committed to principles of non-violence and egalitarianism) called Beneficio.

But I’d come to this mountain wilderness to meet the largest of the cultural communities: 35 Sufi families who have converted from Catholicism and settled here.

Despite Spain being home to many North African immigrants, Spaniards who convert to Islam – particularly the order of Sufism – are a rarity. I wanted to know what motivated them to convert, and why they’d chosen this remote part of Andalucía to live.

Bahia, originally named Maria Jose Villa Cascos, explained that she was born in Seville, about 320km west of Órgiva, later studying law and working in Madrid as a lawyer.

“My search for the right way of life actually started in the Catholic college I attended in Seville,” she said. “It took me years of studying, probing, doubting and experimenting until I finally came upon the philosophy and teachings of Sufism. Sufism’s way of life, teachings of tolerance, wide understanding, unconditional love of mankind and total rejection of violence made me convert. We concentrate on the simplicity of life, valuing the spiritual over the material. That’s also one of the reasons why I turned from being an attorney to teaching kids.”

She explained that Umar, who was appointed emir of the order in the 1970s, happened to live in Órgiva before he converted. Over the years, other converts flocked here, like Bahia who jumped at the chance to run the school when the opportunity arose.

But the Sufis of Órgiva aren’t dreaming navel-gazers. They use mobile phones, internet and Instagram. They run businesses, like Bahia with her Montessori school and her husband who has an electrical appliances shop. Others farm and sell produce. But all their lives are dominated by their faith.

The only thing that marks them as different is their distinctive dress: the men wear baggy trousers and loose shirts, and the women don headscarves, long sleeves and ankle-length skirts.

I wondered, with an underlying fear of terror attacks in Spain and some people starting to associate Islam with jihadists and radicalisation, how people reacted to them.
“Here in Órgiva, nobody looks twice because we are a rather big community. In other places, people might stare at the way I’m dressed and maybe think me alien, but… ” she shrugged.

Rather than being concerned by stares and whispered comments, Bahia focuses on preaching tolerance, love and understanding.

“In view of the troubled times we live in, people have a very one-sided view of Islam. Bombs and terror attacks make headlines; good deeds don’t. This imbalance needs to be addressed and people have to understand that Islam and Sufism in particular mean peace and total devotion to Allah, who is the boat which helps us cross the ocean of life,” she said.

To find out more, I headed to ‘Tearoom and Restaurant Baraka’, owned by another Sufi, Pedro Barrio, now called Qasim. Originally from a Catholic family in Bilbao where he ran the family restaurant, he was also searching  for spiritual direction from a young age.

“I experimented with many things,” he said. “For a time, I even practiced Buddhism, then got interested in Shamanism, psychotherapy and vivation, which is a respiration technique.

Through a friend, I became familiar with Sufism. When I discovered the teachings and found that Jesus is a prophet in Islam, I felt like I had come home. Everything was familiar to me and I knew that this is the faith I wanted to follow, so I decided to convert. It gives me peace and purpose in life.”

“How did your family react to that?” I asked.

“Not so good. My mother was more understanding, but my father was angry. There was also the problem with our restaurant. I prayed at the mosque, then I had to go to the restaurant, serve customers alcohol and cut ham. I couldn’t go on like that,” he said. “Fate came to the rescue. A fellow Sufi in Órgiva wanted to set up a small Islamic restaurant but didn’t have the money. He contacted me, and as I had the funds, I became first a silent partner and now the sole owner.”

Baraka, frequented by his fellow Sufis, New Age folk, tourists and locals alike, doesn’t serve alcohol or pork, but isn’t entirely vegetarian either. Everything is home cooked and organic. I ordered a delicious Moroccan-style chicken tagine followed by a rich date-and-cinnamon cake with whipped cream.

Sitting on the terrace at Baraka was a lesson in how different nationalities, ideologies and religions can interact peacefully. Dreadlocks and headscarves – even the occasional orange robe of a Buddhist monk – were evident. I heard English, French, German, Arabic and the occasional Spanish too.

“Do you speak Arabic?” I asked. “No,” Qasim smiled. “We say our prayers in Arabic but that’s the extent of my knowledge of the language.”

Despite being extremely busy, Qasim took me to their dargah (temple), where on Thursday nights the community celebrates dhikr, the praise of Allah, and hadra, a meditation. On the holy day of Friday there are more prayers and a communal meal.

The dargah was a simple affair, hidden away among olive and orange groves some 2km outside of town. There was a small prayer room, a kitchen, and three spartan guest rooms reserved for visiting fellow Sufis. Kids ran around while women prepared a meal and tended to a group of visitors.

“These are people from Morocco and other Muslim countries who embark on what’s called Halal Tourism, visiting Muslim communities in other countries. It’s becoming quite popular,” Qasim explained.

He agreed with Bahia about the need to spread the message of peace, love and understanding to the non-Muslim world.

“Apart from living what we believe in, we welcome visitors like yourself who can tell the world about us,” he said. Before wishing me a safe journey home, he added, “Maybe one day we can all live in peace, inshallah.” □□□


SUMBER
https://www.bbc.com/indonesia/karangan_khas/vert_tra/2016/10/161021_vert_tra_sufi_spanyol
http://www.bbc.com/travel/story/20160928-the-spaniards-who-chose-mystical-islam  □□□□