AKAR
KEBUDAYAAN BARAT
Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi
hfzark@yahoo.co.uk
Abstract
In tracking down the cultural history owned by
civilization, it is important to conduct research based on worldview
perspective. Because every society scientific activity will create their own
worldview.
The wordview that built above these scientific
elements will construct their cultures. Worldview is certainly may not formed
by it self. It will match, get acquinted, and assimilated with worldviews of
many other civilizations.
This theory approved by many scholars as
structure determined birth of cultures of any civilizations, including the
West. West culture on its birth and development also relies on Western
Worldview. Western Worldview turned out in their history related very intense
with Islamic Worldview which manifestated in the constructs of civilization
that also covers therein culture concepts.
Islamic Worldview gives a great influence on
construct of Western Worldview.Including concepts of Western culture.
|||Keywords: Culture, Civillization,Worldview,
Islam, West.|||
Abstrak
Dalam melacak sejarah kebudayaan yang dimiliki
oleh suatu peradaban, penting untuk melakukan penelitian berdasarkan perspektif
pandangan hidup. Hal ini dikarenakan setiap aktivitas keilmuan di suatu
masyarakat akan membentuk cara pandang mereka terhadap dunia.
Pandangan hidup yang dibangun di atas
elemen-elemen ilmiah inilah yang kemudian mengkonstruk budaya-budaya masyarakat
tersebut. Pandangan hidup tentunya tidak mungkin terbentuk sendirian. Ia akan
bertemu, berkenalan, serta berasimilasi dengan pandangan hidup
peradaban-peradaban lain.
Teori ini diakui oleh banyak ahli sebagai
struktur yang menentukan lahirnya budaya-budaya dari peradaban manapun, termasuk
Barat. Barat, dalam melahirkan budayanya juga bergantung terhadap Pandangan
Hidup Barat. Pandangan Hidup Barat, ternyata dalam sejarahnya berhubungan
sangat intens dengan Pandangan Hidup Islam yang termanifestasikan dalam
konstruk peradaban yang tercakup pula di dalamnya konsep-konsep budaya.
Pandangan Hidup Islam memberikan pengaruh besar
terhadap konstruk Pandangan Hidup Barat, termasuk terhadap konsep-konsep budaya
Barat.”
|||Kata Kunci: Kebudayaan, Peradaban, Pandangan
Hidup (worldview), Islam, Barat|||
Pendahuluan
S
|
ebuah kebudayaan atau peradaban memiliki
sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Namun, suatu peradaban
tidak mungkin lahir dan berkembang tanpa bersentuhan dengan kebudayaan lain dan
saling meminjam. Proses pinjam meminjam antar kebudayaan hanya bisa terjadi
jika masing-masing kebudayaan memiliki mekanismenya sendiri-sendiri.
Pada
umumnya sarjana Barat modern membagi sejarah Barat (Eropa) menjadi Zaman Kuno,
Zaman Pertengahan, dan Zaman Modern. Yang kuno dibagi menjadi Yunani dan
Romawi. Zaman Pertengahan dikelompokkan menjadi Zaman Kristen Awal, transisi dari
Kuno ke Pertengahan dan Pencerahan. [1] Ini berarti bahwa akar Zaman Modern
adalah Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan.
Akan
tetapi para sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai asal usul kebudayaan
mereka. Perbedaan itu meruncing ketika mereka berpegang pada ilmu sebagai akar
kebudayaan. Artinya, sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan berkembang
seiring dengan perkembangan konsep-konsep keilmuan di dalamnya.
Sebab, faktor keilmuan inilah sebenarnya yang
melahirkan aktivitas sosial, politik, ekonomi, dan aktivitas kultural lainnya.
Dengan kata lain, kerja-kerja intelektual dan keilmuan anggota masyarakatlah sebenarnya
yang melahirkan kebudayaan. Ini berimplikasi bahwa di atas konsep-konsep
keilmuan terdapat suatu sistim dan supersistim yang disebut dengan worldview (pandangan hidup atau pandangan
alam). Suatu peradaban tidak akan bangkit dan berkembang tanpa adanya pandangan
hidup dan aktivitas keilmuan di dalam masyarakatnya. Demikian pula Barat,
sebagai kebudayaan, tidak akan bangkit dan berkembang dan melahirkan sains tanpa memiliki pandangan hidup
terlebih dahulu. [2] Atas dasar itu, maka makalah ini akan mengkaji akar
kebudayaan Barat dengan melacak fondasi kebudayaan itu dari sisi pemikiran
filsafat dan sains yang melibatkan transmisi pandangan hidup.
Dari
Kebudayaan Yunani
Seperti
yang telah disebutkan di atas, Yunani adalah faktor penting bagi kebangkitan
kebudayaan Barat, meskipun mereka masih berselisih tentang bagaimana faktor
tersebut berperan dalam kebudayaan itu. Dalam menggambarkan munculnya filsafat
dan sain, para sejarawan Barat, memiliki dua pendekatan. Pertama, bahwa awal
dan akar kebangkitan filsafat dan sains Barat adalah warisan intelektual
Yunani. Jones dalam A History of Western Thought,
misalnya menganggap bahwa “mungkin sejarah kebudayaan Barat bermula dari
bermulanya filsafat Barat, dan filsafat Barat dimulai dari abad ke 6 Sebelum
Kalendar Gregorian (SKG) dengan tokohnya Thales, Bapak Filosof Yunani dan juga
Dunia Barat”. [3] Pendekatan ini didukung oleh R.B. Onians, [4] W.H.A. Arthur,
[5] dan lainnya. Asumsi pendekatan ini berdasarkan pada fakta, bahwa konsep-konsep
mendasar pada Filsafat Yunani seperti hakikat akal, jiwa, hidup, hubungan jiwa
dan raga, dan lain-lain ditangkap oleh para Filosof Barat yang datang kemudian
lalu diterima oleh Bangsa-bangsa Semit, Indo-Eropa, dan Anglo-Saxon. Namun pada
tahap ini, mereka tidak lagi mengakui adanya pengaruh Filsafat Yunani.
Bagi mereka Filsafat Yunani telah dikubur dalam-dalam
(burried deep), dan tumbuh berkembang
dalam pikiran individu dan aliran-aliran, meskipun individu filosof atau
aliran-aliran tersebut hanya sekedar melakukan kritik dan improvisasi terhadap
konsep-konsep Yunani tersebut. Cara pandang ini berbeda dari ‘cara pandang
orientalis’ ketika membaca sejarah Filsafat Islam. Filsafat Islam hanya
dianggap ‘carbon copy’ dari Filsafat
Yunani. Nampaknya framework ini berusaha untuk mengkaitkan pemikiran Yunani
dengan Indo-Eropa melalui persamaan konsep-konsepnya.
Framework kedua yang dipelopori oleh Couplestone
dan Holmes menganggap framework ini lemah, sebab sekedar melacak persamaan akan
mengakibatkan kesimpulan bahwa jika suatu pemikiran memiliki kesamaan dengan
yang lain, maka yang satu berasal dari yang lain. Artinya, suatu pemikiran
bangsa manapun yang sama dengan pemikiran Yunani bisa dianggap berasal dari Yunani,
padahal persamaan tidak selamanya berimplikasi asal usul.
Menurut framework ini, antara Barat dan Yunani terdapat
hubungan, tapi bukan dalam arti meminjam, asal usul, atau permulaan. Bagi
Couplestone setiap kali terdapat kesamaan pemikiran antara seorang pemikir dan
pemikir lain yang datang kemudian tidak selamanya berarti yang datang kemudian
meminjam dari yang pertama. Ionia adalah tempat kelahiran pemikiran Barat, tapi
baginya Barat tidak meminjam ide-ide dari Yunani. [6] Holmes juga tidak
menggunakan istilah “permulaan” atau “asal usul”, dan sebagai gantinya ia
memakai istilah melihat “ke belakang”. Artinya Eropa Barat secara alami melihat
ke belakang kepada Kebudayaan Yunani abad kelima Sebelum Kalendar Greorian. [7]
Artinya meskipun Barat lahir dari Yunani, tapi ia tidak bermula dari sana. Ia
berkembang dengan cara dan tempat yang berbeda.
Kedua framework di atas seakan ingin menunjukkan
bahwa di satu sisi, Filsafat Yunani adalah satu faktor, sedangkan Filsafat Barat
adalah faktor yang lain. Namun di sisi lain juga tidak dapat diingkari bahwa
keduanya saling berhubungan dalam kurun waktu yang panjang melalui proses
asimiliasi yang asasnya adalah aktivitas intelektual yang melibatkan
faktor-faktor lain selain Yunani sendiri. Sebab Yunani sendiri tidak dapat
dianggap satu-satunya faktor penentu atau sumber bagi kebangkitan kebudayaan
Barat. Dalam hal ini Coupleston membuat permisalan bahwa:
Menganggap
bahwa jika beberapa adat istiadat atau ritual Kristen yang sebagiannya berasal
dari Agama-agama Asia Timur, maka [berarti] Kristen pasti telah meminjam adat dan
ritus itu dari Asia adalah absurd.
Sama absurdnya ketika menganggap jika pemikiran spekulatif Yunani mengandung
beberapa pemikiran yang sama dengan Filsafat Timur, maka yang kedua bersumber
secara historis dari yang pertama. Padahal, akal manusia sangat mungkin untuk melakukan
interpretasi terhadap pengalaman yang sama dengan cara yang sama…..walaupun
ketergantungan aliran-aliran Filsafat Romawi terhadap pendahulu mereka dari Yunani
tidak dapat dipungkiri, namun kita tidak dapat menafikan wujudnya filsafat di
dunia Romawi. [8]
Pernyataan
di atas berarti bahwa Filsafat Yunani dan Barat tidak dapat dianggap sesuatu
yang kontinum. Yang kedua tidak semestinya berakar pada yang pertama. Jika
framework ini diterapkan pada alam pikiran Islam, maka filsafat dan sains yang
dihasilkan oleh Muslim pada Abad Pertengahan dapat dikatakan sebagai filsafat
dan sains Islam dan tidak ada kaitannya dengan Yunani.
Tapi
sayangnya, framework ini diterapkan hanya pada Filsafat dan Pemikiran Barat dan
tidak diterapkan pada Pemikiran dan Filsafat Islam. Meskipun Muslim dianggap telah
meminjam beberapa elemen penting dari Yunani, India, dan Persia, mereka tidak
dapat dikatakan sebagai sumber filsafat dan sains Islam. Sebab pinjam meminjam
antar kebudayaan adalah sesuatu yang alami pada setiap kebudayaan.
Dari
Abad Pertengahan
Jika
Ionia, tempat bermulanya pemikiran Yunani, dianggap sebagai tempat kelahiran
kebudayaan Barat, maka seharusnya ia bermula dari sana dan terus berkembang
hingga Abad Modern. Seperti seorang manusia, suatu kebudayaan lahir tumbuh
terus menerus dan kemudian mati. Oleh dari itu, jika suatu kebudayaan tidak
lagi tumbuh, maka ia dianggap mati. Dalam kasus Yunani, sesudah berakhirnya
Zaman Kuno oleh Aristotle (384-322 Sebelum Kalendar Gregorian/BCE) atau yang
paling akhir Plotinus (204-270), di sana tidak ada lagi perkembangan yang
berarti, khususnya dalam bidang filsafat dan sains. Dari periode ini hingga
abad ke-6 atau 8 Kalendar Gregorian, Barat melalui zaman yang disebut Zaman
Kegelapan (Dark Ages), yang berarti keberlangsungannya
terputus. Di sinilah mungkin alasannya mengapa beberapa sejarawan Barat menolak
Yunani sebagai tempat kelahiran Kebudayaan Barat. Sebab sesudah berakhirnya Zaman
Kegelapan, Barat memulai periode perkembangannya yang baru sebagai persiapan
menuju kebangkitan.
Zaman
baru yang kemudian disebut dengan Abad Pertengahan (Middle Ages atau Medieval) dianggap sebagai permulaan Kebudayaan
Barat. Bagi Holmes Peradaban Barat tercipta pada periode ini. [9] Namun karena
terdapat kontroversi di kalangan sejarawan tentang waktu yang pasti kapan
persisnya Zaman Kegalapan bermula, maka waktu yang pasti kapan Zaman
Pertengahan dimulai juga masih diperdebatkan. Martin menganggap Abad Pertengahan
bermula dari tahun 800 Kalendar Gregorian/CE, pada masa Cherlemagne atau tahun
1000 Kalendar Gregorian/CE, ketika serangan terhadap kebudayaan Eropa Barat
berakhir. [10] John Marenbon menganggap tahun 1000 atau abad ke-11 sebagai
permulaan Zaman Pertengahan periode akhir, tapi awalnya bermula dari tahun 480 Kalendar
Gregorian/CE yang ditandai oleh datangnya Boethius. [11]
Upaya
untuk menetapkan permulaan Zaman Pertengahan sebelum abad ke-8, nampaknya
hanyalah untuk mencari hubungan Barat dengan Masyarakat Kristen. Tapi
sebenarnya sebelum Abad ke-6 atau yang agak akhir abad ke-8, Barat belum mulai
bangkit.
Itulah sebabnya abad ini disebut Abad Kegelapan.
[12] Pada periode ini, khususnya, di awal abad ke-6, Kristen telah menyebar
keluar dari tanah kelahirannya Palestina ke Eropa, Mesopotamia, Armenia, Caucasus,
Nubia, dan Abyssinia. Namun di daerah-daerah dimana Kristen tersebar tidak ada
bukti kuat akan adanya prestasi intelektual, yaitu dalam bidang filsafat dan
sains. Meskipun waktu itu, yakni abad ke-3 dan 5 Kalendar Gregorian/CE, banyak
cendekiawan Kristen yang menguasai Filsafat Yunani, tapi Filsafat Yunani hanya
diserap kedalam diskursus teologi saja. Karenanya, apa yang dianggap filsafat pada
masa itu, menurut Marenbon bukanlah filsafat, tapi teologi.
Itulah
sebabnya kontribusi para Paderi Kristen terhadap perkembangan filsafat pada
awal Abad Pertengahan di Barat, dianggap sangat minim. [13] Alasannya jelas,
bahwa pemikiran spekulatif Yunani pada masa itu tidak banyak yang
diterjemahkan. Karenanya, penetapan waktu awal kebangkitan kebudayaan Barat
pada abad ke-6 adalah tidak relevan.
Jika
Abad Pertengahan dianggap sebagai akar kebangkitan Barat, maka semestinya pada
abad ini terdapat segala sesuatu bagi persiapan kebangkitan Barat. Tapi menurut
Willian R Cook et.al., dalam bukunya The
Medieval Worldview, Yunani Kuno masih tetap dianggap sebagai “inventor”
terbesar bagi Kebudayaan Barat dibanding yang lain. Aspek-aspek seni dan
sastra, penulisan sejarah, demokrasi, cabang-cabang filsafat; termasuk filsafat
politik, etika dan ilmu-ilmu yang sekarang dikelompokkan sebagai ilmu-ilmu alam
(natrual sciences) berasal dari
Yunani. Tapi dari itu semua warisan Yunani terpenting yang disumbangkan kepada
Abad Pertengahan adalah pemikiran dua filosof besar; Plato dan Aristotle. [14]
Sejarawan David Knowles dalam The
Evolution of Medieval Thought bahkan menyatakan bahwa hampir semua pemikiran
filsafat Abad Pertengahan yang paling utama diambil dari pemikiran Athena
antara tahun 450-300 Sebelum Kalendar Gregorian/BCE, [15] maksudnya dari
pemikiran Plato. Menurut William, semua pemikiran Aristotle tidak ada yang
dibuang pada Abad Pertengahan. Bahkan kompilasi undang-undang gereja abad ke-12
dan digunakan pada abad-abad berikutnya disusun berdasarkan prinsip-prinsip
logika Aristotle.
Sintesis
teologi Thomas Aquinas yang terkenal, yaitu Summa
Theologiae tersusun berkat logika Aristotle. [16] Tapi masalahnya, baik pemikiran
Plato maupun Aristotle tidak diketahui Masyarakat Barat Abad Pertengahan secara
langsung. Terjemahan Boethius terhadap sebagian karya logika Aristotle tahun
500 Kalendar Gregorian/CE pun tidak diketahui oleh Masyarakat Eropa Barat dari
abad ke-8 hingga abad ke-12.
William
menggambarkan bahwa akar Abad Pertengahan adalah percampuran antara
Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi yang terjadi di Zaman Kekaisaran Romawi.
Namun, Romawi tidak betahan lama dan digantikan oleh kultur Kristen-Latin,
meskipun tanpa dukungan institusi yang kuat. Tak lama kemudian Kebudayaan
Jerman dan Celtic, khususnya Irlandia masuk dan mempengaruhi Pandangan Hidup
Barat. Periode ini, menurut William, sangat penting bagi perkembangan
Kebudayaan Barat. [17] Di sini persoalan dari mana Barat Abad Pertengahan
belajar pemikiran Plato dan Aristotle masih kabur dalam sejarah Barat. Yang
pasti, Barat Abad Pertengahan telah berhasil keluar dari Abad Kegelapan (Dark Ages) dan mengembangkan suatu
pandangan hidup baru (new worldview)
yang mengantarkan mereka kepada Abad Pencerahan. Dalam masalah ini Alparslan
berkomentar “if the West did not develop
a new worldview in the Middle Age, they would not be able to come out of the
Dark Ages and as a result no adequate environment for scientific progress would
have been possible within that civilization” - jika Barat tidak mengembangkan pandangan dunia baru di
Abad Pertengahan, mereka tidak akan bisa keluar dari Abad Kegelapan dan sebagai
akibatnya tidak ada lingkungan yang memadai untuk kemajuan ilmiah yang mungkin
terjadi dalam peradaban itu. [18] Hanya
pertanyaannya, dari manakah Barat Abad Pertengahan memperoleh pandangan hidup
baru itu?
Dari
Pandangan Hidup Islam
Jawaban
dari pertanyaan di atas tidak lain hanyalah faktor Islam. Faktor yang tidak
banyak diperhitungkan oleh sejarawan Barat. Kebangkitan Islam dengan pandangan
hidup yang baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw mengalami penyebaran yang cepat di bawah Kekhalifahan Bani
Umayyah, dan kemudian Abbasiyah dari abad ke-6 hingga 15 Kalendar Gregorian.
Pada zaman inilah Abad Kegelapan dan Abad Pertengahan Barat berada, dan Kristen
pada masa itu tersebar di pinggiran Dunia Islam. [19] Pandangan Hidup Islam
secara perlahan-lahan termanifestasikan ke dalam kegiatan-kegiatan intelektual
dan keilmuan. Sebagai hasilnya, dapat disaksikan ketika Muslim menaklukkan dan
menguasai Spanyol dan daerah lain, seperti Levant. Kawasan ini kemudian menjadi
daerah yang paling cerah dan menjadi kehidupan kultural yang paling dinamis
dalam peta Kebudayaan Kristen di Barat.
Di
Zaman Kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya, Muslim telah banyak mentransmisikan
pemikiran Yunani. Hampir semua karya Aristotle, dan juga tiga buku terakhir
Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates,
Galen, Euclid, Ptolemy, dan lain-lain sudah berada di tangan Muslilm untuk
proses asimilasi. [20] Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani
tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi, dan
mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. [21] Jadi proses asimilasi terjadi
ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya Umat Islam mengadapsi Pemikiran
Yunani ketika Peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan
hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat, dan kedoketeran Yunani diadapsi
sehingga masuk ke dalam lingkungan pandangan hidup Islam. [22] Produk dari
proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani
dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimūn dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar,
kesimpullan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, cakupan, dan
materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang di mana Filsafat
Yunani mendominasi sistim Umat Islam. [23] Sebab pemikiran Yunani, menjadi
tidak dominan setelah proses transmisi. Muslim lebih berani memodifikasi
pemikiran Yunani dan mengharmonisasikannya dengan Islam ketimbang Masyarakat
Barat Abad Pertengahan, sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring sejalan
dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari Muslim,
Masyarakat Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui karya-karya Yunani,
ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini
kelihatannya yang mendorong para Teolog Kristen menggunakan tangan Pemikir
Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani.
Jika
pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah Peradaban Islam di
Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah satu-satunya
lingkungan cultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan
Kebudayaan Kristen, Islam, dan Yahudi. Fakta sejarah membuktikan bahwa di
Spanyol Orang-orang Kristen tenggelam ke dalam apa yang disebut sebagai ‘Mozarabic Culture’. [24] Kultur Islam
yang dominan inilah mungkin yang memberi sumbangan besar bagi lahirnya
pandangan hidup baru di Barat. Morris menggambarkan bahwa kontak dan konflik
antara Kristen-Yahudi dan Muslim memberi stimulus tidak saja kepada bangkitnya
ideologi dan intelektualitas Eropa Abad Pertengahan, tapi juga imaginasinya. [25]
Maksudnya kuriositas Orang-orang Barat tumbuh ketika menyadari bahwa Muslim
memiliki pandangan hidup yang canggih (sophisticated)
dan ilmu pengetahuan yang kaya lebih dari apa yang terdapat di dunia Latin.
Inilah yang sebenarnya terjadi.
Dari
perspektif teori terbentuknya pandangan hidup [26] kita dapat menyatakan bahwa
Spanyol adalah tempat di mana Barat menyerap aspirasi dari Muslim bagi
pengembangan pandangan hidup mereka. Atau setidaknya, Barat memanfaatkan
pertemuan mereka dengan Muslim untuk memperkaya pandangan hidup mereka. Fakta
sejarah menunjukkan bahwa Barat menempuh berbagai macam cara untuk mentransfer
aspek-aspek penting Pandangan Hidup Islam yang berupa konsep-konsep itu. Jayusi
mengkaji dan menemukan bahwa model transformasi kultur Islam ke dalam
kebudayaan Barat ada lima:
Pertama,
melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara oral oleh
orang-orang Barat.
Kedua,
dengan cara kunjungan atau tourisme. Pada abad ke-7 Kalendar Gregorian/CE,
Cordoba adalah ibukota Negara Islam yang menonjol dan merupakan kota yang
paling berperadaban di Eropa, dan karena itu Orang Eropa berduyun-duyun
mengunjungi tempat ini untuk belajar dari Peradaban Islam.
Ketiga,
waktu itu terdapat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan yang
dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropa.
Keempat,
dengan cara menterjemahkan karya-karya ilmiah Orang Islam. Faktanya,
Monastri-monsatri Eropa, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad-12 dan 13 Kalendar
Gregorian/CE memiliki ruang penyimpanan manuskrip bagi sejumlah besar karya-karya
ilmiah Orang Islam untuk mereka terjemahkan.
Kelima,
untuk kelancaran proses penerjemahan raja-raja Eropa mendirikan sekolah untuk
para penerjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota
tersebut pada tahun 1085. Tujuannya adalah untuk menggali ilmu pengetahuan
Islam yang terdapat pada perpustakaan-perpustakaan bekas jajahan Muslim itu. [27]
Namun,
kebangkitan Barat tidak terjadi langsung sesudah proses tranformasi tersebut di
atas. Sebab tidak ada peradaban yang bangkit secara mendadak dan tiba-tiba,
sekurang-kurangnya diperlukan waktu satu abad lamanya bagi suatu peradaban
untuk bangkit. Islam sendiri bangkit menjadi sebuah peradaban yang memiliki
konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan, dan lain sebagainya sesudah
beberapa abad lamanya. Dari awal kemunculannya pada abad ke-7 Kalendar
Gregorian/CE, Muslim baru dapat muncul sebagai peradaban yang kuat pada abad
ke-12 Kalendar Gregorian/CE, di saat mana para cendekiawan Muslim mampu
menguasai ilmu pengetahuan Yunani, Persia, dan India, dan kemudian menghasilkan
ilmu pengetahuan baru yang telah disesuaikan dengan konsep-konsep penting dalam
Pandangan Hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan di antaranya adalah matematika
(termasuk angka, aljabar dan algoritma-admin blog), kedokteran, farmasi, optic,
dan lain-lain. Ini bukan sekedar sistimatisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti
yang diduga para orientalis, [28] tapi menyangkut hal-hal yang detail dan
bahkan menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam bidang sains, sehingga hasilnya
sains dalam Islam, dalam bahasa Willian McNeil “went beyond anything known to
these ancient preceptors” - “melampaui
apa pun yang diketahui oleh para guru/ahli/pemikir zaman kuno -
terdahulu”. [29]
Sesudah
melalui sejarah yang panjang proses transformasi dan penyerapan Peradaban Islam
ke dalam Kebudayaan Barat, para Ilmuwan Barat, di bawah kepemimpinan para
Pendeta Kristen, mulai mengembangkan filsafat dan sain mereka. Oleh sebab itu, perkembangan
Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan abad ke-13 intinya adalah kombinasi
elemen yang sering dinamakan Greco-Arabic-Latin. Selanjutnya, pada akhir abad
ini kerajaan Kristen di Barat menjadi kekuatan kultural yang menonjol. [30] Dan
dengan berakhirnya abad ke-15 konsep-konsep mereka tentang alam semesta dan
ilmu pengetahuan menjadi matang dan melapangkan jalan bagi perkembangan
filsafat dan sains di Barat. Fakta-fakta sejarah dan framework para sejarawan
dalam memahami fakta-fakta tersebut dapat diuji dengan merujuk kepada teori
lahirnya pandangan hidup. Pembentukan suatu pandangan hidup dalam pikiran kita
terjadi melalui kultur, teknologi, pemikiran keilmuan, keagamaan, dan spekulasi
yang diperoleh dari pendidikan atau upaya sadar dalam mencari ilmu.
Jadi pandangan hidup diperoleh melalui proses
alami, pendidikan dan masyarakat, serta agama. Setelah suatu pandangan hidup
terbentuk, masyarakat dapat mengatur kehidupan mereka berdasarkan pada
pandangan hidup, dimana ide, kepercayaan dan konsep-konsep membentuk suatu
jalinan konsep yang saling berhubungan atau architectonic
network, untuk meminjam istilah Kant. Ketika bangunan konsep dalam suatu
pandangan hidup telah terbentuk maka adapsi, tansmisi, dan transformasi
konsep-konsep asing adalah sesuatu yang tidak lagi masalah. Tapi dalam kasus
kebudayaan Barat, transmisi konsep-konsep asing melalui penerjemahan pada abad ke-5,
atau awal Abad Pertengahan, seperti dinyatakan Marenbon, masih sangat sedikit.
Ini terjadi karena bangunan konsep dalam Pandangan Hidup Barat belum terbentuk.
Orang-orang Kristen tidak berani menerjemahkan dan menyintesiskan pemikiran Yunani
dengan dengan doktrin Kristen. Pernyataan Peter sangat jelas, bahwa Orang
Kristen tidak dapat menyempurnakan penerjemahan Organon Aristotle khawatir akan
membahayakan keimanan mereka. [31] Mereka tidak mampu menyerap kecanggihan pemikiran
Yunani karena tidak adanya mekanisme yang canggih untuk memproduksi
konsep-konsep keilmuan yang terstruktur ‘scientific
conceptual scheme’ dalam pandangan hidup mereka.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa struktur konsep
keilmuan di Barat lahir segera setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim
yang canggih. Jadi ketika Peradaban Islam memimpin dunia sejak abad ke-7 hingga
abad ke-15 Kalendar Gregorian/CE Barat tidak hanya mentransfer Pemikiran Yunani
dari Arab ke Latin, tapi juga menyerap mekanisme intelektual mereka (Muslim)
yang canggih. Temuan Jayyusi tentang cara-cara Barat mentransfer berbagai aspek
dari peradaban Islam, merupakan bukti yang memadai bahwa sebenarnya mereka
(Muslim) waktu itu sedang mengembangkan struktur konsep keilmuan dalam
pandangan hidup mereka (Muslim). Setelah mereka (Kristen Barat) mengembangkan
pandangan hidup mereka, orang Kristen Barat tidak lagi khawatir menerjemahkan
teks-teks Yunani seperti sebelumnya, apalagi teks-teks yang telah disintesakan
atau dimodifikasi oleh Orang-orang Muslim. [32]
Jadi, lahirnya filsafat dan sains di Barat bukan
hanya karena jasa terjemahan dari Yunani ke dalam Islam atau Islam ke Latin,
tapi juga karena adanya transmisi Pandangan Hidup Islam yang memilik struktur
konsep keilmuan yang canggih ke dalam pemikiran Orang Barat.
Penutup
Dari
uraian di atas, maka akar Kebudayaan Barat bervariasi dan di antara akarnya
yang mendorong munculnya Abad Pencerahan adalah Pandangan Hidup Islam. Untuk
menggarisbawahi kajian di atas pernyataan al-Attas yang sangat tepat dan
penting untuk dikutip adalah bahwa Kebudayaan Barat:
…..berkembang
dari fusi kultur, filsafat, nilai, dan aspirasi Yunani dan Romawi; dicampur
dengan Yahudi dan Kristen, yang kemudian dikembangkan dan dibentuk oleh
Orang-orang Latin, Jerman, Celtic, dan Nordic. Dari Yunani diambil elemen
filsafat dan epistemologi, dasar-dasar pendidikan, etika, dan estetika; dari
Romawi diambil elemen hukumnya, ketatanegaraan dan pemerintahannya; dari Yahudi
dan Kristen diambil elemen kepercayaannya dan dari Orang-orang Latin, Jerman,
Celtic, dan Nordic diambil jiwa independen, nasionalisme, dan nilai-nilai
tradisionalnya.
Pengembangan ilmu-ilmu alam dan fisika serta
teknologi yang dilakukan bersama orang-orang Slavia telah mendorong mereka
mencapai puncak kekuasaan. Islam juga memberi sumbangan sangat penting kepada
Kebudayaan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan dalam menanamkan semangat rasional
dan keilmuan. Namun ilmu pengetahuan dan juga semangat rasional dan keilmuan
itu telah dibentuk ulang agar sejalan dengan kultur Barat, sehingga semuanya menyatu
dan bercampur dengan elemen-elemen lain yang membentuk ciri-ciri dan wajah
Kebudayaan Barat. [3 3]
Poin
penting yang perlu dicatat adalah bahwa di antara akar Kebudayaan Barat adalah
ilmu pengetahuan, semangat rasional dan keilmuan yang disumbangkan Islam, dan
itu semua merupakan elemen terpenting yang merupakan produk Pandangan Hidup Islam.
Namun, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa karena Barat mengambil dari
Islam, maka Muslim sekarang dapat mengambil segala sesuatu dari Barat. Sebab,
seperti dinyatakan oleh al-Attas, konsep-konsep Islam yang diambil Barat telah dimodifikasi
sehingga nilai-nilai Islam tidak dapat lagi dikenali, yang nampak menonjol
adalah wajah kebudayaan Barat. Proses yang sama juga terjadi ketika Islam
sebagai peradaban yang memiliki konsep-konsep yang kuat, konsep-konsep pinjaman
dari kebudayaan asing dimodifikasi dan ditransmisikan kedalam lingkungan konsep
Islam dan hasilnya adalah konsep-konsep yang berwajah Islam. Proses itu perlu
kini dilakukan kembali agar konsep-konsep asing menjadi tuan rumah dalam
peradaban Islam yang agung ini. ***
Demikianlah
paparan tulisan yang bertajuk (Sejarah seputar asal, faktor, sebab, pengaruh
dari) “Akar Kebudayaan Barat” yang sepantasnya diketahui bagi kaum muda,
intelektual, pemikir, dan pemerhati Geliat Islam dalam menghadapi millennium
ke-3 untuk bagaimana menempatkan (ajaran) Islam ditengah liarnya gejolak dunia
yang belum mengenal konsep ta’aruf
dalam ajaran Islam sebagai berikut:
“Wahai
manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu ta’aruf (saling kenal mengenal). [QS Al-Hujurāt 49:13]
Ta’aruf,
artinya kemauan orang yang siap hidup bersama dengan orang atau bangsa lain
dalam ‘perbedaan’ - perbedaan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, kalau
mengerti akan kata/konsep ta’aruf.
Lebih jelas lagi dalam penjabaran
prinsip ta’ruf ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar
belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah
hubungan sesama manusia; (I) Itsar
yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi
melainkan pacifist - damai.
Manusia merupakan makhluk sosial. Tentunya selain menjaga hubungan kepada Sang Pencipta yakni Allah Sang Pencipta Alam Semesta dan Manusia (hablumminallah), maka ada baiknya pula menjaga hubungan baik antar sesama manusia (hablumminannas). Malah kita diperintahkan-Nya untuk menjaga hubungan baik tersebut seperti yang digambarkan dalam konsep 3T1I yang telah dipaparkan seperti diatas. Baca juga (klik--->): Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dan Menyoroti Makna Peradaban Islam, Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Biografi
Dr. H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A, M.Phil
Lahir di Gontor, 13 September 1958,
Hamid Fahmy Zarkasyi adalah putra ke-9 dari KH Imam Zarkasyi, pendiri Pondok
Modern Darussalam Gontor. Ia Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA dan
Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS).
Dr.
Hamid Fahmy menamatkan pendidikan menengahnya di Kulliyatul Mu'allimin
al-Islamiyah Pondok Modern Darussalam Gontor dan S1 di Institut Studi Islam
Darussalam di pondok yang sama. Pendidikan S2 (M. A. Ed.) dalam bidang
pendidikan diperolehnya di The University of Punjab, Lahore, Pakistan (1986).
Pendidikan S2 (M. Phil.) dalam Studi Islam diselesaikan di University of
Birmingham United Kingdom (1998). Sedangkan studi S3 (Ph. D.) bidang Pemikiran
Islam diselesaikan di International Institute of Islamic Thought and
Civilization - International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia
pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006.
Pimpinan
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Sejak tahun 2003 ia
aktif melakukan workshop pemikiran Islam yang berupaya bersikap kritis terhadap
program liberalisasi pemikiran Islam. Murid langsung Prof. Dr. Syed Mohammad
Naquib al-Attas ini juga pernah menjadi wakil umat Islam Indonesia dalam
simposium tentang masa depan politik Islam di JIIA Tokyo (2008). Ia juga
menjadi anggota delegasi RI (Kemenlu) dalam program Public Diplomacy Campaign
ke Austria (2010).
Ia
banyak melakukan lawatan ke berbagai negara Eropa dan Asia dalam program
dakwah, seminar, studi banding, dsb. Selain aktif menulis di berbagai media
massa dan beberapa jurnal, kesehariannya ia habiskan untuk mengajar dan
memimpin Program Kaderisasi Ulama dan Pascasarjana Institut Studi Islam
Darussalam, Gontor. □□
Catatan
Kaki
[1]. William R. Cook dan Roland B Herzman, The
Medieval Worldview, (Oxford University Press, 1983), 50, 115, 262.
[2]. Alparsalan Acikgenc, Islamic Science
Towards a Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 29-31
[3]. Lengkapnya “presumably a history of western
philosophy should begin with the beginning of western philosophy, and western
philosophy begun in the sixth century BC with Thales, the father of Greek
philosophy and thus the father of philosophy in the western world” W.T.C.
Jones, A History of Western Philosophy, the Classical Mind, (Chicago: Harcourt
Brace Jovanovich Publisher, 1970), 2.
[4]. R.B. Onians, The Origin of European
Thought, (Cambridge: Cambridge University Press, 1989).
[5]. W.H.A. Arthur, et.al, Reading in Western
Civilization, (Chicago: University of Chicago Press, 1985)
[6]. Couplestone, A History of Philosophy, 11.
[7]. George Holmes, The Oxford History of
Medieval Europe, vi dan ix
[8]. Couplestone, A History of Philosophy, 11
[9]. George Holmes, The Oxford History of
Medieval Europe, vi, ix.
[10]. C.J.F. Martin, An Introduction of Medieval
Philosophy, 10. McNeill also put the year of 1000 as the beginning of vigorous
civilization of the Western Europe. See William McNeill, The Rise of the West,
(Chicago: The University of Chicago, 1996), 484.
[11]. John Marenbon, Early Medieval Philosophy,
(London: Routledge, 1991), pp. xvi; 27.
[12]. Brown noted that in the areas of Latin
West and in the Greek East literary production suffered a crisis between the
late sixth and eighth centuries. See Thomas Brown, “The Transformation of the
Roman Mediterranean”, in George Holmes, The Oxford History of Medieval Europe,
52.
[13]. John Marenbon, Early Medieval Philosophy,
(London: Routledge, 1988), 17
[14]. William R. Cook dan Roland B Herzman, The
Medieval Worldview, 29-30.
[15]. David Knowles, The Evolution of Medieval
Thought, (New York: Random Haouse, 1962), 3-4.
[16]. William R. Cook dan Roland B Herzman, The
Medieval…, 35 Hamid Fahmy Zarkasyi 182 Jurnal KALIMAH sangat penting bagi
perkembangan Kebudayaan Barat.
[17]. Di sini persoalan dari mana Barat Abad
Pertengahan belajar pemikiran Plato dan Aristotle masih kabur dalam sejarah
Barat. Yang pasti,
Barat Abad Pertengahan telah berhasil keluar
dari Abad Kegelapan (Dark Ages) dan
mengembangkan suatu pandangan hidup baru (new
worldview) yang mengantarkan mereka kepada Abad Pencerahan. Dalam masalah
ini Alparslan berkomentar “if the West did not develop a new worldview in the
Middle Age, they would not be able to come out of the Dark Ages and as a result
no adequate environment for scientific progress would have been possible within
that civilization”.
[18]. Hanya pertanyaannya, dari manakah Barat
Abad Pertengahan memperoleh pandangan hidup baru itu? Dari Pandangan Hidup
Islam Jawaban dari pertanyaan di atas tidak lain hanyalah faktor Islam. Faktor
yang tidak banyak diperhitungkan oleh sejarawan Barat. Kebangkitan Islam dengan
pandangan hidup yang baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad mengalami penyebaran
yang cepat di bawah Kekhalifahan Bani Umayyah, dan kemudian Abbasiyah dari abad
ke-6 hingga 15 M. Pada zaman inilah Abad Kegelapan dan Abad Pertengahan Barat
berada, dan Kristen pada masa itu tersebar di pinggiran Dunia Islam.
[19]. Pandangan Hidup Islam secara perlahan-lahan
termanifestasikan ke dalam kegiatan-kegiatan intelektual dan keilmuan. Sebagai
hasilnya, dapat disaksikan ketika Muslim menaklukkan dan menguasai Spanyol dan
daerah lain, seperti Levant. Kawasan ini kemudian menjadi daerah yang paling cerah
dan menjadi kehidupan kultural yang paling dinamis dalam peta Kebudayaan
Kristen di Barat. Di Zaman Kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya, Muslim telah
banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Hampir semua karya Aristotle, dan juga
tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis,
karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy, dan lain-lain sudah
berada di tangan Muslilm untuk proses asimilasi.20
[17]. Ibid, 115
[18]. Alparslan Acikgenc, Islamic Science…,
30-31.
[19]. William McNeill, The Rise of the West,
441.
[20]. M. M. Sharif, A History of Muslim
Philosophy, Vol. II, (Delhi: Low Price Publication, 1995), 1349
[21]. Oliver Leaman, An Introduction to Medieval
Islamic Philosophy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 6.
[22]. Thomas Brown, “The Transformation of the
Roman Mediterranean 400-900”, in George Holmes, The Oxford History…, 50-51. He
also noted that the remarkable success and the strength of Islam was due mainly
to their ability “to evolve an original and durable synthesis”. They took over
the more effective and appealing tenets of other faiths and retained viable
elements of Graeco-Roman administration and urban culture while maintaining the
distinctiveness and vitality of their own culture. See: Ibid, 11.
[23]. Alfred Gullimaune, Philosophy and Theology
in The Legacy of Islam, (Oxford University Press, 1948), 239
[24]. Mozarab was originally Spanish derived
from Arabic musta’rab meaning ‘arabized’, or would-be-Arab, but the term is used
for one who claims to be an Arab without being so. Mikel said that it is
originally a pejorative term for Christian of Arabic origin living in the
medieval Christian kingdom, particularly Toledo. But it also refers to a member
of Christian congregation in Spain that maintain a modified form of its
religion after the Muslim conquest. See Mikel De Eplaza, Mozarab, An Emblematic
Christian Minority in Islamic Andalus, in Salma Khadra Jayyusi, The legacy of
Muslim Spain, (Leiden: E.J.Brill, 1992), 149-170. Cf. Webster Comprehensive
Dictionary, (Trident Press International, 1996), 833.
[25]. Rosemary Morris, “Northern Europe invades
the Mediterranean 900-1200”, in George Holmes, The Oxford…, 194-195.
[26]. Alparsalan states that world view is
formed in the human mind either through cultural, scientific, religious and
speculative idea by means of education or through conscious effort to acquire
knowledge, or through both means. See Alparsalan Acikgenc, Islamic Science…, 15
27Salma Khadra Jayyusi, The Legacy of Muslim Spain, 1059-1060; Toledo is the most
important seat of this activity but in a smaller scale was established in
Salerno, Salamanca, and Venice. See William McNeill, The Rise of the West,
548-550; For more detail on the process of transformation through translation
see Eugene A. Myers, Arabic Thought and The Western World, (New York: Frederick
Ungar Publishing co. 1964), 78-130.
[28]. Lihat misalnya, De Lacy O’Leary, Arabic
Thought and Its Place in History, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd,
1963), viii.
[29]. William McNeill, The Rise of the West,
418.
[30]. Eugene A. Myers, Arabic Thought…, 132
[31]. Alparsalan Acikgenc, Islamic Science…,
14-15.
[32]. F. E. Peter, Aristotle and The Arabs, The
Aristotelian Tradition in Islam, (New York: New York University Press, 1968),
57.
[33]. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 134. Buku ini dicetak pertama kali
tahun 1978 □□□
Daftar
Pustaka
Acikgenc, Alparsalan. 1996. Islamic Science
Towards a Definition. Kuala Lumpur: ISTAC.|
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and
Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.|
Arthur, W.H.A. (et.al), 1985. Reading in Western
Civilization. Chicago: University of Chicago Press.|
Cook, William R., dan Herzman, Roland B. 1983.
The Medieval Worldview. London: Oxford University Press.|
Couplestone, A History of Philosophy.|
Gullimaune, Alfred. 1948. Philosophy and
Theology in The Legacy of Islam. Oxford University Press.|
Holmes, George. The Oxford History of Medieval
Europe.|
Jayyusi, Salma Khadra. 1992. The legacy of
Muslim Spain. Leiden: E.J.Brill.|
Jones, W.T.C. 1970. A History of Western
Philosophy, the Classical Mind. Chicago: Harcourt Brace Jovanovich Publisher.|
Knowles, David. 1962. The Evolution of Medieval
Thought. New York: Random Haouse.|
Leaman, Oliver. 1985. An Introduction to
Medieval Islamic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.|
Marenbon, John. 1988. Early Medieval Philosophy.
London: Routledge.|
Marenbon, John. 1991. Early Medieval Philosophy.
London: Routledge.|
Martin, C.J.F. An Introduction of Medieval
Philosophy.|
McNeill, William. 1996. The Rise of the West.
Chicago: The University
of Chicago.|
Myers, Eugene A. 1964. Arabic Thought and The
Western World. New York: Frederick Ungar Publishing co.|
O’Leary, De Lacy. 1963. Arabic Thought and Its
Place in History. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.|
Onians, R.B. 1989. The Origin of European
Thought. Cambridge: Cambridge University Press.|
Peter, F. E. 1968. Aristotle and The Arabs, The
Aristotelian Tradition in Islam. New York: New York University Press.|
Sharif, M. M. 1995. A History of Muslim
Philosophy, Vol. II. Delhi: Low Price Publication.|
Webster Comprehensive Dictionary. 1996. Trident
Press International.| □□□□
Sumber
https://www.researchgate.net/publication/304466206_Akar_Kebudayaan_Barat
Dan sumber-sumber lainnya. □□□□□