Kata Pengantar
Seorang
Profesor Doktor bernama Saafroedin Bahar dalam akun facebooknya mengatakan:
“Kehidupan politik di Indonesia masa kini selain tidak ada ideologi juga tidak
ada polanya lagi. Semua berdasar kepentingan dan transaksi antar kelompok.
Rasanya ini yang pernah disebut oleh Bung Hatta sebagai "ultra
demokrasi". Demokrasi ngawur.
Ada apa dengan
Demokrasi Kita? Entakkan ingatan soal sosok Bung Hatta kembali mengentak ke
benak publik, ketika Senin malam lalu (24/5/2016), di salah satu talkshow, televisi Guru Besar
Fakultas Hukum UII Yogyakarta Prof. Moh. Mahfud MD kembali menyitir tulisan
Bung Hatta yang berjudul "Demokrasi Kita" yang terbit pada tahun 1960
dan dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat.
Mahfud dalam talkshow yang menyoal
"Kontroversi Pemberian Gelar Pahlawan Kepada Soeharto" itu kembali
menukil tulisan tersebut yang di antaranya menyebut soal istilah "kudeta" dan "diktator"
yang menjadi ancaman demokrasi saat kekuasaan negara berubah menjadi
otoriter.
Mahfud mengingatkan agar sejarah dan politik tidak dilihat dalam kacamata hitam-putih. Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi pelajaran hidup.
Mahfud mengingatkan agar sejarah dan politik tidak dilihat dalam kacamata hitam-putih. Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi pelajaran hidup.
"Mungkin
banyak yang tidak tahu ketika Bung Karno mengeluarkan dekrit membubarkan DPR,
Badan Konstituante, Bung Hatta menulis buku Demokrasi Kita.
Di situ Bung Hatta pun mengatakan Bung Karno itu (melakukan--Red) kudeta. Artinya,
kalau ada yang mengatakan Soeharto melakukan kudeta, maka sebelumnya pun sama, ’’
kata Mahfud yang mencoba menjelaskan asal usul hadirnya rezim otoriter di
Indonesia.
Dan bila
kemudian menukil tulisan Bung Hatta yang saat itu dimuat di Majalah Panji Masyarakat, maka itu
memang merupakan kritikan yang keras atas situasi negara meski dilakukan dengan
pilihan kalimat yang santun. Akibatnya, tak beda dengan era rezim Orde Baru,
pada saat itu rezim Sukarno yang tengah berada di puncak kekuasaan menjadi
gerah, Majalah Panji Masyarakat pun
diberedel.
Berikut ini
cuplikan dari tulisan Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita
yang menyebut soal "kudeta" dan "diktator" seperti yang
disebut Mahfud dan ramai dibincangkan dalam talkshow yang digawangi
wartawan senior Karni Ilyas itu:
........ Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat, sebelum pekerjaanya membuat Undang-undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-undang Dasar tahun 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état (kudeta--Red), ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Tidak lama sesudah itu
Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan
Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan
Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat
baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota anggota partai dan
separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani,
pemuda, wanita, alim-ulama, cendekiawan, tentara dan polisi. Semua anggota
ditunjuk oleh Presiden.
Perkembangan politik yang
berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan
untuk lawannya diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari
pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur
yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu
pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari
Soekarno sendiri.
Umur manusia terbatas.
Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan
sendirinya seperti satu rumah dari kartu.....
Akhirnya
enam tahun kemudian apa yang ditulis Bung Hatta terbukti....!
Bung Hatta
mengatakan itu (Demokrsasi yang Ultra Demokrasi)? Mari ikuti paparan Bung Hatta
tentang Demokrasi yang terakhir dilampiri auto
biografi-nya. □ AFM
“Tetapi Sedjarah memberi peladjaran djuga
pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai,
apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja
dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa murni, demokrasi jang
tertidur sementara akan bangun kembali”
(Demokrasi Kita, Hatta - ditulis dalam ejaan lama].
T
|
ersebutlah
sebuah risalah yang hadir di suatu hari pada tahun 1960. Adapun risalah yang
ditulis di majalah Panji Masyarakat itu adalah karya Mohammad Hatta,
yang mengakibatkan Sukarno berang. Majalah itu dilarang terbit. Tulisan berisi
kritik terhadap Demokrasi Terpimpin itu mungkin menjadi salah satu renungan
terbaik perihal demokrasi yang pernah kita miliki. Agaknya, Hatta kecewa dengan
tabiat dan pembawaan flamboyan Sukarno, yang mempermainkan tata negara. Tetapi
harapannya tidak ciut: “Demokrasi bisa tertindas sementara, karena
kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan
muncul kembali dengan keinsafan,” demikian tutur Hatta.
Penilaian politik yang
dikemukakan oleh Bung Hatta ini mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat
politik, baik didalam dan diluar negeri. Hanya sayang pada waktu itu selain
“Pandji Masyarakat” dilarang terbit dan keluar pula larangan membaca,
menyiarkan bahkan menyimpan buku itu. Satu pikiran yang briliant dari salah seorang Proklamator Kemerdekaan dilarang keras
untuk dibaca dan diancam hukuman barang siapa kedapatan menyimpan buku
tersebut.
Lahir di Bukittinggi, Sumatra
Barat, Hatta mengingatkan kita tentang anomali
demokrasi. Di tangan orang yang
terlalu ultra-demokratis, demokrasi bisa menjadi kuda liar yang kehilangan
kekangnya. Menurut Hatta, Sukarno sosok yang berbanding terbalik dengan
tokoh Mephistopheles, tokoh rekaan Goethe dalam drama Faust. Sementara Mephistopheles
adalah sosok yang berkeinginan jahat yang toh menghasilkan hal-hal yang baik,
Sukarno “tujuannya selalu baik tetapi langkah-langkah yang diambilnya sering
membawanya menjauh dari tujuan-tujuan itu,” demikian Hatta menulis.
Dimana-mana
orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana
mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih
jauh saja. Sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banyak
sekali. keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak dimana-mana.
Seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya irosi dan lain-lain.
Pembangunan
demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Indonesia yang
adil yang ditunggu-tunggu masih jauh saja. Pelaksanaan outonomi daerah dengan
urusan keuangan sendiri yang lama sekali menunggu menajadi sebab timbulnya pergolakan
daerah. (Demokrasi Kita, Hatta)
Di setiap zaman, anomali
demokrasi memiliki variannya sendiri. Tak hanya di era Sukarno,
Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati tapi juga SBY. Tapi dalam risalah Demokrasi
Kita yang masyhur itu, Hatta sudah memberikan pegangan bahwa kapan pun,
metabolisme demokrasi bisa berlangsung secara alamiah bila dijaga oleh
rasionalitas (yang integritas) dan konstitusi.
Hatta dikenal sebagai seorang penganut sosialis. Saat
menjadi mahasiswa di Belanda, dasar-dasar pemikirannya dibentuk di kalangan
sosialis. Ia banyak menulis di buletin kalangan sosialis macam De Vlam, De
Socialist, Recht in Vrijheid. Tapi, yang mencolok dari sikap politiknya
itu, ia tumbuh menjadi seorang sosialis yang rasional. Artinya, Hatta tak
terseret pada suatu pemelukan paham yang membabi-buta atau penganut sosialisme
yang romantik dan melankolis terhadap gelora perjuangan. Para pengamat politik
bahkan menganggap bawa sesungguhnya sikap rasional Hatta “secara tak sadar”
memberikan sumbangan pada pembentukan awal republik ini.
Sejarah mencatat bahwa
“singa” Pujangga Baru, Sutan Takdir Alihsjahbana, adalah tokoh paling populer
yang menekankan pentingnya aufklarung (pencerahan) akal budi dalam
strategi kebudayaan. Itu terpancar dari polemik kebudayaan melawan pemikiran
Sanusi Pane. “Tapi sesungguhnya Hatta adalah sosok pemimpin pertama yang
membawa Indonesia ke arah kebudayaan yang lebih rasional,” tutur pakar ekonomi
Sarbini Sumawinata kepada TEMPO.
Argumentasi Sarbini bisa
dijadikan rujukan karena memang, sebelum keberangkatan Hatta ke Belanda, ia tak
pernah menunjukkan tanda-tanda atau minat pada sesuatu yang berbau intuitif
ketimuran. Padahal, seperti yang dicatat ahli sejarah Akira Nagazumi, hampir
semua tokoh nasionalis radikal seperti Radjiman Widjodiningrat, Cipto
Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker, Armijn Pane, Sanusi Pane,
dan Mohammad Yamin adalah anggota Theosophy.
Di masa itu, Theosophy
dikenal sebagai sebuah organisasi kebatinan yang didirikan seorang ningrat
berdarah Rusia bernama Helena Petrovna Blavatsky. Inilah sebuah zaman ketika
pelbagai pergerakan berhasil memukau banyak pemuda Hindia Belanda. Namun,
pemuda Hatta menolak tawaran menjadi anggota Theosophy di Batavia. Sampai akhir
hayatnya, hampir tak ada artikel Hatta yang basis argumentasinya bertolak dari
hal yang berbau mistisisme ketimuran.
Sebaliknya, masa kecil
Sukarno di Surabaya diwarnai dengan gemblengan dalam perpustakaan teosofi
lantaran ayahnya, Sukemi, adalah anggota aktif Theosophy. “Bapakku seorang
teosof. Karena itu, aku boleh memasuki peti harta ini (maksudnya perpustakaan).
Aku menyelam lama sekali ke dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan
orang-orang besar. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku…,” demikian
ditulis Sukarno suatu ketika. Akibatnya, kecenderungan pemikiran Sukarno yang
sinkretis-mencampur-adukkan berbagai isme seperti Nasakom-adalah pancaran dari
pendidikan teosofinya itu.
SIKAP yang paling khas dari
Hatta adalah, ia bisa menjadi seorang rasional tanpa harus kebarat-baratan.
Begitu banyak orang yang mengenalnya berkali-kali berkisah betapa tokoh yang
taat beragama ini menjauhi dansa dan pelbagai “warna-warna” pergaulan Barat. Yang diambil (oleh Hatta) dari visi Barat adalah sikap disiplin dan keterampilan
berorganisasi. Sementara itu, pemikiran Hatta sangat berorientasi pada
kerakyatan dan pemberdayaan hal-hal lokal melalui pergumulan yang panjang.
Hatta datang ke Belanda untuk menjadi seorang komunis. Saat itu, pemikiran leftist
(kiri) adalah sesuatu yang melahirkan pesona, merangsang pemikiran.
Komunisme adalah zeitgeist,
suatu panggilan rohani bagi pemuda dunia ketiga. Ia seolah menjadi satu-satunya
alat untuk mendongkel imperialisme. Tapi pemuda Hatta lalu cepat berjarak. Ia
tampaknya lekas mengerti bahwa ada semacam tahayul ilmiah di dalam pesona
komunisme. Apalagi ada karakter komunisme yang memang tak cocok dengan watak
Hatta, yang sejak kecil tahan menyendiri ini: komunisme cenderung merayakan
pengerahan fisik orang ramai. Ia keluar dari Liga Anti-Imperialis karena liga
ini dikuasai oleh eksponen komunis.
Semenjak di Belanda,
seperti pernah ditulis John Ingleson, Hatta berseteru dengan Semaun, seorang
aktivis Partai Komunis Indonesia di Amsterdam pada tahun 1924. Sejak itu pula,
Hatta membawa serangkaian kritiknya terhadap komunis pulang ke Indonesia,
sembari dengan gigih menangkis serangan Tan Malaka terhadap Dwitunggal.
“Meskipun sama-sama lahir di Minangkabau, mereka bermusuhan,” kata Harry A.
Poeze, penulis biografi Tan Malaka dari KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal,
Land en Volkenkunde), Belanda, kepada TEMPO.
Konflik antara Tan Malaka
dan Hatta terutama meningkat saat saat pendudukan Jepang. Ia menuduh
Sukarno-Hatta berkolaborasi dengan Jepang. Banyak artikel yang memperdebatkan
strategi Sukarno-Hatta terhadap Jepang: apakah yang dilakukan Sukarno-Hatta itu
sebuah kolaborator atau semacam strategi? Mengapa Hatta diam saja terhadap
kebijakan romusha? Adakah fasisme, yang berasal dari kata fasces
(Yunani)-yang berarti onggokan anak panah orang Romawi yang diikat erat
itu-telah mengikat Hatta dengan erat kepada kemauan para samurai? Tentu saja
tidak. Mereka yang percaya bahwa kerja sama Sukarno-Hatta dengan Jepang adalah
sebuah strategi akan selalu merujuk kesuksesan proklamasi. Proklamasi, boleh
dibilang, adalah hasil puncak dari strategi itu. Sedangkan mereka yang
menganggap dwitunggal itu sebagai kolaborator pasti akan mempertanyakan
kebijakan romusha.
Tonggak politik Hatta
setelah proklamasi adalah perannya dalam mengubah Demokrasi Presidensial ke
Demokrasi Parlementer. Melalui Maklumat X Tanggal 16 Oktober 1945, Hatta
meneken pergantian itu. Pakar politik Lambert Giebels, yang baru saja
meluncurkan buku Biografi Sukarno, menilai tindakan tersebut sebagai
sebuah kudeta diam-diam (quiet coup). “Bayangkan, hanya dengan secarik
kertas dan goresan pena, sistem presidensial yang tercantum dalam UUD 1945
diubah. Setelah peristiwa memalukan itu, Sukarno sampai menenangkan diri ke
Pelabuhanratu,” kata Giebels kepada TEMPO.
Di dalam buku Indonesia
Free: a Political Biography of Mohammad Hatta, peneliti dari Universitas
Cornell, Mavis Rose, menyatakan bahwa memang dalam pemikiran Hatta yang ideal,
kekuasaan yang dibagi (secara) luas adalah yang paling mendekati cita-citanya
tentang demokrasi. Pakar hukum Daniel Lev menganggap bahwa kabinet parlementer
di masa lalu memang jauh lebih bermutu dibandingkan dengan sistem presidensial
dalam era kepemimpinan presiden mana pun di Indonesia. “Pada periode
parlementer Hatta, elite yang ada bermutu bagus. Sedangkan di masa Orde Baru,
sistem parlementer memiliki citra buruk,” tutur Lev kepada TEMPO.
Mimpi Hatta yang lain
adalah bentuk negara federalisme. Tapi agaknya Hatta sadar bahwa sistem federal
belum populer di Jawa. Seperti yang dicatat Deliar Noer, Hatta tidak ngotot
menjalankan konsep federalismenya, meski-seperti yang diakui Harry
Poeze-gagasan federalisme bergelora secara diam-diam di dalam diri Hatta. Poeze
mencatat bahwa Hatta melepaskan jabatan wakil presiden pada tahun 1957 karena merasa
bahwa-dalam UUDS 50-tugas wakil presiden hanyalah seremonial, dan mengakibatkan
awal pemusatan orang Jawa di lingkaran kekuasaan. “Semua kudeta lokal Sulawesi
dan Sumatra melawan pemerintah pusat itu terinspirasi oleh mundurnya Hatta,”
kata Poeze. Tapi banyak pakar sejarah dan politik yang menyayangkan mundurnya
Hatta dari jabatan itu. Sebab, justru hilangnya Hatta dalam jabatan strategis
itu semakin membuka jalan yang lebar bagi lahirnya Demokrasi Terpimpin.
SETELAH mundur dari
pemerintah, Hatta semakin mengembangkan gagasan-gagasan ekonomi-politiknya. Dia
berkembang menjadi seorang pemikir Indonesia yang berusaha bergulat menemukan
visi ekonomi yang kontekstual. Ekonom
Anne Both pernah mengatakan bahwa sejarah perekonomian Hindia Belanda belum
pernah dikaji secara serius oleh para pemikir kita. Akibatnya, hingga kini para
pemikir ekonomi Indonesia tidak melahirkan sebuah paradigma ekonomi yang
mengakar.
Ini
berbeda sekali dengan keadaan di Asia Selatan. Banyak pakar sejarah dan ekonom
India dan Pakistan yang telah melakukan penelitian sejarah ekonomi kolonial
anak benua Asia Selatan hingga berhasil melahirkan sebuah kanon pemikiran
ekonomi yang ingin membebaskan diri dari permainan kekuatan pasar bebas.
Tradisi ini kemudian sangat mempengaruhi pemikiran para nasionalis India. Corak
pemikiran demikian, misalnya, bergaung pada ekonom seperti Amartya Sen,
pemenang hadiah Nobel Ekonomi 1988. “Sama seperti Sen, komitmen Hatta terhadap
hak asasi ekonomi kuat sekali,” kata Chatib Basri. □
Bersambung
ke: Hatta dan Demokrasi Kita 2