Saturday, March 23, 2019

Penggunaan Nalar Rasionalitas





KATA PENGANTAR

B
ernalar menggunakan akalpikir. Nalar perlu, tapi bukanlah segala-galanya, karena ada faktor lain. Nalar hanyalah sebuah alat. Alat ini sudah ada pada diri manusia. Manusia yang tidak menggunakan alat nalarnya berupa akalpikir adalah manusia gila. Dalam Ajaran Islam kewajiban agama berlaku di kala manusia mulai ‘menginjak’ dewasa yang sering disebut usia Akil Balik. Akil Balik adalah sebuah kalimat dalam Ajaran Islam yang artinya ‘berakalsehat’ yang dapat membedakan baik buruk - sebelumnya didapat dari orang tuanya dan diajari lingkungan hidupnya - teman, guru, tivi, radio, media sosial lainnya.  Pada waktu itu perbuatannya mulai menggunakankan ‘nalar’. Dalam praktek pengalaman manusia, ‘perbuatan’ timbul karena ada ‘kemauan’. Sedang ‘nalar’ membenarkan ‘perbuatan’.

Nalar adalah buah dari akalpikir. Secara umum, akalpikir mana mensyaratkan adanya empat hal. Yaitu, menggunakan panca indera, otak, fakta atau realitas, serta informasi awal. Dengan itu dibangunlah ‘pendapat’, ‘paham’, ‘pandangan’, serta ‘paradigma’ yang telah menjadi ‘keyakinan’. Disamping itu ada kadangkalanya menggunakan ‘instinct’ (naluri, dorongan hatinurani) menjadi ‘reflex’ (tak sengaja) yang menimbulkan ‘perbuatan’.

Dengan nalar melahirkan sains dan teknologi, yang dengan itu, melahirkan ‘kemudahan hidup’ seperti komputer pribadi, smartphone, internet (efbe, we-es, pesan melalui teks), ATM, teknologi transfer uang baik lokal dan dunia, teknologi robotik, pesawat udara, kendaraan roda dua (motor, sepeda), kendaraan roda empat (mobil sedan, pikup, jip), kendaraan roda banyak (bus, truk, kereta api, trem, MRT), dst.

Diantara kemajuan sains dan teknologi seperti yang disebutkan itu, masih saja ada keprihatinan dalam hidup sosial kemasyarakatan manusia dalam abad “teknologi sangat maju” ini. Yaitu, hate crime, phobia, teror, penindasan, merasa lebih dari suku bangsa lain. White Nasionalist seperti yang tercantum dalam manifestonya dalam membenarkan pembunuhan biadab dalam tengah beribadahnya manusia di dua Masjid. [1] Masjid adalah rumah peribadatan - rumah suci (sanctuary, tempat perlindungan) dalam peristiwa di New Zealand pada hari Jum’at 15 Maret 2019. Dengan bangga teroris ini menjadikan Masjid tempat pembunuhan yang berdarah-darah, ditengah mereka yang sedang dan akan menghadap-Nya.

Tidak jarang pula terjadi ‘clash’ - ‘bentrokan’ yang berasal dari potensi perselisihan atau benturan. Lebih jauh dari itu, menjadi peperangan, seperti Perang antar Negara dan Perang Dunia I dan Prang Dunia II. Perang akan datang lebih lagi daya rusaknya dibandingkan Perang Dunia II yang berakhir dengan menggunakan Bom-H. [2] Yaitu senjata ‘nuklir yang mutakhir’, ‘senjata kimia’ dan ‘senjata biologi/kuman’.

Sementara Ajaran Islam mengajarkan ‘ta’aruf’ [3] yaitu konsep dalam bagaimana hidup bermasyarakat yang berbeda (suku bangsa, paham, dan agama) yang interaksi berdasarkan kesetaraan, saling pengertian. Artinya menghindarkan pertengkaran dan permusuhan yang sampai menimbulkan ‘kesewenang-wenangan’ - akibat perbedaan pendapat, suku bangsa, warna kulit serta ‘agama’ (anti ta’aruf).

Dapat dipahami sekarang bahwa bekerjanya ‘nalar’ tidak bisa sendirian, melainkan tergantung pada motive (motif) yang mendorongnya. Motif ini ditumbuhkan dari ‘pendapat’, ‘paham’, ‘pandangan’, ‘paradigma’ serta ‘pendidikan’ (P5) dimana manusia mesti belajar dari lingkungan adatbudaya tersebut guna mencegah pertikaian yang tidak perlu. Hal itulah yang di ajarkan dalam ber-ta’aruf [3] itu sebagai paradigma islami (damai) dalam ajaran Islam.



PENGGUNAAN NALAR RASIONALITAS
Dalam membentuk Perilaku
Manusia membangun Peradaban
Oleh: A. Faisal Marzuki


PENDAHULUAN

D
alam buku “Batas Nalar - Rasionalitas dan Perilaku Manusia”, oleh Donald B. Calne. Berhalaman 458 halaman, terbit 2018, penerbitnya Kepustakaan Populer Gramedia. Penulisnya seorang neurology, dokter ahli syaraf melalui karyanya “Within Reason: Reality and Human Behavior” yang diterjemahkan oleh penterjemah bukunya ke dalam bahasa Indonesianya “Batas Nalar - Rasionalitas dan Perilaku Manusia”.

Nalar (reason) yang menggunakan akalpikir dan pengaruhnya pada kehidupan manusia. Seperti apakah nalar itu, darimana asalnya, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukannya. Mengenai bagaimana otak memberi manusia akalpikir (minds) guna menciptakan konsep-konsep tentang ruang, waktu, dan hubungan sebab akibat, serta bagaimana semua itu, bersama daya ingat, memungkinkan manusia membangun kemampuan nalar. Bahkan sampai pada ‘pandangan hidup’.


Peran Nalar pada Dunia Moderen

Fakta bahwa dunia modern ini tumbuh karena penggunaan logika yang dibangun dengan menggunakan akalpikir yang bersumber dari benak atau akalotak manusia. Seringkali membuat manusia punya ekspektasi berlebihan terhadap nalar ini. Menganggapnya sebagai pangkal segala kebaikan dan kemajuan. Menjadikannya ukuran dalam semua hal yang membuat baik, maju, meningkatkan peradaban manusia.

Sementara, ‘Hitler’ itu kan kejam? Apa dia tidak punya nalar? Bukan karena tidak punya nalar, bahkan seandainya dia jadi lebih bernalar pun bukan berarti dia akan jadi sadar atau insyaf, malah mungkin lebih pintar menciptakan mesin pembunuh yang sangat dahsyat. Seperti halnya ‘bom atom’ adalah produk nalar, tapi nalar tidak mencegah untuk digunakan melainkan untuk ‘membumihanguskan’ Jepang pada Perang Dunia II.

Baik-buruk dari tujuan dan hakikat di balik perbuatan ini adalah di luar ‘kuasa nalar’. Nalar itu cuma piranti, alat, atau instrumen. Ada hal yang di luar jangkauan nalar yang menentukan tujuan sebuah perbuatan. Yaitu kesadaran (‘consciousness’), disebut juga hatinurani atau naluri atau ‘qalbu’. Penggunaan kesadaran lebih dahulu ada daripada nalar.

Sebagaimana yang disebutkan buku ‘Batas Nalar’ Donald B. Calne:

"Reason can not tell us where to go, but it can tell us how to get there... it is a gun for hire for anything we want, wether it is good or bad..."

Nalar tidak bisa memberi tahu kita ke mana harus pergi - kecuali berasal dari keinginan dari ‘hawa nafsu’ (dalam diri manusia) dan kepentingan atau interest (dalam politik), ‘keinginan’ lah yang menentukannya, dengan itu nalar bisa memberi tahu kita bagaimana menuju ke sana - dari apa yang kita tetapkan lebih dulu dari keinginan (hawa nafsu, atau kepentingan). Dalam prakteknya, nalar ini adalah sebagai piranti atau alat atau instrumen yang digunakan untuk apa pun yang kita inginkan, apakah itu baik atau buruk’.


Keterbatasan Nalar

Nalar yang menggunakan akalpikir, sebagaimana selama ini kita memuja atas keunggulan dan kelebihannya, ternyata di tangan Donald B. Calne hanyalah sebuah piranti atau alat bagi manusia untuk melangsungkan keinginan daripada kehidupannya. Buku “Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia”, menggambaran dengan gamblang sebuah kenyataan bahwasanya nalar yang dimiliki manusia hanyalah sebuah instrumen yang tidak berbeda jauh dengan pedang ataupun palu. Sebagai sebuah alat, nalar tidak dapat menentukan arah dan tujuan, melainkan si pengguna yang mempunyai alat itu sendiri yang menentukannya. Dengan demikian, seperti sebuah pedang, nalar juga memiliki dua buah sisi yang bisa berlawanan bila digunakan. Nalar bisa menjadikan manusia, sang pemilik nalar, menjadi seorang manusia perusak dan penghancur sebagai mana pedang bisa digunakan untuk membunuh sesama manusia - hancurnya peradaban. Sebaliknya nalar dapat digunakan oleh manusia untuk menjadikan dirinya ta’aruf [3] sesama manusia membangun peradaban.

Nalar dengan demikian tidak bisa menentukan arah mana ia mau menuju, tetapi nalar mampu memberikan pilihan-pilihan terbaik bagi manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Disini, nalar hanyalah sebuah produk biologis dari manusia yang digunakan oleh manusia untuk tujuan-tujuan biologis. Nalar disini berubah menjadi pelayan bagi hawa nafsu atau keinginan manusia.

Tetapi setidaknya nalar sering juga menunjukkan kekeliruan dari sifat hawa nafsu kita sendiri, sengaja atau tidak. Ia berulangkali juga menunjukkan kesalahan dalam ‘keyakinan’ atau ‘kepahaman’ kita yang kita anut selama ini. Keraguan dan kebimbangan yang muncul dalam keyakinan kita acap kali merupakan suatu kesimpulan nalar yang menunjukkan bahwa ‘keyakinan’ (yang bukan keyakinan yang sebenarnya) kita sering tidak konsisten dan keliru secara logika.


Nalar Istilah yang Ambigu

Dalam penggunaan istilah nalar itu sering pula ambigu (tidak jelas) apabila istilah nalar ini dipergunakan dalam bahasa keseharian. Kecenderungan subjektif dari manusia dalam mendifinisikan nalar demi sebuah ‘kemenangan argumen’. Sering pula menjadikan kerancuan. Disini istilah nalar menjadi suatu simbol kebenaran semu. Seringlah kita dengar ungkapan, “Gunakan nalarmu! Gunakan akal sehatmu!” Disini nalar seolah olah menjadi jantung untuk suatu tindakan benar dan baik. Padahal dari kenyataannya tidaklah demikian.


Konsekuensi Penggunaan Nalar

Nalar atau akalpikir terkait dengan pertanggungjawaban manusia atas kemanusiaannya (khalifah di bumi - memakmurkan kehidupan di bumi, membangun peradaban). Orang gila tidak bisa dituntut untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Manusia ‘waras’ yang berakal akan diminta pertanggungjawabannya karena bisa atau tidak menggunakannya bersama dengan atau atas ‘kesadaran akan Yang Maha Benar’. Oleh karenanya, akal terkait dengan dosa dan pahala, akal terkait dengan surga dan neraka. Dosa-Pahala atau Surga-Neraka sudah ditentukan, sudah ditetapkan, tinggal akal saja mau milih yang mana. Oleh karenanya ‘akalpikir’  yang digabungkan atau menggunakan ‘kesadaran’ yang datang dari ‘hatinurani’ atau ‘qalbu’ bisa menjadi alat pemilih apakah yang kita inginkan itu baik atau tidak - membangun atau merusak peradaban.

Bagi Calne, direktur Pusat Penanggulangan Penyakit Syaraf, yang mengusik perhatian dan pemikiran dia adalah fakta-fakta di mana nalar dan pendidikan (yang ada sekarang ini) tidak tampak mampu untuk mengendalikan perilaku manusia. Kegelisahan ini tercermin dalam pertanyaan kritis Calne berikut:

 “Jika kita berpikir lebih banyak, akankah kita bertindak lebih baik?”

Calne, melalui pencermatan kritis terhadap sejarah, mendapati berbagai peristiwa kejam, tidak beradab, irasional, yang dilakukan oleh individu, kelompok ataupun bangsa yang justeru telah meraih kemajuan dalam pendidikan dan penalaran. Untuk lebih sistematis dalam memahami fenomena yang menggelisahkan ini, Calne menuangkan problematika nalar ke dalam bentuk pertanyaan yang lebih umum:

“Apa yang kita tahu mengenai nalar dan cara menggunakannya?”

Kegelisahan Calne, dan latar belakang sosial dia sebagai anggota komunitas neurolog yang sering menjumpai perilaku pasiennya yang mengalami disorders - ganguan, kekacauan atau kegalauan pada lingkungan sosialnya, memacu Calne untuk terus-menerus mencari jawaban tentang nalar. Dalam lingkungan profesionalnya, Calne mencari jawaban ini melalui pengamatan terhadap neuron dan otak manusia, dalam perspektif teoretik biologi evolusioner.


SEJARAH PENGGUNAAN NALAR

D
alam suatu penelusuran historis, Calne menuturkan tentang tampilnya era Enlightenment (era Pencerahan) di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, setelah bangsa (Eropa) mengalami ‘stagnasi intelektual’ - kemandekan intelektual selama lima belas abad. Di masa kegelapan Barat itu, di Timur, menurut Calne, justeru tengah terjadi kemajuan-kemajuan di bidang nalar. Calne mencatat kemajuan-kemajuan yang dicapai Dunia Islam dalam Matematika (penggunaan ‘Angka Arab’ jadi ‘Angka Moderen’, Aljabar, Algoritma), Astronomi, Kedokteran dan lain-lain.

Perubahan dimensi intelektual di era Enlightenment membawa bangsa Eropa pada suatu tatanan kehidupan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kehidupan intelektual di era Enlightenment ini dicirikan oleh cara pandang baru terhadap ‘alam’ dan ‘nalar’. Tentang ini Calne mengutip ucapan Isaac Newton:

“Sains terdiri dari menemukan kerangka dan cara kerja Alam, dan sejauh mungkin mereduksinya jadi rumus dan dalil umum - meneguhkan rumus dan dalil itu dengan hasil pengamatan dan percobaan, lalu dari sana menarik kesimpulan mengenai sebab dan akibat.”

Kemajuan ini diiringi dengan perubahan sosial-politik di Eropa, di mana nalar dan rasionalitas mendapat tempat yang makin tinggi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pada saat yang sama, makin meningkat kepercayaan dan harapan bahwa sains dan nalar mampu melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan kekejaman di dunia.

Namun, Calne menilai bahwa harapan yang digantungkan pada nalar terlalu berlebihan. Meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II mengakibatkan matinya 1oo juta lebih manusia baik militer maupun sipil; hancurnya bangunan-bangunan dan infrastrutur dengan menggunakan penyelesaian perselisihan yang menggunakan ‘perang akal-akalan’ (yang akhirnya menggunakan kekerasan secara militer); krisis ekonomi berulang-ulang, menjadi bukti ‘keterbatasan nalar’ dalam menjalankan peranan sebagai ’dewa penyelamat.’ Gerakan menjauhi nalar secara berangsur mulai tampil kembali dan memarak ke dalam panggung sejarah. Bandul sejarah kembali ke titik yang berlawanan. Bagi Calne, keterbatasan bukan hanya pada sains, tapi juga pada dunia akademis secara umum. Sikap Calne dalam situasi yang dia cermati ini dinyatakannya sebagai berikut:

“Bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia yang nyata, jelas, dan tidak-boleh-tidak bekerja dalam hampir semua aspek kehidupannya. Tapi nalar (saja) TIDAK BISA memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengannya.”

Dalam uraian Calne di buku ‘Batas Nalar,’ nalar diartikan sebagai perkakas biologis yang berkembang secara evolusioner, yang bertugas menjawab pertanyaan ‘bagaimana?’ Tetapi bukan ‘mengapa?’ Nalar merupakan fasilitator, bukan inisiator. Nalar kita gunakan untuk mendapatkan apa yang kita mau, bukan untuk menentukan apa yang kita mau. ‘Mengapa?’ mesti juga merujuk pada motivasi, yang bagi Calne, terpisah dari domain kerja nalar.

Nalar tidak memiliki sifat meraih kepuasan emosional, karena selalu saja ‘merasa’ kurang. Sedangkan moral (integritas, akhlak) yang bertautan dengan hal yang seharusnya dapat mengendalikan atau mengontrol apa yang diinginkan, terpaut dengan emosi yang baik dan perintah budaya yang membangun. Naluri dan emosi mendorong kita, karena memuaskannya. Yaitu membawa kebahagiaan, dan mengabaikan timbulnya kekecewaan. Dengan itu kebudayaan dapat mengaitkan tujuan-tujuan dengan ‘naluri’ dan ‘emosi’, dan keduanya memunculkan ‘motivasi’. Nalar jauh dari gelora hasrat manusia. Calne melihat ‘nalar’ sebagai terpisah dari ‘motif’. Meski peringkat-peringkat motif berada dalam wilayah yang dapat dimengerti nalar’.


Pesan dari Buku Batas Nalar

Buku ‘Batas Nalar’ menyampaikan sebuah pesan yang sangat penting bahwa meskipun nalar ampuh, namun nalar tidak bisa dibiarkan sendiri dalam menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Demikian Donald B. Calne masih menyisakan pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat menetapkan motif-motif, tujuan-tujuan, dan pada gilirannya berguna untuk mengendalikan nalar.

Calne sendiri merupakan penganut biologi evolusioner yang konsisten. Dia mengembalikan segala persoalan pada evolusi, yang tujuan utamanya adalah mempertahankan kehidupan biologis spesies manusia. Nalar (akalpikir otak) dan akalbudi (kesadaran yang bersumber dari ‘qalbu’) merupakan produk dari hasil belajar dari sejarah evolusi. Calne tidak banyak mengelaborasi aspek intangible - ‘ada tapi tidak berwujud’ seperti kesadaran yang timbul dari penggunaan ‘qalbu’ [4] yang ada pada batin atau jiwa atau ruh manusia. Pada aspek-aspek intangible yang terdapat dalam ‘kesadaran’ dari berkat bekerjanya ‘qalbu’ [4] disebut juga hatinurani sebagai faktor yang berpengaruh besar dalam mengarahkan penalaran dan mengendalikan ‘emosi’ dari ‘motivasi’ manusia.


MISTERI KESADARAN

S
ejak awal peradaban manusia, para filosof, seniman, fisikawan, telah berupaya menyelami dan menyingkap misteri kesadaran. Di sini berjajar nama-nama besar mulai dari Plato, Rene Decartes, William James, George Santayana, Roger Penrose dan banyak lagi pemikir dan saintis terkenal lainnya. Dalam sains, kesadaran diterima sebagai pokok bahasan saintifik dengan mengambil pendekatan-pendekatan dari teknologi medis untuk menganalisis otak, insights (wawasan, pengertian yang mendalam) dari fisika, kimia, biologi, neuroscience, psikologi, sosiologi dan filosofi.

Alwyn Scott, seorang ahli fisika non-linier, merangkum berbagai capaian tentang kesadaran, yang dia tuangkan dalam buku “Stairway to the mind: controversial new science of consciousness.” Scott memaparkan suatu skema hirarkis yang menstrukturkan anak-anak tangga untuk memahami kesadaran yang ada dalam sciense  reductionistic.
 
Sciense  Reductionistik

Dalam sains reduksionistik, berlaku pandangan bahwa untuk memahami fenomena pada satu tingkatan, maka fenomena pada tingkat-tingkat di bawahnya harus dipahami lebih dahulu. Jadi untuk memahami kesadaran, orang harus mempelajari otak; untuk mempelajari otak, orang harus mempelajari neuron; untuk mempelajari neuron orang harus mempelajari proses dinamik protein; dan untuk mempelajari protein orang harus akrab dengan kimia dan fisika atom.

Namun (dalam uraiannya yang cukup rumit diikuti) pandangan reduksionistik telah dibuktikan kelemahan-nya, terutama dengan terungkapnya fenomena ‘emergent’. Pada intinya, fenomena ‘emergent’ ini memperlihatkan bahwa fenomena di suatu tingkatan bukan merupakan kumpulan agregat dari fenomena di tingkat-tingkat di bawahnya. Dengan perkataan lain, keseluruhan bukan jumlah agregat dari bagian-bagiannya.

Dalam terminologi applied mathematics dikenal istilah kejadian non-linier, seperti angin tornado. Dalam matematika linier, prediksi dapat dilakukan oleh karena keseluruhan merupakan jumlah eksak dari bagian-bagian. Dalam matematika non-linier, diperlukan superkomputer untuk memprediksi kapan tornado akan terjadi. Walaupun begitu, masih mungkin prediksi ini salah. Kejadian non-linier merupakan contoh fenomena “emergent” - adanya yang datang tiba-tiba dari sekumpulan gejala yang menimbulkan aksi reaksi, sebab akiba. Hal-hal semacam itu sering pula secara awam atau ilmiah disebut faktor x.

Jadi, kesadaran bukan merupakan asembli - bagian dari susun bangunan yang berbentuk atau terbentuk hanya - dari atom, molekul, neuron. Tetapi kesadaran “emergent” dari semua elemen-elemen ini. Kesadaran, meski terpaut dengan fenomena atomik, kimiawi dan neronik, merupakan fenomena yang sepenuhnya baru. Sains reduksionistik, menurut Scott, tidak berhasil memberikan jawaban yang utuh tentang kesadaran manusia oleh karena ketidakmampuannya menjelaskan fenomena ‘emergent’ tersebut, dalam Ajaran Islam disebut ‘takdir’ suatu suratan atau ketentuan dari-Mya Yang Maha Tahu.

Dalam cara yang berbeda, Prof. Murray Gell-Mann, Seorang pemenang Nobel untuk Fisika, dalam novelnya “The Quark and The Jaguar,” menuturkan:

There would seem to be an enormous gap between fundamental physics and these other pursuits… Elementary particles have no individuality. …By contrast,… linguistics, history are concerned with individual empires…

 Tampaknya akan ada kesenjangan yang sangat besar antara fisika fundamental dan pencarian lainnya. Partikel elementer tidak memiliki individualitas. Sebaliknya, linguistik, sejarah berkaitan dengan ‘disiplin’ masing-masing.

Menapak anak-anak tangga dari dasar ke puncak piramida sains merupakan pergeseran dari kesederhanaan menuju kompleksitas. Ini yang dimetaforkan oleh Gell-Mann sebagai perjalanan dari ‘quark’ [5] (fenomena fisika) menuju Jaguar (fenomena mahluk hidup yang adaptif). Masyarakat, sebagai sistem yang kreatif dipandang memiliki kompleksitas yang sangat tinggi. Penguasaan terhadap hukum-hukum universal matematika, fisika, tidak begitu saja (bisa) membuka jalan untuk menerangkan fenomena mental dan fenomena sosial-politik yang dicirikan oleh “emergent”. Jadi, pada wilayah dengan kompleksitas tinggi seperti fenomena mental dan sosial, dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang khusus dan khas untuk mempelajarinya (bukan seperti yang terdapat dalam hukum-hukum universal matematika, fisika).


‘Batas Nalar’ sebagai Persoalan Epistemologis

Pertanyaan tentang ’batas nalar’ ini tampaknya bermuara pada misteri kesadaran manusia. Untuk bisa menyentuh atau bahkan menembus ’batas nalar,’ berbagai upaya pencarian intelektual (intelectual inquiry) perlu dikerahkan untuk secara berangur menyingkap misteri kesadaran ini.

Para filosof telah membuktikan bahwa kesadaran merupakan sejenis pengetahuan, tapi bukan pengetahuan instrumental (sebagaimana didefinisikan oleh Calne). Misalnya, ketika seseorang sedang marah, dia memiliki kesadaran akan emosi marahnya. Kesadaran ini bertautan erat dengan apa yang dalam filsafat dikenal dengan presentational knowledge. Ini berbeda dengan acquired knowledge yang diraih manusia melalui perantaraan konsep-konsep kognitif.

Dengan menempatkan kesadaran pada sentral bahasan, persoalan batas nalar yang dilontarkan Calne dapat dinyatakan ulang sebagai berikut:

Pengetahuan instrumental tidak bisa memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengannya. Tapi kesadaran, atau pengetahuan presentasional itulah yang menetapkan tujuan dan menggerakkan manusia.

Pengalaman memperlihatkan bahwa bukan naluri atau emosi yang bisa betul-betul menggerakkan manusia, sebagaimana dipercaya Calne. Meski emosi mendorong reaksi-reaksi cepat (gut reactions), pengalaman menunjukkan bahwa reaksi emosional demikian tidak memiliki subsistensi yang kokoh. Dorongan emosi ini tidak menjelaskan adanya tindakan manusia yang memperlihatkan tekad yang begitu kuat, kestabilan dan konsistensi. Ini tidak bisa dijelaskan dengan merujuk pada emosi dan perintah kultural.

Jadi, batas nalar sebagaimana dipersepsi Calne dalam buku ”Batas Nalar,” terletak pada domain kesadaran, yang pada esensinya merupakan sejenis pengetahuan juga (yakni pengetahuan presentasional). Untuk bisa ’menembus’ batas ini, untuk bisa menyatukan nalar dan moral, yang benar dan yang baik, upaya-upaya pencarian intelektual perlu dikerahkan dan dikembangkan untuk mampu menyingkap misteri kesadaran. Sebagai penutup, disampaikan himbauan Alwyn Scott berikut ini, yang menawarkan sebuah jalan untuk ’menembus batas nalar’:

“If we are ever to chieve this level of understanding within the context of natural science, all of us must work together. Physicists and physiologists, neurologists and ethnologists, biochemists and philosophers, engineers and poets abandon flase pride and outworn tribal royalties in order to learn how to learn from each other. Only in this way can our collective imagination transcende the limited perspectives of a single rung of the metaphorical ladder and approach an understanding of our awareness of the real one.”

Jika kita ingin mencapai tingkat pemahaman ini dalam konteks ilmu pengetahuan alam, kita semua harus bekerja bersama. Fisikawan dan ahli fisiologi, ahli saraf dan ahli etnologi, ahli biokimia dan filsuf, insinyur dan penyair meninggalkan kebanggaan dan mengalahkan (dan menyalahkan) “satu sama lainnya” (melainkan) untuk belajar bagaimana belajar dari satu sama lain. Hanya dengan cara ini imajinasi kolektif kita dapat melampaui perspektif terbatas dari satu anak tangga tangga metaforis dan mendekati pemahaman tentang kesadaran kita akan yang asli.


PENUTUP

“Bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia yang nyata, jelas, dan tidak-boleh-tidak bekerja dalam hampir semua aspek kehidupannya. Tapi nalar (saja) TIDAK BISA memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengannya.”


C
alne menuturkan tentang tampilnya era Enlightenment (era Pencerahan) di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, setelah bangsa (Eropa) mengalami “stagnasi intelektual” - kemandekan intelektual selama lima belas abad. Di masa kegelapan Barat itu, di Timur, menurut Calne, justeru tengah terjadi kemajuan-kemajuan di bidang nalar. Calne mencatat kemajuan-kemajuan yang dicapai Dunia Islam dalam Matematika (penggunaan “Angka Arab” jadi “Angka Moderen”, Aljabar, Algoritma), Astronomi, Kedokteran dan lain-lain.

Kemudian dengan kemunduran Pemerintahan Kekhalifan Islam di Al-Andalus (sebelumnya di Baghdad yang ketika itu jadi pusat intelektual dunia),  seperti tercatat pula dalam sejarah atas kemajuan Cardoba, Sevilla, dan kota-kota lain dari Al-Andalus yang berlokasi di semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal), majulah Eropa. Dalam tiga abad terakhir ini, Eropa dan Asal Eropa (Canada, Amerika, Australia, dan New Zealand) telah mengendalikan ekonomi, politik, budaya, sains, teknologi dan militer dunia ke-3 (non Eropa). Dalam catatan sejarah jelas terlihat yaitu kolonisasi (penjajahan) ke dunia ke-3. Semenjak itulah apa yang berasal dari Barat di“copy paste”. Ini tidak salah, baik. Tapi ada segi-segi budaya yang tidak “pas”, karena akar, dasar, dan motivasi sejarahnya dari sumber yang beda. Sepenuhnya berakar dari “nalar” yang sekarang dipertanyakan Donald B. Calne dan dipertegas lagi oleh Alwyn Scott dan Murray Gell-Mann seperti yang diuraikan diatas.

Harapan bahwa “Kemajuan (dengan mengguakan nalar) ini selanjutnya diiringi dengan perubahan sosial-politik di Eropa (dan bangsa-bangsa eks Eropa), di mana nalar dan rasionalitas mendapat tempat yang makin tinggi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pada saat yang sama, makin meningkat kepercayaan dan harapan bahwa sains dan nalar mampu melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan kekejaman di dunia”. Dalam kenyataan tidak, seperti terjadinya Perang Dunia I, II, dan Perang Dingin serta perang-perang lain dan teror-teror dan phobia-phobia sosial lainnya.

Sementara di dunia Era Keemasan Islam ‘nalar’ dipakai ‘wahyu’ pun dipakai. Keduanya berkembang bersamaan. Sementara di Eropa era Enlightenment ‘nalar’ dipakai ‘agama’ ditinggalkan, terutama yang menyangkut dengan ‘dunia’ - pemerintah dalam bernegara (agama tidak boleh ikut campur dalam urusan negara). Ideologi atau pemahaman seperti itu, sesuai dengan perkembangan sejarah Eropa yang kurang baik hubungannya antara “Paus - Pemimpin Katolik/Agama bersama Raja - sebagai peguasa negara” dengan “ilmuan (sains) bersama rakyat akar rumput”. Padahal sumber-sumber kesadaran moral (baik-buruk) ada di ‘ajaran agama’.

Dalam Pemerintahan Kekhalifan Islam pada era keemasannya, ‘nalar’ -‘kesadaran penggunaan akalpikir’ dan ‘kesadaran moral’ (baik-buruk; membangun-merusak peradaban; adil-kesewenangwenangan) ada dalam Ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah (baca As-Sunnah).  Ajaran Al-Dīn (baca ad-dīn) Islam sebagai dasar Ajaran Hidup yang membawa selamat (bahagia serta baik) di dunia dan selamat (bahagia serta baik pula) di akhirat. Untuk setiap individu, maupun individu dalam masyarakat (lokal, regional, bangsa dan antra bangsa). Ajaran Islam mengajarkan pula bagaimana mencapai kebaikan hidup di dunia ini sebagai cerminan (bekal nanti) mencapai kenyamanan hidup di akhirat kelak.  Ajaran islami seperti itulah dimana negara, lingkungan masyarakat dan orang tua serta dunia perlu memahami. Dengan itu terbangunlah peradaban yang perilaku manusia ta’aruf [3], karena sumber bangun atau kacaunya peradaban datang dari nilai perilaku manusia sendiri.

Demikianlah catatan sejarah telah mencatat dan mengajarkan kita bagaimana membangun perilaku manusia yang mestinya aman, adil dan makmur dalam peradaban antar masyarakat bangsa dan masyarakat antar bangsa-bangsa seperti yang telah dipaparkan dalam tajuk diatas. Allāhu A’lam bish-Shawab, billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Baca juga (klik --->) Peranan Akal Dalam Al-Qur'an


Catatan Kaki:
[1] Pelaku aksi teror di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru (New Zealand), Brenton Tarrant (28), seorang warga Australia sebelumnya diketahui sempat memposting secara online sebuah ‘manifesto’ setebal 87 halaman, yang isinya menyebutkan alasannya melakukan penembakan itu. Manifesto itu berisi pandangan anti-imigran, anti-muslim dan penjelasan mengapa serangan itu dilakukan.
   Selain Kantor Perdana Mentri Jacinda Ardern, ada 70 pihak lainnya yang menerima salinan ‘manifesto’ itu sesaat sebelum teror terjadi di dua Masjid, Masjid Al Noor dan Masjid Linwood  di Christchurch.
   Korban tewas penembakan brutal (dan biadab) sejauh ini dilaporkan mencapai sedikitnya 49 orang, dengan rincian 41 orang tewas di Masjid Al Noor, tujuh orang tewas di Masjid Linwood dan satu orang tewas di Rumah Sakit Christchurch.
   Sedangkan korban luka mencapai 48 orang, namun hanya 39 orang yang masih dirawat di rumah sakit dengan 11 orang di antaranya menjalani perawatan intensif. [https://news.detik.com/internasional]
[2] Dampak Bom-H (bom hydrogen) pada hakekatnya sama dengan bom nuklir lainnya, yaitu panas, ledakan, dan radiasi, tapi pada skala yang jauh lebih besar. Bom-H merupakan perangkat nuklir yang mengkombinasikan proses fisi (fission, yaitu pemisahan) dan fusi (fusion, yaitu penggabungan) materi-materi radioaktif. Senjata termonuklir jenis ini menggunakan bom nuklir normal yang menggunakan fisi (pembelahan atom) untuk menghasilkan energi penghasil panas dan tekanan yang menciptakan reaksi fusi nuklir. Bom-bom hidrogen merupakan bagian dari upaya lazim pengembangan senjata-senjata nuklir yang digdaya. Ini adalah senjata nuklir paling kuat yang pernah dibuat dari jenis fusi. Kekuatannya mencapai 50 megaton. Sebagai perbandingan, bom fisi yang dijatuhkan di Hiroshima memiliki daya ledak 15 kiloton.
   Lebih dari sepertiga energi bom hidrogen dilepaskan dalam bentuk panas, cahaya, dan beberapa radiasi ringan semisal ungu ultra (ultraviolet, UV) dan sinar-X.
   Dampak pertama yang paling langsung adalah kebutaan temporer ataupun permanen pada setiap orang yang menatapnya atau berada di arah ledakan tanpa perlindungan memadai pada mata. Energi yang dilepaskan juga menghasilkan suhu yang luar biasa, terutama dalam kasus bom hidrogen yang digdaya. Sebuah bom hidrogen bisa menghasilkan suhu yang 6.300 kali lebih panas daripada suhu permukaan matahari. Panas setinggi itu langsung melelehkan materi-materi yang ada di sekitar pusat ledakan (ground zero), melengketkan tanah dan pasir menjadi kaca, dan menghasilkan bola api berukuran raksasa.
   Selain bom neutron, ketika senjata nuklir normal diledakkan maka sekitar setengah energi yang dilepasnya adalah dalam bentuk ledakan concussive. Ledakan penghancur terjadi karena panas yang dilepaskan menciptakan tekanan atau gelombang berlebih yang menaikkan tekanan atmosferik yang memancar dari ledakan. Perbedaan ledakan bom hidrogen dibandingkan dengan jenis ledakan lain – bahkan ledakan nuklir lain – adalah energi ledak yang jauh lebih besar. Menarik untuk diketahui bahwa ledakan nuklir bergantung kepada atmosfer untuk merambatkan ledakan. Tidak seperti fiksi ilmiah yang banyak beredar, ruang hampa yang tercipta malah meniadakan ledakan concussive ini sehingga hanya menyisakan 2 dampak nuklir lainnya, yaitu radiasi  dan radiasi ionisasi.
   Sekitar 15 persen energi bom hidrogen berbentuk sebagai radiasi. Sekitar 5 persen sebagai radiasi yang menyebabkan ionisasi. Radiasi ioniasi adalah partikel bermuatan tinggi ataupun sinar-sinar gamma yang terpancar sebagai bagian dari reaksi berantai fisi dan fusi dalam sebuah bom hidrogen.
   Sisa energi berbentuk tebaran (fallout) nuklir, yaitu penyebaran bahan-bahan radioaktif yang merambah atmosfer akibat ledakan. Ampas yang tersebar termasuk produk-produk sampingan atau bahan bakar sisa dari bom. Zat-zat tersebut terus memancarkan radioaktif berbahaya ketika zat-zat sedang meluruh. [https://www.liputan6.com]
[3] Prinsip TA’ARUF ini diambil dari surah Al-Hujurāt sbb: “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu TA’ARUF (saling kenal mengenal, artinya kemauan orang yang siap hidup bersama dengan orang atau bangsa lain dalam ‘perbedaan’). (QS Al-Hujurāt 49:13).
   TA’ARUF ini meliputi Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. (3T1I)
   Tentunya selain menjaga hubungan kepada Sang Pencipta yakni Allah Sang Pencipta Alam Semesta dan Manusia (hablumminallah), maka menjaga pula hubungan baik antar sesama manusia (hablumminannas). Malah kita diperintahkan-Nya untuk menjaga hubungan baik tersebut - 3T1I.
[4] ‘Akal Otak’ (Disebut juga ‘Akal Bawah) adalah ‘akal’ yang datang dari otak yang ada dikepala manusia. Akal jenis ini merupakan perpaduan dari rasio, logika, dan memori. Memori adalah bagian dari otak yang berfungsi untuk menyimpan informasi-informasi. Informasi-informasi inilah yang disebut pengetahuan atau ilmu. Baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat.
   Rasio adalah bagian dari otak yang berfungsi menangkap hasil indera dari panca indera. Penangkapan rasio adakalanya tidak diolah lebih jauh dengan logika, namun langsung disimpan kedalam memori menjadi pengetahuan atau ilmu. Maka dalam tahapan ini seseorang dikatakan ‘mengetahui’.
   Sedangkan Logika adalah bagian dari otak yang berfungsi untuk menganalisa dan mensintesa sumber-sumber informasi yang didapatkan dari rasio dan dibandingkannya dengan informasi sebelumnya yang tersimpan di memori. Hasil dari pengolahan logika ini kemudian diisimpan kedalam memori menjadi pengetahuan atau ilmu. Dalam tahapan ini seorang dikatakan ‘mengerti’ atau ‘memahami’. ‘Rasa Akal Yang Dalam’ dari pengertian dan pemahaman, merembas ke dalam qalb - bahasa Indonesianya qalbu. Pemahaman terhadap ilmu pengetahuan, akan merembas ke dalam qalbu menjadi ‘intuisi’. Pemahaman ilmu yang baik dan benar akan memandu aktivitasnya menjadi amal shalih. Sedangkan ilmu pengetahuan yang salah hanya akan menjadi waham [*] - ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi dan atau informasi secara akurat - yang menghijab dirinya dengan tuhannya. Lebih jelasnya (klik--->) Memahami Qalbu dan Potensinya 2
[*] Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan Penilaian Realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi/ informasi secara akurat.
[5] Pada tahun 960-an: kata quark yang ini diciptakan oleh Murray Gell-Man (lihat Gell-Mann, Murray). Arinya quark adalah salah satu dari sejumlah partikel subatomik yang membawa muatan listrik fraksional, didalilkan sebagai blok bangunan hadron. Quark belum diamati secara langsung tetapi prediksi teoritis berdasarkan keberadaannya telah dikonfirmasi secara eksperimental. □□



Daftar Bacaan:
Media Elektronik
https://www.thriftbooks.com/w/within-reason-rationality-and-human-behavior_donald-b-calne/
https://www.goodreads.com/book/show/1970140.Batas_Nalar
https://www.goodreads.com/review/show/30352608
https://haqiqie.wordpress.com/2006/05/10/batas-nalar-rasionalitas-dan-perilaku-manusia/
http://metsains.com/2007/06/menembus-batas-nalar/
via
http://ichsan-menembus-batas-nalar.blogspot.com/2010/12/menembus-batas-nalar.html
https://news.detik.com/internasional/d-4470643/fakta-terkini-aksi-brutal-penembakan-di-masjid-new-zealand
https://www.liputan6.com/global/read/3081827/5-fakta-mengerikan-bom-hidrogen
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2019/02/memahami-qalbu-dan-potensinya-2.html 
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/08/peranan-akal-dalam-al-quran.html 
Dan sumber-sumber lainnya. □□□