Tuesday, June 2, 2020

Orientasi Hidup Seorang Muslim




KATA PENGANTAR


Penulisan yang menyangkut dengan dīnul Islam bukanlah apa yang kita pikirkan, melainkan apa sebenarnya yang dimaksudkan dīnul Islam yang dengan itu kita pikirkan dan tuliskan. [A. Faisal Marzuki]


Menulisnya penulis disemangati dan dimotivasi dari sebuah Hadits sebagai berikut: Dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً - ballaghū ‘anniy wa law ayah - “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” [HR Bukhari]

Walaupun begitu, penulis membatasi hanya yang bersifat habblum minan nās kalaupun ibadah adalah ibadah ghaira mahdhah dengan ayat-ayat kauniyahnya yang berisi science - ilmu pengetahuan, sosiologis, sejarah, lingkungan hidup (ekosistim), peradaban dan lain-lainnya. Tidak dalam aspek hukum dan fikih yang membutuhkan keahlian khusus dan pengetahuan khusus serta jenjang pendidikan khusus serta alat-alat analisa khusus dan sangat menguasainya. Untuk hal yang terakhir ini penulis hanya “sami’na wa a’thona

Kalau penulis menulis panjang supaya jelas. Karena sering kali yang dikenal pengetahuan Islam kebanyakan dalam ibadah mahdhah (di sekitar ritual agama), yang lainnya ada tapi masih kurang. Dengan itu tulisannya menjadi panjang, karena menerangkan bukan hanya Islam dalam tinjaun “hamblum minAllāh”, tapi meliputi pula “habblum minan nās” - ibadah ghaira mahdhah. Malah dua pertiganya isi al-Qur’an menyangkut masalah “habblum minan nās”.



ORIENTASI HIDUP
SEORANG MUSLIM
Oleh: A. Faisal Marzuki


K
unci kemajuan adalah membawa suatu wilayah tempat tinggal (komunitas, negara, antar negara) bersama warga masyarakat yang ada didalamnya menjadi sejahtera, maju dan jaya, namun dalam pencapaiannya tidaklah mudah. Disamping memerlukan kerja keras, diperlukan pula kematangan (mature, dewasa) para warga masyarakatnya. Mereka mesti tahu orientasi hidupnya kemana. Dengan orientasi yang telah diketahuinya itu perlu dimasyarakatkan (disebar luaskan).

Sebagai bahan untuk memahami bagaimana orientasi hidup seorang muslim di dunia ini kami ambilkan dari tiga ayat dari dua surah sebagai berikut:

Firman-Nya dalam Surah al-Qashash ayat 77:“wabtaghi - dan carilah;   fīmā - pada apa yang (pahala); ātākallāhu - Allah berikan kepadamu; addāra - kampung, kampung halaman, village; al ākhirata - akhirat); wa lā tansa - dan janganlah kamu lupa; nashībaka - bagianmu - minad dunyā ( dari dunia, di dunia); wa ahsin - dan berbuat baiklah; - kamā - sebagaimana; - ahsanallāhu - Allah telah berbuat baik;  ilayka - kepadamu; wa lā tabghi - dan janganlah berbuat; alfasāda - kerusakan; fil ardhi - di bumi; innallāha - sesungguhnya Allah;  lā yuhibbu - tidak menyukai;  almufsidīn - orang-orang yang membuat kerusakan.

Arti keseluruhan dalam bahasa Indonesia menjadi “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash 28:77)

Selanjutnya firman-Nya yang lainnya menyebutkan sebagai do’a yang diucapkan setiap Muslim "Rabbanā ātina fid dun-yā hasanataw, wa fil ākhirati hasanataw, wa qinā ‘adzāban nār - Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan (pula) di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka. (QS al-Baqarah 2:201).

Terakhir firman-Nya menyebutkan: Lahā mā kasabat wa 'alaihā maktasabat- Dia (manusia) mandapat pahala (dan kenikmatan hidup dunia dan akhirat) dari kebajikan yang di kerjakan (“kunci hidup yang sukses”), dan dia (manusia) mendapat (siksa, ketidak sejahteraan hidup dunia dan akhirat) dari (kejahatan, mismanagement, lalai dalam beribadah mahdah dan ghaira mahdah) yang diperbuatnya (“hidup yang tidak sukses”). (QS Al-Baqarah 2:286).

Ketiga ayat ini sangat menarik untuk dipahami sebagai “Orientasi Hidup Seorang Muslim” selama hidup di dunia, karena kehidupan manusia di dunia sebenarnya sebagai ladang ibadah yang mempunyai efek (akibat, konsekwensi) hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Yang akan kita tadaburi adalah 3 ayat dari 2 surah sebagai berikut:

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat [1] dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, [2] tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, [3] dan berbuat baiklah (kepada orang lain), [4] sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, [5] dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. [6] Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” [7] (QS Al-Qashash 28:77)

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan (pula) di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka. [8] (QS al-Baqarah 2:201).

Dia (manusia) mandapat pahala (dan kenikmatan hidup dunia dan akhirat) dari kebajikan yang di kerjakan (“kunci hidup yang sukses”), [9] dan dia (manusia) mendapat (siksa, ketidak sejahteraan hidup dunia dan akhirat) dari (kejahatan, mismanagement, lalai dalam beribadah mahdah dan ghaira mahdah) yang diperbuatnya (“hidup yang tikdak sukses”). [10]. (QS Al-Baqarah 2:286).


PENJELASANNYA

Habblum minan Nās”. Hubungan sesama manusia menjadi kewajiban kita disamping “Habblum minAllāh”.

Penggalan ayat dalam Surah Al-Qashash 28 ayat 77 yang menyebutkan: “dan berbuat baiklah (kepada orang lain), [4] ● sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. [5]”

Kedua penggalan ayat ini mengandung unsur “hubungan sesama manusia”, disebut juga “habblum minan nās” yang Allah tekankan sekali bagi setiap Muslim yang mesti pedomani disamping “hubungan dengan Allah” (habblum minAllāh).

Pertama: Kedudukan “Habblum minan Nās” sebagai yang disebutkan dalam penggalan ayat 77 dalam Surah ke-28, Al-Qashash ini yang menyebutkan: “dan berbuat baiklah (kepada orang lain), [4] “sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, [5] ● dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. [6] ● Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” [7]

Kedua: Kedudukan “Habblum minan Nās” sebagaimana peringatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah disampaikan beliau secara serius dalam salah satu khutbahnya yang artinya sebagai berikut:

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah subhana wa ta’ala berfirman kepadamu: Anjurkanlah olehmu berbuat baik (murū bilma’rūf) dan laranglah perbuatan yang munkar (wanhaw ‘anil munkari), agar jangan datang suatu saat dimana kamu berdo’a tetapi Aku (Allah) tidak menjawab do’amu; kamu meminta tetapi Aku (Allah) tidak kabulkan; kamu memohon pertolongan, tetapi Aku (Allah) tidak memberi pertolongan.”

Itulah jawab-Nya! Itulah yang menyebabkan pintu do’a jadi tertutup. Bukan karena melalaikan hubungan dengan Allah secara konvensional, seperti shalat, shiyam dan sebagainya, akan tetapi karena meremehkan hubungan sesama manusia - “habblum minan nās”, sebagai anggota masyarakat yang turut bertanggung jawab atas keselamatan hidup bermasyarakat (habblum minan nās) itu sendiri. Yakni tugas “Amar Ma’ruf (Agent of Development) dan Nahi Munkar (Agent of Change)”. Tugas: “Menegakkan Kebajikan, memberantas kemunkaran”. Itulah posisi dan itulah peranan duniawi umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi “shibghah” (identitas) bagi kepribadian Umat Islam.


“Dan carilah (pahala) negeri akhirat”.

Maksud penggalan [1] ayat 77 dari Surah ke-28, Al-Qashash ini - “Dan carilah (pahala) negeri akhirat,” adalah untuk masalah akhirat kita tidak boleh berpangku tangan saja, sementara dunia kita cari dengan sangat giatnya.

Memang masalah-masalah yang menyangkut dengan “alam yang abstact” seperti hari “akhirat” sulit di tangkap kalau hati dan kesadaran di diri kita tidak digunakan atau dibangkitkan, ketimbang dorongan naluri "mempertahankan diri" dan mengejar “kemewahan” hidup yang secara otomatis (tanpa disuruh-suruh) bekerja dengan sendirinya dalam hal yang menyangkut kebutuhan makan, minum, pakaian, pemondokan, alat transportosi, pekerjaan, uang, perhiasan dst, dst-nya.

Pernah ada orang tua kewalahan terhadap pertanyaan anaknya: “Untuk apa kita shalat, toh tanpa itu kita hidup”. Anak ini tidak sadar bahwa manusia tidak akan hidup selamanya. Bahwa setelah “mati” manusia nantinya diminta pertanggungan jawab dari apa saja yang dilakukan selama hidup di dunia. Apa pernah dalam menjalani hidupnya merugikan orang lain dan membuat kerusakan di muka bumi? Bahkan melupakan nikmat yang diberikan oleh Pencipta-nya berikut lingkungan hidup yang asri serta alam semesta ini yang mendukung kehidupan di bumi, tanpa bersyukur kepada-Nya melalui iman, ibadah dan berbuat kebajikan (baik,  bermanfaat, di ridhai-Nya).

Bahwasanya apa yang menjadi perbuatannya di dunia mempunyai efek kepada kehidupan kini dan hari akhir nanti. Juga karena sifat hubungan manusia dengan alam dunia yang membawa kesejahteraan hidup atau kah kesengsaraan hidup. Dan alam akhirat seperti Surga dan Neraka-kah yang diperoleh di hari Pembalasan? Mesti diajari juga - sebagai keyakinan hidup.

Tuhan, selaku Pencipta dan Pemelihara serta Penyedia fasilitas hidup manusia dan lingkungan hidup serta alam semesta, kehadiran-Nya mesti diketahui. Perintahnya mesti diikuti. Larangannya jangan dikerjakan. Dan menjaga hubungan baik dengan Allah Tuhan Pencipta melalui Shalat dan ibadah-ibadah yang lain yang kelak akan mendatangkan petunjuk dan berkah dalam menjalankan kehidupan tidak di dunia saja, tapi di akhirat juga sebagai pelabuhan terakhir dari kehidupan ini.

Bahwa Allah Maha Pencipta menurunkan aturan-aturan hidup, itu suatu kemestian agar tatakehidupan manusia teratur dan baik. Sebagaimana juga, kotapraja atau negara menurun peraturan dan undang-undang (hukum), seperti membuat dan mengikuti peraturan-peraturannya. Bagi pelanggar-pelanggar aturan hukum akan kena hukum denda, masuk penjara, bahkan hukuman mati bagi pelanggarnya - tergantung seberapa besar dan jenis pelanggaran hukum yang dilakukannya. Maksud itu semua adalah agar ada ketertiban dari anggota masyarakat di suatu kota dan desa atau negara. Begitu pula Tuhan Pencipta Pemelihara kehidupan manusia di alam semesta ini membuat peraturan yang dikenal dengan kata-kata: haram, halal, mubah dan makruh.

Rukun Iman dan Rukun Islam, al-Qur’an, Al-Hadits dan kitab-kitab agama mesti dipelajari dan pengetahuan yang didapat mesti dilaksanakan disamping pengetahuan umum (kauniyah dan muamalah). Semua itu mempunyai efek bagi manusia. Kalihatannya  “abstrak” atau dalam bahasa agama “ghaib”.

Ghaib tidak kelihatan dan tidak bisa diraba, bukan berarti tidak ada, tapi ada. Contoh kalau kita memandang langit atmosfir bumi yang kita lihat biru dan ada awannya pada siang hari. Science bisa bercerita lebih dari sekedar yang kita sebutkan itu. Jadi, apa yang disebut “abstrak” atau “ghaib”, bukan tidak ada, tapi ada. Dunia maya, dimana file facebook atau blog atau What’sup, berada dimana? Kita tidak tahu atau tidak bisa diraba dengan tangan, dan tidak bisa dilihat dengan mata secara fisik. Yang kita tahu, kalau ada Smartphone atau I-pad dan Komputer bisa kita akses.

Begitu pula ajaran Islam dalam shalat, do’a, dzikir, sedekah, membantu seseorang, berbuat kebajikan lainnya, dst, dst, banyak manfaatnya, dan berpengaruh positif di diri kita, tapi sering kita tidak sadari.


“dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu”.

Maksud penggalan [3] ayat 77 dari Surah ke-28, Al-Qashash - “dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu”. Yang dianugerahkan kepada kita dapat diketahui melalui Firman-Nya dalam Surah ke-32, As-Sajdah ayat 19:

“… dan Dia (Allah) menjadikan kamu pendengaran - yaitu daya simak dari apa yang didengar; penglihatan yaitu daya memahami apa yang dilihat; hati - yaitu daya kesadaran, merasakan, dan menghayati, dari apa yang didengar oleh telinga, dan apa yang dilihat oleh mata. (Tetapi) kamu sedikit kali bersyukur - artinya tidaklah banyak orang yang menyadari fungsi yang sebenarnya dari apa yang didengar, dilihat dan dirasakan.

Adanya Tuhan Maha Pencipta dapat dipelajari dari Kitab Al-Qur’an dalam Surah ke-7, Al-A’rāf ayat 172 yang mengatakan adanya kesaksian manusia terhadap Tuhan pada saat ditiupkan ruh ke dalam cabang bayi. Allah bertanya: “Bukankah Aku ini Tuhanmu”, mereka menjawab: Benar (Engkaulah Tuhan kami) kami menjadi saksi”. (QS Al-A’rāf 7:172)

Kesadaran akan adanya Tuhan telah ada sejak cabang bayi tumbuh - yang kemudian menurunkan pula ajaran-Nya melalui Nabi dan Rasul yang diberi Kitab Suci menjadi pedoman hidup bagi manusia, kesadaran mana disebut sebagai kesadaran ‘primordial’ yaitu kesadaran ‘fitrah’ - bawaan manusia. Saat menghadapi kesulitan hidup ada kecenderungan memohon kepada Yang Ghaib yaitu Tuhan - timbulnya kesadaran primordial transedental.

Tahun 1997, VS Ramachandran, Direktur Centre for Brain and Cognition Universitas San Diego, California, USA melakukan penelitian. Orang-orang yang memiliki pengalaman spiritual dihubungkan dengan alat EEG, kemudian diberi nasehat religious, aktifitas lobus temporal meningkat. Dengan itu para peneliti menyimpulkan adanya mesin syaraf di lobus temporal yang dirancang untuk berhubungan dalam soal keagamaan. Dengan itu terbukti bahwa keyakinan agama sudah terpatri (hard wire) di dalam otak manusia. Dalam hal ini membuktikan kebenaran Surah Al-A’rāf ayat 172 diatas.

Oleh sebab itu dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya (agar akal itu tidak liar, tidak akal-akalan). Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah subhānahu wa ta’ālā, dalam permasalahan apa pun.

Akal adalah nikmat besar yang Allah subhānahu wa ta’ālā titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat menakjubkan. Oleh karenanya, dalam banyak ayat, Allah subhānahu wa ta’ālā memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sungguh  pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (ya’qilūn). (QS An-Nahl 16:12)

Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (ya’qilūn). (QS Ar-Ra’d 13:4)

Sebaliknya Allah subhānahu wa ta’ālā mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya,

Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan - na’qilu, (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al-Mulk 67:10)


Tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.

Maksud penggalan [4] ayat 77 dari Surah ke-28, Al-Qashash - “Tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia”. Allah tidak menafikan kehidupan manusia di dunia. Yaitu perlu memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian, pemondokan, alat transportosi, sekolah, training, madrasah, bekerja selaku pegawai atau buruh, usaha dalam industri dan jasa, usaha pertanian, usaha perkebunan, perikanan, pertambangan, perdagangan, memiliki uang, memiliki perhiasan dst, dst-nya selagi mendapatkannya dengan tidak cara curang, korupsi, menipu, mencuri, dst.

Kalau ada kelebihan lakukan infaq dan sadaqah disamping zakat yang memang suatu kewajiban, memberikan santunan kepada fakir, miskin, dan yatim piatu dan lain-lain seperti yang telah diatur oleh agama.

Malah manusia di posisikan Allah subhānahu wa ta’ālā sebagai khalifah-khalifah di bumi sebagai pemakmurnya, tapi tidak melupakan melakukan ibadah kepada-Nya. Dan tidak melakukan kerusakan di bumi, melainkan sebagai ‘agent of development’ - amar ma'ruf dan ‘agent of change’ - nahi munkar.


PENUTUP

O
rientasi hidup seperti yang dijelaskan diatas perlu kesinambungan, konsistensi, kebersamaan, kesepahaman, kesabaran, keikhlasan dan dalam penegakkannya. Selanjutnya yang paling utama, perlu pula akhlak-integritas serta moralitas, dan ini harus terus ditingkatkan serta dimantapkan. Tanpa akhlak integritas serta moralitas, boleh-boleh saja akan terjadi: Lain kata lain tindakan; Seharusnya berbuat untuk publik masyarakat yang dipimpimnya tapi lebih dulu untuk kepentingan pribadi dan golongannya; Semestinya bekerja untuk kepentingan nasional, tapi orang luar yang diuntungkan; Berjanji dengan sumpah, tapi tidak lagi konsisten dengan janji atau sumpahnya - Maaf, kekayaan negara dan rakyat warga negaranya dijadikan sumber pemerasan. Ini yang akan terjadi tanpa adanya akhlak integritas dan moralitas.

Dengan adanya orientasi, semangat ini, berarti sebagai seorang Muslim telah mempunyai “kunci sukses” seperti tersebut diatas, disertai adanya partisipasi dan konektifitas positif antara sesama warga dan manajemen atau administratif pemerintahan, serta akhlak integritas dan moralitas ditegakkan, Insya Allah, Yang Maha Kuasa akan mendatangkan ridha-Nya yang membawa kemajuannya sebagai realisasi dari do’a yang selalu diucapkan setiap Muslim "Rabbanā ātina fid dun-yā hasanataw, wa fil ākhirati hasanataw, wa qinā ‘adzāban nār - Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan (pula) di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka, QS al-Baqarah ayat 2:201. Insya Allah sebagai mana peringatan dalam firman-Nya: Lahā mā kasabat wa 'alaihā maktasabat” - Dia (manusia) mandapat pahala (dan kenikmatan hidup dunia dan akhirat) dari kebajikan yang di kerjakan (“kunci hidup yang sukses”), dan dia (manusia) mendapat (siksa, ketidak sejahteraan hidup dunia dan akhirat) dari (kejahatan, mismanagement, lalai dalam beribadah mahdah dan ghaira mahdah) yang diperbuatnya (“hidup yang tidak sukses”), QS al-Baqarah 2:286.

Demikianlah semoga bermanfaat atas pentadabburan kita dari ayat 77 Surah al-Qashash. Dengan dikaitkan kepada ayat-ayat 201 dan 286 dari Surah al-Baqarah, maka tujuan hidup muslim hidup di dunia semakin jelas. Yaitu, membawa kebaikan serta kemajuan umat Muslim dan tentunya mempunyai efek pula umat lainnya (Islam sebagai rahmatan lil’alamin) baik di dunia, maupun kelak di akhirat bagi yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Billāhit Taufiq wal Hidāyah. Germantown, MD, 10 Shawwal 1441 AH / 2 June 2020 CE. □ AFM