Kita bisa menundukkan orang dengan “ujung
pisau bayonet”, tapi kita tidak bisa duduk dengan dengan baik diatas “ujung
pisau bayonet” [Pepatah Lama]
M
|
emasuki
akhir abad ke-19, isu mengenai perpindahan Yahudi Eropa menjadi isu hangat
dunia. Dengan semangat anti semitisme (tidak suka bangsa-bangsa di Eropa terhadap
bangsa Yahudi yang tinggal di negara-negara Eropa) yang masih berkobar di
Eropa, organisasi Zionis dunia mencoba mencari wilayah untuk mendirikan negara
Yahudi. Pada waktu itu Palestina menjadi tujuan utama pendirian negara untuk
Yahudi. Herzl merupakan tokoh utama dalam pergerakan Organisasi Zionis Dunia
yang mempunyai hubungan dengan beberapa tokoh dunia. Meskipun begitu usahanya
untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, tidak serta merta berjalan
mulus. Ketika ia mencoba untuk merebut tanah Palestina, ia bertemu dengan
sosok yang menjadi penghalang terbesarnya untuk merebut tanah Palestina, sosok
tersebut adalah Sultan Abdul Hamid II. Waktu itu tanah Palestina dibawah
kekuasaan Imperium Utsmani (Ottoman Empire, Kekhalifahan Utsmaniyyah)
Sultan Abdul Hamid II dapat dikatakan sebagai sultan Utsmani
terakhir yang mempunyai otoritas penuh sebagai sultan, dia merupakan Sultan
yang ingin mempertahankan Imperium
Utsmani yang pada saat itu mengalami kemunduruan. Abdul Hamid II dikenal dengan
kepribadiannya yang tegas dan sangat menentang pemikiran-pemikiran Barat,
sehingga dapat dikatakan dia seakan menjadi benteng terakhir Khilafah
Utsmaniyah. Pada pembahasan kali ini akan memaparkan lebih lanjut mengenai
kebijakan-kebijakan yang diambil Sultan Abdul Hamid II dalam mengahadapi
ancaman Zionis, yang ingin merebut tanah Palestina yang merupakan daerah
kekuasaannya.
Biografi Singkat Sultan Abdul Hamid
II
Abdul Hamid II lahir pada tahun 1842, dia merupakan putra
dari Sultan Abdul Majid dan keponakan Sultan Abdul Aziz. Ayahnya merupakan
sultan pertama dalam dinasti Utsmani yang menggalakan program Westernisasi pemerintah
Utsmanis secara resmi, dengan menerapkan Farman At-Thanzimat (Dekrit
Pengorganisasian), dalam pemerintahan tahun 1854 dan 1856. Pada dasarnya,
Sultan Abdul Majid ketika itu tunduk kepada tekanan menterinya bernama Rasyid
Pasya, yang mendapat model percontohannya dari Barat, dan menempatkan
Freemasonry sebagai falsafahnya.
Ketika Abdul Hamid II masih kecil, dia diasuh oleh istri
kedua ayahnya, karena ibu kandungnya meninggal ketika dia berusia 10 tahun. Ibu
tirinya mendidiknya dengan baik, Abdul Hamid sangat terpengaruh dengan
pendidikan ibu tirinya ini, dan kagum dengan sikap keberagamaannya yang selalu
lembut dan tenang. Semua sifat-sifat ini tereflesikan dalam kehidupan
sehari-hari Abdul Hamid II.
Dalam hal pendidikan, Sultan Abdul Hamid mendapat pendidikan
reguler di dalam istana di bawah bimbingan orang-orang terkenal di zamannya,
baik secara ilmu atau akhlak. Dia belajar bahasa Arab, dan Persia, belajar
sejarah, mendalami ilmu tasawuf, dan mengarang beberapa syair dalam bahasa
Turki. Selain di bidang pendidikan reguler, Abdul Hamid secara serius belajar
menggunakan senjata. Dia sangat piawai menggunakan pedang, dan senapan.
Ketika dia muda, dia sangat peduli dengan politik
internasional, selain itu dia selalu mengikuti perkembangan berita mengenai
situasi negerinya. Abdul Hamid II tumbuh dengan menyaksikan ayah, dan pengganti
sesudahnya, yaitu pamannya Sultan Abdul Aziz melindungi program Westernisasi.
Di samping itu, dia juga menyaksikan bagaimana ambisi negara-negara Eropa untuk
menguasai Utsmani.
Sultan Abdul Hamid merupakan sultan Utsmani ke-34. Dia
menduduki singgasana kekuasaan pada saat usianya menjelang 34 tahun, setelah
menggantikan Sultan Murad V yang kondisi kejiwaannya tidak baik pasca
memerintah selama 93 hari. Sultan Abdul Hamid II secara resmi mulai menjabat
sebagai sultan pada tahun 1876, pada saat ketamakan negara-negara Barat untuk
menguasai imperium Utsmani mencapai puncak tertinggi.
Dia memerintah dengan penuh ketegasan, dan kelembutan. Pada
masa pemerintahannya dia mendukung seruan Pan-Islamisme untuk menandingi
hegemoni sekuler Barat. Meskipun begitu, pemerintahannya harus berakhir tragis.
Pada tanggal 27 April 1909, dia dipaksa turun dari tahtanya oleh golongan Turki
Muda. Akhirnya, dia menghabiskan akhir hidupnya dalam pengasingan di Salonika,
hingga meninggal pada 10 Februari tahun 1918.
Kebijakan Sultan Abdul Hamid II
terhadap Organisasi Zionis Dunia
Sebelum Theodor Herzl beserta Organisasi Zionis Dunia muncul
ke panggung perpolitikan dunia, Sultan Abdul Hamid II sebenarnya telah
menyadari bahwa Yahudi merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi kedaultanan
Utsmani. Untuk itu pada tanggal 28 Juni 1890, dan tanggal 7 Juli 1890, Sultan
Abdul Hamid II mengeluarkan dua instruksi penting; tidak boleh menerima
orang-orang Yahudi di kerajaan-kerajaan Sasaniyah. Sementara yang kedua berisi
kewajiban bagia semua menteri untuk melakukan studi beragam serta mengambil
keputusan yang serius, dan tegas dalam masalah Yahudi tersebut.
Pada awalnya Baron Hirsch berambisi membentuk pemukiman
Yahudi Rusia di Argentina, rencana ini berubah ketika Theodor Herzl selaku
pemimpin Organisasi Zionis Dunia mengambil alih rencana tersebut, maka masalah
pembentukan pemukiman tidak sekedar berkaitan dengan Yahudi Rusia saja,
melainkan seluruh kaum Yahudi di dunia. Wilayah yang mereka tuntut pun bukan
lagi Argentina melainkan Palestina. Palestina
dalam mitos orang Yahudi merupakan tanah yang terjanjikan untuk mereka, di
sana lah kerajaan Tuhan berada, Herzl ingin memanfaatkan mitos tersebut sebagai
kekuatan politik untuk memperoleh dukungan dari bangsa Yahudi yang tersebar di
seluruh dunia.
Untuk mewujudkan ambisinya Theodor herzl berhasil
mendapatkan dukungan dari negara-negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan
Italia. Dia menjadikan negara-negara ini sebagai penekan terhadap pemerintahan
Utsmani, dan sarana pembuka untuk bisa menghadap Sultan Abdul Hamid II untuk
membicarakan masalah Palestina. Pemerintahan Utsmani saat itu sedang dilanda
krisis keuangan, ekonomi negeri tersebut benar-benar dalam kondisi yang
memprihatinkan. Hal ini membuat sultan berusaha mencari solusi utuk mengatasi
keterpurukan ekonomi tersebut.
Celah permasalah ekonomi dilihat oleh Herzl, sebagai
satu-satunya jalan masuk untuk bisa mempengaruhi kebijakan politik Sultan Abdul
Hamid II terhadap orang-orang Yahudi. Hal ini diuangkapkan Herzl dalam buku
hariannya: “Kita harus mengeluarkan uang sebanyak 20 juta lira untuk
memperbaiki kondisi ekonomi Turki. 20 juta untuk Palestina, dan selebihnya
untuk membebaskan Turki dari lilitan hutang-hutangnya, sebagai usaha awal untuk
melepaskan dia dari delegasi Eropa. Oleh sebab itulah, kita akan memberikan
keuangan kepada sultan setelah itu dengan pinjaman baru yang dia minta.”
Herzl terus menjalin komunikasi dengan para desicion
maker negara-negara pendukungnya. Maksud dari komunikasi ini adalah untuk
memberikan kesempatan berdialog langsung dengan Sultan Abdul Hamid II. Untuk
tujuan ini, Lanado sahabat Herzl yang juga seorang Yahudi, memberikan saran
padanya pada tanggal 21 Februari 1896, agar ia mengambil Neolanski pemimpin
redaksi East Post, yang dikenal mempunyai hubungan dekat dengan Sultan Abdul
Hamid II.
Mengenai hal ini Herzl mengatakan “Jika kita berhasil
menguasai Palestina, maka kami akan membayar uang pada Turki dalam jumlah yang
sangat besar dan kami akan memberikan hadiah dalam jumlah yang melimpah bagi
orang yang menjadi perantara kami. Dan sebagian balasan dari ini, kami akan
senantiasa bersiap sedia untuk membereskan masalah keuangan Turki. Kami akan
mengambil tanah-tanah yang menjadi kekuasaan sultan sesuai dengan hukum yang
ada. Walaupun sebenarnya mungkin tidak ada perbedaan antara milik umum, dan milik
pribadi.”
Pada bulan Juni tahun 1896, Theodor Herzl berangkat menuju
Istanbul. Pada kunjugannya ini, ia ditemani oleh Neolanski yang bertugas
sebagai perantara untuk berdialog dengan sultan. Akibat dari kunjungan
ini, Neolanski berhasil menyampaikan proposal yang pandangan-pandangan Herzl ke
istana Yaldaz. Pada saat itu terjadi dialog antara sultan dengan Neolanski.
Sultan Abdul Hamid II: “Apakah mungkin bagi orang-orang
Yahudi untuk tinggal di tempat lain selain Palestina?”
Neolanski menjawab: “Palestina dianggap sebagai tanah tumpah
darah pertama bagi orang-orang Yahudi, oleh karena itu orang-orang Yahudi
sangat merindukan untuk bisa kembali ke tanah itu.”
Sultan: “Sesungguhnya Palestina tidaklah dianggap sebagai
tempat kelahiran pertama bagi orang-orang Yahudi saja, namun juga oleh semua
agama yang lain (Kristen dan Islam).”
Neolanski: “Orang-orang Yahudi tidak mungkin untuk mengambil
Palestina, maka sesungguhnya mereka akan berusaha pergi dengan cara yang sangat
sederhana untuk menuju Argentina.
Pasca
dialog tersebut Sultan Abdul Hamid II menyampaikan pesan kepada Herzl melalui
perantara Neolanski,
“Jika ia temanmu, maka nasehatilah agar ia mengurusi masalah
ini sama sekali (yaitu tanah Argentina sebagaimana yang dikatakan Neolanski
sebagai tempat tinggal bangsa Yahudi). Aku tidak bisa menjual meskipun
sejengkal dari wilayah ini. Sebab tanah-tanah itu bukan milikku melainkan milik
rakyatku. Rakyatku telah mendapatkan negeri ini dengan pertumpahan darah, dan
kemudian menyiraminya juga dengan darahnya. Aku pun akan menyiraminya. Bahkan
kami tidak akan mengizinkan seorang pun
merampoknya dari anda. Hendaklah orang-orang Yahudi itu menyimpan jutaan uang
mereka. Adapun pemerintahan ini runtuh, dan terbagi-bagi, maka kaum Yahudi bisa
mendapatkan tanah Palestina gratis. Kami sungguh tidak akan pernah membagi
pemerintahan negeri ini, kecuali setelah melangkahi mayat-mayat kami. Aku tidak
akan membaginya dengan tujuan apapun.”
Pernyataan penolakan tersebut dikuatkan dalam memoar Sultan
Abdul Hamid II, ketika dia mengatakan “Yahudi Internasional membentuk
organisasi, dan berupaya melalui jaringan-jaringan Freemasonry, untuk
mendapatkan apa yang dinamakan Al-Ardh al-Mau’udah (tanah yang
dijanjikan), dan mereka menghadap kepadaku setelah beberapa lama seraya meminta
kepadaku sebuah tanah, atau wilayahh untuk menempatkan bangsa Yahudi di
Palestian dengan imbalan sejumlah harta. Tentu aku menolaknya.”
Setelah usaha Herzl dengan menggunakan perantara Neolanski
gagal, maka Herzl segera menuju istana Jerman, untuk menemua kaisar William II.
Perlu diketahui Kaisar William II merupakan sahabat, dan sekaligus sebagai
satu-satunya sekutu Utsmani di Eropa. Meskipun demikian usaha ini juga menemui
kegagalan. Setelah kaisar William menolak untuk memberikan dukungan, Herzl
kecewa dengan kegagalan dua rencana besarnya tersebut.
Hal ini sudah diprediksi Sultan Abdul Hamid II sebelumnya, dia
telah mengetahui bahwa orang-orang
Yahudi sangat terorganisir dalam menyusun rencana. Mereka memiliki beragam
kekuatan, dan materi yang dapat menjamin keberhasilan gerakannya. Mereka
menguasai jaringan bisnis dunia, dan media-media Eropa. Setelah kegagalan
tersebut, Zionis mulai menggerakkan media-media Internasional. Setelah itu
mereka mempersatukan musuh-musuh Sultan Abdul Hamid yang tumbuh dalam
masyarakat Utsmani.
Di tengah kegagalan ini, Herzl merencanakan untuk
menggunakan siasat lain untuk mendapatkan simpati dari Sultan, dimana dia
melalui Neolanski ingin memberikan pengabdiannya pada sultan untuk membantu
menyelesaikan masalah Armenia. Namun, dalam melakukan usahanya ini Herzl gagal
memperoleh dukungan Inggris, akibatnya rencana diplomasi tersebut gagal.
Kegagalan tersebut tidak membuat ambisi Herzl untuk
mendirikan negara Yahudi sirna, ia berusaha untuk menemui sultan Abdul Hamid
II, khususnya pada saat kunjungan kaisar William II ke Istanbul. Namun, para
petugas keamanan di Istana Yaldaz melarangnya masuk. Tahsin Pasya, kepala
keamanan istana pada masa Sultan Abdul Hamid II, memberikan kesaksian atas
kedatangan Herzl dalam catatan hariannya, “Seorang tokoh (Theodor Herzl)
terkemuka Yahudi Zionis dari Swiss datang ke Istanbul, dan meminta tempat
bagi pemukiman Yahudi di distrik al-Quds. Tokoh Yahudi ini berkata bahwa ia
membicarakan ini atas nama Zionis, dan bahwasanya Rothschild sebuah bankir
terkemuka berada di balik semua ini.”
Setelah gagal untuk menemui Sultan Abdul Hamid II, Herzl
berusaha melakukan lobi dengan pejabat-pejabat istana Yaldaz antara selama
1899-1901. Berkat bantuan mereka, Herzl akhirnya mendapat kesempatan menemui
sultan selama dua jam. Pada pertemuan ini Herzl mengusulkan pada sultan untuk
mendirikan bank-bank Yahudi yang kaya di Eropa dengan bantuan pemerintahan
Utsmani, dengan imbalan orang Yahudi bisa berdiam di Palestina. Selain itu ia
juga menjanjikan pada Sultan Abdul Hamid II, untuk meringankan beban hutang
pemerintahan Utsmani yang telah berlangsung sejak tahun 1881. Herzl juga
berjanji untuk merahasiakan pembicaraan rahasia yang terjadi dengannya.
Pada saat pertemuan yang berlangsung selama dua jam itu,
Sultan lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Sultan membiarkan Herzl
berbicara untuk memberikan kesempatan padanya mengeluarkan apa yang ada di
pikirannya. Baik yang berupa gagasan, proyek, dan langkah-langkah yang akan
diambil. Sikap sultan yang demikian, membuat Herzl merasa diatas angin dan
merasa usahanya akan berhasil. Meskipun akhirnya ia sadar, bahwa ia telah gagal
membujuk Sultan Abdul Hamid II. Ia sadar bahwa pembicaraannya selama dua jam
tidak membuahkan hasil apa-apa.
Setelah Herzl menyadari pembicaraanya akan berakhir dengan
kebuntuan, ia mengatakan “jika sultan memberikan Palestina kepada orang-orang
Yahudi, kami akan menanggung semua urusan ekonomi sultan di pundak kami.
Sedangkan di benua Eropa, maka sesungguhnya kami akan membangun sebuah
peradaban yang akan mengikis sema keterbelakangan. Kami akan tetap berada di
seluruh benua Eropa untuk menjaga eksistensi kami.”
Namun, semua rayuan Herzl tidak berhasil menggoyahkan
pendirian Sultan Abdul Hamid II. Pada dasarnya, Sultan Abdul Hamid memandang
sebuah keharusan orang-orang Yahudi itu tidak tinggal di Palestina. Agar
orang-orang Arab tetap terjaga kebangsaannya yang asli. Dari pembicaraan dengan
sultan tersebut Theodor Herzl akhirnya mencapai suatu kesimpulan yang tulis
dalam catatan hariannya sebagai berikut;”Dari pembicaraan yang saya lakukan
dengan Sultan Abdul Hamid II, saya menetapkan bahwa tidak mungkin kita menarik
manfaat apa-apa dari Turki, kecuali jika ada perubahan politik di dalamnya
dengan cara menimbulkan perang di tengah mereka, dan mereka kalah dalam perang
tersebut, atau mereka terlibat dalam sebuah konflik antar bangsa atau dengan cara
dua-duannya.”
Sebenarnya, Sultan Abdul Hamid telah mengetahui, dan paham
akan tujuan-tujuan Zionis, hal tersebut tertulis di dalam catatan hariannya;
“Ketua gerakan Zionis, Herzl, tidak akan pernah sekalipun bisa meyakinkan saya
dengan pemikiran-pemikiranya. Mungkin saja perkatannya, ‘Masalah orang-orang
Yahudi akan selesai pada saat orang Yahudi telah mampu mengendalikan bajak di
tangannya. Adalah ungkapan yang benar dalam pandangannya, bahwa ia memberikan
jaminan tnah bagi saudara-saudaranya dari kalangan Yahudi. Namun, ia lupa bahwa
kecerdikan saja tidak cukup untuk menyelesaikan semua persoalan. Orang-orang
Zionis itu tidak hanya ingin melakukan kegiatan pertanian di Palestian. Mereka
menginginkan banyak hal. Seperti pembentukan pemerintahan, dan memilih
wakil-wakilnya. Saya tahu dengan sebaik-baiknya ambisi mereka. Namun,
orang-orang Yahudi itu hanya melihat di luaran, bahwa saya akan menerima usaha
mereka. Sebagaimana saya sanggup membendung mereka ntuk tidak melakakukan
pengabdian di tengah istana saya, maka saya juga akan memusuhi setiap
cita-cita, dan ambisi mereka di Palestina.“
Pada dasarnya Sultan Abdul Hamid II sebelum setuju untuk
berdialog dengan Theodor Herzl, sudah mempunyai beberapa tujuan khusus.
Pertama, mengetahui hakikat rencana-rencana organisasi Zionis, mengetahui
kekuatan orang-orang Yahudi di seluruh dunia, menyelamatkan pemerintahan Utmani
dari ancaman Zionis. Sultan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk
mencegah direbutnya Palestina. Atas tersebut dia mengabaikan semua tawaran
materi dari para organisasi Zionis Dunia. Sultan Abdul Hamid II merupakan
pemimpin yang menjadi benteng terakhir dalam menjaga kedaulatan Utsmani.
Ketegasan dan kecerdasannya dalam memimpin membuat Herzl mengatakan
“Sesungguhnya saya kehilangan harapan untuk merealisasikan keinginan
orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak akan
bisa masuk ke dalam tanah yang dijanjikan, selama Sultan Abdul Hamiid II masih
tetap berkuasa, dan duduk di atas kursinya.”
Jadi wajar saja ketika Herzl gagal mendapatkan Palestina
melalui jalan diplomasi, gerakan-gerakan underground yang selama ini bekerja di
bawah pimpinan Freemasonry Itali mulai bergerak untuk melengserkan pemerintahan
Sultan Abdul Hamid II. Banyak sejarawan orientalis yang mengatakan bahwa Sultan
Abdul Hamid II merupakan sosok yang diktator, dan konservatif, yang takut
dilengserkan dari tahtanya. Namun, jika kita melihat kiprah Sultan Abdul Hamid
II dalam menghadapi ancaman Zionis tersebut, kita dapat mengambil sebuah
pandangan lain mengenai siapa sebenarnya Sultan Abdul Hamid II, yang sering
digambarkan oleh para sejarawan orientalis jauh berbeda dari aslinya. Semoga
dari pembahasan ini dapat memberikan pengetahuan baru untuk kita semua. []
Dilanjutkan
ke: Akar Masalah Palestina dan Israel 2
Daftar Kepustakaan:
Garaudy, Roger.
1996. Zionis Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik. Jakarta: Gema
Insani Press.
Harb, Muhammad.
2013. Memoar Sultan Abdul Hamid II. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Herzl, Theodor.
1961. The Complete Diaries of Theodor Herzl. New York: Jewish Agency.
Lapidus, M. Ira. Sejarah
Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2000.
Shallabi, Ali
Muhammad Ash. 2014. Bangkit dan Runtuhnya Kilafah Utsmaniyah. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Schoenman, Ralph.
2013. Di Balik Sejarah Zionisme. Yogyakarta: Mata Padi Presindo.
Sumber:
http://wawasansejarah.com/sultan-abdul-hamid-ii/
https://id.wikipedia.org/wiki/Semit[][][]