Wednesday, January 2, 2019

Ibnu Khaldun Asal Kehancuran Negara dan Peradaban





KATA PENGANTAR

I
bn Khaldun (1332-1406) adalah seorang ahli sejarah dan sejarawan muslim terkemuka. Dia secara luas dikenal sebagai Bapak (disiplin) modern historiografi, sosiologi, ekonomi, dan demografi. Dia terkenal karena bukunya, Muqaddimah (Prolegomena). Pendidikan terakhir Universitas Al-Karaouin, Fez Maroko. Dengan kapasitasnya -ditambah pengalamannya- seperti tersebutlah ia pantas menulis tema “Asal Kehancuran Negara Dan Peradaban” bahasan kita sekarang ini yang patut kita pelajari.

Apakah negara bubar hanya khayalan atau fiksi dalam novel dan komik? Jawabnya ternyata tidak sama sekali! Banyak negara tengelam dalam dasar sejarah. Hanya sedikit negara yang mampu bertahan lama. Dan memang banyak orang yang alpa dengan menganggap eksistensi negara itu sebuah kenyataan kekal dan final. □ AFM



IBNU KHALDUN
ASAL KEHANCURAN NEGARA
DAN PERADABAN


PENDAHULUAN

A
pakah negara bubar hanya khayalan atau fiksi dalam novel dan komik? Jawabnya ternyata tidak sama sekali! Banyak negara tenggelam dalam dasar sejarah. Hanya sedikit negara yang mampu bertahan lama, Dan memang banyak orang yang alpa dengan menganggap eksistensi negara itu sebuah kenyataan kekal dan final.

Soal bubarnya negara pun telah ditulis di Republika pada tanggal 20 Oktober 2016, ketika memuat buah pikiran pegiat sejarah Islam, Ilham Martasyabana. Dalam tulisan dia membahas tulisan sejarawan besar Muslim, Ibnu Khaldun (1332-1406), mengartikan sejarah dalam kitabnya yang fenomenal Muqaddimah sebagai “catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia”.


PEMBAHASAN

I
bnu Khaldun mempelajari tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu seperti kelahiran, keramah-tamahan, dan solidaritas golongan, tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan lain. Dan sebagai akibatnya, kemudian timbul kerajaan-kerajaan dan negara dengan tingkatan bermacam kegiatan dan kedudukan orang. Baik itu untuk mencapai kemajuan kehidupannya, berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan umumnya tentang segala macam perubahan yang terjadi di dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri.

Sebagai seorang sejarawan konsep-konsep sejarah pun bermunculan dari penjelasan Ibnu Khaldun tersebut, mulai dari “umat manusia”, “peradaban”, “watak masyarakat”, “solidaritas golongan” (ashabiyah), “revolusi”, “pemberontakan”, “kerajaan”, “negara”, “tingkatan dalam masyarakat”, “ilmu pengetahuan dan keterampilan”, “kemajuan” hingga “perubahan” atau “proses”.” Ilmu sejarah bagi Ibnu Khaldun adalah ilmu yang sangat urgen bagi umat manusia di samping sangat digemari berbagai kalangan.

Bagi Ibnu Khaldun, sejarah terbangun dari dua sisi, sisi luar (material, lahiriah) dan sisi dalam (sisi batiniah, filosofinya). Sisi luarnya sejarah menjelaskan kondisi tentang makhluk Tuhan (umat manusia), menguraikan hal ihwalnya, perluasan wilayah dan perputaran kekuasaan di berbagai negeri.

Sisi dalam, atau bisa juga dikatakan sisi batiniah sejarah merupakan tinjauan, kajian, dan analisis tentang berbagai kejadian dan elemen-elemennya, ilmu yang mendalami tentang berbagai peristiwa dan sebab-akibatnya, serta pula filsafat moralnya.

Dengan demikian, Ibnu Khaldun termasuk sejarawan yang mensyaratkan tinjauan peristiwa, analisis, pola-pola dan sebab-akibatnya sebagai syarat ilmu dan penulisan sejarah. Menarik disimak bahwa mayoritas sejarawan Muslim, termasuk Ibnu Khaldun mempercayai bahwa filsafat moral (tentu saja yang berlandaskan Islam) adalah bukan hanya sekedar unsur belaka, tetapi juga dianggap “ruh” sejarah.

Maka, hal tersebut mengingatkan pada pemikiran George Frederick Hegel, filsuf idealisme Jerman, yang membagi sejarah ke dalam tiga jenis: sejarah asli, sejarah reflektif dan sejarah filsafati. Ibnu Khaldun ditinjau darisisi “dalam” sejarahnya memiliki kemiripan dengan sejarah reflektifnya Hegel, di mana cara penyajian sejarah tidak dibatasi oleh waktu peristiwa sejarah yang ditulis sejarawan, tetapi ruhnya melampaui masa kini dan masa lalu. Sebagai contoh yang umum bagi kita, adalah penulisan sejarah yang dihubung-hubungkan dengan rasa nasionalisme, persatuan Indonesia, atau dengan “spirit Islam”.

Sejarah jenis ini selalu dihubung-hubungkan dengan spirit atau ruh yang bisa dipetik generasi masa kini tanpa selalu terkait dengan waktu peristiwa sejarahnya sendiri. Misalnya dalam buku Menemukan Sejarah dan Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara, dari beberapa aspek, kedua buku tersebut bisa mencontohkan sisi “dalam” sejarah, atau sejarah reflektif.

Sama halnya dengan Ibnu Khaldun, saya teringat Goldwin Smith, sejarawan dari Universitas Oxford di abad 19 dalam bukunya “The Study of History: Two Lectures” mengakui bahwa filsafat moral, sebagai sisi “dalam” sejarah, merupakan suatu kesatuan dengan sejarah. Smith menyatakan dengan untaian kata yang bernuansa slogan, “Sejarah adalah sebuah rangkaian fakta belaka tanpa filsafat moral, dan tanpa sejarah, filsafat moral cenderung menjadi mimpi belaka.”

Dari sisi “luar” atau lahiriyah sejarah, Ibnu Khaldun memiliki gagasan yang kemudian dikenal sebagai scientific history (sejarah ilmiah) setidak-tidaknya dengan empat tahapan.

  1. Untuk membangun rekonstruksi penulisan sejarah terlebih dahulu diungkapkan metode kritik sejarah yang menjadi landasan pemikiran sejarahnya. Dengan mengetahui kesalahan-kesalahan sejarawan terdahulu, Ibnu Khaldun akhirnya dapat merumuskan pemikiran sejarahnya sendiri. 
  2. Membuang hal-hal yang dianggap tidak diterima nalar (rasio). 
  3. Objektivitas sejarah.
  4. Pendekatan empiris pada sejarah (historical empiricism approachment).

Menurut Muhammad Enan dalam Ibnu Khaldun: His Life and Works penulisan sejarah Ibnu Khaldun didasarkan oleh dua motif yakni semangat ilmiah dan kenegarawanannya, serta argumennya dalam sejarah menggambarkan pelepasan dari belenggu tradisi ilmiah sebelumnya.

Sehingga sering dikatakan Ibnu Khaldun menciptakan bentuk baru ilmu sejarah menjadi sejarah ilmiah (scientific history), ini merupakan suatu terobosan ilmiah yang belum ada di masa itu, sebagaimana yang diutarakan Muhammad Syafi’i Ma’arif dalam Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Di Eropa, usaha-usaha untuk menjadikan sejarah sebagai “suatu disiplin yang ilmiah” baru dipopulerkan abad 19 oleh sejarawan Jerman, Leopold von Ranke.

Terkait dengan konsep “perubahan” dan “proses” sebagai konsep sejarah yang paling utama, di mana kedua konsep tersebut dianggap paling utama oleh sejarawan dan filsuf Barat di abad 19 dan abad 20, sekalipun dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda. Semua pakar Barat yang mainstream meyakini bahwa-meminjam ungkapan Anker Smith di buku Refleksi Tentang Sejarah - “pada hakikatnya sejarah merupakan suatu proses kemajuan.”

Di antara pakar yang berpendapat demikian ialah sejarawan terkemuka Jerman, Johann Gustav Droysen dalam bukunya Outline of the Principles of History, lalu George Frederick Hegel, Karl Marx, Oswald Spaengler, Goldwin Smith hingga Auguste Comte. Johann Gustav Droysen bahkan mengatakan, “History is humanity becoming and being conscious concerning itself.” Sejarah bermakna “menjadi” atau berproses untuk menjadi.

Hingga kini “perubahan” dan “proses” dianggap sebagai unsur utama sejarah. Masih dengan ungkapan Droysen, “Setiap hal di masa sekarang merupakan salah satu yang telah datang untuk menjadi,” begitu pula seterusnya. William P. Atkinson dalam On History and the Study of History menyatakan lebih jauh bahwa sejarah adalah kisah bangkit dan pertumbuhan masyarakat manusia, dan masyarakat terbentuk dari hubungan; Jika manusia bukan makhluk sosiali tidak punya sejarah.

Ibnu Khaldun tentu juga meyakini bahwa kehidupan manusia akan selalu mengalami proses dan perubahan. Ini adalah sebuah sunnatullah, di mana bukan hanya orang Muslim saja yang percaya tapi juga kepercayaan yang diterima semua keyakinan, ideologi dan agama. Hanya saja umat Islam memahami itu semua dari tuntunan wahyu ilahi kitab suci Al-Qur’an, bahwa sejak awal kehidupan manusia hingga hari kiamat senantiasa terjadi siklus masa kejayaan dan kehancuran dari berbagai masyarakat, umat maupun peradaban yang ada. Firman Allah swt yang artinya:

Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antar manusia (agar mereka mendapat pelajaran),…(QS Āli ‘Imrān 3:140).

Rasanya Ibnu Khaldun pun terinspirasi oleh ayat ini, di mana ayat yang membahas tentang Perang Uhud ini jika ditinjau secara keumuman lafazh maka bermakna senantiasa akan terjadi jatuh-bangun, kejayaan-kehancuran, maju-mundur hingga jatuh-bangunnya peradaban-peradaban manusia.

Uni Soviet yang merupakan peradaban terkuat dengan ideologi komunisnya sejak memenangi Perang Dunia II (1939-1945), mulai tahun 1980-an merosot drastis hingga benar-benar runtuh memasuki tahun 1990. Begitu juga Amerika Serikat yang sejak memasuki abad 20 merupakan ‘pemimpin’ peradaban Barat (menggantikan Inggris) dan kokoh sebagai pemuncak peradaban bahkan jauh lebih lama dari Uni Soviet (rival Amerika Serikat) menurut “hukum sejarah” dari Al-Qur’an maupun yang populer dikemukakan Ibnu Khaldun, pasti juga akan runtuh.

Hal itu dibenarkan oleh Samuel Huntington dalam buku masterpiecenya The Clash of Civilization, di mana ia mengungkap di banding tahun 1920-an, Barat termasuk Amerika Serikat jauh mengalami kemerosotan. Faktanya memang demikian, negeri-negeri seperti China, Korea Selatan, Afghanistan, Iraq hingga yang paling baru ‘komunitas’ jihad Suriah belakangan ini mampu merepotkan negara adidaya nomor wahid tersebut. Sampai-sampai Huntington berpendapat agar Amerika Serikat dan Barat ingin tetap menjadi ‘pemimpin’ peradaban-peradaban dunia, maka solusinya adalah dengan menghentikan laju dan gerak peradaban yang sedang tumbuh seperti peradaban Islam dan China, dengan cara apa pun.

Dalam teori siklus sejarah Ibnu Khaldun pun dijelaskan adanya siklus atau fase-fase, di mana peradaban lahir, tumbuh, berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya, kemudian mengalami kemunduran, hingga akhirnya mengalami keruntuhan sama sekali.

Menurut Tarif Khalidi dalam buku Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the Golden Age “Ilmu  Umran” (peradaban dan masyarakat) dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun bisa dikatakan sebuah science of social biology atau biology of civilization.

Ibnu Khaldun sendiri jelas menyatakan di bukunya bahwa peradaban umat manusia adalah sesuatu yang bergerak dan berproses layaknya makhluk hidup. Dalam kehidupan biologis ada fase-fase kehidupan yang harus dilaui, dari mulai lahir, tumbuh berkembang menjadi anak-anak, remaja hingga dewasa, kemudian mengalami proses penuaan dan akhirnya meninggal dunia. Masa kejayaan dan keruntuhan suatu peradaban berada dalam proses dialektis, berbenturan antar suatu peradaban menetap yang disebut ‘hadharah’ dan peradaban yang nomaden atau ‘bar-bar’ yan disebut badawah.

Peradaban yang dikenal dalam pemahaman modern adalah ‘hadharah’, namun menurut Ibnu Khaldun peradaban semacam ini memiliki kelemahan yang pasti, yaitu selalu berproses dan berubah ke arah keruntuhan ketika sudah mencapai fase tenang, bermegah-megahan serta bermewah-mewahan.

Fase di mana sebuah peradaban telah memuncak, materi berkelimpahan di mana-mana, baik dari penarikan pajak, hasil bumi negara dan lain-lainnya. Selain merusak jiwa manusia, kemewahan dan kemegahan merusak pula ashabiyah, ikatan fanatisme antar sesama manusia di dalam sebuah peradaban, padahal ikatan fanatisme peradaban adalah penopang peradaban itu sendiri. Kultur hadharah (peradaban) pasti bergerak dan berubah ke arah kemewahan dan kemegahan.

Kehidupan bermewah-mewahan serta bermegahan pasti membawa kehancuran, begitulah satu dari logika Ibnu Khaldun yang terkenal. Ia sendiri mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Dan Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri (peradaban), maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar mentaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)”. (QS Al-Isrā’17:16)

Rupa-rupanya Ibnu Khaldun meyakini bahwa sumber kerusakan moral serta kehancuran peradaban berawal dari kesombongan, bermewah-mewahan dan bermegah-megahan. Tidak ada satupun peradaban yang selamat dari ‘penyakit’ semacam ini, tak terkecuali peradaban Islam di masa lalu.

Dari sinilah nampak solusi dari Ibnu Khaldun, peradaban ‘hadharah’ dengan segala kekuasaan dan kejayaannya wajib diatur dan dilandasi syariah Allah, terus-menerus. Kerangka sisi “dalam” sejarah Ibnu Khaldun berujung kepada keharusannya bermoral (beradab) dan menegakan syariah.

Oleh sebab itu jika ada suara-suara dari sebagian intelektual yang menganggap Ibnu Khaldun adalah sejarawan “sekular” Muslim, maka hal tersebut keliru. Dalam perjalanan sejarah berbagai peradaban besar, pendapat Ibnu Khaldun sulit untuk dibantah karena peradaban-peradaban besar merosot dan jatuh utamanya karena kecongkakan, bermegah-megahan dan bermewahan. Sebagian sejarawan dan pakar dunia Barat seperti Spengler dan Huntington sendiri mempercayai bahwa peradaban yang meyakini ia berada di puncak kejayaan dan kedigdayaan sesungguhnya telah berada dalam kemerosotan dan kejatuhannya.

Rasulullah saw pernah bersabda: “Jika kalian telah sibuk dengan dirham dan dinar, berjual beli ‘inah (mengandung riba), mengikut ekor sapi (sibuk bertani), dan meninggalkan jihad, Allah akan memasukan kalian ke dalam kehinaan, Dia tak akan memperdulikan kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sabda lain Beliau saw “kalian dihinggapi penyakit Al-Wahn, yaitu kecintaan pada dunia dan takut mati (dalam memperjuangkan Islam)” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Nampaknya hadits ini membuat kita percaya bahwa teori perihal kemerosotan dan kejatuhan sebuah peradaban (termasuk peradaban Islam) dari Ibnu Khaldun adalah benar.

Disamping itu menurut analisis kekinian, yaitu setelah kolonialisme berakhir, kebanyakan negara-negara yang dijajah mendapatkan kemerdekaan, tapi negara tersebut tidak mampu menyejahterakan kebanyakan rakyatnya. Sebab-sebabnya adalah sebagagai berikut:

Pemimpin atau jajaran pelaksanaan pemerintah kebawah yang korupsi dan tidak mengerti kedaulatan bernegara terhadap negara asing yang ingin menguasainya; “Trias Politica” - eksekutif, legeslatif, yudikatif tidak jalan sebagaimana mestinya; Kedaulatan di tangan rakyat dalam sistim demokrasi yang  kebanyakan masih “illiterate” dalam arti tidak mengerti cara bernegara yang baik yaitu sebagai fungsi kontrol jalannya pemerintahan - karena “power tend to corrupt” - kekuasaan cenderung untuk korupsi; Jalan sistim ekonomi yang lemah; Kejujuran dan integritas pemimpinnya yang signifikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini mengakibatkan negara yang merdeka ini tidak merdeka bukan ditangan kolonial/penjajah tapi ditangan pemerintahannya sendiri yang corrupt yang tidak berintegritas. Negara tetap berdiri tapi berjalan ditempat, sementara negara maju tetap berjaya dan menguasai dunia.


PENUTUP

D
emikianlah rekaman sejarah mengajarkan manusia yang ditangkap oleh Ibnu Khaldun yang dengan itu ia menyusun teori sejarah menjadi catatan “buku sejarah.” Berdasarkan ini ia dinobatkan sebagai “Bapak Ilmu Sejarah”. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Sumber:
republikaonline dan sumber-sumber lainnya. □□