KATA PENGANTAR
B
|
ernalar menggunakan akalpikir. Nalar perlu, tapi
bukanlah segala-galanya, karena ada faktor lain. Nalar hanyalah sebuah alat. Alat
ini sudah ada pada diri manusia. Manusia yang tidak menggunakan alat nalarnya berupa
akalpikir adalah manusia gila. Dalam Ajaran Islam kewajiban agama berlaku di
kala manusia mulai ‘menginjak’ dewasa yang sering disebut usia Akil Balik. Akil Balik adalah
sebuah kalimat dalam Ajaran Islam yang artinya
‘berakalsehat’ yang dapat membedakan baik buruk - sebelumnya didapat dari orang
tuanya dan diajari lingkungan hidupnya - teman, guru, tivi, radio, media sosial
lainnya. Pada waktu itu
perbuatannya mulai menggunakankan ‘nalar’. Dalam praktek pengalaman manusia, ‘perbuatan’
timbul karena ada ‘kemauan’. Sedang ‘nalar’ membenarkan ‘perbuatan’.
Nalar adalah buah dari akalpikir. Secara umum, akalpikir
mana mensyaratkan adanya empat hal. Yaitu, menggunakan panca indera, otak,
fakta atau realitas, serta informasi awal. Dengan itu dibangunlah ‘pendapat’, ‘paham’,
‘pandangan’, serta ‘paradigma’ yang telah menjadi ‘keyakinan’. Disamping itu
ada kadangkalanya menggunakan ‘instinct’
(naluri, dorongan hatinurani) menjadi ‘reflex’ (tak sengaja) yang menimbulkan ‘perbuatan’.
Dengan nalar melahirkan sains dan teknologi,
yang dengan itu, melahirkan ‘kemudahan hidup’ seperti komputer pribadi,
smartphone, internet (efbe, we-es, pesan melalui teks), ATM, teknologi transfer
uang baik lokal dan dunia, teknologi robotik, pesawat udara, kendaraan roda dua
(motor, sepeda), kendaraan roda empat (mobil sedan, pikup, jip), kendaraan roda
banyak (bus, truk, kereta api, trem, MRT), dst.
Diantara kemajuan sains dan teknologi seperti
yang disebutkan itu, masih saja ada keprihatinan dalam hidup sosial
kemasyarakatan manusia dalam abad “teknologi sangat maju” ini. Yaitu, hate crime, phobia, teror, penindasan,
merasa lebih dari suku bangsa lain. White
Nasionalist seperti yang tercantum dalam manifestonya dalam membenarkan
pembunuhan biadab dalam tengah beribadahnya manusia di dua Masjid. [1] Masjid
adalah rumah peribadatan - rumah suci (sanctuary,
tempat perlindungan) dalam peristiwa di New Zealand pada hari Jum’at 15 Maret
2019. Dengan bangga teroris ini menjadikan Masjid tempat pembunuhan yang berdarah-darah,
ditengah mereka yang sedang dan akan menghadap-Nya.
Tidak jarang pula terjadi ‘clash’ - ‘bentrokan’ yang berasal dari potensi perselisihan atau benturan. Lebih jauh dari itu, menjadi peperangan, seperti Perang antar Negara
dan Perang Dunia I dan Prang Dunia II. Perang akan datang lebih lagi daya
rusaknya dibandingkan Perang Dunia II yang berakhir dengan menggunakan Bom-H. [2]
Yaitu senjata ‘nuklir yang mutakhir’, ‘senjata kimia’ dan ‘senjata biologi/kuman’.
Sementara Ajaran Islam mengajarkan ‘ta’aruf’ [3] yaitu konsep dalam
bagaimana hidup bermasyarakat yang berbeda (suku bangsa, paham, dan agama) yang
interaksi berdasarkan kesetaraan, saling pengertian. Artinya menghindarkan
pertengkaran dan permusuhan yang sampai menimbulkan ‘kesewenang-wenangan’ - akibat
perbedaan pendapat, suku bangsa, warna kulit serta ‘agama’ (anti ta’aruf).
Dapat dipahami sekarang bahwa bekerjanya ‘nalar’
tidak bisa sendirian, melainkan tergantung pada motive (motif) yang mendorongnya. Motif ini ditumbuhkan dari ‘pendapat’,
‘paham’, ‘pandangan’, ‘paradigma’ serta ‘pendidikan’ (P5) dimana manusia mesti belajar
dari lingkungan adatbudaya tersebut guna mencegah pertikaian yang tidak perlu.
Hal itulah yang di ajarkan dalam ber-ta’aruf
[3] itu sebagai paradigma islami (damai) dalam ajaran Islam.
PENGGUNAAN NALAR RASIONALITAS
Dalam membentuk Perilaku
Manusia membangun Peradaban
Oleh: A. Faisal Marzuki
PENDAHULUAN
D
|
alam buku “Batas
Nalar - Rasionalitas dan Perilaku Manusia”, oleh Donald B. Calne. Berhalaman
458 halaman, terbit 2018, penerbitnya Kepustakaan Populer Gramedia. Penulisnya seorang
neurology, dokter ahli syaraf melalui karyanya “Within Reason: Reality and
Human Behavior” yang diterjemahkan oleh penterjemah bukunya ke dalam bahasa
Indonesianya “Batas Nalar - Rasionalitas
dan Perilaku Manusia”.
Nalar (reason)
yang menggunakan akalpikir dan pengaruhnya pada kehidupan manusia. Seperti
apakah nalar itu, darimana asalnya, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukannya.
Mengenai bagaimana otak memberi manusia akalpikir (minds) guna menciptakan konsep-konsep tentang ruang, waktu, dan
hubungan sebab akibat, serta bagaimana semua itu, bersama daya ingat,
memungkinkan manusia membangun kemampuan nalar. Bahkan sampai pada ‘pandangan
hidup’.
Peran Nalar pada Dunia Moderen
Fakta bahwa dunia modern ini tumbuh karena
penggunaan logika yang dibangun dengan menggunakan akalpikir yang bersumber
dari benak atau akalotak manusia. Seringkali membuat manusia punya ekspektasi
berlebihan terhadap nalar ini. Menganggapnya sebagai pangkal segala kebaikan
dan kemajuan. Menjadikannya ukuran dalam semua hal yang membuat baik, maju,
meningkatkan peradaban manusia.
Sementara, ‘Hitler’ itu kan kejam? Apa dia tidak
punya nalar? Bukan karena tidak punya nalar, bahkan seandainya dia jadi lebih
bernalar pun bukan berarti dia akan jadi sadar atau insyaf, malah mungkin lebih
pintar menciptakan mesin pembunuh yang sangat dahsyat. Seperti halnya ‘bom atom’
adalah produk nalar, tapi nalar tidak mencegah untuk digunakan melainkan untuk ‘membumihanguskan’
Jepang pada Perang Dunia II.
Baik-buruk dari tujuan dan hakikat di balik perbuatan ini adalah di luar ‘kuasa nalar’. Nalar itu cuma piranti, alat, atau instrumen. Ada hal yang di luar jangkauan nalar yang menentukan tujuan sebuah perbuatan. Yaitu kesadaran (‘consciousness’), disebut juga hatinurani atau naluri atau ‘qalbu’. Penggunaan kesadaran lebih dahulu ada daripada nalar.
Sebagaimana yang disebutkan buku ‘Batas Nalar’ Donald B. Calne:
"Reason can not tell us where to go, but it can tell us how to get there... it is a gun for hire for anything we want, wether it is good or bad..."
Nalar tidak
bisa memberi tahu kita ke mana harus pergi - kecuali
berasal dari keinginan dari ‘hawa nafsu’ (dalam diri manusia) dan kepentingan atau
interest (dalam politik), ‘keinginan’
lah yang menentukannya, dengan
itu nalar bisa
memberi tahu kita bagaimana menuju ke sana - dari apa yang kita tetapkan
lebih dulu dari keinginan (hawa nafsu, atau kepentingan). Dalam prakteknya, nalar
ini adalah sebagai piranti atau alat
atau instrumen yang digunakan untuk apa pun yang kita inginkan, apakah itu ‘baik’
atau ‘buruk’.
Keterbatasan Nalar
Nalar yang menggunakan akalpikir, sebagaimana
selama ini kita memuja atas keunggulan dan kelebihannya, ternyata di tangan
Donald B. Calne hanyalah sebuah piranti atau alat bagi manusia untuk
melangsungkan keinginan daripada kehidupannya. Buku “Batas Nalar: Rasionalitas
dan Perilaku Manusia”, menggambaran dengan gamblang sebuah kenyataan bahwasanya
nalar yang dimiliki manusia hanyalah sebuah instrumen yang tidak berbeda jauh
dengan pedang ataupun palu. Sebagai sebuah alat, nalar tidak dapat menentukan
arah dan tujuan, melainkan si pengguna yang mempunyai alat itu sendiri yang
menentukannya. Dengan demikian, seperti sebuah pedang, nalar juga memiliki dua
buah sisi yang bisa berlawanan bila digunakan. Nalar bisa menjadikan manusia,
sang pemilik nalar, menjadi seorang manusia perusak dan penghancur sebagai mana
pedang bisa digunakan untuk membunuh sesama manusia - hancurnya peradaban.
Sebaliknya nalar dapat digunakan oleh manusia untuk menjadikan dirinya ta’aruf [3] sesama manusia membangun
peradaban.
Nalar dengan demikian tidak bisa menentukan arah
mana ia mau menuju, tetapi nalar mampu memberikan pilihan-pilihan terbaik bagi
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Disini, nalar hanyalah sebuah produk
biologis dari manusia yang digunakan oleh manusia untuk tujuan-tujuan biologis.
Nalar disini berubah menjadi pelayan bagi hawa nafsu atau keinginan manusia.
Tetapi setidaknya nalar sering juga menunjukkan
kekeliruan dari sifat hawa nafsu kita sendiri, sengaja atau tidak. Ia
berulangkali juga menunjukkan kesalahan dalam ‘keyakinan’ atau ‘kepahaman’ kita
yang kita anut selama ini. Keraguan dan kebimbangan yang muncul dalam keyakinan
kita acap kali merupakan suatu kesimpulan nalar yang menunjukkan bahwa ‘keyakinan’
(yang bukan keyakinan yang sebenarnya) kita sering tidak konsisten dan keliru
secara logika.
Nalar Istilah yang Ambigu
Dalam penggunaan istilah nalar itu sering pula
ambigu (tidak jelas) apabila istilah nalar ini dipergunakan dalam bahasa
keseharian. Kecenderungan subjektif dari manusia dalam mendifinisikan nalar
demi sebuah ‘kemenangan argumen’. Sering pula menjadikan kerancuan. Disini
istilah nalar menjadi suatu simbol kebenaran semu. Seringlah kita dengar
ungkapan, “Gunakan nalarmu! Gunakan akal sehatmu!” Disini nalar seolah olah
menjadi jantung untuk suatu tindakan benar dan baik. Padahal dari kenyataannya
tidaklah demikian.
Konsekuensi Penggunaan Nalar
Nalar atau akalpikir terkait dengan pertanggungjawaban manusia atas
kemanusiaannya (khalifah di bumi -
memakmurkan kehidupan di bumi, membangun peradaban). Orang gila tidak bisa
dituntut untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Manusia ‘waras’ yang berakal
akan diminta pertanggungjawabannya karena bisa atau tidak menggunakannya
bersama dengan atau atas ‘kesadaran akan Yang Maha Benar’. Oleh karenanya, akal
terkait dengan dosa dan pahala, akal terkait dengan surga dan neraka. Dosa-Pahala
atau Surga-Neraka sudah ditentukan, sudah ditetapkan, tinggal akal saja mau milih
yang mana. Oleh karenanya ‘akalpikir’ yang digabungkan atau menggunakan ‘kesadaran’
yang datang dari ‘hatinurani’ atau ‘qalbu’ bisa menjadi alat pemilih apakah
yang kita inginkan itu baik atau tidak - membangun atau merusak peradaban.
Bagi Calne, direktur Pusat Penanggulangan
Penyakit Syaraf, yang mengusik perhatian dan pemikiran dia adalah fakta-fakta
di mana nalar dan pendidikan (yang ada sekarang ini) tidak tampak mampu untuk
mengendalikan perilaku manusia. Kegelisahan ini tercermin dalam pertanyaan
kritis Calne berikut:
“Jika kita berpikir lebih banyak, akankah kita
bertindak lebih baik?”
Calne, melalui pencermatan kritis terhadap sejarah, mendapati berbagai peristiwa kejam, tidak beradab, irasional, yang dilakukan oleh individu, kelompok ataupun bangsa yang justeru telah meraih kemajuan dalam pendidikan dan penalaran. Untuk lebih sistematis dalam memahami fenomena yang menggelisahkan ini, Calne menuangkan problematika nalar ke dalam bentuk pertanyaan yang lebih umum:
“Apa yang kita tahu mengenai nalar dan cara menggunakannya?”
Kegelisahan Calne, dan latar belakang sosial dia sebagai anggota komunitas neurolog yang sering menjumpai perilaku pasiennya yang mengalami disorders - ganguan, kekacauan atau kegalauan pada lingkungan sosialnya, memacu Calne untuk terus-menerus mencari jawaban tentang nalar. Dalam lingkungan profesionalnya, Calne mencari jawaban ini melalui pengamatan terhadap neuron dan otak manusia, dalam perspektif teoretik biologi evolusioner.
SEJARAH PENGGUNAAN NALAR
D
|
alam suatu penelusuran historis, Calne
menuturkan tentang tampilnya era Enlightenment
(era Pencerahan) di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, setelah bangsa (Eropa) mengalami
‘stagnasi intelektual’ - kemandekan intelektual selama lima belas abad. Di masa
kegelapan Barat itu, di Timur, menurut Calne, justeru tengah terjadi
kemajuan-kemajuan di bidang nalar. Calne mencatat kemajuan-kemajuan yang
dicapai Dunia Islam dalam Matematika (penggunaan ‘Angka Arab’ jadi ‘Angka
Moderen’, Aljabar, Algoritma), Astronomi, Kedokteran dan lain-lain.
Perubahan dimensi intelektual di era Enlightenment membawa bangsa Eropa pada suatu tatanan kehidupan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kehidupan intelektual di era Enlightenment ini dicirikan oleh cara pandang baru terhadap ‘alam’ dan ‘nalar’. Tentang ini Calne mengutip ucapan Isaac Newton:
“Sains
terdiri dari menemukan kerangka dan cara kerja Alam, dan sejauh mungkin
mereduksinya jadi rumus dan dalil umum - meneguhkan rumus dan dalil itu dengan
hasil pengamatan dan percobaan, lalu dari sana menarik kesimpulan mengenai
sebab dan akibat.”
Kemajuan ini diiringi dengan perubahan sosial-politik di Eropa, di mana nalar dan rasionalitas mendapat tempat yang makin tinggi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pada saat yang sama, makin meningkat kepercayaan dan harapan bahwa sains dan nalar mampu melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan kekejaman di dunia.
Namun, Calne menilai bahwa harapan yang digantungkan pada nalar terlalu berlebihan. Meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II mengakibatkan matinya 1oo juta lebih manusia baik militer maupun sipil; hancurnya bangunan-bangunan dan infrastrutur dengan menggunakan penyelesaian perselisihan yang menggunakan ‘perang akal-akalan’ (yang akhirnya menggunakan kekerasan secara militer); krisis ekonomi berulang-ulang, menjadi bukti ‘keterbatasan nalar’ dalam menjalankan peranan sebagai ’dewa penyelamat.’ Gerakan menjauhi nalar secara berangsur mulai tampil kembali dan memarak ke dalam panggung sejarah. Bandul sejarah kembali ke titik yang berlawanan. Bagi Calne, keterbatasan bukan hanya pada sains, tapi juga pada dunia akademis secara umum. Sikap Calne dalam situasi yang dia cermati ini dinyatakannya sebagai berikut:
“Bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia yang nyata, jelas, dan tidak-boleh-tidak bekerja dalam hampir semua aspek kehidupannya. Tapi nalar (saja) TIDAK BISA memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengannya.”
Dalam uraian Calne di buku ‘Batas Nalar,’ nalar diartikan sebagai perkakas biologis yang berkembang secara evolusioner, yang bertugas menjawab pertanyaan ‘bagaimana?’ Tetapi bukan ‘mengapa?’ Nalar merupakan fasilitator, bukan inisiator. Nalar kita gunakan untuk mendapatkan apa yang kita mau, bukan untuk menentukan apa yang kita mau. ‘Mengapa?’ mesti juga merujuk pada motivasi, yang bagi Calne, terpisah dari domain kerja nalar.
Nalar tidak memiliki sifat meraih kepuasan emosional, karena selalu saja ‘merasa’ kurang. Sedangkan moral (integritas, akhlak) yang bertautan dengan hal yang seharusnya dapat mengendalikan atau mengontrol apa yang diinginkan, terpaut dengan emosi yang baik dan perintah budaya yang membangun. Naluri dan emosi mendorong kita, karena memuaskannya. Yaitu membawa kebahagiaan, dan mengabaikan timbulnya kekecewaan. Dengan itu kebudayaan dapat mengaitkan tujuan-tujuan dengan ‘naluri’ dan ‘emosi’, dan keduanya memunculkan ‘motivasi’. Nalar jauh dari gelora hasrat manusia. Calne melihat ‘nalar’ sebagai terpisah dari ‘motif’. Meski peringkat-peringkat motif berada dalam wilayah yang dapat dimengerti nalar’.
Pesan dari Buku Batas Nalar
Buku ‘Batas Nalar’ menyampaikan sebuah pesan yang sangat penting bahwa meskipun nalar ampuh, namun nalar tidak bisa dibiarkan sendiri dalam menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Demikian Donald B. Calne masih menyisakan pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat menetapkan motif-motif, tujuan-tujuan, dan pada gilirannya berguna untuk mengendalikan nalar.
Buku ‘Batas Nalar’ menyampaikan sebuah pesan yang sangat penting bahwa meskipun nalar ampuh, namun nalar tidak bisa dibiarkan sendiri dalam menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Demikian Donald B. Calne masih menyisakan pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat menetapkan motif-motif, tujuan-tujuan, dan pada gilirannya berguna untuk mengendalikan nalar.
Calne sendiri merupakan penganut biologi evolusioner yang konsisten. Dia mengembalikan segala persoalan pada evolusi, yang tujuan utamanya adalah mempertahankan kehidupan biologis spesies manusia. Nalar (akalpikir otak) dan akalbudi (kesadaran yang bersumber dari ‘qalbu’) merupakan produk dari hasil belajar dari sejarah evolusi. Calne tidak banyak mengelaborasi aspek intangible - ‘ada tapi tidak berwujud’ seperti kesadaran yang timbul dari penggunaan ‘qalbu’ [4] yang ada pada batin atau jiwa atau ruh manusia. Pada aspek-aspek intangible yang terdapat dalam ‘kesadaran’ dari berkat bekerjanya ‘qalbu’ [4] disebut juga hatinurani sebagai faktor yang berpengaruh besar dalam mengarahkan penalaran dan mengendalikan ‘emosi’ dari ‘motivasi’ manusia.
MISTERI KESADARAN
S
|
ejak awal peradaban manusia, para filosof,
seniman, fisikawan, telah berupaya menyelami dan menyingkap misteri kesadaran.
Di sini berjajar nama-nama besar mulai dari Plato, Rene Decartes, William
James, George Santayana, Roger Penrose dan banyak lagi pemikir dan saintis
terkenal lainnya. Dalam sains, kesadaran diterima sebagai pokok bahasan
saintifik dengan mengambil pendekatan-pendekatan dari teknologi medis untuk
menganalisis otak, insights (wawasan,
pengertian yang mendalam) dari fisika, kimia, biologi, neuroscience, psikologi,
sosiologi dan filosofi.
Alwyn Scott, seorang ahli fisika non-linier, merangkum berbagai capaian tentang kesadaran, yang dia tuangkan dalam buku “Stairway to the mind: controversial new science of consciousness.” Scott memaparkan suatu skema hirarkis yang menstrukturkan anak-anak tangga untuk memahami kesadaran yang ada dalam sciense reductionistic.
Sciense Reductionistik
Dalam sains reduksionistik, berlaku pandangan bahwa untuk memahami fenomena pada satu tingkatan, maka fenomena pada tingkat-tingkat di bawahnya harus dipahami lebih dahulu. Jadi untuk memahami kesadaran, orang harus mempelajari otak; untuk mempelajari otak, orang harus mempelajari neuron; untuk mempelajari neuron orang harus mempelajari proses dinamik protein; dan untuk mempelajari protein orang harus akrab dengan kimia dan fisika atom.
Namun (dalam uraiannya yang cukup rumit diikuti) pandangan reduksionistik telah dibuktikan kelemahan-nya, terutama dengan terungkapnya fenomena ‘emergent’. Pada intinya, fenomena ‘emergent’ ini memperlihatkan bahwa fenomena di suatu tingkatan bukan merupakan kumpulan agregat dari fenomena di tingkat-tingkat di bawahnya. Dengan perkataan lain, keseluruhan bukan jumlah agregat dari bagian-bagiannya.
Dalam terminologi applied mathematics dikenal istilah kejadian non-linier, seperti angin tornado. Dalam matematika linier, prediksi dapat dilakukan oleh karena keseluruhan merupakan jumlah eksak dari bagian-bagian. Dalam matematika non-linier, diperlukan superkomputer untuk memprediksi kapan tornado akan terjadi. Walaupun begitu, masih mungkin prediksi ini salah. Kejadian non-linier merupakan contoh fenomena “emergent” - adanya yang datang tiba-tiba dari sekumpulan gejala yang menimbulkan aksi reaksi, sebab akiba. Hal-hal semacam itu sering pula secara awam atau ilmiah disebut faktor x.
Jadi, kesadaran bukan merupakan asembli - bagian dari susun bangunan yang berbentuk atau terbentuk hanya - dari atom, molekul, neuron. Tetapi kesadaran “emergent” dari semua elemen-elemen ini. Kesadaran, meski terpaut dengan fenomena atomik, kimiawi dan neronik, merupakan fenomena yang sepenuhnya baru. Sains reduksionistik, menurut Scott, tidak berhasil memberikan jawaban yang utuh tentang kesadaran manusia oleh karena ketidakmampuannya menjelaskan fenomena ‘emergent’ tersebut, dalam Ajaran Islam disebut ‘takdir’ suatu suratan atau ketentuan dari-Mya Yang Maha Tahu.
Dalam cara yang berbeda, Prof. Murray Gell-Mann, Seorang pemenang Nobel untuk Fisika, dalam novelnya “The Quark and The Jaguar,” menuturkan:
“There would seem to be an enormous gap between fundamental physics and these other pursuits… Elementary particles have no individuality. …By contrast,… linguistics, history are concerned with individual empires…”
Tampaknya akan ada kesenjangan yang sangat besar antara
fisika fundamental dan pencarian lainnya. Partikel
elementer tidak memiliki individualitas. Sebaliknya, linguistik, sejarah
berkaitan dengan ‘disiplin’ masing-masing.
Menapak anak-anak tangga dari dasar ke puncak
piramida sains merupakan pergeseran dari kesederhanaan menuju kompleksitas. Ini
yang dimetaforkan oleh Gell-Mann sebagai perjalanan dari ‘quark’ [5] (fenomena fisika) menuju Jaguar (fenomena mahluk hidup
yang adaptif). Masyarakat, sebagai sistem yang kreatif dipandang memiliki
kompleksitas yang sangat tinggi. Penguasaan terhadap hukum-hukum universal
matematika, fisika, tidak begitu saja (bisa) membuka jalan untuk menerangkan
fenomena mental dan fenomena sosial-politik yang dicirikan oleh “emergent”.
Jadi, pada wilayah dengan kompleksitas tinggi seperti fenomena mental dan
sosial, dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang khusus dan khas untuk
mempelajarinya (bukan seperti yang terdapat dalam hukum-hukum universal
matematika, fisika).
‘Batas Nalar’ sebagai Persoalan Epistemologis
Pertanyaan tentang ’batas nalar’ ini tampaknya bermuara pada misteri kesadaran
manusia. Untuk bisa menyentuh atau bahkan menembus ’batas nalar,’ berbagai
upaya pencarian intelektual (intelectual
inquiry) perlu dikerahkan untuk secara berangur menyingkap misteri
kesadaran ini.
Para filosof telah membuktikan bahwa kesadaran merupakan sejenis pengetahuan, tapi bukan pengetahuan instrumental (sebagaimana didefinisikan oleh Calne). Misalnya, ketika seseorang sedang marah, dia memiliki kesadaran akan emosi marahnya. Kesadaran ini bertautan erat dengan apa yang dalam filsafat dikenal dengan presentational knowledge. Ini berbeda dengan acquired knowledge yang diraih manusia melalui perantaraan konsep-konsep kognitif.
Para filosof telah membuktikan bahwa kesadaran merupakan sejenis pengetahuan, tapi bukan pengetahuan instrumental (sebagaimana didefinisikan oleh Calne). Misalnya, ketika seseorang sedang marah, dia memiliki kesadaran akan emosi marahnya. Kesadaran ini bertautan erat dengan apa yang dalam filsafat dikenal dengan presentational knowledge. Ini berbeda dengan acquired knowledge yang diraih manusia melalui perantaraan konsep-konsep kognitif.
Dengan menempatkan kesadaran pada sentral bahasan, persoalan batas nalar yang dilontarkan Calne dapat dinyatakan ulang sebagai berikut:
Pengetahuan instrumental tidak bisa memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengannya. Tapi kesadaran, atau pengetahuan presentasional itulah yang menetapkan tujuan dan menggerakkan manusia.
Pengalaman memperlihatkan bahwa bukan naluri atau emosi yang bisa betul-betul menggerakkan manusia, sebagaimana dipercaya Calne. Meski emosi mendorong reaksi-reaksi cepat (gut reactions), pengalaman menunjukkan bahwa reaksi emosional demikian tidak memiliki subsistensi yang kokoh. Dorongan emosi ini tidak menjelaskan adanya tindakan manusia yang memperlihatkan tekad yang begitu kuat, kestabilan dan konsistensi. Ini tidak bisa dijelaskan dengan merujuk pada emosi dan perintah kultural.
Jadi, batas nalar sebagaimana dipersepsi Calne dalam buku ”Batas Nalar,” terletak pada domain kesadaran, yang pada esensinya merupakan sejenis pengetahuan juga (yakni pengetahuan presentasional). Untuk bisa ’menembus’ batas ini, untuk bisa menyatukan nalar dan moral, yang benar dan yang baik, upaya-upaya pencarian intelektual perlu dikerahkan dan dikembangkan untuk mampu menyingkap misteri kesadaran. Sebagai penutup, disampaikan himbauan Alwyn Scott berikut ini, yang menawarkan sebuah jalan untuk ’menembus batas nalar’:
“If we are ever to chieve this level of understanding within the context of natural science, all of us must work together. Physicists and physiologists, neurologists and ethnologists, biochemists and philosophers, engineers and poets abandon flase pride and outworn tribal royalties in order to learn how to learn from each other. Only in this way can our collective imagination transcende the limited perspectives of a single rung of the metaphorical ladder and approach an understanding of our awareness of the real one.”
Jika kita ingin mencapai tingkat pemahaman ini dalam
konteks ilmu pengetahuan alam, kita semua harus bekerja bersama. Fisikawan dan
ahli fisiologi, ahli saraf dan ahli etnologi, ahli biokimia dan filsuf,
insinyur dan penyair meninggalkan kebanggaan dan mengalahkan (dan menyalahkan) “satu sama lainnya” (melainkan) untuk belajar
bagaimana belajar dari satu sama lain. Hanya dengan cara ini imajinasi kolektif
kita dapat melampaui perspektif terbatas dari satu anak tangga tangga metaforis
dan mendekati pemahaman tentang kesadaran kita akan yang asli.
PENUTUP
“Bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia
yang nyata, jelas, dan tidak-boleh-tidak bekerja dalam hampir semua aspek
kehidupannya. Tapi nalar (saja) TIDAK BISA memberi atau mengendalikan
tujuan-tujuan yang terkait dengannya.”
C
|
alne menuturkan tentang tampilnya era Enlightenment (era Pencerahan) di Eropa
pada abad ke-17 dan ke-18, setelah bangsa (Eropa) mengalami “stagnasi
intelektual” - kemandekan intelektual selama lima belas abad. Di masa kegelapan
Barat itu, di Timur, menurut Calne, justeru tengah terjadi kemajuan-kemajuan di
bidang nalar. Calne mencatat kemajuan-kemajuan yang dicapai Dunia Islam dalam
Matematika (penggunaan “Angka Arab” jadi “Angka Moderen”, Aljabar, Algoritma),
Astronomi, Kedokteran dan lain-lain.
Kemudian dengan kemunduran Pemerintahan
Kekhalifan Islam di Al-Andalus (sebelumnya di Baghdad yang ketika itu jadi
pusat intelektual dunia), seperti
tercatat pula dalam sejarah atas kemajuan Cardoba, Sevilla, dan kota-kota lain
dari Al-Andalus yang berlokasi di semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan
Portugal), majulah Eropa. Dalam tiga abad terakhir ini, Eropa dan Asal Eropa (Canada,
Amerika, Australia, dan New Zealand) telah mengendalikan ekonomi, politik,
budaya, sains, teknologi dan militer dunia ke-3 (non Eropa). Dalam catatan sejarah
jelas terlihat yaitu kolonisasi (penjajahan) ke dunia ke-3. Semenjak itulah apa
yang berasal dari Barat di“copy paste”.
Ini tidak salah, baik. Tapi ada segi-segi budaya yang tidak “pas”, karena akar,
dasar, dan motivasi sejarahnya dari sumber yang beda. Sepenuhnya berakar dari
“nalar” yang sekarang dipertanyakan Donald B. Calne dan dipertegas lagi oleh Alwyn
Scott dan Murray Gell-Mann seperti yang diuraikan diatas.
Harapan bahwa “Kemajuan (dengan mengguakan
nalar) ini selanjutnya diiringi dengan perubahan sosial-politik di Eropa (dan
bangsa-bangsa eks Eropa), di mana nalar dan rasionalitas mendapat tempat yang
makin tinggi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pada saat yang sama,
makin meningkat kepercayaan dan harapan bahwa sains dan nalar mampu melenyapkan
kemiskinan, kebodohan, dan kekejaman di dunia”. Dalam kenyataan tidak, seperti
terjadinya Perang Dunia I, II, dan Perang Dingin serta perang-perang lain dan
teror-teror dan phobia-phobia sosial lainnya.
Sementara di dunia Era Keemasan Islam ‘nalar’
dipakai ‘wahyu’ pun dipakai. Keduanya berkembang bersamaan. Sementara di Eropa era Enlightenment ‘nalar’ dipakai ‘agama’
ditinggalkan, terutama yang menyangkut dengan ‘dunia’ - pemerintah dalam
bernegara (agama tidak boleh ikut campur dalam urusan negara). Ideologi atau
pemahaman seperti itu, sesuai dengan perkembangan sejarah Eropa yang kurang
baik hubungannya antara “Paus - Pemimpin Katolik/Agama bersama Raja - sebagai peguasa
negara” dengan “ilmuan (sains) bersama rakyat akar rumput”. Padahal
sumber-sumber kesadaran moral (baik-buruk) ada di ‘ajaran agama’.
Dalam Pemerintahan Kekhalifan Islam pada era keemasannya,
‘nalar’ -‘kesadaran penggunaan akalpikir’ dan ‘kesadaran moral’ (baik-buruk;
membangun-merusak peradaban; adil-kesewenangwenangan) ada dalam Ajaran Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah (baca As-Sunnah). Ajaran Al-Dīn
(baca ad-dīn) Islam sebagai dasar Ajaran Hidup yang membawa selamat (bahagia
serta baik) di dunia dan selamat (bahagia serta baik pula) di akhirat. Untuk
setiap individu, maupun individu dalam masyarakat (lokal, regional, bangsa dan
antra bangsa). Ajaran Islam mengajarkan pula bagaimana mencapai kebaikan hidup
di dunia ini sebagai cerminan (bekal nanti) mencapai kenyamanan hidup di
akhirat kelak. Ajaran islami seperti
itulah dimana negara, lingkungan masyarakat dan orang tua serta dunia perlu
memahami. Dengan itu terbangunlah peradaban yang perilaku manusia ta’aruf [3], karena sumber bangun atau
kacaunya peradaban datang dari nilai perilaku manusia sendiri.
Demikianlah catatan sejarah telah mencatat dan
mengajarkan kita bagaimana membangun perilaku manusia yang mestinya aman, adil
dan makmur dalam peradaban antar masyarakat bangsa dan masyarakat antar bangsa-bangsa
seperti yang telah dipaparkan dalam tajuk diatas. Allāhu A’lam bish-Shawab, billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Pelaku aksi teror di dua masjid di kota
Christchurch, Selandia Baru (New Zealand), Brenton Tarrant (28), seorang warga
Australia sebelumnya diketahui sempat memposting secara online sebuah ‘manifesto’
setebal 87 halaman, yang isinya menyebutkan alasannya melakukan penembakan itu.
Manifesto itu berisi pandangan anti-imigran, anti-muslim dan penjelasan mengapa
serangan itu dilakukan.
Selain
Kantor Perdana Mentri Jacinda Ardern, ada 70 pihak lainnya yang menerima
salinan ‘manifesto’ itu sesaat sebelum teror terjadi di dua Masjid, Masjid Al
Noor dan Masjid Linwood di Christchurch.
Korban
tewas penembakan brutal (dan biadab) sejauh ini dilaporkan mencapai sedikitnya
49 orang, dengan rincian 41 orang tewas di Masjid Al Noor, tujuh orang tewas di
Masjid Linwood dan satu orang tewas di Rumah Sakit Christchurch.
Sedangkan
korban luka mencapai 48 orang, namun hanya 39 orang yang masih dirawat di rumah
sakit dengan 11 orang di antaranya menjalani perawatan intensif. [https://news.detik.com/internasional]
[2] Dampak Bom-H (bom hydrogen) pada hakekatnya
sama dengan bom nuklir lainnya, yaitu panas, ledakan, dan radiasi, tapi pada
skala yang jauh lebih besar. Bom-H merupakan perangkat nuklir yang
mengkombinasikan proses fisi (fission,
yaitu pemisahan) dan fusi (fusion,
yaitu penggabungan) materi-materi radioaktif. Senjata termonuklir jenis ini
menggunakan bom nuklir normal yang menggunakan fisi (pembelahan atom) untuk
menghasilkan energi penghasil panas dan tekanan yang menciptakan reaksi fusi
nuklir. Bom-bom hidrogen merupakan bagian dari upaya lazim pengembangan
senjata-senjata nuklir yang digdaya. Ini adalah senjata nuklir paling kuat yang
pernah dibuat dari jenis fusi. Kekuatannya mencapai 50 megaton. Sebagai
perbandingan, bom fisi yang dijatuhkan di Hiroshima memiliki daya ledak 15
kiloton.
Lebih
dari sepertiga energi bom hidrogen dilepaskan dalam bentuk panas, cahaya, dan
beberapa radiasi ringan semisal ungu ultra (ultraviolet,
UV) dan sinar-X.
Dampak
pertama yang paling langsung adalah kebutaan temporer ataupun permanen pada
setiap orang yang menatapnya atau berada di arah ledakan tanpa perlindungan
memadai pada mata. Energi yang dilepaskan juga menghasilkan suhu yang luar
biasa, terutama dalam kasus bom hidrogen yang digdaya. Sebuah bom hidrogen bisa
menghasilkan suhu yang 6.300 kali lebih panas daripada suhu permukaan matahari.
Panas setinggi itu langsung melelehkan materi-materi yang ada di sekitar pusat
ledakan (ground zero),
melengketkan tanah dan pasir menjadi kaca, dan menghasilkan bola api berukuran
raksasa.
Selain
bom neutron, ketika senjata nuklir normal diledakkan maka sekitar setengah
energi yang dilepasnya adalah dalam bentuk ledakan concussive. Ledakan penghancur terjadi karena panas
yang dilepaskan menciptakan tekanan atau gelombang berlebih yang menaikkan
tekanan atmosferik yang memancar dari ledakan. Perbedaan ledakan bom hidrogen
dibandingkan dengan jenis ledakan lain – bahkan ledakan nuklir lain – adalah
energi ledak yang jauh lebih besar. Menarik untuk diketahui bahwa ledakan nuklir
bergantung kepada atmosfer untuk merambatkan ledakan. Tidak seperti fiksi
ilmiah yang banyak beredar, ruang hampa yang tercipta malah meniadakan ledakan concussive ini sehingga hanya
menyisakan 2 dampak nuklir lainnya, yaitu radiasi dan radiasi ionisasi.
Sekitar
15 persen energi bom hidrogen berbentuk sebagai radiasi. Sekitar 5 persen
sebagai radiasi yang menyebabkan ionisasi. Radiasi ioniasi adalah partikel
bermuatan tinggi ataupun sinar-sinar gamma yang terpancar sebagai bagian dari
reaksi berantai fisi dan fusi dalam sebuah bom hidrogen.
Sisa
energi berbentuk tebaran (fallout)
nuklir, yaitu penyebaran bahan-bahan radioaktif yang merambah atmosfer
akibat ledakan. Ampas yang tersebar termasuk produk-produk sampingan atau bahan
bakar sisa dari bom. Zat-zat tersebut terus memancarkan radioaktif berbahaya
ketika zat-zat sedang meluruh. [https://www.liputan6.com]
[3] Prinsip TA’ARUF
ini diambil dari surah Al-Hujurāt sbb: “Wahai manusia! Sungguh Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu TA’ARUF (saling kenal
mengenal, artinya kemauan orang yang siap hidup bersama dengan orang atau
bangsa lain dalam ‘perbedaan’). (QS Al-Hujurāt 49:13).
TA’ARUF ini meliputi Ta’aruf; Tafahum;
Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T)
Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan
hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah
hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling
memusuhi, tidak saling memerangi. (3T1I)
Tentunya selain menjaga hubungan kepada Sang
Pencipta yakni Allah Sang Pencipta Alam Semesta dan Manusia (hablumminallah),
maka menjaga pula hubungan baik antar sesama manusia (hablumminannas). Malah
kita diperintahkan-Nya untuk menjaga hubungan baik tersebut - 3T1I.
[4] ‘Akal
Otak’ (Disebut juga ‘Akal Bawah) adalah ‘akal’ yang datang dari otak yang ada
dikepala manusia. Akal jenis ini merupakan perpaduan dari rasio, logika, dan
memori. Memori adalah bagian dari otak yang berfungsi untuk menyimpan
informasi-informasi. Informasi-informasi inilah yang disebut pengetahuan atau
ilmu. Baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat.
Rasio adalah bagian dari otak yang berfungsi menangkap hasil indera dari
panca indera. Penangkapan rasio adakalanya tidak diolah lebih jauh dengan
logika, namun langsung disimpan kedalam memori menjadi pengetahuan atau ilmu.
Maka dalam tahapan ini seseorang dikatakan ‘mengetahui’.
Sedangkan Logika adalah bagian dari otak yang berfungsi untuk
menganalisa dan mensintesa sumber-sumber informasi yang didapatkan dari rasio
dan dibandingkannya dengan informasi sebelumnya yang tersimpan di memori. Hasil
dari pengolahan logika ini kemudian diisimpan kedalam memori menjadi
pengetahuan atau ilmu. Dalam tahapan ini seorang dikatakan ‘mengerti’ atau ‘memahami’.
‘Rasa Akal Yang Dalam’ dari pengertian dan pemahaman, merembas ke dalam qalb - bahasa Indonesianya qalbu. Pemahaman terhadap ilmu
pengetahuan, akan merembas ke dalam qalbu
menjadi ‘intuisi’. Pemahaman ilmu yang baik dan benar akan memandu aktivitasnya
menjadi amal shalih. Sedangkan ilmu pengetahuan yang salah hanya akan menjadi waham [*] - ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal
melalui proses interaksi dan atau informasi secara akurat -
yang menghijab dirinya dengan tuhannya. Lebih jelasnya (klik--->) Memahami
Qalbu dan Potensinya 2
[*] Waham
adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan Penilaian Realitas yang
salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal
melalui proses interaksi/ informasi secara akurat.
[5] Pada tahun 960-an: kata quark yang ini diciptakan oleh Murray Gell-Man (lihat Gell-Mann,
Murray). Arinya quark adalah salah satu
dari sejumlah partikel subatomik yang membawa muatan listrik fraksional,
didalilkan sebagai blok bangunan hadron. Quark belum diamati secara langsung
tetapi prediksi teoritis berdasarkan keberadaannya telah dikonfirmasi secara
eksperimental. □□
Daftar Bacaan:
Media Elektronik
https://www.thriftbooks.com/w/within-reason-rationality-and-human-behavior_donald-b-calne/
https://www.goodreads.com/book/show/1970140.Batas_Nalar
https://www.goodreads.com/review/show/30352608
https://haqiqie.wordpress.com/2006/05/10/batas-nalar-rasionalitas-dan-perilaku-manusia/
http://metsains.com/2007/06/menembus-batas-nalar/
via
http://ichsan-menembus-batas-nalar.blogspot.com/2010/12/menembus-batas-nalar.html
https://news.detik.com/internasional/d-4470643/fakta-terkini-aksi-brutal-penembakan-di-masjid-new-zealand
https://www.liputan6.com/global/read/3081827/5-fakta-mengerikan-bom-hidrogen
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2019/02/memahami-qalbu-dan-potensinya-2.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/08/peranan-akal-dalam-al-quran.html Dan sumber-sumber lainnya. □□□