Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa orang
yang berakal bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia: “Sungguh pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi mereka yang berakal (ūlil albāb).”
[QS Yūsuf 12:111)
“Dia
(Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang Dia (Allah) kehendaki. Barang siapa
diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak
ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal (ūlul
albāb).” [QS Al-Baqarah 2:269]
Kekejaman Inkuisisi
P
|
roses interogasi dan eksekusi
hukuman pada inkuisisi sangat berbeda dengan proses pada pengadilan modern.
Penyiksaan pada inkusisi memang diizinkan dengan tujuan mendapatkan kebenaran
dari si tertuduh. Masalahnya, dengan penyiksaan semacam itu orang yang mengaku
tentunya bukan hanya mereka yang benar-benar ‘bersalah’, tapi juga mereka yang
tidak tahan menghadapi siksaan. Siksaan dan hukuman pada inkuisisi memang tidak
ditujukan untuk kebaikan si tertuduh, tapi demi membuat takut masyarakat umum
dan mencegah mereka dari kejahatan.
Ini
jelas berbeda dengan konsep qishah
di dalam Islam, setidaknya dalam tiga hal mendasar. Pertama, inkuisisi secara
aktif mencari dan menghukum pelaku penyimpangan, bahkan seringkali cenderung
’mencari-cari’ kesalahan. Sementara jika kita mengacu pada qishah yang diterapkan Nabi saw, beliau tidak mau mencari-cari
kesalahan orang, bahkan cenderung enggan untuk langsung menghukum ketika ada
yang mengakui kesalahannya (seperti pada kasus pezina yang datang pada Nabi dan
melaporkan kesalahan dirinya). Kedua,
pada Islam tidak ada proses penyiksaan untuk memaksa tertuduh mengaku. Ketiga, menurut Islam
ketika seorang terbukti bersalah dan dihukum di depan umum, maka kebaikannya
bukan hanya bagi masyarakat umum, tapi juga bagi si tersalah, karena itu
merupakan bentuk taubatnya dan akan menghindarkannya dari hukuman di akhirat.
Menurut
Henry Kamen dalam bukunya Spanish
Inquisition (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Para Algojo Tuhan),
penyiksaan dalam proses inkuisisi tidak seserius yang dituduhkan pihak-pihak
yang memusuhi inkuisisi dan tidak sekejam penyiksaan pada pengadilan sekuler
abad pertengahan.
Setidaknya
ada tiga bentuk siksaan utama pada inkuisisi: garrucha, toca, dan potro. Garrucha berarti kerekan yang
diikatkan ke pinggang tertuduh yang mengangkatnya ke langit-langit ruangan.
Kaki tertuduh diikat dengan pemberat besi. Korban diangkat ke atas dan
dijatuhkan ke bawah secara mengejutkan dan berulang-ulang. Hal ini bisa
menyebabkan otot tangan dan kaki putus.
Toca adalah kain linen yang
dimasukkan ke mulut tertuduh secara paksa. Kemudian air dituangkan secara
pelahan-lahan ke dalam perut tertuduh melalui kain linen tersebut hingga ia
merasa tersiksa karenanya. Potro adalah bentuk
siksaan di mana tubuh tertuduh diikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian para
algojo menarik tali yang melilit tubuh korban dari arah berlawanan secara
bertahap hingga tali-tali itu menembus daging. Pada semua bentuk penyiksaan
ini, para tertuduh, baik laki-laki maupun perempuan, selalu ditelanjangi.
Betapapun
pembelaan yang diberikan atas inkuisisi Spanyol, proses yang berlangsung di
dalamnya tetap saja tidak berperikemanusiaan. Proses pada lembaga ini bersifat
tertutup (hanya hukuman akhirnya yang dipertontonkan secara terbuka),
saksi-saksinya dirahasiakan, dan pengacara yang membela pun dari pihak yang
ditetapkan oleh pihak inkuisisi. Semua itu sangat memberatkan dan menyulitkan
pihak yang dituduh bersalah.
Seorang
tertuduh biasanya ditangkap dan dipenjara selama berminggu-minggu tanpa
diberitahu apa sebabnya ia ditangkap. Ia dibiarkan menduga sendiri kesalahannya
dan mengaku secara sukarela. Setelah dibiarkan dalam kondisi bingung seperti
itu, barulah kepadanya disodorkan tuduhan-tuduhan dan ia diinterogasi untuk
mengaku (biasanya disertai siksaan).
Tidak
seperti pengadilan modern di mana tertuduh dianggap tidak bersalah sampai ia
dibuktikan bersalah di sebuah pengadilan yang terbuka, pada inkuisisi seorang
tertuduh dianggap bersalah dan ia mesti membuktikan kalau dirinya tidak
bersalah pada suatu pengadilan tertutup tanpa pembelaan yang memadai. Adanya
siksaan membuat para tertuduh ini menjadi lebih sulit lagi untuk mempertahankan
diri.
Inkuisisi
Spanyol berlangsung selama empat abad lebih
dan menelan banyak korban. Keinginan gereja dan masyarakat Katholik di sana
untuk memurnikan darah (limpieza
de sangre) masyarakatnya telah menyebabkan wajah peradabannya yang
dulunya toleran dan damai menjadi berdarah-darah. Semoga hal semacam ini tidak
pernah terulang lagi dalam sejarah kita. [Alwi Alatas]
Mengungkap Sejarah Gelap Para Paus
“Sejarah
Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah
judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok Kompas-Gramedia
(KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda Ralph Lewis dengan
judul Dark History of the Popes
– Vice Murder and Corruption in the Vatican.
Banyak
penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de
Rosa, penulis buku Vicars of
Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku ini juga mengungkapkan
bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan kebijakan tahta Vatikan yang pernah
melakukan berbagai tindakan kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan
Gereja (Inquisisi).
Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen Armstrong,
mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa Inquisisi adalah
salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian
institutions). (Karen Armstrong, Holy
War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London:
McMillan London Limited, 1991).
Inquisisi
diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang membahayakan
kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan
cukup terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan
kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M)
melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus
Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.
Tahun
1616, buku De Revolutionibus dimasukkan
ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja.
Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan
bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de
Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya. Melihat situasi seperti itu,
Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap
diam.
Pada 22
Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo
diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak
kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah
bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam indeks Buku-Buku Terlarang sampai
hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan
di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu
sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun
setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan
terdahulu dan membenarkan Galileo.
Kisah-kisah
kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak
terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya,
menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang
komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor
Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.
Ketika
pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors
itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara
mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat
penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan,
semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila.
Pasukan
Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa
muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang
penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut.
Kejahatan
penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan
liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama
(Tuhan) dalam kehidupan mereka.
Sebagian
lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama
ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas
rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah
satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.
Pada
masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama
para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk
pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar
500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
Mosi
tidak percaya kepada Agama Kristiani
Dendam
masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan
penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap
Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul
sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai
penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di
Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah:
“Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika
berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di
belakang pendeta.” (Beware of a
woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest
whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind
in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press,
1975).
Trauma
pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan
paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik.
Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan
terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama
dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik;
agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Trauma
Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang
mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam
benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan
sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi (inquisition, penyidikan atau pemeriksaan atas tertuduh yang biasanya disertai dengan penyiksaan) dan sejarah persekusi (persecution, penganiayaan, penindasan) para
ilmuwan.
Berbagai
penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada
kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep
“infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.
Hikmah bagi Islam
Kaum
Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini.
Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara ucapan dan
perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi”
dengan agama. Jika orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar - atau
memberi gelar untuk dirinya sendiri - sebagai “Ulama”, tidak dapat mempertanggungjawabkan
amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya
kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja
selebriti – baik selebriti seni maupun politik.
Kasus
yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga menimpa
agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat memegang
amanah - sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya
mempertontonkan konflik dan pertikaian - maka bukan tidak mungkin, umat akan
lari dari mereka dan partai mereka.
Jika
para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk mengejar
keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga akan lari dari
mereka. Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi
teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi
mengikuti mereka. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini,
untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang. [hidayatullah]
Penutup
Demikianlah
sejarahnya kenapa di dunia Barat terjadi pemisahan antara urusan dunia
(secular) dan agama (religion) - sekularisme. Sekulerisme
adalah sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara
merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan
tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah
lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat
metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan tuhan.
Sejarah munculnya sekularisme
sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan (mosi tidak percaya) masyarakat Eropa
kepada Gereja saat itu (abad tengah, medieval
ages, the dark age Eropa) karena
dominasi sosio-ekonomi dan cultural dan tindakan represif terhadap penggunaan
tafsir (juga: pengetahuan) diluar gereja. Sedangkan inti ajaran dari
sekulerisme mencakup Penidak-keramatan alam, Desakralisasi Politik dan
Dekonsekrasi Nilai.
Jadi gerakan sekulerisasi adalah
gerakan yang terjadi di Barat yang ingin maju, untuk masalah-masalah yang ada
di Barat. Sementara itu dalam kurun yang sama Muslim dengan Pemerintahan
Kekhalifahan Islam baik di Baghdad maupun di Spanyol Islam (Al-Andalus) telah
maju. Ajaran Islam tidak mengajarkan keterpisahan antara agama (religious) dan dunia (seculer) sebagaimana yang telah pula
dipelajari sejarahnya dan dituliskan oleh Michael H. Hart dalam bukunya The
100: A Ranking of the Most Influential Person in History, mengatakan: “Pilihan saya Muhammad (saw) memimpin daftar orang-orang paling
berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan pembaca dan dapat dipertanyakan oleh
orang lain, tapi dialah satu-satunya
manusia dalam sejarah yang sangat berhasil baik dalam tingkat religious (agama)
maupun seculer (dunia).”
Oleh karena itulah dunia Barat
kini (post Modern) selalu menawarkan kepada dunia lainnya konsep Demokrasi; HAM;
Humanisme; Kebebasan; Trias Politika; bahkan Sekularisme, dst-nya, karena
sepanjang sejarah gelapnya tidak mendapatkan hal-hal tersebut diatas. □ AFM
Baca
juga tajuk yang terkait ● Sejarah Sekularisme
● Sejarah Peradaban Islam di
Eropa 2 ● Sejarah Peradaban Islam di
Eropa 1
Kembali ke Latar Belakang Lahirnya Zaman
Kegelapan 1
Catatan Kaki:
[1] Charles Peter Hill, Ahli sejarah ekonomi dan sosial bangsa Inggris.
[2] Nugroho Notosusanto (Prof. Dr.), Rektor Universitas Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ahli sejarah Militer dan Profesor Sejarah di Universitas Indonesia. Ia berkarir juga di Militer dengan pangkat Brig. Jendral TNI (Purn.). Selain itu ia juga terkenal sebagai sastrawan, yang oleh H.B. Yassin digolongkan pada Sastrawan Angkatan 66.
[3] Alwi Alatas, Penulis, adalah mahasiswa S3 (PHD) pada bidang sejarah di Universiti Islam Antarbangsa, Malaysia.
[2] Nugroho Notosusanto (Prof. Dr.), Rektor Universitas Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ahli sejarah Militer dan Profesor Sejarah di Universitas Indonesia. Ia berkarir juga di Militer dengan pangkat Brig. Jendral TNI (Purn.). Selain itu ia juga terkenal sebagai sastrawan, yang oleh H.B. Yassin digolongkan pada Sastrawan Angkatan 66.
[3] Alwi Alatas, Penulis, adalah mahasiswa S3 (PHD) pada bidang sejarah di Universiti Islam Antarbangsa, Malaysia.
Sumber:
http://siti-alvi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-91431-Umum-Latar%20Belakang%20lahirnya%20Zaman%20Kegelapan.html
https://ibnumariam.wordpress.com/2010/10/16/gereja-dan-inkuisisi-spanyol/
https://ibnumariam.wordpress.com/2011/05/13/mengungkap-sejarah-gelap-para-paus/
Dan sumber-sumber lainnya. □□□