Di
era gamang itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang jujur, kuat, konsisten, yang
memiliki perencanaan yang jelas, menempatkan rasionalitas dan moralitas di atas
segalanya.
“Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia
menemukan generasi kerdil.” [Demokrasi
Kita, Hatta]
H
|
atta
mungkin belum menghasilkan “kanon pemikiran” semacam itu. Tapi obsesinya adalah
ingin melumerkan struktur ekonomi yang dipatrikan para administratur Belanda.
“Ide koperasi Hatta itu sesungguhnya untuk melemahkan konsep pamong praja,
karena pamong praja adalah warisan kolonial,” kata Daniel Lev. Banyak pendapat
bahwa gagasan koperasi Hatta masih relevan sampai kini, meski harus
diinterpretasikan ulang menurut perubahan-perubahan yang ada (baca: Hattanomics,
Setelah Setengah Abad).
Menurut Dawam Rahardjo,
misalnya, pada masa Hatta ada dua proyek ekonomi kecil yang berhasil, yaitu
koperasi batik dan Semen Gresik. Saat itu koperasi-koperasi batik diberi hak
impor mori (bahan tekstil). Mereka kemudian bersatu menjadi Gabungan Koperasi
Batik Indonesia (GKBI). GKBI-yang langsung dibina Hatta-akhirnya tumbuh menjadi
“konglomerasi” yang memiliki pabrik-pabrik sendiri. “Sampai sekarang GKBI
bertahan. Kita bisa mandiri di bidang pertekstilan. Industri tekstil praktis
bisa kita kuasai,” kata Dawam.
Jadi, seandainya Hatta
masih hidup dan ia sukses mewujudkan Indonesia ini menurut impiannya,
bagaimanakah kira-kira wajah Indonesia tercinta ini? Marilah kita bermain
imajinasi. Indonesia, di tangan Hatta, tentunya akan menjadi pemerintahan sipil
berkabinet ramping, berisi menteri yang profesional sebagaimana kabinet Hatta
dahulu. Kekuasaan tak akan memusat di Jakarta karena setiap daerah memiliki
otonomi yang kuat dan mampu berdikari secara ekonomi sesuai dengan cita-cita
federalisme Hatta. Di mana-mana tumbuh koperasi-koperasi industri rakyat yang
kuat. Seperti petani di Kanada, koperasi petani kita akan memiliki pabrik pupuk
sendiri. Seperti di AS, koperasi petani kita akan memiliki industri minyak.
Seperti di pedesaan-pedesaan Jepang, koperasi petani akan memiliki supermarket
kecil. Singkatnya, namanya juga mimpi, akan terjadi jalan tengah antara
kapitalisme dan sosialisme. Koperasi menjadi semacam alat untuk mengendalikan
pasar secara bersama.
TENTU SAJA itu semua adalah
fantasi yang termuluk. Kenyataannya, di samping industri rakyat yang dinyatakan
berhasil oleh Dawam Rahardjo tersebut, toh banyak juga yang rontok. “Sosialisme
Hatta belum teruji benar,” kata pakar sejarah Taufik Abdullah. Koperasi, dalam
pelaksanaannya, banyak mengalami penyimpangan. Kita ingat kasus bagi-bagi uang
pada Pemilu 1999 yang menyebabkan lahirnya koperasi karbitan. “Koperasi hanya
bagus dijalankan di dalam skala yang kecil. Untuk skala nasional, apalagi
global, tidak (akan berhasil),” kata Sarbini Sumawinata.
DI USIANYA yang senja, di
tahun 1976, Hatta mengejutkan masyarakat Indonesia. Namanya disebut-sebut dalam
sebuah kasus makar yang rada-rada berbau kebatinan yang belakangan dikenal
sebagai Kasus Sawito. Sawito Kartowibowo, menantu R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo -
Kapolri pertama -dituduh telah melakukan upaya subversi karena merencanakan
menurunkan Presiden Soeharto. Sawito mengaku memperoleh wangsit setelah bertapa
di Gunung Muria. Wahyu itu berisi agar Soeharto ditekan supaya menyerahkan
jabatannya secara damai kepada Hatta. Ia mengumpulkan tanda tangan pendukung para
“tokoh sepuh” selain Hatta, yaitu mertuanya sendiri R.S. Soekanto
Tjokrodiatmojo, kemudian Kardinal Justinus Darmojuwono (Ketua Majelis Wali
Gereja Indonesia), Buya Hamka (Ketua Majelis Ulama Indonesia), dan T.B.
Simatupang (Ketua Dewan-Dewan Gereja Indonesia). Dalam “melaksanakan” wangsit
itu, Sawito menyiapkan lima naskah pernyataan. Sementara tokoh-tokoh lain cuma
meneken satu naskah, Bung Hatta menandatangani tiga naskah. Tentu saja
masyarakat tak mudah percaya, tapi toh bertanya-tanya, betulkah Bung Hatta,
yang tak suka petualangan politik ini, sudah berkomplot. Atau, ini hanya
akal-akalan Sawito? Siapakah Sawito sebenarnya? Tak syak, pengadilan terhadap
Sawito menyedot banyak pengunjung. “Saya sendiri kaget, Hatta kok ikut-ikutan,”
tutur Sarbini, mengenang. Kejaksaan Agung memerlukan diri mengajukan pertanyaan
tertulis untuk Bung Hatta. Sawito bersiteguh bahwa dia hanyalah seorang liaison.
Sawito menguraikan pertemuan-pertemuan di rumah Hatta di Megamendung (Puncak).
Para penanda tangan mengaku
khilaf dan merasa terbujuk Sawito. Mereka meminta maaf kepada Soeharto. “Bung
Hatta tertipu,” kata Taufik Abdullah. Itu dibenarkan putri Bung Hatta, Meuthia
Hatta. “Bung Hatta sangat sakit hati kepada Sawito karena merasa dipermainkan,”
kata Meuthia kepada TEMPO. Meuthia yakin bahwa tak mungkin ayahnya, yang sangat
rasional, bisa percaya pada Sawito. Dua puluh empat tahun kemudian, apakah
masih ada yang disembunyikan Sawito? Sore itu, TEMPO menemui Sawito di rumahnya
yang sederhana di bilangan Cimanggis, Bogor. Di usianya yang ke-69 tahun,
Sawito berbincang dari soal perkenalannya dengan Hatta pada tahun 1954 hingga
pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Hatta. “Saya bertemu dengan Bung Hatta
minimum seminggu tiga kali, atau bahkan tiap hari, sampai saya ditangkap.
Pertemuannya itu pindah-pindah. Kadang di rumah Bung Hatta, kadang di rumah
saya, atau di rumah tokoh Angkatan 45 lainnya, tutur Sawito. Sawito mengaku
bahwa selama Sawito di penjara, Hatta tetap menulis surat kepada Sawito melalui
seorang perantara. Hingga sekarang, seluruh kasus Sawito dan keterlibatan Hatta
memang masih menjadi tanda tanya. Yang jelas, kasus itu tak mengurangi rasa
hormat masyarakat terhadap Hatta. Ia memang bukan seorang yang pandai berdalih
dalam arena politik, tetapi kemampuan Hatta mengekang diri adalah sebuah aset,
karena dengan sendirinya ia akan selalu berpegang teguh pada konstitusi. Sebuah
negeri di masa transisi, seperti pernah ditulis Vaclav Havel, selalu mengalami
kesukaran dalam menentukan urutan terbaik yang harus dijalani.
Kelambanan penanganan akan
menyebabkan negeri itu bagai rumah kartu yang mudah roboh. Di era gamang itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang jujur,
kuat, konsisten, yang memiliki perencanaan yang jelas, menempatkan rasionalitas
dan moralitas di atas segalanya. Hatta, yang di makamkan di Tanah
kusir-sesuai dengan permintaannya-bisa menjadi cermin.
Dalam akhir risalah Demokrasi
Kita, Hatta mengutip kalimat penyair Jerman, Schiller: “Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia
menemukan generasi kerdil.” Itu adalah kalimat kritik Hatta terhadap para
pemimpin partai politik di masa itu, yang dianggap gagal melaksanakan tugasnya
sebagai pemimpin bangsa. Itu adalah kritik terbesar Hatta kepada pasangan
dwitunggalnya, Sukarno. Dan, agaknya, kritik Hatta ini masih berlaku untuk
Indonesia masa kini, yang tengah mengalami krisis kepemimpinan.
“Tetapi Sedjarah memberi peladjaran djuga
pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai,
apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja
dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa murni, demokrai jang
tertidur sementara akan bangun kembali” (Demokrasi Kita, Hatta)
Pemikiran
Hatta sebagai pejuang kemerdekaan dan pengisi kemerdekaan serta proklamator kemerdekaan
Indonesia seperti paparan diatas “jiwa pemikirannya” masih up to date sampai hari ini. Tentu dan sebaiknya para politisi;
pejabat negara baik tingkat pelaksana (eksekutif) dan jajaran kebawahnya sebagai
pelaksana administrative; pelaksana penegakkan hukum seperti hakim, jaksa dan
polisi dan jajaran kebawahnya sebagai pelaksana administrative; dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya patut
menghargai dan menjalankan pesannya itu. Yang sudah, sudahlah. Mari buat
Indonesia maju dan berkembang dalam menyongsong cita-cita kemerdekaan kita, begitu
pula genereasi muda, sebagai pelanjut cita-cita bangsa. Billahit Taufiq
wal-Hidayah. □
AFM
Kembali ke: Hatta dan Demokrasi Kita 1
Auto Biography Hatta
Dr. H. Mohammad Hatta atau sering disebut
Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Pria yang akrab disapa
dengan sebutan Bung Hatta ini merupakan pejuang kemerdekaan RI yang kerap
disandingkan dengan Soekarno. Tak hanya sebagai pejuang kemerdekaan, Bung Hatta
juga dikenal sebagai seorang organisatoris, aktivis partai politik, negarawan,
proklamator, pelopor koperasi, dan seorang wakil presiden pertama di Indonesia.
Kiprahnya di bidang politik dimulai saat ia
terpilih menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond wilayah Padang pada tahun 1916.
Pengetahuan politiknya berkembang dengan cepat saat Hatta sering menghadiri
berbagai ceramah dan pertemuan-pertemuan politik. Secara berkelanjutan, Hatta
melanjutkan kiprahnya terjun di dunia politik.
Sampai pada tahun 1921 Hatta menetap di
Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan sebuah perkumpulan pelajar tanah air
yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya, organisasi tersebut
hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah
menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij
(Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan
Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia
(PI).
Di Perhimpunan Indonesia, Hatta mulai meniti
karir di jenjang politiknya sebagai bendahara pada tahun 1922 dan menjadi ketua
pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta mengumandangkan pidato
inagurasi yang berjudul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan
Kekuasaan".
Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa
struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu berdasarkan landasan kebijakan
non-kooperatif. Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI sampai tahun
1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan berkembangnya
jalan pikiran politik rakyat Indonesia.
Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin
delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian di Berville,
Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama Indonesia dan sejak
saat itu nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi
internasional. Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang
Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda dan berkenalan dengan aktivis
nasionalis India, Jawaharhal Nehru.
Aktivitas politik Hatta pada organisasi ini
menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda bersama dengan Nazir St.
Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat sebelum akhirnya
dibebaskan setelah ia berpidato dengan pidato pembelaan berjudul: Indonesia
Free.
Selanjutnya pada tahun 1932, Hatta kembali ke
Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia dengan
adanya pelatihan-pelatihan.
Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke Ende,
Flores. Aksi ini menuai reaksi keras oleh Hatta. Ia mulai menulis mengenai
pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah pemerintah
kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional
Indonesia dan menangkap pimpinan para pimpinan partai yang selanjutnya
diasingkan ke Digul, Papua.
Pada masa pengasingan di Digul, Hatta aktif
menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku yang ia bawa dari
Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya. Selanjutnya, pada tahun
1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir
dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi
pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.
Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan
Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun 1942. Selang satu bulan,
pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah Hatta dan
Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan berganti nama menjadi Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai
Wakil Ketua.
Sehari sebelum hari kemerdekaan
dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat di
rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta,
Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan
dibacakan keesokan harinya dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul
Soekarni.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan
Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan harinya, pada
tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia
dan Hatta sebagai Wakil Presiden.
Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah
tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda berkeinginan kembali untuk menjajah
Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pemerintahan
Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan dengan
Belanda yang menghasilkan perjanjian linggarjati dan perjanjian Reville. Namun,
kedua perjanjian tersebut berakhir kegagalan karena kecurangan Belanda.
Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke
India dengan menemui Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi. Nehru berjanji, India
dapat membantu Indonesia dengan melakukan protes terhadap tindakan Belanda dan
agar dihukum pada PBB. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh rakkyat Indonesia
memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI sedangkan Soekarno dan Hatta ditawan ke
Bangka. Selanjutnya kepemimpinan perjuangan dipimpin oleh Jenderal Soedirman.
Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia.
Pada tanggal 27 desembar 1949, Ratu Juliana memberikan pengakuan atas
kedaulatan Indonesia kepada Hatta.
Setelah kemerdekaan mutlak Republik
Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga
pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam karangan dan membimbing
gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli 1951, Hatta
mengucapkan pidato di radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima
hari kemudian dia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.
Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada
tanggal 18 November 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Pasangan
tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan Halida.
Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di
RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi Republik Indonesia
sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi
"Bintang Republik Indonesia Kelas I" yang diberikan oleh Presiden
Soeharto. [Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan].
Pendidikan
●Nederland
Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
●Sekolah
Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1921)
●Meer
Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1919)
●Europeesche
Lagere School (ELS), Padang, 1916
●Sekolah
Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
Karir
●Ketua
Panitia Lima (1975)
●Penasihat
Presiden dan Penasehat Komisi IV (1969)
●Dosen
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959)
●Dosen Sesko
Angkatan darat, Bandung (1951-1961)
●Wakil
Presiden, Perdana menteri, dan Menteri Luar Negeri NKRIS (1949-1950)
●Ketua
delegasi Indonesia Konferensi Meja Bundar, Den Haag (1949)
●Wakil
Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan (1948-1949)
●Wakil
Presiden RI pertama (1945)
●Proklamator
Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
●Wakil Ketua
Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (1945)
●Anggota
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (1945)
●Kepala
Kantor Penasehat Bala Tentara Jepang (1942)
●Ketua
Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
●Wakil
Delegasi Indonesia Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
●Ketua
Perhimpunan Indonesia, Belanda (1925-1930)
●Bendahara
Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
●Bendahara
Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
●Partai
Nasional Indonesia
Organisasi:
●Club
pendidikan Nasional Indonesia ●Liga
menentang Imperialisme ●Perhimpunan Hindia
●Jong
Sumatranen Bond
Penghargaan
●Pahlawan
Nasional ●Bapak Koperasi Indonesia ●Doctor
Honoris Causa, Universitas Gadjah Mada, 1965 ●Proklamator
Indonesia ●The Founding Father's of
Indonesia
Referensi:
1.
Demokrasi Kita, Dr. Mohammad Hatta, Pustaka Antara
Djakarta, 1966.
2.
Hatta,
Suara Yang Tak Pernah Hilang, Tempo Edisi 13 Agustus 2001
3.
Bunh
Hatta dan Demokrasi, Franz Magnis-Suseno, S.J. Rohaniwan, guru besar filsafat
sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Sumber:
●http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/05/26/o7qkrs385-tanah-kusir-demokrasi-kita-dan-hajinya-bung-hatta-part1
●https://serbasejarah.wordpress.com/2010/07/28/hatta-dan-demokrasi-kita/
●http://profil.merdeka.com/indonesia/m/mohammad-hatta/
●Wikipedia, facebook Faisal Marzuki. □□□