Kata Pengantar
Tulisan
ini saya dapatkan dari laman FB Saafroedin Bahar [December 19, 2016 14
11:23am]. Beliau menyebutkan: “Sebuah pemikiran filsafat tentang bahaya
kebodohan”. Tulisan yang menarik untuk diketahui ini dari status FB Made Supriatna
'Tentang Kebodohan' (On Stupidity)
Dietrich Bonhoeffer.
Mari kita ikuti tulisannya sebagai berikut dibawah ini. □ AFM
'Tentang Kebodohan' (On Stupidity) - Dietrich Bonhoeffer
Oleh: Made Supriatna.
D
|
Dia mati dibunuh oleh rejim Nazi Jerman
pada tanggal 8 April 1945. Hanya beberapa minggu sebelum Hitler jatuh dan
membunuh dirinya sendiri. Seperti yang Saudara tahu, Hitler membantai sekitar
enam juta orang Yahudi hanya dalam waktu yang singkat. Dietrich Bonhoeffer
bukanlah seorang Yahudi. Dia adalah seorang pendeta dari Gereja Lutheran,
seorang pemikir, dan juga teolog.
Dia menentang Hitler dan Naziisme. Namun dia berhasil masuk ke pemerintahan dan dari sana dia berusaha untuk membunuh Hitler. Untuk itulah dia dijatuhi hukuman mati.
Sembari menunggu eksekusi, dia menuliskan pikiran-pikirannya dalam bentuk surat dan catatan-catatan dari penjara. Terbitlah "Letters and Papers from Prison."
Salah satu catatan didalam buku ini berjudul 'On Stupidity' (Tentang Kebodohan). Saya ingin mengutip pikirannya disini. Bukan saja karena dia bisa menjelaskan tentang naiknya Hitler ke kekuasaan lewat jalur elektoral. Namun juga bisa menjelaskan berkuasanya Donald J. Trump di Amerika Serikat. Yang lebih penting lagi, pikiran Bonhoeffer ini bisa menjadi dering peringatan untuk kita di Indonesia.
"Kebodohan jauh lebih berbahaya ketimbang kebencian," demikian tulis Bonhoeffer. Orang bisa melakukan protes terhadap perbuatan jahat. Orang bisa mengenyahkan kejahatan dengan kekuatan fisik dan senjata. Namun, kita sama sekali tidak berdaya berhadapan dengan kebodohan.
Protes atau penggunaan kekerasan tidak ada artinya disini. Akal akan berhadapan dengan telinga-telinga yang tuli. Fakta-fakta yang pertentangan dengan prasangka-prasangka yang sudah terbentuk sebelumnya pada orang-orang bodoh ini hanya cukup dinafikan saja. Bahkan orang bodoh pun kadang bisa sangat kritis. Ketika fakta-fakta itu tidak bisa dibantah, maka ia cukup dibilang ngawur, atau diperlakukan hanya kebetulan belaka.
Kaum bodoh ini sangat berbeda dengan mereka yang membenci. Mereka sangat gampang untuk berpuas diri, sangat gampang tersinggung, dan sangat berbahaya karena selalu dalam posisi menyerang. Karena itulah, tulis Boenhoffer, “kita perlu lebih waspada bila berhadapan dengan orang bodoh daripada dengan orang yang penuh kebencian. Jangan pernah mempengaruhi orang bodoh dengan akal sehat, karena itu tidak masuk akal dan berbahaya.”
Di bagian lain, Dietrich Bonhoeffer menulis bahwa “setiap munculnya gelombang kuat kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun keagamaan, maka ia selalu menulari kemanusiaan dengan kebodohan … Kekuasaan seseorang membutuhkan kebodohan orang lain.” Bonhoeffer mengatakan bahwa kondisi dimana kekuasaan itu tumbuh tidak mematikan daya intelektual mereka yang bodoh ini. Mereka yang dibodohi oleh kekuasaan ini umumnya menyerahkan kemandiriannya dalam berpikir kepada kekuasaan yang menenggelamkannya. Itulah sebabnya orang bodoh selalu keras kepala. Mereka tidak bisa diyakinkan oleh akal sehat apapun. Dia tidak bisa mandiri dalam berpikir.
Bonhoeffer mengingatkan bahwa jika kita berbicara dengan orang-orang bodoh ini maka kita tidak berbicara dengannya sebagai seorang manusia. Kita berbicara dengan slogan, dengan semboyan-semboyan, yang mengambilalih seluruh diri orang bodoh itu. Keberadaan orang-orang ini seakan berada dibawah tenungan. Mereka dibutakan dan disalahgunakan. Namun Karena berhasil dijadikan alat yang tidak memiliki jiwa, orang-orang bodoh ini bisa bertindak sangat jahat dan pada saat yang bersamaan tidak bisa melihat apa yang dilakukannya adalah sebuah tindak kejahatan. Disinilah letak bahayanya. “Kekuatan orang-orang bodoh ini dapat menghancurkan kemanusiaan,” demikian tulis Boenhoffer.
Mudah ditebak bahwa Boenhoffer berbicara tentang munculnya kekuasaan kaum Fasis, baik di Kanan maupun di Kiri. Tidakkah kita lihat bagaimana muncul orang-orang yang mungkin dalam kehidupan sehari - hari berpikir sangat rasional namun menjadi bodoh ketika berpelukan dengan kekuasaan?
Kita tidak terlalu jauh dari kekuasaan Fasisme ini. Jangan-jangan, kita sendirilah pendukungnya.
Demikian
tulisan dari Saudara Made Supriatna, menjadi pelajaran dan renungan kita
bersama demi tegakkan kesatuan dan persatuan kita bersama di bumi nusantara
yang kita cintai ini.
Penutup
Saudaraku
yang dirahmati Allah SWT, jika kita tersesat disebuah jalan maka sudah
seharusnya kita harus bertanya. Karena kalau seandainya kita tidak bertanya,
maka kita akan tetap dalam kesesatan, sebagaimana
firman dari Allah Tuhan Yang Maha Esa: Fas-alū ahladz-dzikri in kuntum lā ta’lamūn - Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunnyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. [QS An-Nahl
16:43]
Dan
begitulah seorang manusia, dia dalam mengarungi kehidupan terutama menjadi
hamba Allah SWT, dia harus bertanya atau bertabayun
(klarifikasi) sebelum merespon (bertindak). □ AFM