Kata Pengantar
A
|
Ada baiknya mengikuti tulisan seperti tema
diatas yang cukup mengagetkan bagi mereka yang belum mengetahui salah seorang
pemikir Islam tentang ekonomi. Terutama bagi yang berfikiran bahwa Islam itu hanya
bagian dari sebuah agama. Agama yang hanya mengurusi peribadatan, yaitu soal
kelahiran, perkawinan dan kematian saja, atau ditambah lagi dengan melakukan shalat
dan doa. Selainnya tidak boleh mencampurinya.
Memang zaman sekarang banyak orang yang telah (merasa)
“final” bahwa apa yang diketahuainya adalah benar, tidak perlu mengkonfarmasikannya,
atau bertanya “apakah benar seperti
itu?”
Nah, baiklah
kami mengajak untuk melihat bahwa “anggapan” - pandangan dan pengetahuan serta
keyakinan, seperti itu terhadap Islam adalah tidak tepat sama sekali.
Mari
ikuti tulisan berikut ini bahwa ketika Eropa masih dalam masa kegelapannya (the dark ages), muncullah seorang ulama
pemikir tentang ekonomi, namanya Abul
Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani
(Bahasa Arab: أبو عباس تقي الدين أحمد بن عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني), atau yang biasa
disebut dengan nama Ibnu Taimiyyah. Lahir: 22 Januari 1263 atau bertepatan dengan tanggal 10 Rabiul
Awwal tahun 661 Hijriah. Wafat: 26 September 1328 atau bertepatan dengan tanggal 22 Dzulqadah tahun
728 Hijriah, adalah seorang pemikir dan ulama Islam abad ke-13.
Mengenai sosok beliau dari kalangan ulama
menilainya “kontroversial”, namun kalangan ulama Al-Azhar, Cairo menjelaskan
bahwa pemikiran-pemikiran yang baiknya boleh atau dapat diambil.
Jarang seorang ulama yang berfikir analitik seluas
seperti apa yang akan diuraikannya dalam masalah ekonomi melampaui zamannya
seperti berikut ini. □ AFM
PENDAHULUAN
K
|
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan
masalah ekonomi yang mana melibatkan hubungan antar manusia dengan manusia
lainnya, hubungan itu harus didasarkan pada norma – norma agama Islam yang dalam
ajarannya memberi pula tuntunan dalam segala aspek kehidupan termasuk yang
berkaitan bukan saja ibadah kepada Tuhan Rabb ‘Alamin melainkan juga masalah
mu’amalah.
Dalam
konteks, usaha mengembangkan sistem ekonomi Islam, kita mencoba melihat sebuah
konsep pemikiran yang sangat brilian pada waktu itu, sebagai inspirasi dan
petunjuk. Untuk itu penulis mencoba menyampaikan pokok
– pokok pikiran dari salah satu ulama yaitu: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [1]
yang berkaitan dengan masalah ekonomi, meskipun jarak antara kita dan
lahirnya beliau sangat jauh. Ia hidup pada akhir abad ke 7 dan awal abad ke 8
Hijriah - abad 13 Masehi, dia memiliki ilmu pengetahuan yang sangat dalam
tentang ajaran Islam.
Islam masa kini membutuhkan pandangan ekonomi
yang jernih tentang apa yang diharapkan dan bagaimana sesuatu itu bisa
dilakukan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebebasan dalam berusaha
dan hak milik, yang dibatasi oleh hukum moral dan diawasi oleh negara yang adil
dan mampu menegakkan hukum syari’at. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan,
kecuali yang secara tegas dilarang oleh syari'at.
BIOGRAFI SINGKAT IBNU TAIMIYAH
Ibnu Taimiyyah
yang bernama lengkap Taqiyyudin Ahmad bin Abdu Halim
lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabbiul Awwal 661 H). Ia
berasal dari kelurga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya
merupakan ulama besar Mazhab Hambali dan penulis sejumlah buku. [1]
Tradisi lingkungan
keilmuan yang baik ditunjang dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi
ahli dalam tafsir, hadits, fiqih,
matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain
itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang
handal. Pada masa mudanya ia mengungsi karena perbuatan (serangan) suku Mongol
(ke Irak), dan tiba di Damaskus bersama orang tuanya pada tahun 1268 pada waktu
itu ia hampir berusia enam tahun. Pada tahun 1282 ketika ayahnya meninggal,
Ibnu Taimiyah menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Guru Besar Hukum
Hambali dan memangku jabatan ini selama 17 tahun. [2]
Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk
dalam bidang ekonomi yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat
dalam sejumlah karya tulisnya, seperti Majmu’
Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa
Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam.
Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah Makro Ekonomi,
seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan
moneter. [3]
Ia juga
dikenal sebagai seorang pembaharu dalam artian memurnikan ajaran Islam agar
tidak tercampur dengan hal yang berbau bid’ah. Diantara elemen gerakan
reformasinya adalah; Pertama, melakukan
reformasi melawan praktek-praktek yang tidak Islami. Kedua, kembali kearah prioritas fundamental ajaran Islam
dan semangat keagamaan yang murni, sebaliknya memperdebatkan ajaran yang tidak
fundamental dan sekunder. Ketiga, berbuat
untuk kebaikan publik melalui intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi,
mendorong keadilan dan keamanan publik serta menjaga mereka dari sikap
eksploitatif dan mementingkan diri sendiri. [4]
PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYYAH
1. Mekanisme Pasar
Pasar
dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan dan penawaran.
Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun mekanisme
pasar adalah proses penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan permintaan dan
penawaran. Pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply)
dinamakan equilibrium price (harga seimbang). [5]
Ibnu Taimiyyah juga memiliki pandangan tentang
pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan. Ia mengatakan:
“Naik
turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan oleh
seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi
atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan
terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan menyediakannya menurun,
harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan
barang meningkat dan permintaan menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan
kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan
dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga
disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan kemauan pada
hati manusia”. [6]
Dari pernyatan diatas terdapat indikasi kenaikan
harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para
penjual. Perbuatan ini disebut manipulasi yang mendorong terjadinya ketidak
sempurnaan pasar. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala
kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh
kekuatan pasar. [7]
Tampaknya ada kebiasaan
yang terjadi di zaman Ibnu Taimiyyah, kenaikan harga terjadi akibat
ketidakadilan atau malpraktek dari para penjual, sehingga kata yang digunakan
adalah zulm, yang berarti pelanggaran hukum atau ketidakadilan.
Ibnu Taimiyyah
menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi lokal dan import barang-barang
yang diminta (ma yukhlaq aw yujlab min dzalik al-mal al-matlub). Untuk
menggambarkan permintaan terhadap barang tertentu, ia mengguanakan istilah raghbah
fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat
merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah
pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah. Perubahan dalam supply digambarkannya sebagai
kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh
dua faktor, yakni produksi lokal dan impor. [8]
Pernyataan Ibnu Taimiyah diatas menunjuk pada apa
yang kita kenal sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan,
yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan
pada harga yang sama atau, sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang
sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan
persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan
akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya. [9]
Namun demikian, kedua perubahan tersebut tidak selamanya
beriringan. Ketika permintaan meningkat sementara persediaan tetap, harga-harga
akan mengalami kenaikan. Ibnu Taimiyyah menjelaskan:
“Apabila
orang-orang menjual barang dagangannya dengan cara yang dapat diterima secara
umum tanpa disertai dengan kezaliman dan harga-harga mengalami kenaikan sebagai
konsekuensi dari penurunan jumlah barang (qillah al-syai),
atau peningkatan jumlah penduduk (katsrah al-khalq), hal ini disebabkan oleh
Allah SWT”. [10]
Pernyataan Ibnu Taimiyyah diatas tampaknya menggambarkan perubahan secara
terpisah. Penurunan barang dengan kata lain adalah jatuhya penawaran. Sedangkan
meningkatnya penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan,
karena itu bisa dikatakan sebagai naiknya permintaan. Naiknya harga karena
jatuhnya supply atau naiknya permintaan, dalam kasus itu
dikarakteristikkan karena Allah SWT, mengindikasikan bahwa mekanisme pasar itu merupakan
kondisi alamiah yang impersonal.
Ibnu Taimiyyah memberikan penjelasan yang rinci tentang
beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan tingkat harga. Berikut faktor-faktor tersebut: [11]
1. Permintaan
masyarakat (al-ragabah) yang sangat bervariasi (people’s desire)
terhadap barang. Faktor ini tergantung pada jumlah barang yang tersedia (al-matlub).
Suatu barang akan semakin disukai jika jumlahnya relatif kecil (scarce)
daripada yang banyak jumlahnya.
2. Tergantung
kepada jumlah orang yang membutuhkan barang (demander/consumer/tullab).
Semakin banyak jumlah peminatnya, semakin tinggi nilai suatu barang.
3. Harga
juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya kebutuhan terhadap suatu barang, selain
juga besar dan kecilnya permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat
dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi jika dibandingkan dengan
jika kebutuhannya lemah dan sedikit.
4. Harga
juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-mu’awid).
Jika pembeli merupakan orang kaya dan terpercaya (kredibel) dalam membayar
kewajibannya, maka kemungkinan ia akan memperoleh tingkat harga yang lebih
rendah dibandingkan dengan orang yang tidak kredibel (suka menunda kewajiban
atau mengingkarinya).
5. Tingkat
harga juga dipengaruhi oleh jenis uang yang digunakan sebagai alat pembayaran.
Jika menggunakan jenis mata uang yang umum dipakai, maka kemungkinan harga
relatif lebih rendah jika dibandingakan dengan menggunakan mata uang yang tidak
umum atau kurang diterima secara luas.
6. Hal
di atas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaksi haruslah menguntungkan
penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat
memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah atau lancar
dibandingkan dengan jika pembeli tidak memiliki kemampuan membayar dan
mengingkari janjinya.
Tingkat
kemampuan dan kredibilitas pembeli berbeda-beda. Hal ini berlaku bagi pembeli
maupun penjualnya, penyewa dan yang menyewakan, dan siapa pun juga. Obyek dari
suatu transaksi terkadang (secara fisik) nyata atau juga tidak nyata.
Tingkat
harga barang yang lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan
dengan yang tidak nyata. Hal yang sama dapat diterapkan untuk pembeli yang
kadang-kadang dapat membayar karena memiliki uang, tetapi kadang-kadang mereka
tidak memiliki uang cash (tunai) dan
ingin meminjam. Harga pada kasus yang pertama kemungkinan lebih rendah daripada
yang kedua.
7. Kasus
yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan suatu barang. Kemungkinan
ia berada pada posisi sedemikian rupa, sehingga penyewa dapat memperoleh
manfaat dengan tanpa tambahan biaya apapun. Akan tetapi, kadang-kadang penyewa
tidak dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, seperti yang
terjadi di desa yang dikuasai penindas atau oleh perampok, atau di suatu tempat
diganggu oleh binatang-binatang pemangsa. Sebenarnya, harga sewa tanah seperti
itu tidaklah sama dengan harga tanah yang tidak membutuhkan biaya-biaya
tambahan ini.
2. Mekanisme
Harga
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar
gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar output
(barang) ataupun input (faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan
sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu. [12]
Ada dua tema yang sering kali ditemukan dalam pembahasan
Ibnu Taimiyyah tentang masalah
harga, yakni kompensasi yang setara/adil (‘iwad al-mitsl) dan harga yang
setara/adil (tsaman al-mitsl). Dia berkata:
“Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh
hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl)”.
[13]
●‘Iwad al-mitsl adalah penggantian sepadan yang
merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan.
Kompensasi yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan, disinilah esensi
dari keadilan.
●Tsaman al-mitsl adalah nilai harga dimana
orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang
sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis
lainnya di tempat dan waktu tertentu.
Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyyah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni
tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan berbuat adil akan
mencegah terjadinya kezaliman. Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang
adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang berbeda.
Dalam mendefinisikan “kompensasin yang setara, Ibnu
Taimiyyah
berkata:
“Yang dimaksud kesetaraan
adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum (‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar
(rate/si’r) dan kebiasaan”. Lebih
dari itu ia menambahkan: “evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil
didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain
yang setara (ekuvalen)”.
Inilah benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya. [14]
Permasalahan kompensasi yang adil, muncul ketika
membongkar masalah moral dan kewajiban hukum (berkaitan dengan kepemilikan
barang). Adapun prinsip-prinsip itu berkaitan dengan kasus-kasus berikut:
a) Ketika seseorang bertanggung
jawab menyebabkan terluka atau rusaknya orang lain (nifus), hak milik (amwal),
keperawanan dan keuntungan (manafi)
b) Ketika seseorang mempunyai
kewajiban membayar kembali barang atau profit yang setara atau membayar ganti
rugi atas terlukanya salah satu bagian dari anggota tubuhnya
c) Ketika seseorang dipertanyakan
telah membuat kontrak tidak sah ataupun kontrak yang sah pada peristiwa yang
menyimpang dalam kehidupan maupun hak milik. [15]
Jadi yang
melatarbelakangi adanya konsep kompensasi yang adil tersebut disebabkan oleh
adanya praktek ketidakadilan yang terjadi pada masa itu, dimana kesetaraan
terhadap ganti rugi tidak diberlakukan sebagaimana mestinya, maka dengan
melihat kondisi tersebut, Ibnu Taimiyyah memberikan perbedaan yang signfikan antara kompensasi
yang adil dengan harga yang adil. Dan agaknya,
konsep kompensasi yang adil ini merupakan sebuah pedoman bagi masyarakat dan para hakim
dalam melaksanakan tugasnya dipengadilan.
Ibu
Taimiyyah membedakan antara soal legal-etik dengan aspek ekonomi dari harga
yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi
yang setara ketika
menelaah dari sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari
aspek ekonomi. Karena merupakan sewbuah konsep hukum dan moral, Ibnu Taimiyah
mengemukakan konsep kompensasi yang setara berdasarkan aturan moral yang
sangat tinggi. [16]
Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara
dengan harga yang setara, ia menguraikan: “Jumlah kuantitas yang tercatat dalam
kontrak ada dua macam. Pertama, jumlah kuantitas yang sangat akrab di masa masyarakat, yang biasa mereka gunakan. Kedua, jenis yang tak lazim (nadir),
sebagai akibat dari meningkat atau menurunnya kemaun (raghbah) atau faktor lainnya. Ini menyatakan tentang harga yang
setara.
Jelas
adanya, bahwa kompensasi yang adil muncul dari adat kebiasaan terhadap nilai
harga sauatu benda. Sedangkan harga yang adil timbul karena adanya aktivitas
permintaan dan penawaran terhadap nilai harga benda. Adapun persamaannya,
sama-sama memakai konsep keadilan, yang mana harus didasarkan pada kesepakatan
dan persetujuan antara kedua belah pihak dengan tidak adanya unsur merugikan
pihak lain.
3. Regulasi Harga
Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harga
barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk
memelihara kejujuran dan kemungkinan penduduk biasa memenuhi kebutuhan
pokoknya. [17]
Ibnu taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni
penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil
dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah
penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat
persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand. [18]
Pada
kondisi terjadinya ketidak sempurnaan pasar, Ibnu Taimiyyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah.
Misalnya dalam kasus dimana komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik
akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh
dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah,
pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli. [19]
Ibnu Taimiyyah menentang peraturan yang berlebihan ketika
kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif,
dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna. Ibnu Taimiyyah merekomendasikan bahwa bila penjual
melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan
dengan harga yang normal, padahal orang-orang membutuhkan barang ini, maka
penjual diharuskan untuk menjualnya pada tingkat ekuivalen. Secara
kebetulan, konsep ini bersinonim dengan apa yang disebut harga yang adil. Lebih
jauh, bila ada elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan dan
kebutuhan pokok lainya), maka pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan
monopoli. [20]
Otoritas
pemerintah dalam
melakukan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk
yang berkepentingan. Tentang ini, Ibnu Taimiyyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya,
Ibnu Habib, bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh
perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus
diperiksa keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang
transaksi jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan
ketetapan harga yang didukung oleh para peserta musyawarah, juga penduduk
semuanya. Jadi keseluruhannya harus sepakat dengan hal itu. [21]
Jadi jelas agaknya, bahwa pemikiran Ibnu Taimiyyah sangat memperhatikan keadaan pasar, bagaimana sikap
perintah dalam mengawasi harga yang beredar dipasaran, penyelidikan, maupun
menetapkan harga. Dalam kondisi ketidak sempuranaan pasar, maka pemerintah
dianjurkan untuk mengadakan pengawasan terhadap harga yang beredar. Namun
syarat dan ketentuan juga dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa dalam mengadakan
pengawasan, penyelidikan, maupun penetapan harga, harus dilakukan dengan
musyawarah, dan seluruh oknum yang terkait harus menyepakati dari hasil
musyawarah tersebut.
Dalam kitabnya al-hisbah, penetapan harga
diperlukan untuk mencegah manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya
kepada kelompok tertentu dengan harga yang ditetapkan sesuai keinginan mereka.
Oleh karena itu, regulasi harga (fixed price policy) sangat mempermudah
usaha mikro dalam menghadapi menipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh
pengusaha besar. Kebijakan ini sering digunakan oleh pemerintah untuk
melindungi sektor usaha mikro dari kehancuran. [22]
4. Hak Kekayaan
Hak kekayaan sama halnya dengan hak milik. Sebagaimana
dari literatur yang penulis lihat dalam bukunya Euis Amalia, beliau
membahasakannya dengan hak milik. Namun dalam literatur lain penulis temukan
konsep kepemilikan juga disebut dengan kekayaan. Seperti yang dijelaskan oleh
Abdul Azim Islahi dalam bukunya Economic Concepts of Ibn Taimiyah. Beliau
menyatakan Ibnu Taimyyah
membagi hak kekayaan pada tiga bagian, yaitu kekayaan individu, kekayaan
kolektif dan kekayaan negara, sebagao berikut ini (admin
blog):
a) Kekayaan Individu
Penggunaan
kekayaan individu disesuaikan dengan apa yang ditetapkan oleh syari’ah. Setiap individu dapat menggunakan kekayaan
yang dimilikinya secara produktif, memindahkannya, dan menjaganya. Penggunaan
kekayaan individu ini tetap pada batas-batas yang wajar, tidak boros, atau
membelanjakannya di jalan yang dilarang oleh syari’at. Ibnu Taimiyah juga tidak
membenarkan untuk melakukan eksploitasi terhadap orang-orang yang membutuhkan.
Contoh eksploitasi di sini adalah menimbun harta pada saat terjadi bencana
kelaparan. [23]
b) Kekayaan Kolektif
Kekayaan kolektif bisa dalam bentuk yang
bermacam-macam. Misalnya suatu barang yang dimiliki oleh dua orang atau lebih,
atau dimiliki oleh suatu organisasi atau asosiasi. Terdapat juga barang atau
objek yang dimiliki oleh suatu komunitas yang tinggal di suatu daerah tertentu.
Atau dimiliki oleh masyarakat secara keseluruhan. Kekayaan seperti ini biasanya
menjadi hajat hidup orang banyak. [24]
Kekayaan yang dimiliki oleh dua orang atau lebih
diserahkan kepada aturan yang telah dibuat oleh masing-masing pihak dengan
tidak saling merugikan. Misalnya, sebuah kebun yang dimiliki bersama oleh dua
orang. Salah satu dari mereka ingin membuat tembok di tengah kebun, tetapi yang
lain keberatan, maka keberatan tersebut harus diterima. [25]
Adapun
kekayaan kolektif yang disebutkan oleh hadits adalah air, rumput, dan api. Jika
kekayaan ini dikuasai oleh individu, maka akan mengakibatkan kesulitan bagi
masyarakat. Air, rumput, dan api hanya sebagai contoh saja, hal-hal lain yang
serupa dengan itu dapat dimasukkan sebagai kategori. Semua bahan mineral yang
berasal dari tanah bebas seperti nafta, emas, garam, minyak dan lain-lain juga
termasuk kekayaan kolektif. [26]
c) Kekayaan Negara
Negara
berhak untuk mendapatkan sumber-sumber penghasilan dan kekuatan yang diperlukan
untuk melaksanakan kewajibannya. Sumber utama dari kekayaan Negara adalah zakat,
ghanimah, dan fa’i.
Selain dari sumber ini, negara juga bisa menambah pemasukannya dengan
menerapkan pajak-pajak lain ketika kebutuhan mendesak muncul. [27]
Kekayaan negara secara
aktual merupakan kekayaan umum (publik), kepala negara hanya bertindak sebagai
pemegang amanah. Merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkannya guna
kepentingan publik. [28]
Dari ketiga pembagian tersebut, Ibnu Taimiyah
mengelompokkan hak kekayaan dari yang bersifat pribadi dan sampai pada tingkat
kekayaan yang dimiliki negara. Perbedaan dari ketiga bagian itu jelas dimiliki
oleh setiap unsur, serta terlihat cakupan dan batasan yang telah dijelaskan
pada setiap pembagian.
Adapun hak kekayaan individu meliputi kekayaan yang
dimiliki pribadi atau bersifat personal, hak kekayaan kolektif meliputi
kekayaan yang dimiliki bersama, dan hak kekayaan Negara meliputi keseluruhan
aspek yang didapatkan pemerintah dari hasil pendapatan masyarakat.
5. Peranan
Pemerintah Dalam Kebijakan Ekonomi
Ibnu Taimiyyah, seperti halnya para pemikir Islam lainnya menyatakan
bahwa pemerintah merupakan institusi yang sangat dibutuhkan. Ia memberikan dua
alasan dalam menetapkan negara dan kepemimpinan negara seperti apa adanya. Penekanan dari
pembahasannya lebih pada karakter religius dan tujuan dari sebuah pemerintahan:
“Tujuan terbesar dari negara adalah mengajak penduduknya
melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat munkar”. [29]
Amar ma’ruf nahi
munkar, merupakan tujuan yang sangat komprehensif. Termasuk di dalamnya
mengajak manusia melakukan praktik-praktik sosial dan ekonomi yang baik
dan menjegah melakukan yang buruk.
Sebagaimana difirmankan Allah SWT: [30]
“Kamu (ummat Islam) adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Fungsi ekonomi dari
negara dan berbagai kasus dimana negara berhak melakukan intervensi terhadap
hak individual untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. [31]
Sama halnya dengan pernyataan yang sebelumnya, bahwa
kebijakan pemerintah dalam regulasi harga dilakukan dalam rangka
mensejahterakan masyarakat. Pemerintah berhak menetapkan harga demi
keseimbangan harga pasar. Tujuan yang lebih jelas sebagaimana dikatakan Ibnu
Taimiyah agar tidak terjadinya monopoli dari pihak tertantu dalam penetapan
harga, sehingga masyarakat kecil dapat melakukan kegiatan mikro ekonominya
dengan lancar.
6. Uang dan
Kebijakan Moneter
a)
Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus, Ibnu Taimiyyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai
pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda, Ia
menyatakan:
“Atsman (harga
atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai
pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya
jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui;
dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri”. [32]
Pada kalimat terakhir
pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka
sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan
bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan.
Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat
diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang
sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai
alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas yaitu: [33]
1) Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic
utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara
langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang
memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti
rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh
diperdagangkan dalam Islam.
2) Komoditas mempunyai kualitas yang
berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp. 100.000 yang kertasnya kumal nilainya sama dengan
kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas
meskipun model dan tahun pembuatannya sama.
3) Komoditas akan menyertai secara fisik dalam
transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang
dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat
membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan
bentuk uangnya seperti apa.
Islam
menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai
komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur
ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan
harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk
ditukar dengan barang. [34]
Berdasarkan pandangan tersebut, Ibnu Taimiyyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang,
karena hal ini berarti mengalih fungsikan uang dari tujuan yang sebenarnya. [35] Jika uang harus ditukar dengan uang, maka
pertukaran tersebut harus lengkap (taqabud) dan tanpa ada jeda (hulul).
Jika dua orang saling bertukar uang, yang salah satu di antara mereka membayar
dengan kontan sementara yang lain berjanji akan membayarnya nanti, maka orang
pertama tidak dapat menggunakan uang yang dijanjikan dalam transaksi tersebut
sampai ia benar-benar dibayar. Hal ini menyebabkan orang pertama kehilangan
kesempatan menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Itulah alasan
Ibnu Taimiyyah ketika menentang jual beli uang. [36]
b) Pencetakan
Uang Sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu
Taimiyyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga
barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi.
Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih
kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari
tembaga yang disebut dengan Fulus.
Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi
besar, dan Fulus digunakan untuk
transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi
pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus
dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan
tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin
memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya
fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagai
berikut: [37]
“Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata
uang selain emas- Dinar dan perak-Dirham) sesuai dengan nilai yang adil
(proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap
mereka”.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat
dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar
di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk
yang berlaku.
Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa
seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional)
atas transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil.
Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat
di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung
dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah
logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena
sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin
sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah
adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil
terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui teori kuantitas uangnya
Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan:
MV=PT.
Dimana M (Money) adalah jumlah uang
beredar, V (Velocity) adalah kecepatan uang beredar, P (Price)
adalah tingkat harga produk dan T (Trade) adalah nilai produk yang
diperdagangkan. Apabila pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan
mata uang tanpa memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar
di masyarakat, M akan meningkat. Sementara bila V dan T tidak mengalami
perubahan, dalam persamaan di atas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka
otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya M akan
mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak stabil), yang
berarti terjadi inflasi yang meningkat. [38]
Dari teori kuntitas diatas dapat disimpulakan,
apabila jumlah uang yang beredar dan kecepatan uang beredar sama dengan tingkat
harga produk dan nilai yang diperdagangkan, maka disitulah letak keseimbangan
nilai uang yang beredar. Hal inilah yang seharusnya dilakukan pemerintah agar
tidak terjadinya kekacauan peredaran uang di masyarakat.
Dalam sejarah beliaupun juga terlihat, bahwa pada masa
itu pemerintah melakukan pencetakan fulus dalam jumlah yang sangat besar
dengan nominal melebihi kandungan tembaga, sehingga tindakan pemerintah
tersebut membuat kondisi
perekonomian semakin memburuk. Maka dari itu Ibnu Taimiyyah mengeluarkan pernyataan, bahwa Sikap yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah adalah pencatakan fulus harus didasarkan pada
keseimbangan volume fulus dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi,
sehingga dapat terciptanya harga yang adil. Kemudian terhadap uang yang telah
beredar dimasyarakat, disarankan untuk tidak membatalkannya, bahkan Ibnu Taimiyyah menyarankan untuk mencetak uang sesuai dengan nilai
riilnya.
c) Penurunan Nilai Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan
Kitbugha menetapkan bahwa nilai fulus ditentukan berdasarkan beratnya,
dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan fulus
dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor
tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu memang
sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan fulus secara luas pada
masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan dirham semakin sedikit
dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan
inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga
produk. Dampak pemberlakuan fulus sebagai mata uang resmi adalah
terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong
naiknya harga. [39]
Ibnu Taimiyyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga serta
mencetaknya menjadi mata uang dan kemudian berbisnis dengannya. Ia juga
menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang
sedang beredar ditangan masyarakat.
Bahkan, penguasa
seharusnya mencetak mata uang sesuai dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk
mencari keuntungan apa pun dari percetakannya tersebut agar kesejahteraan
masyarakat (al-maslahah al-‘ammah) tetap terjamin. Penguasa harus
membayar gaji pekerja dari harta Baitul Mal. Ia menegaskan bahwa perdagangan
uang akan membuka lebar pintu kezaliman terhadap masyarakat serta melenyapkan
kekayaan mereka dengan dalih yang salah. [40]
Pernyataan Ibnu Taimiyyah bahwa gaji para pekerjanya hendaknya dibayarkan dari
perbendaharaan negara (Baitul Mal) juga sangat signifikan. Pembayaran yang
berasal dari pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan supply mata
uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti
menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat
menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber
pendapatan negara lainnya. [41]
c) Mata Uang yang Buruk Akan
Menyingkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu
Taimiyyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata
uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia mengambarkan hal ini sebagai
berikut:
“Apabila
penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang
yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang
memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang.
Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang
semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsiknya mata uang
tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para
penjahat untuk mengumpulakan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata
uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan
menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa
kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan
menjadi hancur”. [42]
Pada
pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyyah menyebutkan akibat yang akan terjadi atas
masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur
memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi
sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak
memiliki nilai yang sama disbanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang.
Disisi lain, seiring dengan kehadiran nilai mata uang yang baru, masyarakat
akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka. [43]
Di
bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang yang berkualitas
buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu
akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan
kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham
yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri
atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan
Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan
produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih
banyak atau lebih menguntungkan.
Selanjutnya,
makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat
transaksi,. Akibatnya peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham
berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar
secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan
tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada
waktu itu tidak stabil. [44]
d) Analisis dan Relefansi
Pemikiran Ibnu Taimiyah Dengan Konsep Sekarang
Dalam
menangani kebijakan moneter, Ibnu Taimiyah telah memberikan kontribusi
pemikirannya dengan konsep kesetaraan/keadilan. Keadaan yang memicu saat
terjadinya moneter membuat keuangan Negara tidak stabil. Sama halnya dengan
konsep yang terjadi sekarang, seketika harga dapat melonjak naik dan terkadang
turun, aktivitas ekonomipun sudah cukup banyak, dan tentu tingkat terjadinya fluktuasi
juga semakin tinggi.
1. Mekanisme
Pasar
Pada
prinsipnya mekanisme pasar diartikan bahwa harga bergerak bebas sesuai hukum
permintaan dan penawaran (supply and demand). Jika supply lebih besar dari demand,
maka harga akan cenderung rendah. Begitupun jika demand lebih tinggi
sementara supply
terbatas, maka harga akan cenderung
mengalami peningkatan.
Dalam implementasi
sehari-hari belum bisa dipastikan kegiatan yang terbentuk di pasar apakah
memang berjalan sesuai dengan mekanisme pasar yang wajar, tidak ada unsur
intervensi, tidak ada unsur permainan oleh sekelompok kekuatan tertentu yang
membentuk kartel dan sebagainya. Dalam pasar bebas misalnya, terkadang ada
terjadinya saham yang diperdagangkan dengan perubahan harga yang
cukup wajar. Wajar disini berarti fluktuasi harga yang terjadi
berlangsung secara normal, tidak ekstrem. Tapi terkadang juga sering memperlihatkan ada saja
saham-saham yang harganya bergerak secara ekstrem, naik secara mencolok
atau turun secara drastis.
Fakta di pasar memang
seringkali menunjukkan ada beberapa saham yang mencatat kenaikan harga sangat
pesat tanpa didukung oleh informasi yang memadai. Kenaikan harga dapat mencapai
di atas 50 % bahkan sampai melebihi 100 % hanya dalam waktu beberapa hari,
kurang dari satu bulan. Kenaikan harga 50-100 % dalam tempo kurang dari satu bulan, tentu
merupakan keuntungan yang menawan dan menggiurkan. [45]
Memahami
mekanisme pasar pada aktifitas jual beli saham di pasar modal ini
bukanlah hal yang sederhana. Dibutuhkan kejelian dan kepekaan tinggi
untuk melihat mana saham yang memang bergerak berdasarkan mekanisme pasar dan
mana saham yang bergerak di luar mekanisme pasar. Disebut bergerak di luar mekanisme pasar karena fakta
menunjukkan memang ada saham-saham tertentu yang pergerakannya dikendalikan
oleh satu kekuatan tertentu meskipun hal itu sulit dibuktikan.
Saham seperti inilah yang harus diwaspadai oleh
investor. Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku pengawas pasar tidak mungkin
mengambil tindakan karena kenaikan harga saham tadi berlangsung dalam koridor
pasar. Artinya, tidak ada aturan pasar yang dilanggar. Karena itu investor
harus ekstra hati-hati melihat kenaikan harga saham yang tidak didukung oleh
fakta material.
2. Regulasi
Harga
Sejak awal tahun 2010 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) telah mengingatkan bahwa tingginya harga sembako tidak boleh dibiarkan
karena semakin memberatkan masyarakat, baik konsumen rumah tangga maupun Usaha
Kecil dan
Menengah (UKM). Harga sembako sejak awal tahun ini di lapangan
tercatat, harga telur ayam, cabai merah, beras, dan gula tetap bertahan tinggi
seperti akhir tahun lalu. Harga telur ayam rata-rata bertahan di level Rp. 15.500
per kilogram. Sementara beras kualitas medium rata-rata Rp. 5.000 per kilogram,
dan gula pasir rata-rata bertahan pada harga Rp 14.000 per
kilogram. Dibanding sebelumnya, harga beras dan gula pasir ini rata-rata naik
Rp. 1.000 sampai Rp. 2.000 per kilogram.
Kenyataan
tersebut bukan hanya ditemukan di pasar-pasar tradisional berbagai daerah di
Jawa, melainkan juga di Lampung dan Sumbar. YLKI ketika itu mengingatkan bahwa
pemerintah harus mengambil langkah cepat menangani kenaikan harga kebutuhan
pokok ini. [46]
Melihat kondisi tersebut, Ada baiknya pemerintah
mendengar berbagai saran maupun hasil kajian yang disampaikan banyak pengamat
berkaitan dengan kerap terjadinya gejolak harga sembako yang berulangkali
terjadi. Seiring dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah, jika terjadinya
ketidak stabilan harga dimana suatu komoditas kebutuhan pokok yang harganya
naik akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh
dorongan-dorongan monopoli, maka pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi
penjual dan pembeli.
Untuk awal tahun ini, terjadinya gejolak harga
sembako ternyata tidak saja disebabkan oleh tingginya permintaan.
Kebergantungan dalam negeri atas komoditas dan kebutuhan pokok impor disinyalir
justru menjadi pemicu utama kenaikan harga. selama ini pemerintah justru amat
mudah menyelesaikan masalah di dalam negeri, seperti lonjakan harga kebutuhan
pokok, dengan sedikit-sedikit mengimpor. Padahal langkah ini juga tidak selalu
berhasil dalam mengatasi masalah yang terjadi.
Kebijakan
impor selama ini terbukti hanya menyelesaikan masalah sesaat. Dibutuhkan solusi
jangka panjang untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat. Kebijakan
impor terbukti menciptakan ketidakstabilan harga kebutuhan pokok. Pemenuhan
target produksi dan pembenahan disisi jalur distribusi seharusnya menjadi
prioritas pemerintahan saat ini. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk
mempercepat peningkatan produksi dan pembenahan pasar domestik dibanding
pemberian subsidi langsung untuk operasi pasar atau pasar murah.
Langkah tersebut diperlukan agar seluruh barang
kebutuhan pokok bisa terpenuhi dari produksi dalam negeri. Dengan demikian,
harga yang terjadi pastinya lebih stabil dan terjangkau oleh masyarakat,
khususnya rakyat miskin yang tingkat perekonomiannya rendah.
3. Kebijakan Moneter
Pada dasarnya, suatu kebijakan akan muncul apabila telah
terjadinya suatu gejala yang dirasakan. Terjadinya infalasi misalnya, pada masa
Ibnu Taimiyyah inflasi timbul karena adanya peredaran mata uang yang tidak seimbang,
yaitu dengan pencetakan fulus yang nilai nominalnya tidak seimbang
dengan kandungan logam, sehingga apabila dibelanjakan untuk emas dan perak,
maupun barang-barang berharga lainnya, nilai mata uang tersebut menjadi
menurun, dan akhirnya timbul inflasi.
Sikap yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah menurut Ibnu Taimiyyah adalah pencetakan fulus harus didasarkan pada keseimbangan
volume fulus dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi, sehingga
dapat terciptanya harga yang adil. Kemudian terhadap uang yang telah beredar
dimasyarakat disarankan untuk tidak membatalkannya, bahkan Ibnu Taimiyah
menyarankan untuk mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya.
Pada
keadaan sekarang timbulnya Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu
tarikan permintaan atau desakan biaya produksi. Inflasi tarikan
permintaan terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga
terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang
dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi.
Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga
faktor produksi meningkat.
Jadi, inflasi
ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian
yang bersangkutan dalam situasi full employment. Inflasi desakan
biaya terjadi akibat meningkatnya biaya produksi sehingga mengakibatkan harga
produk-produk yang dihasilkan ikut naik. Untuk menanggulangi Inflasi tersebut
maka Bank Sentral diberikan wewenang khusus oleh pemerintah. Bank sentral suatu
negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat
yang wajar. Beberapa Bank Sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen,
dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak di luar
Bank Sentral, termasuk pemerintah. Hal ini disebabkan karena sejumlah studi
menunjukkan bahwa Bank Sentral yang kurang independen, salah satunya disebabkan
intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk
mendorong perekonomian, sehingga dari intervensi tersebut akan mendorong
tingkat inflasi yang lebih tinggi.
Bank
Sentral umumnya mengandalikan jumlah uang beredar atau tingkat suku bunga
sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, Bank Sentral juga
berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini
disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan
oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs), yang mana saat ini pola inflation
targeting banyak diterapkan oleh Bank Sentral di seluruh dunia, termasuk
oleh Bank Indonesia.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ulama-ulama klasik Islam telah
tidak hanya berkutat pada agama dalam arti sebatas ritual keagamaan, akan
tetapi telah menaruh perhatian pada masalah perekonomian masyarakat bahkan
diindikasikan teori-teori ekonomi konvensional modern merupakan adopsi dari
hasil pemikiran mereka (Islam).
Gresham
telah mengadopsi teori Ibnu Taimiyyah tentang mata uang (curency)
berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taimiyyah, uang berkualitas
buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang
keluar mata uang emas dan perak. Fungsi utama uang hanya sebagai alat tukar
dalam transaksi (medium of exchange for transaction)
dan sebagai satuan nilai (unit of account).
Semua kebijakan tentang uang yang dibuat pemerintah
harus dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat (maslahat).
Pencetakan
uang yang tidak didasarkan pada daya serap sektor riil dilarang, karena hanya
akan meningkatkan inflasi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Penimbunan
uang dilarang, karena menyebabkan melambatnya perputaran uang yang berdampak
pada turunnya jumlah produksi dan kenaikan harga-harga produk. Peleburan uang
logam dilarang, karena akan mengurangi pasokan uang secara permanent yang
berdampak pada kenaikan harga-harga produk.
Demikianlah
pemikiran ekonomi dalam Islam Ibnu Taimiyyah pemikirannya dalam ekonomi Islam
yaitu berdasarkan moral, keadilan, dan kemashlahatan bagi kesejahteraan
masyarakat. Billahit Taufiq wal-Hidayah
□ AFM
Video
penilaian ulama terhadap ---klik---> IBNU TAIMIYYAH
Daftar Kepustakaan:
Abdul Azim Islahi, Abdul, Economic Concepts
of Ibn Taimiyah, London: Islamic Foundation, 1988
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005, Cet.1
Ar. 2010. Diperlukan intervensi pemerintah
untuk atasi tingginya gejolak harga, http://bataviase.co.id/node Azwar
karim, Adiwarman, sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2006, Ed. 3
Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, Cet. 1
Misanan, Munrokhim, dkk., Text Book Ekonomi
Islam, Yogyakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI
& Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam
Indonesia (P3EI UII)
Tim Bursa Efek
Indonesia. 2010. Mekanisme Pasar, http://economy. okezone.com/read/2010/10/11/226/381155/mekanisme-pasar
- diakses tgl 1juni 2011
□
Riwayat Hidup IbnuTaimiyyah:
Abul Abbas
Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani (Bahasa
Arab: أبو عباس تقي الدين أحمد بن عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني), atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyyah saja. Lahir: 22 Januari
1263 atau bertepatan dengan tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 Hijriah. Wafat:
26 September 1328 atau bertepatan dengan
tanggal 22 Dzulqadah tahun 728 Hijriah, adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari
Haran, Turki.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga
generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi’in
yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi’ut Tabi’in
yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik
untuk kehidupan Islam.
Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya
Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya
Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah
seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al
Qur'an (hafidz).
Ibnu Taimiyyah lahir di zaman ketika Baghdad
merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika
berusia enam tahun (tahun 667 H/1268M), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus
disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak.
Perkembangan
dan hasrat keilmuan
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda
kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan
mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri
itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut
tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai
ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia
telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah
dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah
ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah yang sengaja datang ke Damaskus
khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir.
Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan
hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan
tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun dengan
tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut
berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar,
sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya".
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di
tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca
sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya
untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi.
Kepribadiannya
Dia adalah orang yang kuat pendiriannya dan
teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika
dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah
yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau
kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku
lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku
untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Menjadi
jenderal
Dia pernah memimpin sebuah pasukan untuk
melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299 dan dia
mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari 1313, dia juga bertempur di
kota Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan sesudah kariernya itu, dia tetap
mengajar sebagai profesor yang ulung.
Pendidikan
dan karyanya
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan
memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu
tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal
dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur’an. Kemampuannya
dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah
memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai Ilmu Rijalul Hadits (perawi hadits) yang
berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul Hadits (macam-macam hadits) baik
yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah (dalil), ia
memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan
kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh,
ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf. Sehari semalam ia mampu menulis
empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang
syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh
Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya
yang terkenal adalah Majmu' Fatawa
yang berisi masalah fatwa-fatwa dalam agama Islam.
Wafatnya
Ibnu Taimiyyah meninggal penjara Qal`ah
Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika dia sedang
membaca Al-Qur'an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi
jannatin wanaharin". Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga
bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Pada masa
tuanya, dia menulis banyak kitab sekaligus mengisi waktunya. Dia dipenjara
karena berseberangan dengan pemerintah di zamannya. Sewaktu menulis, dia sering
juga saling bersurat-suratan kepada kawan-kawannya. Akhirnya, pihak pemerintah
merampas semua peralatan tulisnya, tinta, dan kertas-kertas dari tangan dia.
Namun, dia tidak pernah patah arang. Dia banyak berdakwah dengan menulis surat
kepada kawan-kawannya, dan teman-temannya memakai arang. Sehingga, dengan
terang, dia berkata, "Orang yang dipenjara adalah orang yang dipenjara
harinya dari Rabbnya; sedang, orang yang tertawan adalah orang yang ditawan
oleh hawa nafsunya." Ia wafat pada tanggal 22 Dzulqadah 728 H (26
September 1328 M), dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan
saudaranya, Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Jenazahnya disalatkan di masjid
Jami` Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama,
tentara serta para penduduk.
Pada saat itu, tidak ada seorangpun yang tak
hadir melayat kecuali ada yang berhalangan - para wanita, yang berjumlah
kira-kira 15.000 orang juga datang melayat, ini belum termasuk suara isakan
tangis dan doa yang terdengar di atas rumah-rumah sepanjang jalan menuju makam,
sementara lelaki yang hadir diperkirakan 60.000 bahkan sampai 100.000 pelayat
menurut kesaksian Ibnu Katsir.
Peninggalan
Sepanjang hidupnya, dia dikenal banyak
sekali mendapat pujian dan celaan. Banyak kalangan ulama yang memujinya, dan
sebagian ahli fiqih mencela dia karena ketidaktahuan mereka. Adapun ajarannya
yang benar-benar memurnikan tauhid dari kesyirikan, khurafat, dan bid'ah, telah
mengena dan diikuti oleh pengikut Salafi yang anti-kesyirikan.
Adapun, pada diri-pribadi Syaikh Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu 'alaih (رَحِمَهُ الله عَلَيْهِ),
telah banyak kitab tentang studi pada biografi hidup dia; seperti kitab,
risalah ilmiah, maupun yang bukan ilmiah, itu baik dari bahasa Arab, ataupun
yang bukan bahasa Arab. Studi tentang kehidupan dia bukan hanya tentang kehidupan
dia saja, berikut tentang kepribadian, dan keilmuannya, dan karya-karyanya
begitu banyak. [id.wikipedia.org] □
Catatan Kaki:
[1]
Adiwarman Azwar karim, sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006), Ed. 3, hlm. 351.
[2]Nur
Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 1., hlm, 230.
[3] Ibid.
[4] Euis
Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss,
2005), Cet.1, hlm 163-164.
[11]
Munrokhim Misanan dkk., Text Book Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII), hlm.
155-156.
[12] Euis
Amalia, Op.cit., hlm. 167
[15]
Umarudin, M, Ibnu Taimiyah: Pemikiran dan Pembaharuan dalam Buku Mihrajan
Ibnu Taimiyah, hlm. 725-726., lihat juga dalam, Nur Chamid, Op.cit.,
hlm. 233
[16] Adiwarman
Azwar Karim, Op.cit., hlm. 356
[22] Euis
Amalia, Ibid., hlm. 175-176
[23] Abdul
Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah, (London: Islamic
Foundation, 1988), hlm. 113
[28] Euis
Amalia, Op.cit., hlm. 179
[30] Al-Qur’an
al-Karim, [QS Āli ‘Imrān 3:110]
[32] Adiwarman
Azwar Karim, Op.cit., hlm. 373
[44] Nur
chamid, Op.cit., hlm. 244-245
[45] Tim Bursa Efek Indonesia. 2010. Mekanisme
Pasar, http://
economy.okezone.com/read/2010/10/11/226/381155/mekanisme-pasar - diakses tgl 1juni 2011
[46] Ar.
2010. Diperlukan intervensi pemerintah untuk atasi tingginya gejolak harga,
http://bataviase.co.id/node, diakses tgl 1 Juni 2011□
Sumber:
http://rangkumanpembelajaran.blogspot.com/2011/05/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah
https://www.youtube.com/embed/eLd2ydEYUrE□