Dari atas kiri seperti arah putaran jarum jam: Kota kecil Orgiva; Pegunungan Alpujarra; Ayam Tagina masakan khas Maroko; Restoran Halal Baraka |
Kata
Pengantar
Tulisan ini disajikan dalam dua bahasa Indonesia
dan Inggris. Pertama dalam bahasa Indonesia selanjutnya dalam bahasa Inggris
dapat diikuti dalam blog ini. (This paper is
presented in two languages, Indonesian and English. First in Indonesian and
then in English can be followed in this blog.)
Tulisan ini bersumber dari BBC News | Indonesia.
Judul Asli “The Europeans who chose Mystical Islam. Dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan Kisah
orang-orang Spanyol (Eropa) yang pindah agama Islam.” (This article is sourced from BBC News | Indonesia.
Original title "The Europeans who chose Mystical Islam. In the Indonesian
language translated the story of the Spaniards (Europeans) who converted to
Islam.")
Imej gambar-gambarnya diambil dari BBC News |
Indonesia yang bersumber dari ‘Thinkstock’ dan ‘Qasim Barrio Raposo’. (Images taken from BBC News | Indonesia sourced from
'Thinkstock' and 'Qasim Barrio Raposo'). Selamat
Membaca. (Happy
Reading). □ AFM
KISAH ORANG-ORANG SPANYOL ISLAM
Walaupun
Spanyol adalah negeri dengan banyak orang imigran dari Afrika Utara,
orang-orang Spanyol yang masuk Islam - khususnya yang memilih ajaran Sufisme
atau Tasawuf- adalah sesuatu yang langka.
I
|
a
memperkenalkan diri, “Nama saya,” sapa seorang wanita berkerudung serta
bersandal warna merah muda dan ungu, “adalah Bahia - yang berarti lautan
kecantikan dan kasih sayang’ dalam bahasa Arab. Selamat datang di sekolah saya,”
lanjutnya.
Kemudian dituangkanlah air teh ke dalam gelas-gelas, selanjutnya disodorkan makanan-makanan manis. Kami
duduk di tempat teduh di bawah pepohonan zaitun berumur lebih dari 100 tahun
yang berada di halaman belakang ‘sekolah kecil’ metode ‘Montessori’ untuk
berbicara tentang ajaran sufi (Islam mistik).
Namun
katanya lagi, “Kami tidak berada di negara Islam, melainkan di Spanyol selatan
yang merupakan negara Katolik”. Yaitu sebuah kota kecil bernama Órgiva, terletak di sekitar 60 kilometer (km) dari
Granada di bagian tenggara dan menyempil di kawasan pegunungan Alpujarra, adalah
suatu tempat yang luar biasa indahnya, lihat flyer imej gambar diatas.
Jumlah
populasi kota kecil tersebut hanya di bawah 6.000 orang, tapi yang mengagumkan
adalah jumlah tersebut meliputi 68 kebangsaan yang berbeda, termasuk komunitas
umat Buddha, O Sel Ling, dan hamparan tenda-tenda di perkemahan orang-orang Rainbow
(Pelangi) - suatu kelompok yang berkomitmen terhadap prinsip anti kekerasan dan
pro egaliter - dinamakan ‘Beneficio’- Hidup
Yang Bermanfaat.
Lanjutnya:
“Tapi, saya datang ke daerah pegunungan ini untuk menemui komunitas peradaban terbesar
di sini, yang terdiri dari 35 keluarga Sufi yang masuk Islam dari agama Katolik”.
Walaupun
Spanyol adalah negeri dengan banyak orang imigran dari Afrika Utara,
orang-orang Spanyol yang masuk Islam - khususnya ajaran Sufisme atau Tasawuf-
adalah sesuatu yang langka.
Katanya
lagi, “Saya ingin tahu apa yang mendorong mereka untuk masuk Islam, dan mengapa
mereka memilih untuk tinggal di daerah terpencil di Andalusia (Spanyol bagian
selatan)”. Bahia, yang nama aslinya adalah Maria Jose Villa Cascos, menjelaskan
bahwa dia lahir di Seville, sekitar 320 km bagian barat dari Órgiva. Dia kuliah
hukum dan bekerja di Madrid sebagai pengacara.
Pencarian Jalan Hidup
“Pencarian
saya terhadap jalan hidup yang benar, sesungguhnya dimulai di perguruan tinggi
Katolik tempat saya bersekolah di Seville,” katanya. “Butuh waktu
bertahun-tahun untuk belajar, menggali, meragukan, dan bereksperimen hingga
saya akhirnya menemukan filosofi dan ajaran Sufi. Cara hidup ajaran Sufi,
ajaran toleransi, pemahaman luas, kasih sayang terhadap umat manusia tanpa
pamrih, dan penolakan total terhadap kekerasan yang menjadikan alasan saya
masuk Islam. Kami berkonsentrasi pada kesederhanaan hidup, lebih menghargai
spiritual daripada material. Itu juga salah satu alasan kenapa saya
meninggalkan profesi saya sebagai pengacara dan mengajar anak-anak,” lanjutnya
panjang lebar.
Dia
menjelaskan bahwa Umar, yang ditunjuk sebagai emir (kepala) ajaran Sufi
pada 1970-an, kebetulan tinggal di Órgiva sebelum Umar memeluk ajaran tersebut.
Selama
bertahun-tahun, para pemeluk Sufi baru lainnya pindah ke sini, seperti Bahia
yang langsung memutuskan menjalankan sekolah saat peluang tersebut muncul.
Kaum Sufi Yang Hidup Normal
Namun,
pemeluk Sufi di Órgiva bukanlah orang-orang pengkhayal atau tertinggal. Mereka
menggunakan ponsel, internet, dan Instagram. Mereka menjalankan bisnis, seperti
Bahia dengan sekolah Montessorinya serta suaminya yang memiliki toko peralatan
listrik. Orang-orang lainnya bertani-beternak dan menjual produk-produk
hasilnya. Tapi, seluruh kehidupan mereka didominasi oleh kepercayaan Sufi. Satu
hal yang membedakan mereka adalah pakaiannya yang khas. Para pria mengenakan
celana panjang serta kemeja longgar, dan para wanita mengenakan kerudung, baju
berlengan panjang dan rok panjang semata kaki.
Teror vs Kebajikan Islam
Saya
bertanya-tanya, dengan adanya perasaan takut terhadap serangan-serangan teror
di Spanyol akhir-akhir ini, juga beberapa orang mulai menghubungkan agama Islam
dengan pejihad dan radikalisasi, bagaimana reaksi orang-orang terhadap mereka.
“Di
sini, di Órgiva, tak ada orang yang menoleh dua kali karena kami berkomunitas
cukup besar. Di tempat-tempat lain, orang-orang mungkin menatap dari cara saya
berpakaian dan mungkin berpikir saya orang asing, tapi…,” dia mengangkat bahu.
Daripada
merisaukan tatapan-tatapan orang dan bisikan-bisikan, Bahia fokus pada
pengajaran toleransi, kasih sayang, dan memahami sesama. “Dalam masa-masa
bergejolak seperti saat ini, orang-orang memiliki pandangan yang sangat sepihak
terhadap Islam. Bom dan serangan teror menjadi pokok berita, sedangkan
(berita-berita) tentang kebajikan (Islam dan ajarannya) tidak (ada)," ujar Bahia.
"Ketidakseimbangan
ini perlu ditangani dan orang-orang harus memahami bahwa Islam dan sufi
khususnya, berarti ajaran damai dan ketaatan total kepada Allah, yang merupakan
perahu yang membantu kita mengarungi samudra kehidupan,” katanya.
Percakapan Lebih Lanjut
Untuk
mengetahui lebih lanjut, saya pergi ke Restoran dan Kedai The Baraka, yang
dimiliki oleh pemeluk Sufi lainnya, Pedro Barrio, yang sekarang bernama Qasim. Qasim
berasal dari keluarga Katolik di Bilbao di mana dia dulu menjalankan restoran
keluarga.
Dia
juga mencari haluan spiritual mulai saat dia berusia muda. “Saya sudah
bereksperimen dengan banyak hal,” ucapnya. “Pada suatu saat, saya bahkan
mempraktikkan ajaran Buddha, lalu tertarik pada Syamanisme dan vivation
yang merupakan teknik pernapasan. Melalui seorang teman, saya menjadi akrab
dengan ajaran Sufi. Saat saya menemukan ajaran Sufi dan mengetahui bahwa Yesus
adalah nabi dalam agama Islam, saya merasa saya sudah kembali ke jalan saya.
Segalanya (terasa) akrab bagi saya dan saya tahu bahwa inilah kepercayaan yang
ingin saya ikuti, jadi saya memutuskan untuk memeluknya. Ajaran ini memberikan
saya kedamaian dan tujuan hidup,” jelasnya.
“Bagaimana reaksi keluarga Anda?” tanya
saya. “Tidak terlalu baik. Ibu saya yang lebih memahami, tapi ayah saya marah.
(Waktu itu saya) juga ada masalah dengan restoran kami. Saya sholat di masjid,
lalu harus pergi ke restoran, menjamu pelanggan dengan minuman alkohol dan
memotong ham (daging babi). Saya tidak bisa menjalani hidup seperti itu,”
ujarnya.
“Takdir menyelamatkan saya. Seorang
kawan Sufi di Órgiva ingin membuka restoran Islamiah (restoran halal) kecil, tapi tak
punya uang. Dia menghubungi saya, dan karena saya mempunyai dana, saya menjadi
mitra pertamanya dan sekarang saya adalah pemilik tunggal.”
Restoran Baraka sering dikunjungi oleh
tamu sesama Sufi, orang-orang New Age yaitu suatu gerakan spiritual
zaman baru, wisatawan, dan orang-orang seperti penduduk lokal. Restoran
ini tidak menyediakan alkohol atau daging babi, tapi tidak sepenuhnya vegetarian.
Semuanya dimasak ala masakan rumah dan berbahan organik.
Saya
memesan ayam tagine khas Maroko yang lezat, lalu ditutup dengan
menyantap kue kurma-kayu manis dengan whipped cream. Duduk di teras di
Baraka dapat dijadikan pelajaran bagaimana perbedaan kebangsaan, ideologi, dan
agama bisa berinteraksi dengan damai.
Orang-orang
berambut gimbal dan berkerudung, bahkan terkadang biksu-biksu berjubah oranye
juga tampak di sana. Saya mendengar orang-orang berbahasa Inggris, Prancis,
Jerman, Arab dan kadang-kadang Spanyol juga.
“Anda
berbahasa Arab?” saya bertanya. “Tidak,” Qasim menjawab sambil tersenyum, “Kami
berdoa dalam bahasa Arab, tapi itu sejauh pengetahuan saya tentang bahasa
Arab.”
Mengunjungi Dargah
Kendati
ia benar-benar sibuk, Qasim selanjutnya membawa saya ke dargah (rumah peribadatan)
mereka, di mana setiap malam Kamis komunitas tersebut menyelenggarakan zikir
yaitu memuji-muji Allah, dan hadra yaitu bermeditasi. Pada hari suci
setiap Jumat, digelar lebih banyak doa dan makan bersama.
Dargah
tersebut merupakan bangunan sederhana, tersembunyi di antara pepohonan zaitun
dan jeruk sekitar 2 km di luar desa. Di sana ada ruang sholat kecil, sebuah
dapur, dan tiga kamar tamu seadanya yang disediakan untuk mengunjungi
orang-orang sesama Sufi. Tampak anak-anak berlari-larian ketika para perempuan
mempersiapkan makanan dan menjamu sekelompok tamu.
“Mereka
(para tamu) adalah orang-orang dari Maroko dan negara-negara Islam lainnya yang
ikut serta dalam tur yang disebut Pariwisata Halal, (mereka) mengunjungi
komunitas-komunitas Muslim di negara-negara lain. Tur ini menjadi cukup
populer,” Qasim menjelaskan.
Menyebarkan Pesan Ta'aruf
Dia
setuju dengan Bahia tentang perlunya menyebarkan pesan tentang perdamaian,
cinta kasih, dan saling memahami (ta'aruf) kepada umat non-muslim. “Selain dari menjalani
apa yang kami percayai, kami (juga) menyambut para pengunjung seperti Anda yang
bisa menceritakan tentang kami kepada dunia,” katanya.
Sebelum
mengucapkan selamat jalan kepada saya, dia menambahkan, “Mungkin suatu hari
nanti kita semua bisa hidup damai, insya Allah.”
Penutup
Akhirul
Kalam, semoga uraiannya bermanfaat bagi kita semua, āmīn. Billāhi Taufiq wal-Hidāyah. Germantown, MD. 9 Jumādī-Awal 1441 H / 4 Januari 2020 M. □ AFM
In English
The Europeans who chose Mystical Islam
Despite Spain being home to many North African
immigrants, Spaniards who convert to Islam – particularly the order of Sufism –
are a rarity. By Inka Piegsa-Quischotte, 29 September 2016
“My name,” said the lady, clad from
headscarf to sandals in shades of pink and purple, “is Bahia, which means
‘ocean of beauty and compassion’ in Arabic. Welcome to my school.”
Tea was poured, sweets were proffered
and we sat down in the shade of more than 100-year-old olive trees in the
backyard of her tiny Montessori school to talk about Sufism, the mystical
branch of Islam.
But we weren’t in a Muslim country – we
were in the south of Catholic Spain.
Órgiva, located approximately 60km
southeast of Granada and tucked away in the Alpujarra mountain region, is an
extraordinary place. The small town’s population is just under 6,000 – but
amazingly, this comprises 68 nationalities, as well as the Buddhist community
O.Sel.Ling and a sprawling tent camp of Rainbow people (a group committed to
principles of non-violence and egalitarianism) called Beneficio.
But I’d
come to this mountain wilderness to meet the largest of the cultural
communities: 35 Sufi families who have converted from Catholicism and settled
here.
Despite
Spain being home to many North African immigrants, Spaniards who convert to
Islam – particularly the order of Sufism – are a rarity. I wanted to know what
motivated them to convert, and why they’d chosen this remote part of Andalucía
to live.
Bahia,
originally named Maria Jose Villa Cascos, explained that she was born in
Seville, about 320km west of Órgiva, later studying law and working in Madrid
as a lawyer.
“My
search for the right way of life actually started in the Catholic college I
attended in Seville,” she said. “It took me years of studying, probing,
doubting and experimenting until I finally came upon the philosophy and
teachings of Sufism. Sufism’s way of life, teachings of tolerance, wide
understanding, unconditional love of mankind and total rejection of violence
made me convert. We concentrate on the simplicity of life, valuing the
spiritual over the material. That’s also one of the reasons why I turned from
being an attorney to teaching kids.”
She
explained that Umar, who was appointed emir of the order in the 1970s, happened
to live in Órgiva before he converted. Over the years, other converts flocked
here, like Bahia who jumped at the chance to run the school when the
opportunity arose.
But the
Sufis of Órgiva aren’t dreaming navel-gazers. They use mobile phones, internet
and Instagram. They run businesses, like Bahia with her Montessori school and
her husband who has an electrical appliances shop. Others farm and sell
produce. But all their lives are dominated by their faith.
The
only thing that marks them as different is their distinctive dress: the men
wear baggy trousers and loose shirts, and the women don headscarves, long
sleeves and ankle-length skirts.
I
wondered, with an underlying fear of terror attacks in Spain and some people
starting to associate Islam with jihadists and radicalisation, how people
reacted to them.
“Here
in Órgiva, nobody looks twice because we are a rather big community. In other
places, people might stare at the way I’m dressed and maybe think me alien,
but… ” she shrugged.
Rather than being concerned by stares
and whispered comments, Bahia focuses on preaching tolerance, love and
understanding.
“In view of the troubled times we live
in, people have a very one-sided view of Islam. Bombs and terror attacks make
headlines; good deeds don’t. This imbalance needs to be addressed and people
have to understand that Islam and Sufism in particular mean peace and total
devotion to Allah, who is the boat which helps us cross the ocean of life,” she
said.
To find out more, I headed to ‘Tearoom
and Restaurant Baraka’, owned by another Sufi, Pedro Barrio, now called Qasim.
Originally from a Catholic family in Bilbao where he ran the family restaurant,
he was also searching for spiritual direction from a young age.
“I
experimented with many things,” he said. “For a time, I even practiced Buddhism,
then got interested in Shamanism, psychotherapy and vivation, which is a
respiration technique.
Through
a friend, I became familiar with Sufism. When I discovered the teachings and
found that Jesus is a prophet in Islam, I felt like I had come home. Everything
was familiar to me and I knew that this is the faith I wanted to follow, so I
decided to convert. It gives me peace and purpose in life.”
“How
did your family react to that?” I asked.
“Not so
good. My mother was more understanding, but my father was angry. There was also
the problem with our restaurant. I prayed at the mosque, then I had to go to
the restaurant, serve customers alcohol and cut ham. I couldn’t go on like
that,” he said. “Fate came to the rescue. A fellow Sufi in Órgiva wanted to set
up a small Islamic restaurant but didn’t have the money. He contacted me, and
as I had the funds, I became first a silent partner and now the sole owner.”
Baraka,
frequented by his fellow Sufis, New Age folk, tourists and locals alike,
doesn’t serve alcohol or pork, but isn’t entirely vegetarian either. Everything
is home cooked and organic. I ordered a delicious Moroccan-style chicken tagine
followed by a rich date-and-cinnamon cake with whipped cream.
Sitting
on the terrace at Baraka was a lesson in how different nationalities,
ideologies and religions can interact peacefully. Dreadlocks and headscarves –
even the occasional orange robe of a Buddhist monk – were evident. I heard
English, French, German, Arabic and the occasional Spanish too.
“Do you
speak Arabic?” I asked. “No,” Qasim smiled. “We say our prayers in Arabic but
that’s the extent of my knowledge of the language.”
Despite
being extremely busy, Qasim took me to their dargah
(temple), where on Thursday nights the community celebrates dhikr, the praise of Allah,
and hadra, a
meditation. On the holy day of Friday there are more prayers and a communal
meal.
The
dargah was a simple affair, hidden away among olive and orange groves some 2km
outside of town. There was a small prayer room, a kitchen, and three spartan
guest rooms reserved for visiting fellow Sufis. Kids ran around while women
prepared a meal and tended to a group of visitors.
“These
are people from Morocco and other Muslim countries who embark on what’s called
Halal Tourism, visiting Muslim communities in other countries. It’s becoming
quite popular,” Qasim explained.
He
agreed with Bahia about the need to spread the message of peace, love and
understanding to the non-Muslim world.
“Apart
from living what we believe in, we welcome visitors like yourself who can tell
the world about us,” he said. Before wishing me a safe journey home, he added,
“Maybe one day we can all live in peace, inshallah.” □□□
SUMBER
https://www.bbc.com/indonesia/karangan_khas/vert_tra/2016/10/161021_vert_tra_sufi_spanyol
http://www.bbc.com/travel/story/20160928-the-spaniards-who-chose-mystical-islam □□□□