Sunday, January 7, 2018

Perjanjian Renville dan Kartosoewirjo



Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Pada hakekatnya Perjanjian Renville ini merugikan Indonesia dimana wilayah kekuasaan Indonesia tidaklah dari Sabang sampai Marouke melainkan hanya sebagian pulau Sumatera dan sepertiga pulau Jawa. Inilah yang ditolak oleh Kartosoewijo di Jawa Barat yang diaku sebagai kepunyaan Belanda, untuk itulah ia dan tentaranya melawan penjajah yang masih menduduki tanah tumpah darah Indonesia. □ AFM


P
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat bernama USS Renville sebagai tempat netral. Kapal tersebut berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.


Latar Belakang Perjanjian Renville

   Diadakannya Perjanjian Renville atau perundingan Renville bertujuan untuk menyelesaikan segala bentuk pertikaian antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda.

   Perundingan ini di latar belakangi adanya peristiwa penyerangan Belanda terhadap Indonesia yang disebut dengan Agresi Militer Belanda Pertama yang jatuh pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 4 Agustus 1947.

   Di luar negeri dengan adanya peristiwa penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaan ketika Belanda telah hengkang dan kembali menjajah, menimbulkan reaksi keras. Pada tanggal 1 Agustus 1947, akhirnya dewan keamanan PBB memerintahkan keduanya untuk menghentikan tembak menembak. Pada tanggal 4 Agustus 1947, Republik Indonesia dan Belanda mengumumkan gencatan dan berakhir pula Agresi Militer Ke-1.

   Agresi Militer Ke-1 disebabkan adanya perselisihan pendapat yang diakibatkan bedanya penafsiran yang ada dalam Persetujuan Linggarjati, [Baca juga --klik---> Sejarah Perjanjian Linggarjati] dimana Belanda tetap mendasarkan tafsirannya pidato Ratu Wilhelmina pada tanggal 7 Desember 1942. Dimana Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth (Negara Persemakmuran dibawah Pemerintahan Kerajaan Belanda) serta akan dibentuk negara federasi, keinginan Belanda tersebut sangat merugikan Indonesia.

   Dengan penolakan yang diberikan pihak Indonesia terhadap keinginan Belanda, sehari sebelum Agresi Militer Ke-1 Belanda tidak terikat lagi pada perjanjian Linggarjati, sehingga tercetuslah pada tanggal 21 Juli 1947 Agresi Militer Belanda yang pertama.

   Perundingan pihak Belanda dan pihak Indonesia dimulai pada tanggal 8 Desember1947 diatas kapal Renville yang tengah berlabuh di teluk Jakarta. Perundingan ini menghasilkan saran-saran KTN dengan pokok-pokoknya yaitu pemberhentian tembak-menembak di sepanjang Garis van Mook serta perjanjian peletakan senjata dan pembentukan daerah kosong militer.
Pada akhirnya perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, dan disusul intruksi untuk menghentikan aksi tembak-menembak di tanggal 19 Januari 1948.

   Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda. Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra, tetapi Indonesia tidak mendapat wilayah utama penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.


Delegasi

   Perjanjian diadakan di wilayah netral yaitu di atas kapal USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta (Belanda menyebutkannya Batavia) milik Amerika Serikat dan dimulai tanggal 8 Desember 1947.

   Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap, dan Johannes Leimena sebagai wakil. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Abdulkadir Widjijoatmodjo. Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.


Gencatan senjata

   Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 - setelah Agresi Militer Belanda Ke-1 semenjak proklamasi kemerdekaan Indonesia, karena ada lagi nantinya Agresi Militer Ke-2 oleh Belanda tahun 1949 - sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tetapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.


Pihak yang hadir pada perundingan Renville

   Delegasi Indonesia di wakili oleh Amir syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr.J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.

Delegasi Belanda di wakili oleh R.Abdul Kadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H.A.L. Van Vredenburg, Dr.P.J. Koets, dan Mr.Dr.Chr.Soumokil.

   PBB sebagai mediator di wakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby.

Belanda berdaulat atas Indonesia sebelum Indonesia mengubah menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat).


Isi perjanjian



   Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogayakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.  TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Berikut adalah pokok-pokok isi perjanjian Renville, yaitu:

  • Belanda akan tetap berdaulat hingga terbentuknya RIS atau Republik Indonesia Serikat.
  • RIS atau Republik Indonesia Serikat memiliki kedudukan sejajar dengan Uni Indonesia Belanda.
  • Belanda dapat menyerahkan kekuasaanya ke pemerintah federal sementara, sebelum RIS terbentuk.
  • Negara Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat.
  • Enam bulan sampai satu tahun, akan diadakan pemilihan umum (pemilu) dalam pembentukan Konstituante RIS.
  • Setiap tentara Indonesia yang berada di daerah pendudukan Belanda harus berpindah ke daerah Republik Indonesia.


Pasca Perjanjian

   Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Divisi ini mendapatkan julukan Pasukan Hijrah oleh masyarakat Kota Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka.

Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo (Yang dikenal juga sebagai DI/TII), Kartsoewiryo tidak tunduk dengan perjanjian Renville ini.

   Kartosuwiryo dengan tentaranya (Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah) terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, Kartosoewiryo menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin. Kartosoewiryo melakukan itu karena Perjanjian Renville menjadikan Negara Indonesia telah kalah dan bubar, kemudian ia mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).

   Dipihak lain, akibat dari Perjanjian Renville itu pula, pasukan dari Resimen 40/Damarwulan, bersama batalyon di jajarannya, Batalyon Gerilya (BG) VIII Batalyon Gerilya (BG) IX, Batalyon Gerilya (BG) X, Depo Batalyon, EX. ALRI Pangkalan X serta Kesatuan Kelaskaran, dengan total pengikut sebanyak tidak kurang dari 5000 orang, juga Hijrah ke daerah Blitar dan sekitarnya. Resimen 40/Damarwulan ini kemudian berubah menjadi Brigade III/Damarwulan, dan batalyonnyapun berubah menjadi Batalyon 25, Batalyon 26, Batalyon 27. Setelah keluarnya Surat Perintah Siasat No I, dari PB Sudirman, yang mengharuskan semua pasukan hijrah pulang dan melanjutkan gerilya di daerah masing-masing, Pasukan Brigade III/Damarwulan, di bawah pimpinan Letkol Moch Sroedji ini, melaksanakan Wingate Action, dengan menempuh jarak kurang lebih 500 kilometer selama 51 hari.


Penutup

   Akibat buruk yang ditimbulkan dari perjanjian Renville bagi pemerintahan Indonesia, yaitu:

(1) Semakin menyempitnya wilayah Republik Indonesia karena sebagian wilayah Republik Indonesia telah dikuasai pihak Belanda.

(2) Dengan timbulnya reaksi kekerasan sehingga mengakibatkan Kabinet Amir Syarifuddin berakhir karena dianggap menjual Negara terhadap Belanda.

(3) Diblokadenya perekonomian Indonesia secara ketata (sungguh-sungguh, sistematik) oleh Belanda.

(4) Republik Indonesia harus memaksa menarik mundur tentara militernya di daerah gerilya untuk untuk ke wilayah Republik Indonesia.

(5) Untuk memecah belah Republik Indonesia, Belanda membuat negara Boneka, antara lain negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timur.

   Perundingan Renville yang berbuah Perjanjian Renville sebuah hasil dari perundingan setelah terjadinya Agresi Militer Belanda Ke-1. Berlangsungnya perundingan ini hampir satu bulan.

   Dalam perundingan ini KTN menjadi penengah, wakil ketiga negara tersebut antara lain Australia diwakili Richard Kirby, Belgia diwakili Paul Van Zeeland, Amerika Serikat diwakili Frank Graham, untuk Indonesia sendiri oleh Amir Syarifuddin dan Belanda oleh Abdulkadir Wijoyoatmojo seorang Indonesia yang memihak Belanda.

Perjanjian ini menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia sehingga timbulnya Agresi Militer Belanda yang Kedua.

   Ketika itu, Kartosoewiryo yang berada di wilayah Jawa Barat - yang dikuasai Belanda - dengan tentaranya (Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah) terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta,  Kartosoewiryo menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin. Kartosoewiryo melakukan itu karena Perjanjian Renville menjadikan Negara Indonesia telah kalah dan bubar, kemudian ia mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada tanggal 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).

   Sementara itu pasukan dari Resimen 40/Damarwulan, bersama batalyon di jajarannya, Batalyon Gerilya (BG) VIII Batalyon Gerilya (BG) IX, Batalyon Gerilya (BG) X, Depo Batalyon, EX. ALRI Pangkalan X serta Kesatuan Kelaskaran, dengan total pengikut sebanyak tidak kurang dari 5000 orang, juga Hijrah (meninggalkan wilayah yang diduduki atau di klaim oleh Belanda sebagai haknya) ke daerah Blitar dan sekitarnya. Tidak halnya pada Kartosoewiryo bersama pasukannya Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah tetap berperang melawan Belanda.

   Demikianlah tajuk diatas penulis uraikan karena teringat ketika masih usia Sekolah Rakyat (1954) - sekarang disebut Sekolah Dasar,  yang berada di daerah Petodjo Melintang Jakarta Pusat, jalan “Kane Kecil” bersebelahan dengan tangsi Militer Angkatan Darat yang dinamakan Kala Hitam luasnya sampai ke jalan Tanah Abang 2 (sekarang tangsi bagi Paswalpres – Pasukan Pengawal Presiden) salah satu “anak kolong” (anak tentara) bersuku Ambon teman sekelas penulis memberitahukan kepada penulis bahwa orang tuanya sedang pergi berperang memberantas pemberontak DI/TII Kartosoewiryo. Ketika itu pikiran penulis yang tidak tahu sejarahnya (tidak diajarkan sejarahnya) menganggap penjahat yang pantas ditumpas habis-habisan. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Referensi
Ide Anak Agung Gde Agung (1973) Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945-1965 Mouton & Co ISBN, ISBN 979-8139-06-2.
Kahin, George McTurnan (1952) Nationalism and Revolution in Indonesia Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8.
Reid, Anthony (1974). The Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman Pty Ltd., ISBN 0-582-71046-4.
Mertowijoyo, G, Indra (2015) Letkol Moch Sroedji, Jember Masa Perang Kemerdekaan, ISBN  978-602-14969-2-3.□□

Sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville 
https://urusandunia.com/perjanjian-renville/
Dan sumber sejarah lainnya □□□