Di era gamang itu, dibutuhkan seorang
pemimpin yang jujur, kuat, konsisten, yang memiliki perencanaan yang jelas,
menempatkan rasionalitas dan moralitas di atas segalanya.
“Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil.” [Demokrasi Kita, Hatta]
P
|
ada
tahun 1953, tujuh tahun setelah Indonesia merdeka, George Mc Turnan Kahin
menulis dalam buku ‘Indonesia &
Revolusi Nasional’ bahwa tantangan terbesar bagi Republik yang saat itu
masih belia adalah masalah kepemimpinan. Terbukti, setelah lebih dari setengah
abad atau hampir tiga perempat abad, prediksi Kahin tetap menemukan
kebenarannya.
Padahal
salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan demokratisasi adalah adanya
peningkatan kualitas kepemimpinan politik yang berkolerasi dengan sirkulasi
kepemimpinan politik yang lancar dengan sokongan kaderisasi kepemimpinan yang
melembaga.
Pemimpin transaksional vs
transformasional
Reformasi yang digulirkan
pada tahun 1998 ternyata, di satu sisi, seperti membuka kotak pandora yang
dikisahkan dalam mitologi Yunani kuno. Yang saat dibuka akan memunculkan
beragam masalah. Ledakan kebebasan di mana-mana malah melahirkan ketidakpastian
ekonomi dan politik serta terjadi ketidaktertataan pemerintahan (ungovernability).
Akhirnya,
demokrasi hanya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat prosedural. Ada indikasi
yang sangat kuat bahwa reformasi di tingkat kelembagaan dan birokrasi yang
telah digulirkan selama lebih dari satu dasawarsa di negeri ini, nyaris tidak
disertai dengan perbaikan yang signifikan pada jalur kepemimpinan politik, baik
di segi regenerasi maupun kualitas kepemimpinan. Publik seolah masih dipaksa
untuk memberi ruang di panggung politik bagi aktor-aktor lama yang mendadak
berubah wajah menjadi tokoh baru. Atau kepada pemimpin dengan wajah baru tetapi
bermental usang.
Gambar: Perbedaan Pemimpin Transaksional dan Tranformasional
Dalam
khasanah studi kepemimpinan, gaya kepemimpinan yang muncul belakangan ini di
Indonesia bisa dikategorikan sebagai kepemimpinan transaksional (transactional
leadership). Menurut Burn, model kepemimpinan ini terjadi ketika pola
relasi antara pemimpin dengan konstituen, maupun antara pemimpin dengan elit
politik lainnya dilandasi oleh semangat pertukaran kepentingan ekonomi atau
politik. Transaksi suara, janji-janji material bagi pemilih dan penghargaan
atas loyalitas personal merupakan praktik-praktik yang lazim dilakukan dalam
kultur kepemimpinan transaksional.
Selain
itu, dalam model kepemimpinan ini, muncul kepemahaman yang menyatakan bahwa
pemimpin itu adalah penguasa yang memiliki hak istimewa, privilise.
Sudah semestinya, jika yang berkuasa memperoleh hak-hak istimewa. Hak yang
sangat rawan dimanfaatkan serta disalahgunakan.
Akhirnya,
para tokoh politik disini -baik yang merupakan produk Pemilukada, maupun hasil
Pemilu- bukanlah pemimpin sejati bagi rakyatnya, yang senantiasa memikirkan dan
melakukan sesuatu untuk kebajikan bangsanya. Yang mampu menjadi mercusuar bagi
rakyat ini untuk keluar dari berbagai permasalahannya.
Para
tokoh politik sekarang malah menjelma menjadi penguasa layaknya zaman feodal.
Mereka disibukkan dengan upaya-upaya meningkatkan kekayaan pribadi sembari
mempertahankan kekuasaannya. Mereka melupakan rakyat yang memilihnya, bahkan
sengaja membiarkan rakyat tetap berada dalam kebodohan dan kemiskinannya.
Rakyat diajari pragmatis, hanya menilai keberhasilan dari segi materi alias
uang. Yang merangsang menjamurnya mental koruptif dan praktik money
politic.
Dalam
kondisi seperti ini, kita membutuhkan pemimpin sejati. Bukan yang berkarakter
pemimpin yang demokratis saja. Dibutuhkan pemimpin demokratis yang memiliki
karakter kepemimpinan yang kuat untuk secara efektif menetapkan prioritas
agenda penyelesaian masalah bangsa. Namun tentu sudah lewat masanya, ketika
kita dipimpin oleh figur kuat yang memusatkan seluruh proses dan dinamika
politik pada genggaman kekuasaannya.
Karena
itu, bangsa ini membutuhkan suatu perpaduan antara gaya kepemimpinan yang kuat
serta kapasitas visioner dan kemampuan untuk membangun kultur dan cara pandang
baru.
Ketegasan
tanpa dipandu oleh visi dan dikawal nurani, hanya akan melahirkan diktator
baru. Kapasitas visioner minus ketegasan dan logika hanya akan menciptakan
negeri yang penuh wacana dan miskin karya.
Plus, diperlukan juga
keteladanan pemimpin yang dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya. Berupa
adanya sikap asketis terhadap kesempatan dan kekuasaan. Yang tidak tergoda,
apalagi terbawa dalam rayuan kemewahan yang identik dengan sebuah kekuasaan.
Model
kepemimpinan inilah yang dikenalkan oleh Bernard Bass dan Keller sebagai gaya
kepemimpinan transformasional (transformational leadership).
Teladan dari Founding Father
Sebenarnya dalam lintasan
sejarah bangsa ini, kita pernah memiliki para pemimpin bergaya transformasional
ini. Itulah para Bapak Bangsa kita. Bung Hatta salah satu contohnya.
Sosok
yang dikenal sederhana namun tegas dan pendiam tapi visioner ini, berjasa
menyumbang beberapa pasal penting dalam penyusunan konstitusi yang menegaskan
pentingnya negara melindungi kedaulatan rakyat serta kehidupan ekonomi mereka,
yaitu hak berkumpul dan berserikat dan penguasaan negara atas sumber daya alam.
Hatta
jugalah yang menyodorkan konsep politik luar negeri yang bebas aktif, yang
diadopsi pemerintah Indonesia hingga kini.
Tidak
berhenti disitu, Hatta berhasil membuktikan teori-teorinya tersebut ke alam
nyata. Jurus ekonominya, yang dikenal dengan Hattanomics, berhasil
membuat kemandirian dan ketahanan ekonomi nasional berbasis ekonomi kerakyatan
selama satu dasawarsa pertama pemerintahan Presiden Soekarno. Pembangunan
pabrik Semen Gresik dan pendirian Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang
tumbuh menjadi konglomerasi dengan memiliki pabrik-pabrik tekstil sendiri,
merupakan dua proyek percontohannya.
Sayangnya,
pelaksanaan politik perekonomian prorakyat ini tidak dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh sehingga tidak mampu mengimbangi ledakan uang gara-gara politik
budget yang over ekspansif di era Demokrasi Terpimpin. Akibatnya sampai
sekarang, cita-cita hidup bersama yang adil dan makmur serta ‘memurahkan ongkos
hidup’ kehilangan daya ikhtiarnya.
Uniknya,
dengan jabatannya sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri saat itu serta
kebesaran gagasan-gagasannya bagi bangsa, Hatta tetap setia hidup sederhana.
Hatta masih sering berjalan kaki dari rumah ke kantornya sambil menegur warga
yang tidak menjaga kebersihan lingkungan rumahnya.
Pada
medio 1950-an, gajinya dinaikan 200% menjadi Rp 5 ribu. Awalnya kenaikan ini
ditolaknya dengan keras walau akhirnya ia menerimanya juga. Sebab, jika ia
tetap menolak, bisa mengakibatkan gaji pegawai negeri lainnya akan ikut mandek.
Di
ujung jabatannya sebagai wakil presiden pada Desember 1956, Hatta memerintahkan
I Wangsawijaya, Sekretaris Pribadinya, untuk mengembalikan dana taktis wakil
presiden sebesar Rp 25 ribu. Padahal dana taktis tersebut tidak perlu
dipertanggungjawabkan.
Sikap
asketis ini tetap dibawanya hingga pensiun. Pasca pensiun, Hatta menolak semua
tawaran menjadi komisaris perusahaan dari beberapa perusahaan, termasuk
perusahaan asing. Kenapa?
“Apa kata rakyat nanti?”
alasannya. Ia khawatir nanti dituduh, perjuangannya tidak murni lagi untuk
rakyat.
Pemimpin, Rakyat dan Partai Politik
Yang perlu disadari,
pelajaran dari para pendahulu kita tadi bukanlah sebuah glorifikasi,
seolah-olah masa lalu lebih baik dari sekarang dan masa sekarang tidak ada
kebaikan sedikit pun. Tetapi keteladanan kepemimpinan para Bapak Bangsa kita
itu masih sangat aktual dan relevan untuk diwujudkan oleh para tokoh politik
sekarang yang punya ambisi memimpin suatu daerah, bahkan negara ini.
Dan
yang penting disadari pula, bahwa tampilnya para pemimpin dengan kualitas
seperti itu ke panggung utama bukanlah melalui proses yang instan namun melalui
penitian karier secara berjenjang dan melalui proses yang berliku.
Disinilah
dibutuhkan modernisasi partai politik sebagai institusi utama dalam proses
demokratisasi. Jangan sampai, partai politik terlalu disibukkan dengan
terjadinya faksi-faksi di internalnya lalu bercorak pragmatis.
Partai
politik harus mengambil peran sebagai guru bagi rakyat dengan mengoptimalkan
pendidikan politik kepada konstituennya.
Para
elit politik jangan hanya menjadikan para konstituennya itu sebagai sapi
perahan menjelang Pemilukada atau Pemilu saja, sembari menawarkan janji-janji
muluk yang tidak akan diwujudkan.
Rakyat
harus dicerdaskan agar tidak terasing dari politik. Maka kaidah tentang ‘warga
negara yang baik adalah yang membiarkan negara berpikir sendiri’ harus bergeser
menjadi pemikiran Aristoteles berabad-abad yang lalu: ‘warga negara yang baik
adalah yang ikut memikirkan keadaan negaranya’.
Dengan
demikian, demokratisasi tidak dipandang sebagai ‘gerakan menanti negara berbaik
hati’ melainkan ‘gerakan memaksa negara mengubah sikapnya melalui perubahan
komposisi politik di dalamnya’, yang dimulai dengan memilih pemimpin, bukan
penguasa.
PENUTUP
Demikianlah gambaran antara
‘fakta’ yang ada (yang mesti harus diganti dengan) dan ‘norma’ yang seharusnya ‘ada’
dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. We had to change, dengan itu baru dapat membawa INDONESIA MAJU dan
RAKYAT menjadi SEJAHTERA. Sudah waktunya di era reformasi ini kinerja para politisi dan para eksekutif pemerintahan mengacu kepada PEMIMPIN yang TRANFORMASIONAL dan BUKAN LAGI Pemimpin yang Transaksional
yang banyak keburukannya seperti telah di paparkan (lihat juga Gambar Perbedaan Pemimpin Transaksional dan Tranformasional)
diatas. Wallahu ‘Alam bish-Shawab, Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Sumber:
http://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2016/09/hatta-dan-demokrasi-kita-2.html
http://pkspalembang.or.id/read/77/dicari--pemimpin-sejati-bukan-penguasa/□□□