Tuesday, February 9, 2016

Latar Belakang Lahirnya Zaman Kegelapan 2





Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa orang yang berakal bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia: “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi mereka yang berakal (ūlil albāb).” [QS Yūsuf 12:111)

 “Dia (Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang Dia (Allah) kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal (ūlul albāb).” [QS Al-Baqarah 2:269]



Kekejaman Inkuisisi

P
roses interogasi dan eksekusi hukuman pada inkuisisi sangat berbeda dengan proses pada pengadilan modern. Penyiksaan pada inkusisi memang diizinkan dengan tujuan mendapatkan kebenaran dari si tertuduh. Masalahnya, dengan penyiksaan semacam itu orang yang mengaku tentunya bukan hanya mereka yang benar-benar ‘bersalah’, tapi juga mereka yang tidak tahan menghadapi siksaan. Siksaan dan hukuman pada inkuisisi memang tidak ditujukan untuk kebaikan si tertuduh, tapi demi membuat takut masyarakat umum dan mencegah mereka dari kejahatan.

Ini jelas berbeda dengan konsep qishah di dalam Islam, setidaknya dalam tiga hal mendasar. Pertama, inkuisisi secara aktif mencari dan menghukum pelaku penyimpangan, bahkan seringkali cenderung ’mencari-cari’ kesalahan. Sementara jika kita mengacu pada qishah yang diterapkan Nabi saw, beliau tidak mau mencari-cari kesalahan orang, bahkan cenderung enggan untuk langsung menghukum ketika ada yang mengakui kesalahannya (seperti pada kasus pezina yang datang pada Nabi dan melaporkan kesalahan dirinya). Kedua, pada Islam tidak ada proses penyiksaan untuk memaksa tertuduh mengaku. Ketiga, menurut Islam ketika seorang terbukti bersalah dan dihukum di depan umum, maka kebaikannya bukan hanya bagi masyarakat umum, tapi juga bagi si tersalah, karena itu merupakan bentuk taubatnya dan akan menghindarkannya dari hukuman di akhirat.

Menurut Henry Kamen dalam bukunya Spanish Inquisition (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Para Algojo Tuhan), penyiksaan dalam proses inkuisisi tidak seserius yang dituduhkan pihak-pihak yang memusuhi inkuisisi dan tidak sekejam penyiksaan pada pengadilan sekuler abad pertengahan.

Setidaknya ada tiga bentuk siksaan utama pada inkuisisi: garrucha, toca, dan potro. Garrucha berarti kerekan yang diikatkan ke pinggang tertuduh yang mengangkatnya ke langit-langit ruangan. Kaki tertuduh diikat dengan pemberat besi. Korban diangkat ke atas dan dijatuhkan ke bawah secara mengejutkan dan berulang-ulang. Hal ini bisa menyebabkan otot tangan dan kaki putus.

Toca adalah kain linen yang dimasukkan ke mulut tertuduh secara paksa. Kemudian air dituangkan secara pelahan-lahan ke dalam perut tertuduh melalui kain linen tersebut hingga ia merasa tersiksa karenanya. Potro adalah bentuk siksaan di mana tubuh tertuduh diikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian para algojo menarik tali yang melilit tubuh korban dari arah berlawanan secara bertahap hingga tali-tali itu menembus daging. Pada semua bentuk penyiksaan ini, para tertuduh, baik laki-laki maupun perempuan, selalu ditelanjangi.

Betapapun pembelaan yang diberikan atas inkuisisi Spanyol, proses yang berlangsung di dalamnya tetap saja tidak berperikemanusiaan. Proses pada lembaga ini bersifat tertutup (hanya hukuman akhirnya yang dipertontonkan secara terbuka), saksi-saksinya dirahasiakan, dan pengacara yang membela pun dari pihak yang ditetapkan oleh pihak inkuisisi. Semua itu sangat memberatkan dan menyulitkan pihak yang dituduh bersalah.

Seorang tertuduh biasanya ditangkap dan dipenjara selama berminggu-minggu tanpa diberitahu apa sebabnya ia ditangkap. Ia dibiarkan menduga sendiri kesalahannya dan mengaku secara sukarela. Setelah dibiarkan dalam kondisi bingung seperti itu, barulah kepadanya disodorkan tuduhan-tuduhan dan ia diinterogasi untuk mengaku (biasanya disertai siksaan).

Tidak seperti pengadilan modern di mana tertuduh dianggap tidak bersalah sampai ia dibuktikan bersalah di sebuah pengadilan yang terbuka, pada inkuisisi seorang tertuduh dianggap bersalah dan ia mesti membuktikan kalau dirinya tidak bersalah pada suatu pengadilan tertutup tanpa pembelaan yang memadai. Adanya siksaan membuat para tertuduh ini menjadi lebih sulit lagi untuk mempertahankan diri.

Inkuisisi Spanyol berlangsung selama empat abad lebih dan menelan banyak korban. Keinginan gereja dan masyarakat Katholik di sana untuk memurnikan darah (limpieza de sangre) masyarakatnya telah menyebabkan wajah peradabannya yang dulunya toleran dan damai menjadi berdarah-darah. Semoga hal semacam ini tidak pernah terulang lagi dalam sejarah kita. [Alwi Alatas]


Mengungkap Sejarah Gelap Para Paus

Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah  judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda Ralph Lewis dengan judul Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.

Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi). Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).

Inquisisi diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.

Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya. Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.

Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam indeks  Buku-Buku Terlarang sampai hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.

Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya,  menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.

Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah.  Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila.

Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut.

Kejahatan penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.

Sebagian lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.

Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan.  Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.


Mosi tidak percaya kepada Agama Kristiani

Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).”  (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).

Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.

Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi (inquisition, penyidikan atau pemeriksaan atas tertuduh yang biasanya disertai dengan penyiksaan) dan sejarah persekusi (persecution, penganiayaan, penindasan) para ilmuwan.

Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.


Hikmah bagi Islam

Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama.  Jika orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar - atau memberi gelar untuk dirinya sendiri - sebagai “Ulama”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti – baik selebriti seni maupun politik.

Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat memegang amanah - sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian - maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai mereka.

Jika para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga akan lari dari mereka.  Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang. [hidayatullah]


Penutup

Demikianlah sejarahnya kenapa di dunia Barat terjadi pemisahan antara urusan dunia (secular) dan agama (religion) - sekularisme. Sekulerisme adalah sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan tuhan.

Sejarah munculnya sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan (mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada Gereja saat itu (abad tengah, medieval ages, the dark age Eropa) karena dominasi sosio-ekonomi dan cultural dan tindakan represif terhadap penggunaan tafsir (juga: pengetahuan) diluar gereja. Sedangkan inti ajaran dari sekulerisme mencakup Penidak-keramatan alam, Desakralisasi Politik dan Dekonsekrasi Nilai.

            Jadi gerakan sekulerisasi adalah gerakan yang terjadi di Barat yang ingin maju, untuk masalah-masalah yang ada di Barat. Sementara itu dalam kurun yang sama Muslim dengan Pemerintahan Kekhalifahan Islam baik di Baghdad maupun di Spanyol Islam (Al-Andalus) telah maju. Ajaran Islam tidak mengajarkan keterpisahan antara agama (religious) dan dunia (seculer) sebagaimana yang telah pula dipelajari sejarahnya dan dituliskan oleh Michael H. Hart dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Person in History,  mengatakan: “Pilihan saya Muhammad (saw) memimpin daftar orang-orang paling berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan pembaca dan dapat dipertanyakan oleh orang lain, tapi dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang sangat berhasil baik dalam tingkat religious (agama) maupun seculer (dunia).

            Oleh karena itulah dunia Barat kini (post Modern) selalu menawarkan kepada dunia lainnya konsep Demokrasi; HAM; Humanisme; Kebebasan; Trias Politika; bahkan Sekularisme, dst-nya, karena sepanjang sejarah gelapnya tidak mendapatkan hal-hal tersebut diatas. □ AFM







Catatan Kaki:


[1] Charles Peter Hill, Ahli sejarah ekonomi dan sosial bangsa Inggris.

[2] Nugroho Notosusanto (Prof. Dr.), Rektor Universitas Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ahli sejarah Militer dan Profesor Sejarah di Universitas Indonesia. Ia berkarir juga di Militer dengan pangkat Brig. Jendral TNI (Purn.). Selain itu ia juga terkenal sebagai sastrawan, yang oleh H.B. Yassin digolongkan pada Sastrawan Angkatan 66.

[3] Alwi Alatas, Penulis, adalah mahasiswa S3 (PHD) pada bidang sejarah di Universiti Islam Antarbangsa, Malaysia.



Sumber:

http://siti-alvi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-91431-Umum-Latar%20Belakang%20lahirnya%20Zaman%20Kegelapan.html

https://ibnumariam.wordpress.com/2010/10/16/gereja-dan-inkuisisi-spanyol/

https://ibnumariam.wordpress.com/2011/05/13/mengungkap-sejarah-gelap-para-paus/

Dan sumber-sumber lainnya. □□□