“Berbuatlah kejahatan sesuka hatimu, kelak Tuhan
akan menghukummu sesuka hati-Nya,” [Leo Tolstoy]
Pendahuluan
S
|
iapa
tak kenal Leo Tolstoy? Ia adalah salah seorang sastrawan terbesar Rusia abad
19. Bahkan paling unik dan paling menonjol di antara sastrawan-sastrawan
terbesar Rusia pada zaman itu, dan zaman-zaman sesudahnya, berkat karya-karya
dan perjalanan hidup pribadinya. Khazanah sastra dunia mencatat karya-karya Leo
Tolstoy dengan tinta emas. Terutama “Perang dan Damai”, “Anna Karenina”, dan
“Sonata Kreutzer” serta karya terakhirnya “Hadji Murad”.
Leo
Tolstoy lahir di desa kecil Yasyana, Polyana, pada tanggal 9 September 1828
meninggal 20 November 1910. Terlahir dengan nama asli Lev Nikoyevich Tolstoy
sebagai putra keempat dari pasangan Nikolay Ilych Tolstoy dan Maria
Nokolayevna. Ia sudah menunjukkan bakat menulis sejak berumur dua belas tahun
dengan karya sastra pertamanya, sajak "Untuk Bibi Terkasih".
Setelah
gagal menyelesaikan kuliahnya di Universitas Krazan, pada usia 19 tahun, ia
merambah berbagai bidang kehidupan. Antara lain menjadi tentara di Kaukasus.
Selama ikut bertempur melawan suku-suku pegunungan, ia menyelesaikan novel
otobiografi “Masa Kanak-Kanak” (1852), diikuti “Masa Remaja” (1854), dan “Masa
Muda” (1856). Melalui tiga karyanya ini, Tolstoy mulai terkenal sebagai
sastrawan.
Kegiatan
tulis-menulis Tolstoy dimulai pada tahun 1851. Pengalaman semasa di angkatan
perang terungkap dalam karya-karya pertama Tolstoy yang semakin hari semakin
mendapat pujian dari beberapa kritisi terkenal. Dua tahun kemudian, Tolstoy
mulai mempersiapkan sebuah karya Perang dan Damai. Salah satu bentuk persiapan
itu berupa partisipasi aktif sebagai tentara memerangi pasukan Turki. Walaupun
hanya sebentar, keterlibatan Tolstoy dalam peperangan cukup memberi bekal yang
memadai untuk melahirkan karya fiksi mengenai kehidupan seorang tentara. Salah
satu cerita panjang terbaiknya dari periode ini adalah Dua Prajurit Berkuda.
Lebih
dari sekadar melontarkan kritik atau mengangkat tema-tema kerakyatan, Tolstoy
melangkah jauh ke depan dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain di masanya. Ia
melepaskan gelar kebangsawannya, melakukan aktivitas seperti konsep kadesi,
menerbitkan majalah sastra budaya, serta merenovasi kembali sekolah yang
didirikannya di Yasnaya Polyana pada tahun 1862. Tolstoy bahkan
mengidentifikasikan dirinya sebagai petani Rusia biasa. Selain itu, ia pun
mulai menerbitkan buku-buku tipis dengan harga murah agar terjangkau oleh
kantong rakyat biasa. Dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan besar-besaran
pada diri Tolstoy. Sejalan dengan hal itu, karya-karya Tolstoy semakin terasa
menggigit dan bakat menulisnya pun semakin menonjol walaupun untuk menghasilkan
satu karya, kadang-kadang ia memerlukan waktu bertahun-tahun untuk
menyelesaikannya.
Namun
yang pasti, Leo Tolstoy memang memiliki pemikiran-pemikiran yang hakiki, bahkan
kadang-kadang progresif tentang kebajikan, cinta, kemasyarakatan, maupun
keagamaan untuk ukuran zamannya ketika itu. Sayangnya, tidak semua karyanya
sempat diselesaikan. Akan tetapi, dari sejumlah kreasinya, Tolstoy tetap
membuktikan dirinya sebagai master
of thinking handal.
Kepengarangan
Tolstoy memantul tegas pada salah satu mahakaryanya, Perang dan Damai (War and Peace) yang pernah diangkat
ke layar perak. Tolstoy memerlukan waktu selama lima belas tahun untuk
menyelesaikan karyanya ini (1865-1880). Karya ini menjadi terkenal berkat
kehandalan sang pengarang dalam melukiskan kompleksitas karakter dan kehidupan
para tokoh di dalamnya. Memang, dengan jumlah halaman sebanyak 1.800 dan
terdiri atas tiga jilid besar, Tolstoy seakan-akan tidak pernah berhenti
bercerita mengenai pengalaman pribadinya. Sebagai contoh, kehidupan keluarga
Tolstoy dihadirkan di dalam karya Perang
dan Damai pada karakter keluarga Rostov, sedangkan konflik batinnya
diwujudkan dalam tokoh Andrey Bolonsky dan Piere Bezukov.
Perang
dan Damai, yang merupakan novel sejarah perang antara bangsa Rusia
dengan bangsa Perancis pada tahun 1812, sebenarnya menyiratkan pandangan
pemikirannya mengenai perang serta damai itu sendiri. Menurutnya, "Perang
adalah dinamika kehidupan sebab dalam keadaan perang, orang bersiap untuk
berdamai dan dalam keadaan damai orang bersiap untuk berperang."
Pengamatan
Tolstoy terhadap perilaku manusia, khususnya wanita, cukup mengejutkan juga.
Bahkan dalam beberapa karyanya, tema wanita ia angkat menjadi tema sentral,
terutama yang menyangkut masalah status sosial dan pergeseran nilai-nilai
kewanitaan yang berlaku. Pernikahan yang tanpa dilandasi cinta melainkan status
sosial semata, konflik-konflik keluarga akibat desakan serta tuntutan zaman,
serta situasi tragis yang sering melanda kehidupan keluarga modern mendominasi
karya ulung Tolstoy lainnya, yaitu Anna
Karenina.
Dalam Anna Karenina, Tolstoy seakan-akan
meneropong perkawinan Anna dan Karenin yang tidak didasari oleh cinta.
Terjadilah jalinan percintaan gelap Anna dengan seorang pemuda lain. Karenin
yang terkungkung oleh status kebangsawanannya tidak mengiginkan perceraian
sekalipun Anna sudah hidup bersama dengan kekasihnya secara tidak sah. Ternyata
keputusan Anna tersebut tidak membuahkan kebahagiaan. Untuk mengakhiri konflik
psikologisnya yang sudah sedemikian rumit, Anna memutuskan untuk bunuh diri.
Sekali
lagi, dalam karyanya ini tercermin praduga buruk Tolstoy terhadap aturan-aturan
maupun nilai status sosial yang begitu mengekang dan akhirnya menghancurkan
manusia itu sendiri. Boleh dikatakan bahwa pemikirannya kali ini ‘berbau’
revolusioner karena tidak seperti kebanyakan filsuf pada masa itu, Tolstoy
seakan-akan melecehkan keagungan kebudayaan (civilization)
yang dianggap sebagai buah pemikiran mendalam para pemikir. Namun berkat
kelihaiannya, Tolstoy berhasil menyelimuti secara apik kritikan sosialnya.
Sejak
menyelesaikan karyanya, Perang
dan Damai, pada tahun 1870, Tolstoy mengalami krisis kejiwaan
mengenai ketuhanan. Ia menjadi lebih perasa dan sangat moralis. Ia juga menjadi
pembenci dan pengecam semua aliran seni. Ia menjadi sangat asketis. Ia
menyerahkan semua kekayaannya untuk kaum miskin hingga berselisih dengan
istrinya, Sophia Andreyevna. Ini yang membuat keduanya kemudian berpisah. Tak
hanya sampai di situ, ia juga menjadi vegetarian dan berpakaian tak ubahnya
kaum pengembara. Bahkan ia juga menolak institusi gereja dan pemerintah.
Pada
saat-saat terakhir penyelesaian Anna
Karenina, Tolstoy berhasil mengatasi krisis religiusnya, seperti
tergambar pada karya tersebut. "Arti hidup, termasuk kehidupan itu
sendiri, hendaknya disesuaikan dengan kebaikan batin seseorang, sebab hanya
melalui kepercayaan terhadap perasan hati dan taat pada ajaran keagamaan,
seorang dapat menemukan kebahagiaan yang wajar," demikian pendapat Tolstoy.
Pandangan seperti itu terasa semakin menarik untuk disimak sebab diketengahkan
oleh seorang Tolstoy.
Namun,
pengakuan terbuka terhadap keberadaan Tuhan kembali mengudara secara gamblang
dalam karya Tolstoy yang lain. Ia mengkritik dogma ajaran gereja Katolik Rusia
lewat bukunya yang berjudul "Pengakuan". Menurutnya, kaum gereja
Rusia sudah menyimpang dari ajaran Yesus, keberadaannya sudah tidak suci dan
tidak sesuai dengan konsep ajaran Yesus. Oleh karena itu, Tolstoy berusaha
untuk mengembalikan dan meluruskan kembali konsep dan dogma ajaran Kristus.
Dengan kata lain, ia mencoba untuk membebaskan dirinya dari konsepsi gerejawi
yang sudah dianggap tidak relevan lagi.
Sedemikian
terbukanya pemikiran sang pengarang, sampai-sampai pemerintah melarang penerbitan
novel Tolstoy tersebut. Namun, Pengakuan
berhasil diloloskan dan diterbitkan di Swiss dan masuk secara utuh ke Rusia
sehingga dapat dibaca oleh khalayak ramai. Konsep seperti ini kembali menggema
sekitar tujuh puluh tahun yang lalu di Amerika dengan nama Teologi Pembebasan.
Pada
tahun 1910, kesehatan Tolstoy makin memburuk, ia kerap bertanya tentang
istrinya, Sophia, namun anak-anaknya kerap mengalihkan pertanyaan itu. Padahal
saat-saat itu Sophia sebenarnya telah tinggal di depan rumahnya, merasakan
kesakitan yang sama. Ketika
sakitnya tak tertahankan lagi, akhirnya hayat sampai tak dapat memikul lagi.
Tercatat pada tanggal 20 November 1910, setelah beberapa kali gagal jantung,
maut pun akhirnya menjemput penulis besar itu. □
LEO TOLSTOY DAN ISLAM
“Dan barang siapa di antara kamu yang berbuat
dzalim, niscaya Kami timpakan kepadanya rasa azab (dzalim) yang besar”.
[QS Al-Furqān 25:19]
S
|
etelah
gagal menyelesaikan kuliahnya di Universitas Krazan, pada usia 19 tahun, ia
merambah berbagai bidang kehidupan. Antara lain menjadi tentara di Kaukasus.
Selama ikut bertempur melawan suku-suku pegunungan, ia menyelesaikan novel
otobiografi “Masa Kanak-Kanak” (1852), diikuti “Masa Remaja” (1854), dan “Masa
Muda” (1856). Melalui tiga karyanya ini, Tolstoy mulai terkenal sebagai
sastrawan. Pada
usia 34 tahun, Tolstoy menikah dengan Sonya Andreyevna Bers, gadis cantik dari
kalangan elite Moskow. Namun dia memilih tetap hidup di pedesaan, mengelola
tanah pertanian, serta memberi pendidikan gratis bagi anak-anak penduduk
setempat. Pada masa inilah ia menulis roman besar yang amat spektakuler “Perang
dan Damai” (1863), kemudian “Anna Karenina” (1873), dan “Sonata Kreutzer”
(1878).
Belakangan,
karena merasa tidak bahagia dengan kehidupannya, ia menulis buku “Sebuah
Pengakuan” berisi paparan yang menunjukkan sikap seorang moralis ekstrem yang
mengecam segala bentuk kesenangan duniawi. Ia juga menulis cerita pendek dan
artikel-artikel bercorak keagamaan. Hingga pada suatu hari, Tolstoy
meninggalkan rumah, tanpa pamit kepada istri dan anak-anaknya. Beberapa hari
kemudian, 7 November 1910, ia jatuh sakit dan meninggal dunia di sebuah stasiun
kereta api.
Para
pengamat sastra Rusia klasik memperkirakan, kematian Tolstoy akibat kekecewaan
lahir batin. Keinginannya untuk menghibahkan semua kekayaannya kepada kaum
miskin, tak disetujui istrinya. Juga usahanya menerbitkan buku-buku tipis yang
akan dibagikan secara gratis agar semua kalangan masyarakat kelas bawah dapat
menikmati sastra, tak mendapat dukungan dari siapa pun.
Lebih
parah lagi, Tolstoy mendapat kecaman dari Pemerintah dan Gereja Rusia karena
ketertarikannya pada mistik dan moralitas. Padahal ketika namanya menjulang
tinggi berkat karya-karya besarnya, Tolstoy dianggap “tiga serangkai”
terpenting di Rusia, bersama Tsar (Kaisar) dan Gereja Ortodoks.
Belum
ada yang meneliti secara detail dan mendalam, apa yang memengaruhi jiwa
Tolstoy. Apa sumber mistik dan moralitas yang menjadikan dirinya berubah
seratus delapan puluh derajat.
Ada
yang menduga, kemungkinan besar Tolstoy sudah mengalami guncangan mental sejak
menjadi tentara di Kaukasus. Ketika itu, pasukan Rusia berhadapan dengan rakyat
Dagestan dan Checenia (Chechnya) yang mayoritas penduduknya bergama Islam.
Rakyat
Dagestan dan Checenia dipimpin oleh Imam Syamil, tokoh sufi aliran
Naqsabandiyah. Untuk menangkap Imam Syamil Rusia menggunakan taktik licik:
perundingan dan penyergapan. Setelah tertangkap, Imam Syamil dibuang ke Saudi
Arabia, hingga wafat 4 Februari 1871 di Madinah.
Sejak
peperangan itu, Leo Tolstoy jadi sering berinteraksi dengan umat Islam. Corak
Islam di pelosok Rusia dan Asia Tengah, semasa Tolstoy hidup, cenderung
sufistik. Banyak aliran tarekat sufi lahir di sana. Antara lain Naqsabandiyah
yang dianut Imam Syamil di Kaukasus Utara. Leo Tolstoy yang punya pengalaman
langsung menyaksikan penindasan umat Islam oleh pemerintah Rusia di Kaukasus,
juga punya pengalaman langsung dengan kehidupan umat Islam dan para “darwis”,
kemungkinan terpengaruh. Walaupun secara de facto ia tetap menganut ajaran
Gereja Ortodoks Rusia, namun secara de jure ia seorang Muslim. Bahkan Muslim
sufistik yang mengutamakan pengalaman mistik-spiritual.
Paling
tidak, ada beberapa pendapat yang menunjukkan kecenderungan kemusliman Tolstoy.
Menurut Muhammad Azzat Ismail ath Thahthawi, dalam bukunya “At Tabsyir wal
Istisyraq Ahqad wa Hamlat” (1974), hlm. 59-62, Tolstoy tersentuh hatinya
tatkala menyaksikan perlakuan aniaya terhadap umat Islam. Ia menyatakan, Islam
adalah ajaran yang sempurna. Menyuruh umatnya beribadah untuk kepentingan
akhirat serta beramal saleh untuk kepentingan dunia. Melarang umatnya melakukan
kerusakan di muka bumi. Ia mengagumi sosok Nabi Muhammad saw yang dianggapnya
sebagai juru damai, penegak nilai-nilai kemanusiaan, dan penjunjung tinggi
nilai-nilai keilahian. Tolstoy memuji Nabi Muhammad sebagai sosok yang bijak
dan patut menjadi contoh terbaik bagi umat manusia, karena memerintahkan
pencarian ilmu tanpa henti, penyucian jiwa, dan kekuatan ikhtiar fisik untuk
menunjang perjuangan batin melalui do’a kepada Allah.
“Perang
dan Damai”, “Anna Karenina”, dan “Sonata Kreutzer” merupakan potret asli
kehidupan masyarakat Rusia abad 19, yang didominasi kekuasaan Tsar dan Gereja
Ortodoks. Tapi setelah menulis “Sebuah Pengakuan”, tema dan visi karya-karya
Tolstoy menjadi sangat sufistik. Walaupun masih menggunakan setting bernuansa
gereja, unsur-unsur sufisme Islam mulai masuk. Bahkan pada beberapa cerpennya,
tampak jadi semacam adaptasi dari kisah-kisah sufisme.
Cerpen
“Ziarah”, misalnya (terdapat dalam kumpulan cerpen Leo Tolstoy, berjudul
“Ziarah”, terjemahan Anton Kurnia, Jalasutra Yogyakarta, September 2002). Di
sana dikisahkan dua petani tua, Efim Sechevelof dan Eliyah Bodroff, berziarah
ke kota suci Jerusalem. Di tengah perjalanan, mereka terpisah. Eliyah berhenti
di sebuah kampung yang penduduknya sedang menderita kelaparan. Eliyah segera
membantu mereka. Memberikan roti bekalnya yang tak banyak kepada setiap mereka,
hingga sedikit kenyang. Kemudian membantu mengobati yang sakit. Bahkan keesokan
harinya, membantu mengerjakan sawah dan ladang yang terlantar. Sementara Efim
terus saja menuju Jerusalem dan berhasil tiba di kota suci itu tepat pada
puncak musim ziarah.
Karena
sibuk membantu penduduk desa, Eliyah tak dapat meneruskan perjalanan. Eliyah
baru berhasil memperbaiki kondisi kehidupan penduduk desa setelah para peziarah
pulang kampung. Ketika Eliyah pamitan pulang setelah melepaskan niat ziarah ke
Jerusalem, karena sudah lewat masa, penduduk desa yang sudah makmur dan sehat
melepasnya dengan berat hati.
Efim
punya pengalaman lain. Selama ziarah dan berdo’a di Bukit Golgota, ia melihat
Eliyah sedang berdo’a pula di arah lain. Bukan sekali saja, namun setiap Efim
datang ke sana, Eliyah pasti terlihat. Hanya saja Efim selalu gagal
mendekatinya karena terdesak terus oleh kerumunan para peziarah lain.
Setelah
berada di kampungnya kembali, dan bertemu Eliyah di sana, Efim mencoba bertanya
tentang kehadiran Eliyah di Bukit Golgota. Aneh, karena Eliyah sebetulnya
tertahan di desa yang mereka singgahi hingga musim ziarah usai. Setiap Efim
akan menanyakan soal itu, Eliyah selalu menghindar.
Kisah
ini sangat mirip dengan kisah “Ziarah” lain yang sangat terkenal dalam literatur
sufi. Yaitu kisah Abdullah bin Mubarak (hidup abad 10) dengan Ali al Muwaffak
yang dituturkan kembali oleh Fariuddin Attar (abad 13) dalam buku “Tazkiratul
Aulia”, Abu Nuaim (abad 11) dalam “Hilyatul Aulia”, dan penulis-penulis kisah
sufi lainnya. Kita ambil versi Attar. Diceritakan, Abdullah bin Mubarak
menunaikan ibadah haji. Suatu hari ketika ia berdo’a di Multazam (bagian
terpenting dari bangunan Ka’bah), mendengar suara dua malaikat memperbincangkan
jemaah haji. Kata malaikat yang satu, dari 600 ribu jemaah haji tahun ini, tak
ada seorang pun yang mabrur (diterima hajinya oleh Allah swt). Malaikat lainnya mengatakan, hanya seorang yang mabrur. Itu
pun tidak datang ke Makkah, tidak melakukan tawaf, sai, wukuf, jumroh, dan
tahallul. Orang itu adalah Ali al Muwafak, tukang sepatu yang miskin di
Damaskus.
Penasaran,
ingin tahu mengapa seseorang yang tak berangkat haji mendapat pahala haji
mabrur, sedangkan yang berhaji semuanya mardud (tertolak), berangkatlah
Abdullah bin Mubarak ke Damaskus. Begitu sampai, ia langsung mencari Ali al
Muwaffak. Setelah bertemu, segera bertanya tentang rahasia kemabrurannya.
Mula-mula
Ali menolak, karena tak tahu. Namun akhirnya ia mengira-ngira, mungkin pahala
haji mabrur itu karena ia menyerahkan semua uang yang tadinya akan digunakannya
pergi ke Makkah kepada tetangganya, seorang janda tua miskin yang kelaparan.
Ali al Muwaffak menemukan janda tua dengan anak-anaknya hendak memakan bangkai,
karena sudah benar-benar kelaparan tiga hari tak menemukan makanan halal.
Karena kehabisan uang, Ali batal naik haji.
Pengalaman
Ali al Muwaffak yang dikisahkan Attar dan para penulis sufi lainnya, persis
seperti pengalaman Eliyah dalam cerpen “Ziarah” Tolstoy. Pada cerpen-cerpen
lainnya yang terkumpul dalam “Ziarah” tampak sekali kecenderungan sufistik
Tolstoy. Banyak tokoh-tokoh yang dilukiskan berwatak “zuhud” (sederhana) dan
“wara” (apik) dalam bicara, makan-minum, dan bertingkah laku.
Nasib
tragis Tolstoy pada akhir hayatnya mungkin akibat konflik batin berkepanjangan.
Ia tak mampu melepaskan diri dari kungkungan lingkungan Gereja Ortodoks dan
sistem feodalistik-tirani kekaisaran Rusia. Padahal hasrat dan semangat
hidupnya dipenuhi gagasan-gasan sufistik dan mistik Islam yang bebas dan
terbuka. Ia sangat mencintai manusia dan kemanusiaan, di tengah kekerasan
serdadu Rusia, dengan restu Gereja, membunuhi orang-orang Muslim Kaukasus
Utara.
Terlepas
dari apakah Tolstoy seorang Muslim atau bukan, yang jelas ia telah mengakui
misi kenabian Muhammad saw. Ia juga sangat mengutamakan nilai-nilai kebenaran,
pahala, dan siksa serta kekuasaan Allah swt
di segala bidang kehidupan.
“Berbuatlah kejahatan sesuka hatimu, kelak Tuhan
akan menghukummu sesuka hati-Nya,” demikian salah satu kalimat
dalam sebuah cerpen Tolstoy. Sebagaimana pula firman-Nya: “Dan barang siapa di antara kamu yang berbuat
dzalim, niscaya Kami timpakan kepadanya rasa azab (dzalim yang telah dikerjakan)
yang besar”. [QS Al-Furqān 25:19]. □ AFM
Sumber:
●http://pelitaku.sabda.org/leo_tolstoy
●https://freddysetiawan.wordpress.com/2009/01/12/leo-tolstoy-dan-islam/
●Dan
sumber-sumber lainnya. □□□