KATA PENGANTAR
I
|
bn Khaldun (1332-1406) adalah seorang ahli sejarah dan sejarawan muslim terkemuka. Dia secara luas dikenal
sebagai Bapak (disiplin)
modern historiografi, sosiologi, ekonomi, dan demografi. Dia terkenal karena
bukunya, Muqaddimah (Prolegomena).
Pendidikan terakhir Universitas Al-Karaouin, Fez Maroko. Dengan kapasitasnya -ditambah
pengalamannya- seperti tersebutlah ia pantas menulis tema “Asal Kehancuran
Negara Dan Peradaban” bahasan kita sekarang ini yang patut kita pelajari.
Apakah negara bubar hanya khayalan atau fiksi dalam novel dan komik? Jawabnya ternyata tidak sama sekali! Banyak negara tengelam dalam dasar sejarah. Hanya sedikit negara yang mampu bertahan lama. Dan memang banyak orang yang alpa dengan menganggap eksistensi negara itu sebuah kenyataan kekal dan final. □ AFM
IBNU
KHALDUN
ASAL KEHANCURAN NEGARA
DAN PERADABAN
PENDAHULUAN
A
|
pakah negara bubar hanya khayalan atau fiksi
dalam novel dan komik? Jawabnya ternyata tidak sama sekali! Banyak negara
tenggelam dalam dasar sejarah. Hanya sedikit negara yang mampu bertahan lama,
Dan memang banyak orang yang alpa dengan menganggap eksistensi negara itu
sebuah kenyataan kekal dan final.
Soal bubarnya negara pun telah ditulis di
Republika pada tanggal 20 Oktober 2016, ketika memuat buah pikiran pegiat
sejarah Islam, Ilham Martasyabana. Dalam tulisan dia membahas tulisan sejarawan
besar Muslim, Ibnu Khaldun (1332-1406), mengartikan sejarah dalam kitabnya yang
fenomenal Muqaddimah sebagai “catatan tentang masyarakat umat manusia atau
peradaban dunia”.
PEMBAHASAN
I
|
bnu Khaldun mempelajari tentang
perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu seperti kelahiran,
keramah-tamahan, dan solidaritas golongan, tentang revolusi dan pemberontakan
oleh segolongan rakyat melawan golongan lain. Dan sebagai akibatnya, kemudian
timbul kerajaan-kerajaan dan negara dengan tingkatan bermacam kegiatan dan
kedudukan orang. Baik itu untuk mencapai kemajuan kehidupannya, berbagai macam
ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan umumnya tentang segala macam perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri.
Sebagai seorang sejarawan konsep-konsep sejarah
pun bermunculan dari penjelasan Ibnu Khaldun tersebut, mulai dari “umat
manusia”, “peradaban”, “watak masyarakat”, “solidaritas golongan” (ashabiyah), “revolusi”, “pemberontakan”,
“kerajaan”, “negara”, “tingkatan dalam masyarakat”, “ilmu pengetahuan dan
keterampilan”, “kemajuan” hingga “perubahan” atau “proses”.” Ilmu sejarah bagi
Ibnu Khaldun adalah ilmu yang sangat urgen bagi umat manusia di samping sangat
digemari berbagai kalangan.
Bagi Ibnu Khaldun, sejarah terbangun dari dua
sisi, sisi luar (material, lahiriah) dan sisi dalam (sisi batiniah,
filosofinya). Sisi luarnya sejarah menjelaskan kondisi tentang makhluk Tuhan
(umat manusia), menguraikan hal ihwalnya, perluasan wilayah dan perputaran
kekuasaan di berbagai negeri.
Sisi dalam, atau bisa juga dikatakan sisi
batiniah sejarah merupakan tinjauan, kajian, dan analisis tentang berbagai
kejadian dan elemen-elemennya, ilmu yang mendalami tentang berbagai peristiwa
dan sebab-akibatnya, serta pula filsafat moralnya.
Dengan demikian, Ibnu Khaldun termasuk sejarawan
yang mensyaratkan tinjauan peristiwa, analisis, pola-pola dan sebab-akibatnya
sebagai syarat ilmu dan penulisan sejarah. Menarik disimak bahwa mayoritas
sejarawan Muslim, termasuk Ibnu Khaldun mempercayai bahwa filsafat moral (tentu
saja yang berlandaskan Islam) adalah bukan hanya sekedar unsur belaka, tetapi
juga dianggap “ruh” sejarah.
Maka, hal tersebut mengingatkan pada pemikiran
George Frederick Hegel, filsuf idealisme Jerman, yang membagi sejarah ke dalam
tiga jenis: sejarah asli, sejarah reflektif dan sejarah filsafati. Ibnu Khaldun
ditinjau darisisi “dalam” sejarahnya memiliki kemiripan dengan sejarah
reflektifnya Hegel, di mana cara penyajian sejarah tidak dibatasi oleh waktu
peristiwa sejarah yang ditulis sejarawan, tetapi ruhnya melampaui masa kini dan
masa lalu. Sebagai contoh yang umum bagi kita, adalah penulisan sejarah yang
dihubung-hubungkan dengan rasa nasionalisme, persatuan Indonesia, atau dengan
“spirit Islam”.
Sejarah jenis ini selalu dihubung-hubungkan
dengan spirit atau ruh yang bisa dipetik generasi masa kini tanpa selalu
terkait dengan waktu peristiwa sejarahnya sendiri. Misalnya dalam buku
Menemukan Sejarah dan Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara, dari beberapa
aspek, kedua buku tersebut bisa mencontohkan sisi “dalam” sejarah, atau sejarah
reflektif.
Sama halnya dengan Ibnu Khaldun, saya teringat
Goldwin Smith, sejarawan dari Universitas Oxford di abad 19 dalam bukunya “The
Study of History: Two Lectures” mengakui bahwa filsafat moral, sebagai sisi
“dalam” sejarah, merupakan suatu kesatuan dengan sejarah. Smith menyatakan
dengan untaian kata yang bernuansa slogan, “Sejarah adalah sebuah rangkaian
fakta belaka tanpa filsafat moral, dan tanpa sejarah, filsafat moral cenderung
menjadi mimpi belaka.”
Dari sisi “luar” atau lahiriyah sejarah, Ibnu
Khaldun memiliki gagasan yang kemudian dikenal sebagai scientific history (sejarah ilmiah) setidak-tidaknya dengan empat
tahapan.
- Untuk membangun rekonstruksi penulisan sejarah terlebih dahulu diungkapkan metode kritik sejarah yang menjadi landasan pemikiran sejarahnya. Dengan mengetahui kesalahan-kesalahan sejarawan terdahulu, Ibnu Khaldun akhirnya dapat merumuskan pemikiran sejarahnya sendiri.
- Membuang hal-hal yang dianggap tidak diterima nalar (rasio).
- Objektivitas sejarah.
- Pendekatan empiris pada sejarah (historical empiricism approachment).
Menurut Muhammad Enan dalam Ibnu Khaldun: His Life and Works penulisan sejarah
Ibnu Khaldun didasarkan oleh dua motif yakni semangat ilmiah dan
kenegarawanannya, serta argumennya dalam sejarah menggambarkan pelepasan dari
belenggu tradisi ilmiah sebelumnya.
Sehingga sering dikatakan Ibnu Khaldun
menciptakan bentuk baru ilmu sejarah menjadi sejarah ilmiah (scientific history), ini merupakan suatu
terobosan ilmiah yang belum ada di masa itu, sebagaimana yang diutarakan
Muhammad Syafi’i Ma’arif dalam Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan
Timur. Di Eropa, usaha-usaha untuk menjadikan sejarah sebagai “suatu disiplin
yang ilmiah” baru dipopulerkan abad 19 oleh sejarawan Jerman, Leopold von
Ranke.
Terkait dengan konsep “perubahan” dan “proses”
sebagai konsep sejarah yang paling utama, di mana kedua konsep tersebut
dianggap paling utama oleh sejarawan dan filsuf Barat di abad 19 dan abad 20,
sekalipun dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda. Semua pakar Barat yang mainstream meyakini bahwa-meminjam
ungkapan Anker Smith di buku Refleksi Tentang Sejarah - “pada hakikatnya
sejarah merupakan suatu proses kemajuan.”
Di antara pakar yang berpendapat demikian ialah
sejarawan terkemuka Jerman, Johann Gustav Droysen dalam bukunya Outline of the Principles of History, lalu
George Frederick Hegel, Karl Marx, Oswald Spaengler, Goldwin Smith hingga
Auguste Comte. Johann Gustav Droysen bahkan mengatakan, “History is humanity becoming and being conscious concerning itself.” Sejarah bermakna
“menjadi” atau berproses untuk menjadi.
Hingga kini “perubahan” dan “proses” dianggap
sebagai unsur utama sejarah. Masih dengan ungkapan Droysen, “Setiap hal di masa
sekarang merupakan salah satu yang telah datang untuk menjadi,” begitu pula
seterusnya. William P. Atkinson dalam On
History and the Study of History menyatakan lebih jauh bahwa sejarah adalah
kisah bangkit dan pertumbuhan masyarakat manusia, dan masyarakat terbentuk dari
hubungan; Jika manusia bukan makhluk sosiali tidak punya sejarah.
Ibnu Khaldun tentu juga meyakini bahwa kehidupan
manusia akan selalu mengalami proses dan perubahan. Ini adalah sebuah
sunnatullah, di mana bukan hanya orang Muslim saja yang percaya tapi juga
kepercayaan yang diterima semua keyakinan, ideologi dan agama. Hanya saja umat
Islam memahami itu semua dari tuntunan wahyu ilahi kitab suci Al-Qur’an, bahwa
sejak awal kehidupan manusia hingga hari kiamat senantiasa terjadi siklus masa
kejayaan dan kehancuran dari berbagai masyarakat, umat maupun peradaban yang
ada. Firman Allah swt yang artinya:
Dan
masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antar manusia (agar
mereka mendapat pelajaran),…(QS Āli ‘Imrān 3:140).
Rasanya Ibnu Khaldun pun terinspirasi oleh ayat
ini, di mana ayat yang membahas tentang Perang Uhud ini jika ditinjau secara
keumuman lafazh maka bermakna senantiasa akan terjadi jatuh-bangun,
kejayaan-kehancuran, maju-mundur hingga jatuh-bangunnya peradaban-peradaban
manusia.
Uni Soviet yang merupakan peradaban terkuat
dengan ideologi komunisnya sejak memenangi Perang Dunia II (1939-1945), mulai
tahun 1980-an merosot drastis hingga benar-benar runtuh memasuki tahun 1990.
Begitu juga Amerika Serikat yang sejak memasuki abad 20 merupakan ‘pemimpin’
peradaban Barat (menggantikan Inggris) dan kokoh sebagai pemuncak peradaban
bahkan jauh lebih lama dari Uni Soviet (rival Amerika Serikat) menurut “hukum
sejarah” dari Al-Qur’an maupun yang populer dikemukakan Ibnu Khaldun, pasti
juga akan runtuh.
Hal itu dibenarkan oleh Samuel Huntington dalam
buku masterpiecenya The Clash of Civilization, di mana ia
mengungkap di banding tahun 1920-an, Barat termasuk Amerika Serikat jauh
mengalami kemerosotan. Faktanya memang demikian, negeri-negeri seperti China,
Korea Selatan, Afghanistan, Iraq hingga yang paling baru ‘komunitas’ jihad
Suriah belakangan ini mampu merepotkan negara adidaya nomor wahid tersebut. Sampai-sampai
Huntington berpendapat agar Amerika Serikat dan Barat ingin tetap menjadi
‘pemimpin’ peradaban-peradaban dunia, maka solusinya adalah dengan menghentikan
laju dan gerak peradaban yang sedang tumbuh seperti peradaban Islam dan China,
dengan cara apa pun.
Dalam teori siklus sejarah Ibnu Khaldun pun
dijelaskan adanya siklus atau fase-fase, di mana peradaban lahir, tumbuh,
berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya, kemudian mengalami kemunduran, hingga
akhirnya mengalami keruntuhan sama sekali.
Menurut Tarif Khalidi dalam buku Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the Golden Age
“Ilmu Umran” (peradaban dan masyarakat)
dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun bisa dikatakan sebuah science of social biology atau biology
of civilization.
Ibnu Khaldun sendiri jelas menyatakan di bukunya
bahwa peradaban umat manusia adalah sesuatu yang bergerak dan berproses
layaknya makhluk hidup. Dalam kehidupan biologis ada fase-fase kehidupan yang
harus dilaui, dari mulai lahir, tumbuh berkembang menjadi anak-anak, remaja
hingga dewasa, kemudian mengalami proses penuaan dan akhirnya meninggal dunia.
Masa kejayaan dan keruntuhan suatu peradaban berada dalam proses dialektis,
berbenturan antar suatu peradaban menetap yang disebut ‘hadharah’ dan peradaban
yang nomaden atau ‘bar-bar’ yan disebut badawah.
Peradaban yang dikenal dalam pemahaman modern
adalah ‘hadharah’, namun menurut Ibnu Khaldun peradaban semacam ini memiliki
kelemahan yang pasti, yaitu selalu berproses dan berubah ke arah keruntuhan
ketika sudah mencapai fase tenang, bermegah-megahan serta bermewah-mewahan.
Fase di mana sebuah peradaban telah memuncak,
materi berkelimpahan di mana-mana, baik dari penarikan pajak, hasil bumi negara
dan lain-lainnya. Selain merusak jiwa manusia, kemewahan dan kemegahan merusak
pula ashabiyah, ikatan fanatisme
antar sesama manusia di dalam sebuah peradaban, padahal ikatan fanatisme
peradaban adalah penopang peradaban itu sendiri. Kultur hadharah (peradaban) pasti
bergerak dan berubah ke arah kemewahan dan kemegahan.
Kehidupan bermewah-mewahan serta bermegahan
pasti membawa kehancuran, begitulah satu dari logika Ibnu Khaldun yang
terkenal. Ia sendiri mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Dan
Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri (peradaban), maka Kami perintahkan
kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar mentaati Allah), tetapi bila mereka
melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali
(negeri itu)”. (QS Al-Isrā’17:16)
Rupa-rupanya Ibnu Khaldun meyakini bahwa sumber
kerusakan moral serta kehancuran peradaban berawal dari kesombongan,
bermewah-mewahan dan bermegah-megahan. Tidak ada satupun peradaban yang selamat
dari ‘penyakit’ semacam ini, tak terkecuali peradaban Islam di masa lalu.
Dari sinilah nampak solusi dari Ibnu Khaldun,
peradaban ‘hadharah’ dengan segala kekuasaan dan kejayaannya wajib diatur dan
dilandasi syariah Allah, terus-menerus. Kerangka sisi “dalam” sejarah Ibnu
Khaldun berujung kepada keharusannya bermoral (beradab) dan menegakan syariah.
Oleh sebab itu jika ada suara-suara dari
sebagian intelektual yang menganggap Ibnu Khaldun adalah sejarawan “sekular”
Muslim, maka hal tersebut keliru. Dalam perjalanan sejarah berbagai peradaban
besar, pendapat Ibnu Khaldun sulit untuk dibantah karena peradaban-peradaban
besar merosot dan jatuh utamanya karena kecongkakan, bermegah-megahan dan
bermewahan. Sebagian sejarawan dan pakar dunia Barat seperti Spengler dan
Huntington sendiri mempercayai bahwa peradaban yang meyakini ia berada di
puncak kejayaan dan kedigdayaan sesungguhnya telah berada dalam kemerosotan dan
kejatuhannya.
Rasulullah saw
pernah bersabda: “Jika kalian telah sibuk dengan dirham dan dinar, berjual beli
‘inah (mengandung riba), mengikut ekor sapi (sibuk bertani), dan meninggalkan
jihad, Allah akan memasukan kalian ke dalam kehinaan, Dia tak akan
memperdulikan kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Dawud
dan Ahmad).
Sabda lain Beliau saw “kalian dihinggapi penyakit Al-Wahn, yaitu kecintaan pada dunia
dan takut mati (dalam memperjuangkan Islam)” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Nampaknya hadits ini membuat kita percaya bahwa
teori perihal kemerosotan dan kejatuhan sebuah peradaban (termasuk peradaban
Islam) dari Ibnu Khaldun adalah benar.
Disamping itu menurut analisis kekinian, yaitu setelah
kolonialisme berakhir, kebanyakan negara-negara yang dijajah mendapatkan
kemerdekaan, tapi negara tersebut tidak mampu menyejahterakan kebanyakan rakyatnya.
Sebab-sebabnya adalah sebagagai berikut:
Pemimpin atau jajaran pelaksanaan pemerintah kebawah
yang korupsi dan tidak mengerti kedaulatan bernegara terhadap negara asing yang
ingin menguasainya; “Trias Politica”
- eksekutif, legeslatif, yudikatif tidak jalan sebagaimana mestinya; Kedaulatan
di tangan rakyat dalam sistim demokrasi yang kebanyakan masih “illiterate” dalam arti tidak
mengerti cara bernegara yang baik yaitu sebagai fungsi kontrol jalannya
pemerintahan - karena “power tend to corrupt”
- kekuasaan cenderung untuk korupsi; Jalan sistim ekonomi yang lemah; Kejujuran
dan integritas pemimpinnya yang signifikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini mengakibatkan negara yang merdeka ini tidak merdeka bukan ditangan kolonial/penjajah
tapi ditangan pemerintahannya sendiri yang corrupt
yang tidak berintegritas. Negara tetap berdiri tapi berjalan ditempat,
sementara negara maju tetap berjaya dan menguasai dunia.
PENUTUP
D
|
emikianlah rekaman sejarah mengajarkan manusia
yang ditangkap oleh Ibnu Khaldun yang dengan itu ia menyusun teori sejarah menjadi
catatan “buku sejarah.” Berdasarkan ini ia dinobatkan sebagai “Bapak Ilmu
Sejarah”. Billahit Taufiq wal-Hidayah.
□ AFM
Sumber:
republikaonline dan sumber-sumber lainnya. □□