tholibul ‘ilmi farīdhotun ‘ala kulli muslimīn
knowledge is an obligation upon every muslim
mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim
PENDAHULUAN
B
|
ila cuaca cerah, malam ini kita akan melihat
sebuah bintang sangat terang di ufuk Barat. Itulah bintang paling terang malam
ini, Bintang Kejora yang sesungguhnya bukan bintang melainkan planet Venus.
Walau sangat terang, kecerlangannya tidaklah abadi. Menjelang waktu isya
cahayanya ditenggelamkan oleh cahaya bulan pasca purnama. Tidak lama ia di
langit yang tinggi, hanya dalam beberapa jam bintang cemerlang itu benar-benar
terbenam. Muncullah bulan pasca purnama dengan dengan wajah masih hampir bulat
terang menguasai langit malam ini. Tetapi rembulan pun tak kan abadi.
Saat pagi Matahari muncul jauh lebih terang, cahayanya memucatkan rembulan di
ufuk barat menjelang terbenam. Matahari pun tak kekal di langit, ada saatnya
akan terbenam pula.
Bayangkan suasana seperti itu bukan di tengah
kota, tetapi di tengah padang pasir. Bayangkan kita sedang bersama Nabiyullah
Ibrahim ‘alaihis salam yang sedang
merenungi makna tauhid, keesaan Allah, dengan akal langsung dari alam. Allah
menceritakan kisah menarik itu di dalam Qur’an Surat Al-An’ām yang artinya:
“….Ketika
malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
“Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak
suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia
berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata:
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia
berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”.
Maka tatkala
matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. [QS Al-An’ām 6:76-79]
Hikmah dari Pengalaman Ibrahim as
Banyak hikmah dapat kita petik dari kisah Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam tersebut untuk
merenungi ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat Allah di alam, untuk menemukan hakikat
Allah dan mengambil pelajaran darinya. Ya, membaca ayat-ayat-Nya. Hal yang sama
dalam format berbeda diajarkan juga oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah
Muhammad Shalallāhu ‘alaihi wa salam
pada malam turunnya Al-Qur’an - Nuzulul
Qur’an:
Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. [QS Al-‘Alaq 96:1-5].
”Bacalah” bukan sekadar bermakna membaca
ayat-ayat Allah di Kitab Al-Qur’am Al-Karim, tetapi membaca juga ayat-ayat
Allah di alam semesta - ayat-ayat Kauniyah.
Membaca alam bermakna merenungi ciptaan Allah dalam hal asal usulnya,
prosesnya, hukum-hukum yang berlaku padanya, dan kesudahannya. Itulah
menjadikan intelektualitas manusia berkembang. Kecendekiawanannya lebih
bermakna.
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ūlil albāb, para cendekia),
(yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Bila dijumpai sesuatu
yang mengagumkan, ia mengembalikannya kepada Allah yang menciptakan): “Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau”. (Namun
dengan menyadari keterbatan ilmu yang berpotensi salah dalam penjelajahan
inetelektualnya sehingga senantiasa ia mohon ampunan Allah), “maka peliharalah
Kami dari siksa neraka”. [QS Ali ‘Imrān 3:190-191]
Pada ayat tersebut Allah mengajarkan kita semua
untuk menjadi “ūlil albāb”, orang yang senantiasa menggunakan akalnya. Menjadi
cendekiawan yang senantiasa membaca alam. Empat ciri “ūlil albāb” ini: berdzikir, berfikir,
bertauhid, dan beristighfar.
Senantiasa berdzikir (ingat)
kepada Allah dalam segala situasi. Tak
jemu berfikir tentang segala fenomena alam. Bertauhid
mengesakan Allah yang menciptakan alam ini. Tak
lupa beristighfar atas kemungkinan lalai dan salah dalam pemikirannya.
Membaca Kunci Mendapatkan Ilmu Sains
Membaca alam secara mendalam kemudian
menganalisisnya, merumuskannya, dan mengujinya akan menghasilkan sains - ilmu
pengetahuan. Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ayat pembuka saat turunnya Al-Qur’an mula-mula pertama kali
diturunkan adalah ”iqra, bacalah”, menjadi
motivasi utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mestinya juga menjadi
pendorong untuk melahirkan inovasi.
Ada tiga peran utama sains yang
juga diajarkan Al-Qur’an. Pertama, peran sains menjawab keingintahuan
manusia. Keingintahuan utama adalah asal-usul sesuatu dan mekanisme kejadian di
alam. Beberapa hal diisyaratkan di dalam Al-Qur’an untuk renungan bagi manusia
untuk memikirkannya. Kedua, peran sains melandasi pengembangan
teknologi yang memudahkan manusia. Sepanjang sejarah manusia, teknologi
dikembangkan untuk memudahkan aktivitas manusia. Perilaku alam yang dikaji
sains banyak menginspirasi pengembangan teknologi. Beberapa ayat Al-Qur’an pun
memberi tantangan untuk menguasai teknologi untuk mengungkap rahasia alam. Ketiga,
menurut ajaran Islam sains juga berperan membantu mendekatkan diri kepada
Allah.
Al-QUR’AN MENDORONG BERKEMBANGNYA SAINS
Hai jin dan
manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan. [QS Ar-Rahmān 55:33]
P
|
ertanyaan paling mendasar umat manusia adalah
tentang asal-usul alam semesta dan segala isinya. Keingintahuan yang pokok
inilah yang mendorong manusia mengkaji rahasia alam. Al-Qur’an merangkum
asal-usul alam semesta itu dengan isyarat tentang enam
masa penciptaan. Sains yang dikembangkan dalam mengkaji fenomena alam
kemudian kita balikkan untuk mencoba memahami isyarat ungkapan-ungkapan dalam
Al-Quran.
Alam diciptakan Allah dalam enam masa (QS
Fushshilat 41:9-12), dua masa untuk menciptakan langit sejak berbentuk dukhan (campuran debu dan gas), dua
masa untuk menciptakan bumi, dan dua masa (empat masa sejak penciptaan bumi)
untuk memberkahi bumi dan menentukan makanan bagi penghuninya. Ukuran lamanya
masa (“hari”, ayyam) tidak
dirinci di dalam Al-Qur’an. Belum ada penafsiran pasti tentang enam masa itu.
Namun, berdasarkan kronologi saintifik tentang evolusi alam semesta dengan
dipandu isyarat di dalam Al-Qur’an (QS Fushshilat 41:9-12 dan QS An-Nāzi’āt 79:27-32)
kita coba fahami enam masa itu sebagai enam tahapan proses sejak penciptaan
alam sampai hadirnya manusia.
Masa Pertama dimulai dengan ledakan besar (big bang) sebagaimana Qur’an Surah
Al-Anbiyā’ ayat 30 menyebutkan langit dan bumi asalnya bersatu (sekitar 13,7
milyar tahun lalu).
Dan Apakah
orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman? [QS Al-Anbiyā’ 21:30]
Inilah awal terciptanya materi, energi, dan
waktu. “Ledakan” itu pada hakikatnya adalah pengembangan ruang yang dalam
Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah kuasa meluaskan langit (QS Adz-Dzāriyāt 51:47).
Materi yang mula-mula terbentuk adalah hidrogen yang menjadi bahan dasar
bintang-bintang generasi pertama. Hasil fusi nuklir antara inti-inti Hidrogen
menghasilkan unsur-unsur yang lebih berat, seperti karbon, oksigen, sampai
besi.
Masa Kedua adalah pembentukan bintang-bintang yang
terus berlangsung. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut penyempurnaan langit. Dukhan (debu-debu dan gas
antarbintang, Qur’an Surat Fushshilat 41:11) pada proses pembentukan bintang
akan menggumpal memadat. Bila intinya telah cukup panasnya untuk memantik
reaksi fusi nuklir, maka mulailah bintang bersinar. Kelak bila bintang mati
dengan ledakan supernova, unsur-unsur berat hasil fusi nuklir akan dilepaskan.
Selanjutnya unsur-unsur berat yang terdapat sebagai materi antarbintang bersama
dengan hidrogen akan menjadi bahan pembentuk bintang-bintang generasi
berikutnya, termasuk planet-planetnya. Di dalam Al-Qur’an penciptaan langit
kadang disebut sebelum penciptaan bumi dan kadang disebut sesudahnya karena
prosesnya memang berlanjut.
Itulah dua masa penciptaan langit. Dalam bahasa
Al-Qur’an, big bang dan
pengembangan alam yang menjadikan galaksi-galaksi tampak makin berjauhan (makin
“tinggi” menurut pengamat di bumi) serta proses pembentukan bintang-bintang
baru disebutkan sebagai, Dia meninggikan
bangunannya lalu menyempurnakannya, Qur’an Surah An-Nāzi’āt ayat 28.
Masa Ketiga dan Keempat dalam penciptaan alam semesta
adalah proses penciptaan tata surya termasuk bumi. Proses pembentukan matahari
sekitar 4,6 milyar tahun lalu dan mulai dipancarkannya cahaya dan angin
matahari itulah masa ke tiga penciptaan alam semesta. Proto-bumi (‘bayi’ bumi)
yang telah terbentuk terus berotasi yang menghasilkan fenomena siang dan malam
di bumi. Itulah yang diungkapkan dengan indah pada ayat lanjutan pada Qur’an Surah
An-Nāzi’āt ayat 29, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan
menjadikan siangnya terang benderang.
Masa pemadatan kulit bumi agar layak bagi hunian
makhluk hidup adalah masa ke empat. Bumi yang terbentuk dari debu-debu
antarbintang yang dingin mulai menghangat dengan pemanasan sinar matahari dan
pemanasan dari dalam (endogenik) dari peluruhan unsur-unsur radioaktif di bawah
kulit bumi.
Akibat pemanasan endogenik itu materi di bawah
kulit bumi menjadi lebur, antara lain muncul sebagai lava dari gunung api.
Batuan basalt yang menjadi dasar lautan dan granit yang menjadi batuan utama di
daratan merupakan hasil pembekuan materi leburan tersebut. Pemadatan kulit bumi
yang menjadi dasar lautan dan daratan itulah yang nampaknya dimaksudkan
“penghamparan bumi” pada Qur’an Surah An-Nāzi’āt ayat 30, dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.
Menurut analisis astronomis, pada masa awal umur
tata surya gumpalan-gumpalan sisa pembentukan tata surya yang tidak menjadi
planet masih sangat banyak bertebaran. Salah satu gumpalan raksasa, 1/9 massa
bumi, menabrak bumi menyebabkan lontaran materi yang kini menjadi bulan. Akibat
tabrakan itu sumbu rotasi bumi menjadi miring 23,5 derajat dan atmosfer bumi
lenyap. Atmosfer yang ada kini sebagian dihasilkan oleh proses-proses di bumi
sendiri, sebagian lainnya berasal dari pecahan komet
atau asteroid yang menumbuk bumi. Komet yang
komposisi terbesarnya adalah es air (20% massanya) diduga kuat merupakan sumber
air bagi bumi karena rasio Deutorium/Hidrogen (D/H) di komet hampir sama dengan
rasio D/H pada air di bumi, sekitar 0.0002. Hadirnya air dan atmosfer di bumi
sebagai prasyarat kehidupan merupakan masa ke lima proses penciptaan alam.
Pemanasan matahari menimbulkan fenomena cuaca di
bumi: awan dan halilintar. Melimpahnya air laut dan kondisi atmosfer purba yang
kaya gas metan (CH4) dan amonia (NH3) serta sama sekali tidak mengandung
oksigen bebas dengan bantuan energi listrik dari halilintar diduga menjadi awal
kelahiran senyawa organik. Senyawa organik yang mengikuti aliran air akhirnya
tertumpuk di laut. Kehidupan diperkirakan bermula dari laut yang hangat sekitar
3,5 milyar tahun lalu berdasarkan fosil tertua yang pernah ditemukan. Di dalam Qur’an
Surah Al-Anbiyā’ ayat 30 memang disebutkan semua makhluk hidup berasal dari
air.
Lahirnya kehidupan di bumi yang dimulai dari
makhluk bersel tunggal dan tumbuh-tumbuhan merupakan masa ke enam dalam proses
penciptaan alam. Hadirnya tumbuhan dan proses fotosintesis sekitar 2 milyar
tahun lalu menyebabkan atmosfer mulai terisi dengan oksigen bebas. Pada masa ke
enam itu pula proses geologis yang menyebabkan pergeseran lempeng tektonik dan
lahirnya rantai pegunungan di bumi terus berlanjut.
Tersedianya air, oksigen, tumbuhan, dan kelak
hewan-hewan pada masa ke lima dan ke enam itulah yang agaknya dimaksudkan Allah
memberkahi bumi dan menyediakan makanan bagi penghuninya, Qur’an Surah
Fushshilat ayat 10. Di dalam Qur’an Surah An-Nāzi’āt ayat 31 sampai ayat 33 hal
ini diungkapkan sebagai penutup kronologis enam masa penciptaan, yang artinya: “Ia memancarkan dari padanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh‑tumbuhannya.
Dan gunung‑gunung dipancangkan‑Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu
dan untuk binatang‑binatang ternakmu”.
Al-Qur’an memberi isyarat banyak fenomena alam
yang menjadi tantangan sains untuk mengungkapkannya. Tetapi manusia punya
keterbatasan ilmu. Penafsiran dengan sains yang terus berkembang bukanlah
memutlakkan pemahaman tunggal atas makna ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait
dengan fenomena alam. Menggali ’izzah
Al-Qur’an (mukjizat Al-Qur’an) bukan pula untuk menghasilkan sains baru. Sains
adalah temuan yang harus bisa dibuktikan oleh siapa pun.
Al-Qur’an dengan isyaratnya mendorong eksplorasi
antariksa dengan sains tentang perilaku orbit benda langit dan sifat fisis
lainnya untuk pengembangan wahana antariksa sebaimana yang digambarkan dalam
firman-Nya yang artinya: Hai jin dan
manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan, Qur’an Surah Ar-Rahmān ayat 33.
Menembus penjuru langit dan bumi harus dengan
kekuatan. Kekuatan itu adalah sains dan teknologi. Bangsa yang kuat adalah
bangsa yang kokoh dalam penguasaan sains dan teknologi. Langit pun bisa
dikuasai. Pesawat terbang, roket, dan satelit mutlak diperlukan untuk menguasai
langit yang pada gilirannya akan menguasai penjuru bumi. Teknologi antariksa
kini digunakan untuk memudahkan komunikasi navigasi segenap penjuru bumi,
mengamati perilaku alam, dan mengeksplorasi kandungan sumber dayanya.
Bangsa kita pun sedang berupaya membangun
kekuatan seperti itu, walau dengan segala keterbatasan namun dengan motivasi
tinggi. Sejak peluncuran Satelit Palapa 1976, kita telah memasukki era satelit
dan kini tak mungkin lepas dari ketergantungan pada teknologi satelit. Bukan
hanya untuk telekomunikasi, tetapi juga untuk penginderaan jauh dan navigasi.
Salah satu keunggulan suatu bangsa diukur juga dari kemandiriannya dalam
teknologi antariksa. Dalam hal penerapan teknologi terbaru, boleh jadi sektor
swasta telah mengambil peran sangat besar. Tetapi dalam hal kemandirian, peran
pemerintah menjadi dominan. Alhamdulillah, LAPAN sebagai lembaga pemerintah
untuk litbang keantariksaan telah merintis pembuatan satelit yang kini telah
berada di orbit pada ketinggian 630 km, Satelit LAPAN-TUBsat. Kini sedang
mempersiapkan satelit kembar Twinsat (LAPAN-A2 dan LAPAN-Orari) yang diharapkan
bisa diluncurkan tidak lama lagi. Kemandirian pembuatan roket peluncur satelit
kini juga sedang diupayakan. Upaya-upaya tersebut dengan dukungan penguasaan
teknologi penginderaan jauh dan sains kedirgantaraan, berorientasi pada peningkatan
kemandirian dan kesejahteraan bangsa, selain juga untuk merealisasikan
tantangan Al-Qur’an untuk ”menembus penjuru langit dan bumi”.
Dalam Islam, sains bukan saja untuk kepentingan
intelektual menjawab keingintahuan manusia dan menjadi dasar pengembangan
teknologi yang memudahkan aktivitas keseharian. Sains juga bisa kita gunakan
membantu menyempurnakan kualitas iman dan ibadah, tanpa mencampuri keyakinan
dalil syar’i yang diyakini masing-masing.
Pelajaran dari Matahari
Dari Matahari banyak dapat diambil pelajaran seperti terlihat dalam imej susunan huruf dari kalimat 'kullun fii falakin' dimana huruf-huruf k (kaf), l (lam), f (fa) serta huruf ya ditengahnya. |
Matahari banyak
mengajarkan kita banyak hal. “Demi
matahari dan sinarnya (cahayanya) di pagi hari,” Qur’an Surah Asy-Syams ayat 1.
Matahari di kaki langit mengajarkan relativitas
manusia. Matahari di kaki langit yang tampak besar hanyalah ukuran semu karena
pembandingnya (bukit, gedung, atau pohon) tampak mengecil di kejauhan.
Sedangkan matahari saat tengah hari tampak kecil karena dibandingkan dengan
langit yang luas. Sains mengungkapkan makna itu untuk mamahami hikmah yang
ditegaskan pada ayat-ayat berikutnya yang artinya: Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya, Qur’an Surah Asy-Syams ayat 9.
Ukuran relatif manusiawi sering menyebabkan
kekotoran jiwa kita dengan keangkuhan dan sikap keunggulan, disamping sikap
inferior yang cenderung mengingkari nikmat Allah. Matahari di kaki langit
mengajarkan hikmah untuk berfikir jernih dalam menilai sesuatu.
Matahari juga memberi pelajaran penting untuk
kita ambil hikmahnya. Spektrum cahayanya yang sebenarnya beraneka warna
namun menyatu seolah tanpa warna. Keberagamannya warna sinar matahari hanya
ditampakan untuk menunjukkan keindahan warna pelangi dan beragam warna di alam
ini.
Matahari mengajarkan dalam hidup pun tak lepas
dari keberagaman. Keberagaman tak perlu dileburkan, karena itu memberikan
keindahan dengan beragam warna kehidupan. Tetapi bila diperlukan keberagaman
dapat pula dipersatukan menjadi seolah tanpa warna sepertihalnya dengan matahari demi kesatuan yang menentramkan dalam bersosial kemasyasarakatan.
Kita sering menghadapi perbedaan yang kadang
meresahkan. Ambil contoh, dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya, (juga
dalam menghadapi perbedaan pilihan dalam pemilihan umum).
kita dihadapkan pada keberagaman interpretasi
dalil fikih yang berdampak pada perbedaan penentuan harinya.
Sains dapat menjadi solusi menjembatani
perbedaan pendapat seperti itu dalam implementasi ibadah yang berakar pada
interpretasi dalil yang bersifat ijtihadiyah, tanpa mencampuri keyakinan dalil
syari’i. Sehingga dengan sains kita bisa lebih
menyempurnakaan ibadah kita dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Kita ambil hikmahnya seperti pembelajaran dari
Allah Yang Mahabijak Mahahakim:
Dan demikian (pula)
di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa (binatang-binatang melata) dan
khewan-khewan ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di
antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama (Orang yang
berilmu yaitu orang-orang yang mengetahui ilmu kebesaran Allah dan kekuasaan
Allah). Sungguh Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. [QS Fāthir 35:28]
PENUTUP
D
|
emikianlah, Al-Qur’an berperan mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan dan sebaliknya ilmu pengetahuan berperan memahami
makna-makna tersembunyi pada ayat-ayat Qauliyah-Nya dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan
ayat-ayat Kauniyah yang terdapat di alam semesta Ciptaan-Nya.
Alam itu teratur seperti Matahari terbit dan
tenggelam kontinyu bergantian tertib dan teratur. Begitu pula Bumi yang
mengedari Matahari. Tetap beredar pada posisi masing-masing. Begitu pula Bulan
yang mengelilingi Bumi, sesuai dengan garis edar masing. Matahari, Bumi dan
Bulan tidak berbenturan.
Dengan mempelajari ‘Alam Nan Terkembang’ ini ‘Jadi
Guru’ membantu menyempurnakan keimanan dan ketaatan kita kepada-Nya. Apatah
lagi manusia yang sudah 7,5 milyar banyaknya
menghuni bumi, dalam bersosial kemasyarakan mesti beraturan (sebagaimana keteraturan
alam semesta) seperti yang digambarkan
dalam kaidah keteraturan ber-ta’aruf.
Apa arti dan makna berta’aruf ini? Ta’aruf diambil dari ayat yang
terdapat dalam Qur’an Surah Al-Hujurāt, “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu TA’ARUF (saling kenal mengenal,
artinya kemauan orang yang siap hidup bersama dengan orang atau bangsa lain
dalam ‘perbedaan’). [QS Al-Hujurāt 49:13].
Prinsip TA’ARUF ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni
saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup,
keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja
sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling
bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM
Catatan:
Materi
tulisan diambilkan dari ceramah 'Hikmah Peringatan Nuzulul Qur'an’ di Istana
Negara, 17 Ramadhan 1431/26 Agustus 2010) Prof. Dr. Thomas Djamaluddin - Profesor
Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN.
https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/27/al-quran-dan-pengembangan-ilmu-pengetahuan/