Wednesday, September 28, 2016

Dicari Pemimpin Sejati Bukan Penguasa






Di era gamang itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang jujur, kuat, konsisten, yang memiliki perencanaan yang jelas, menempatkan rasionalitas dan moralitas di atas segalanya.

“Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil.” [Demokrasi Kita, Hatta]



P


ada tahun 1953, tujuh tahun setelah Indonesia merdeka, George Mc Turnan Kahin menulis dalam buku ‘Indonesia & Revolusi Nasional’ bahwa tantangan terbesar bagi Republik yang saat itu masih belia adalah masalah kepemimpinan. Terbukti, setelah lebih dari setengah abad atau hampir tiga perempat abad, prediksi Kahin tetap  menemukan kebenarannya.

Padahal salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan demokratisasi adalah adanya peningkatan kualitas kepemimpinan politik yang berkolerasi dengan sirkulasi kepemimpinan politik yang lancar dengan sokongan kaderisasi kepemimpinan yang melembaga.


Pemimpin transaksional vs transformasional

Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 ternyata, di satu sisi, seperti membuka kotak pandora yang dikisahkan dalam mitologi Yunani kuno. Yang saat dibuka akan memunculkan beragam masalah. Ledakan kebebasan di mana-mana malah melahirkan ketidakpastian ekonomi dan politik serta terjadi ketidaktertataan pemerintahan (ungovernability).

Akhirnya, demokrasi hanya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat prosedural. Ada indikasi yang sangat kuat bahwa reformasi di tingkat kelembagaan dan birokrasi yang telah digulirkan selama lebih dari satu dasawarsa di negeri ini, nyaris tidak disertai dengan perbaikan yang signifikan pada jalur kepemimpinan politik, baik di segi regenerasi maupun kualitas kepemimpinan. Publik seolah masih dipaksa untuk memberi ruang di panggung politik bagi aktor-aktor lama yang mendadak berubah wajah menjadi tokoh baru. Atau kepada pemimpin dengan wajah baru tetapi bermental usang.


Gambar: Perbedaan Pemimpin Transaksional dan Tranformasional


Dalam khasanah studi kepemimpinan, gaya kepemimpinan yang muncul belakangan ini di Indonesia bisa dikategorikan sebagai kepemimpinan transaksional (transactional leadership). Menurut Burn, model kepemimpinan ini terjadi ketika pola relasi antara pemimpin dengan konstituen, maupun antara pemimpin dengan elit politik lainnya dilandasi oleh semangat pertukaran kepentingan ekonomi atau politik. Transaksi suara, janji-janji material bagi pemilih dan penghargaan atas loyalitas personal merupakan praktik-praktik yang lazim dilakukan dalam kultur kepemimpinan transaksional.

Selain itu, dalam model kepemimpinan ini, muncul kepemahaman yang menyatakan bahwa pemimpin itu adalah penguasa yang memiliki hak istimewa, privilise. Sudah semestinya, jika yang berkuasa memperoleh hak-hak istimewa. Hak yang sangat rawan dimanfaatkan serta disalahgunakan.

Akhirnya, para tokoh politik disini -baik yang merupakan produk Pemilukada, maupun hasil Pemilu- bukanlah pemimpin sejati bagi rakyatnya, yang senantiasa memikirkan dan melakukan sesuatu untuk kebajikan bangsanya. Yang mampu menjadi mercusuar bagi rakyat ini untuk keluar dari berbagai permasalahannya.

Penguasa sama dengan Perikekuasaan, lihat perilakunya.

Para tokoh politik sekarang malah menjelma menjadi penguasa layaknya zaman feodal. Mereka disibukkan dengan upaya-upaya meningkatkan kekayaan pribadi sembari mempertahankan kekuasaannya. Mereka melupakan rakyat yang memilihnya, bahkan sengaja membiarkan rakyat tetap berada dalam kebodohan dan kemiskinannya. Rakyat diajari pragmatis, hanya menilai keberhasilan dari segi materi alias uang. Yang  merangsang menjamurnya mental koruptif dan praktik money politic.

Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan pemimpin sejati. Bukan yang berkarakter pemimpin yang demokratis saja. Dibutuhkan pemimpin demokratis yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat untuk secara efektif menetapkan  prioritas agenda penyelesaian masalah bangsa. Namun tentu sudah lewat masanya, ketika kita dipimpin oleh figur kuat yang memusatkan seluruh proses dan dinamika politik pada genggaman kekuasaannya.

Karena itu, bangsa ini membutuhkan suatu perpaduan antara gaya kepemimpinan yang kuat serta kapasitas visioner dan kemampuan untuk membangun kultur dan cara pandang baru.

Ketegasan tanpa dipandu oleh visi dan dikawal nurani, hanya akan melahirkan diktator baru. Kapasitas visioner minus ketegasan dan logika hanya akan menciptakan negeri yang penuh wacana dan miskin karya.

Plus, diperlukan juga keteladanan pemimpin yang dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya. Berupa adanya sikap asketis terhadap kesempatan dan kekuasaan. Yang tidak tergoda, apalagi terbawa dalam rayuan kemewahan yang identik dengan sebuah kekuasaan.

Model kepemimpinan inilah yang dikenalkan oleh Bernard Bass dan Keller sebagai gaya kepemimpinan transformasional (transformational leadership).


Teladan dari Founding Father

Sebenarnya dalam lintasan sejarah bangsa ini, kita pernah memiliki para pemimpin bergaya transformasional ini. Itulah para Bapak Bangsa kita. Bung Hatta salah satu contohnya.

Sosok yang dikenal sederhana namun tegas dan pendiam tapi visioner ini, berjasa menyumbang beberapa pasal penting dalam penyusunan konstitusi yang menegaskan pentingnya negara melindungi kedaulatan rakyat serta kehidupan ekonomi mereka, yaitu hak berkumpul dan berserikat dan penguasaan negara atas sumber daya alam.

Hatta jugalah yang menyodorkan konsep politik luar negeri yang bebas aktif, yang diadopsi pemerintah Indonesia hingga kini.

Tidak berhenti disitu, Hatta berhasil membuktikan teori-teorinya tersebut ke alam nyata. Jurus ekonominya, yang dikenal dengan Hattanomics, berhasil membuat kemandirian dan ketahanan ekonomi nasional berbasis ekonomi kerakyatan selama satu dasawarsa pertama pemerintahan Presiden Soekarno. Pembangunan pabrik Semen Gresik dan pendirian Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang tumbuh menjadi konglomerasi dengan memiliki pabrik-pabrik tekstil sendiri, merupakan dua proyek percontohannya.

Sayangnya, pelaksanaan politik perekonomian prorakyat ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sehingga tidak mampu mengimbangi ledakan uang gara-gara politik budget yang over ekspansif di era Demokrasi Terpimpin. Akibatnya sampai sekarang, cita-cita hidup bersama yang adil dan makmur serta ‘memurahkan ongkos hidup’ kehilangan daya ikhtiarnya. 

Uniknya, dengan jabatannya sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri saat itu serta kebesaran gagasan-gagasannya bagi bangsa, Hatta tetap setia hidup sederhana. Hatta masih sering berjalan kaki dari rumah ke kantornya sambil menegur warga yang tidak menjaga kebersihan lingkungan rumahnya.

Pada medio 1950-an, gajinya dinaikan 200% menjadi Rp 5 ribu. Awalnya kenaikan ini ditolaknya dengan keras walau akhirnya ia menerimanya juga. Sebab, jika ia tetap menolak, bisa mengakibatkan gaji pegawai negeri lainnya akan ikut mandek.

Di ujung jabatannya sebagai wakil presiden pada Desember 1956, Hatta memerintahkan I Wangsawijaya, Sekretaris Pribadinya, untuk mengembalikan dana taktis wakil presiden sebesar Rp 25 ribu. Padahal dana taktis tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan.

Sikap asketis ini tetap dibawanya hingga pensiun. Pasca pensiun, Hatta menolak semua tawaran menjadi komisaris perusahaan dari beberapa perusahaan, termasuk perusahaan asing. Kenapa?

“Apa kata rakyat nanti?” alasannya. Ia khawatir nanti dituduh, perjuangannya tidak murni lagi untuk rakyat.


Pemimpin, Rakyat dan Partai Politik

Yang perlu disadari, pelajaran dari para pendahulu kita tadi bukanlah sebuah glorifikasi, seolah-olah masa lalu lebih baik dari sekarang dan masa sekarang tidak ada kebaikan sedikit pun. Tetapi keteladanan kepemimpinan para Bapak Bangsa kita itu masih sangat aktual dan relevan untuk diwujudkan oleh para tokoh politik sekarang yang punya ambisi memimpin suatu daerah, bahkan negara ini.

Dan yang penting disadari pula, bahwa tampilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu ke panggung utama bukanlah melalui proses yang instan namun melalui penitian karier secara berjenjang dan melalui proses yang berliku.

Disinilah dibutuhkan modernisasi partai politik sebagai institusi utama dalam proses demokratisasi. Jangan sampai, partai politik terlalu disibukkan dengan terjadinya faksi-faksi di internalnya lalu bercorak pragmatis.

Partai politik harus mengambil peran sebagai guru bagi rakyat dengan mengoptimalkan pendidikan politik kepada konstituennya.

Para elit politik jangan hanya menjadikan para konstituennya itu sebagai sapi perahan menjelang Pemilukada atau Pemilu saja, sembari menawarkan janji-janji muluk yang tidak akan diwujudkan.

Rakyat harus dicerdaskan agar tidak terasing dari politik. Maka kaidah tentang ‘warga negara yang baik adalah yang membiarkan negara berpikir sendiri’ harus bergeser menjadi pemikiran Aristoteles berabad-abad yang lalu: ‘warga negara yang baik adalah yang ikut memikirkan keadaan negaranya’.

Dengan demikian, demokratisasi tidak dipandang sebagai ‘gerakan menanti negara berbaik hati’ melainkan ‘gerakan memaksa negara mengubah sikapnya melalui perubahan komposisi politik di dalamnya’, yang dimulai dengan memilih pemimpin, bukan penguasa.


PENUTUP

Demikianlah gambaran antara ‘fakta’ yang ada (yang mesti harus diganti dengan) dan ‘norma’ yang seharusnya ‘ada’ dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. We had to change, dengan itu baru dapat membawa INDONESIA MAJU dan RAKYAT menjadi SEJAHTERA. Sudah waktunya di era reformasi ini kinerja para politisi dan para eksekutif pemerintahan mengacu kepada PEMIMPIN yang TRANFORMASIONAL dan BUKAN LAGI Pemimpin yang Transaksional yang banyak keburukannya seperti telah di paparkan (lihat juga Gambar Perbedaan Pemimpin Transaksional dan Tranformasional) diatas. Wallahu ‘Alam bish-Shawab, Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM



Sumber:
http://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2016/09/hatta-dan-demokrasi-kita-2.html
http://pkspalembang.or.id/read/77/dicari--pemimpin-sejati-bukan-penguasa/□□□