Tuesday, February 9, 2016

Latar Belakang Lahirnya Zaman Kegelapan 1





Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa orang yang berakal bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia: “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi mereka yang berakal (ūlil albāb).” [QS Yūsuf 12:111)

Dipelajarinya sejarah berbagai bangsa, kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan ini. “Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal (ūlul albāb).” [QS Āli ‘Imrān 3:7]


KATA PENGANTAR

   Banyak tokoh ahli sejarah seperti Charles Peter Hill [1] mengatakan mempelajari sejarah banyak kegunaannya seperti memuaskan rasa ingin tahu; dapat membandingkan kehidupan zaman sekarang dengan masa lampau.

  Demikian pula Nugroho Notosusanto [2] mengungkapkan bahwa dengan mempelajari sejarah akan memiliki wawasan sejarah. Dengan wawasan sejarah dapat mengkonsepkan proses sejarah yang berguna untuk mengantisipasi masa depan.

   Notosusanto melanjutkan, dengan demikian mempelajari sejarah banyak kegunaannya dan manfaatnya, antara lain sebagai berikut:

1) Memberikan Kesadaran Waktu: Kesadaran waktu yang dimaksud ialah kehidupan dengan segala perubahan, pertumbuhan, dan perkembangannya terus berjalan melewati waktu. Kesadaran itu dikenal juga sebagai kesadaran akan adanya gerak sejarah. Kesadaran tersebut memandang peristiwa-peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang terus bergerak dari masa silam bermuara ke masa kini dan berlanjut ke masa depan.

2) Memberi Pelajaran: Sejarah memberikan pelajaran, sering kita mendengar ucapan: “belajarlah dari sejarah”. Dengan mempelajari sejarah seseorang atau suatu bangsa, kita akan bercermin dan menilai peristiwa-peristiwa masa lampau yang merupakan keberhasilan (prestasi) dan peristiwa-peristiwa masa lampau yang merupakan kegagalan. Peristiwa-peristiwa sejarah pada masa lampau, baik yang positif maupun negatif dijadikan hikmah. Untuk nilai-nilai positif yakni keberhasilan-keberhasilan kita pertahankan dan kita tingkatkan, sebaliknya untuk nilai-nilai negatif, kesalahan-kesalahan masa silam tidak terulang lagi. Dengan ini jelas bahwa sejarah memberikan pelajaran yang dapat memberikan kearifan dan kebijaksanaan bagi yang mempelajarinya.

3) Sumber Inspirasi (Ilham): Inspirasi berarti memberikan ilham atau semangat yang berkaitan dengan pelajaran sejarah yang dapat diambil (diteladani) kelebihannya dan mengelakkan  (memperbaiki) segala kekurangannya.

   Jadi kalau penulis mengekpos sejarah suatu bangsa atau golongan kebetulan dalam artian "negatif" bukanlah berarti “memburukkan”, akan tetapi maksudnya adalah mengambil hikmahnya. Dengan itu agar generasi mendatang dapat mengambil “pelajarannya” seperti apa yang dikatakan dua ahli sejarah diatas. □ AFM




S
eperti tajuk diatas, sejarah Eropa memiliki bentangan waktu yang panjang dimulai dari zaman paleolithikum ribuan tahun yang lalu. Secara garis besar, sejarah Eropa dibagi menjadi 3 periode, yaitu: Eropa klasik, Eropa pertengahan, dan Eropa modern. Di sini kita akan membahas tentang Eropa abad pertengahan pada masa abad kegelapan.

Abad pertengahan adalah periode sejarah yang terjadi di daratan Eropa yang ditandai sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 hingga munculnya monarkhi-monakhi nasional. Dimulainya penjelajahan samudera, kebangkitan humanisme, serta reformasi Protestan dengan dimulainya renaissance pada tahun 1517.

Abad pertengahan sering diwarnai dengan kesan-kesan yang tidak baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya kalangan yang memberikan stereotipe kepada abad pertengahan sebagai periode buram sejarah Eropa mengingat dominasi kekuatan agama Kristiani yang begitu besar sehingga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip moralitas yang agung membuat kekuasaan agama Kristiani menjadi begitu luas dan besar di segala bidang.


ZAMAN KEGELAPAN (The Dark Ages)

Abad  kegelapan merupakan sebuah zaman antara runtuhnya Kekaisaran Romawi dan Renaisannce atau munculnya kembali peradaban lama. Dari masa sebelum masehi yang kental dengan Filsafat Relativisme (Kebenaran) Sofisme Yunani Kuno, berlanjut ke apa yang kemudian dinamakan Jaman Abad Pertengahan yang berlangsung lama, kurang lebih selama lima belas Abad, dari sekitar Abad ke-1 sampai Abad ke-15.

Masa ini disebut juga sebagai Era atau masa Medieval (Medieval ages) atau juga Abad Kegelapan (The Dark Ages) dan dimulai setelah masa Nabi Isa bin Maryam as menapakkan kaki di muka Bumi dan berdakwah. Beliau dikenal juga sebagai Isa bin (anak) Maryam, yang dengan sejumlah perkecualian dan catatan perbedaan mendasar adalah hampir dapat dikenal sama juga sebagai Yesus Kristus atau Yesus dari Nazareth dalam khazanah Kristen. Dari nama daerah dimana Isa as dibesarkan di Nazareth inilah nama lain dari Kristen ini disebut sebagai kaum Nasrani.

Kegemparan akan datangnya ’Yesus dari Nazareth’ yang tak memiliki ayah dan nasabnya ditahbiskan kepada Maryam (Maria), ibunya, dan dalam hidup singkatnya (umur 30 tahun diangkat menjadi Nabi dan menjalankan tugasnya selama 3 tahun)  menampilkan berbagai mukjizat luar-biasa itu, mengguncang peradaban manusia di sekitarnya saat itu, dan banyak orang yang kemudian berspekulasi akan kenyataan ini.

Di masa ini, lahir pula agama Kristen, dan ide-idenya mendominasi relung kehidupan masyarakat Eropa dan pengikutnya, termasuk para Pemikirnya. Dan wajah peradaban Barat pada Abad Pertengahan ini, karenanya, didominasi oleh Filsafat Kristen.

Filsafat Kristen atau Abad Pertengahan ini, antara lain bertokohkan Filsuf Plotinus, (Santo atau Saint) Augustinus atau Augustine, (Saint) Anselmus, Robert Grosseteste, Roger Bacon, Albert Agung, Thomas Aquinas, dsb. Yang kesemuanya sepakat mengedepankan iman dogmatis - tak boleh dibantahi. Kristiani, dan telaahnya pun bersifat religius-dogmatis. Akibat pengaruh hebat dan dominan Agama Kristen yang didominasi oknum kaum Gerejawan dan Monarki Baratnya dengan segala ragam tafsir dogmatisnya.

Dan tak pelak pemanfaatan Platonisme ala Yunani Kuno (dicetuskan Plato) yang mengajarkan bahwa kebenaran itu sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada Tuhan namun berjenis dan berbungkus baru, yang disebut sebagai Neo-Platonisme, menjadi gencar dan ditahbiskan sepenuhnya tanpa telaah kristis kepada iman Kristiani. Ini, mau tak mau mendukung pula klaim dogmatis akan kebenaran Kristen.

Para ahli Filsuf dan Agamawan mereka di saat itu karenanya teguh bermottokan ”Credo et intelligam” atau ”Keyakinan (keimanan agama) berkedudukan di atas pemikiran (logika), keyakinan mengungguli pemikiran” atau lebih mudahnya, ”Yakini dulu sesuatu, baru carikan alasan untuk menjelaskannya”.

Maka, dengan sendirinya, Akal (di Barat) benar-benar kalah pada masa ini (terutama terlihat pada isi Filsafat dari Plotinus, Augustinus, Anselmus). Bahkan potensi pemanfaatan akal diganti mutlak oleh Augustinus dengan Iman dogmatis, sebelum penghargaan terhadap potensi Akal sempat muncul kembali kemudian pada masa Thomas Aquinas di akhir masa Abad Pertengahan itu.

Dan karenanya pula, Aquinas kemudian ditentangi hebat dan dibenci sebagian besar masyarakat Gereja yang terlanjur menjadi pendukung jalur hati iman Kristiani yang dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan di atas adalah iman mutlak dogmatis Kristiani yang tidak mengindahkan telaah kritis akal.

Ini juga tak pelak menyebabkan masyarakat Barat di masa itu secara luas menjadi percaya dan beriman dogmatis akan ‘rasa hati’ (atau yang adalah agama, Kristen, lebih tepatnya Kristen Katolik, bagi mereka), karena menurut mereka agama adalah rasa hati dan Filsafat adalah pemikiran. Filsafat dan Agama itu sendiri, satu hal yang di masa sesudahnya terutama masa Thomas Aquinas, dicoba untuk disatu-padukan namun menemui sejumlah kendala sampai masa Modern merebak.

Keyakinan Kristiani yang mendominasi di masa Abad Pertengahan ini, menjadikannya tidak boleh atau tidak mudah untuk dapat dikritiki, sekaligus membuat kedudukan mereka yang berada dalam struktur otoritas agamanya menjadi tinggi dan tak dapat disalahkan. Dan karenanya ini juga membuat mereka makmur secara ekonomi juga sebagai pemegang mandat negara dengan mandat Otokrasi dan Teokrasi Kristiani.

Dan kenyataan ini bagi sebagian orang lain, misalnya rakyatnya yang mereka pimpin, artinya juga adalah kesemena-menaan yang diorganisasikan. Kekuasaan absolut negara dan pusat-pusat kesejahteraan masyarakat saat itu dipegang mutlak oleh Gereja dan Kerajaan, dengan pajak sistem Feodalisme berdasarkan tafsir mereka terhadap iman Kristiani dan bahwa Gereja adalah wakil Tuhan di Bumi dan bahwa sistem pemerintahan yang terbenar adalah Kerajaan Kristiani penyokongnya. Golongan Ksatria, dan Raja adalah pelindung rakyat dan rakyat harus membayar pajak kepada mereka yang penafsirannya seringkali dianggap semena-mena oleh rakyat.

Tak pelak juga, maka, perkembangan ilmu-pengetahuan yang biasanya berdasarkan kepada gelitikan pemikiran, rasa penasaran, kebertanya-tanyaan  pemikiran pun menjadi lambat pula. Pendeknya, potensi telaah akal pada masa ini dihambati.

Di saat Zaman Kegelapan, segala keputusan pemerintah dan hukum negara tidak diambil berdasarkan demokrasi di parlemen seperti ketika zaman Kekaisaran Romawi. Keputusan tersebut diambil oleh Majelis Dewan Gereja. Tidak setiap individu berhak berpendapat, karena pada zaman itu yang berhak mengeluarkan pendapat keputusan adalah para ahli agama. Gagasan tentang dark age (abad gelap) berasal dari Petrarch (seorang humanis, cendekiawan dan penyair Italia) pada tahun 1330-an. Dia menulis tentang orang-orang yang hidup sebelum dia, ia berkata: "Di tengah kesalahan bersinar seorang genius, mata mereka melihat dengan tajam meskipun mereka dikelilingi oleh kegelapan yang sangat pekat".  Para penulis yang beragama Kristen, termasuk Petrarch sendiri telah lama menggunakan kiasan "terang melawan gelap" untuk menggambarkan "kebaikan melawan kejahatan". Petrarch adalah orang pertama yang menggunakan kiasan dan memberikan makna sekuler dengan membalikkan penerapannya. Zaman klasik telah lama dianggap sebagai zaman "gelap" karena kurangnya kekristenan yang dilihat oleh Petrarch sebagai zaman "cahaya" karena prestasi dan pencapaian kultural, sedangkan pada zaman Petrarch, diduga kurang prestasi budaya sehingga Petrarch memandangnya sebagai zaman kegelapan.

Abad pertengahan merupakan zaman dimana Eropa sedang mengalami masa suram. Berbagai kreativitas sangat diatur oleh gereja. Dominasi gereja sangat kuat dalam berbagai aspek kehidupan. Agama Kristen sangat mempengaruhi berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Seolah Raja tidak mempunyai kekuasaan, justru malah Gereja-lah yang mengatur pemerintahan. Berbagai hal diberlakukan demi kepentingan gereja, tetapi hal-hal yang merugikan Gereka akan mendapat balasan yang sangat kejam. Contohnya, pembunuhan Copernicus mengenai teori tatasurya yang menyebutkan bahwa matahari pusat dari tata surya, tetapi hal ini bertolak belakang dari gereja sehingga Copernicus dibunuhnya.

Pemikiran manusia pada Abad Pertengahan ini mendapat doktrinasi dari Gereja. Hidup seseorang selalu dikaitkan dengan tujuan akhir (ekstologi). Kehidupan manusia pada hakekatnya sudah ditentukan oleh Tuhan. Maka tujuan hidup manusia adalah mencari keselamatan. Pemikiran tentang ilmu pengetahuan banyak diarahkan kepada teologi (theology). Pemikiran filsafat berkembang sehingga lahir “filsafat scholastic” yaitu suatu pemikiran filsafat yang dilandasi pada agama dan untuk alat pembenaran agama. Oleh karena itu disebut dark ages atau zaman kegelapan.

Abad pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa. Pada masa ini agama berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah berkembang di zaman klasik dipinggirkan dan dianggap sebagai ilmu sihir yang mengalihkan perhatian manusia dari pemikiran ketuhanan.

Eropa dilanda Zaman Kegelapan sebelum tiba Zaman Pembaharuan. Yang dimaksud Zaman Kelam atau Zaman Kegelapan ialah zaman masyarakat Eropa menghadapi kemunduran intelektual dan kemunduran ilmu pengetahuan. Menurut Ensikopedia Amerikana, zaman ini berlangsung selama 600 tahun, dan bermula antara zaman kejatuhan Kerajaan Romawi dan berakhir dengan kebangkitan intelektual pada abad ke-15 Masehi.

Gelap juga dianggap sebagai tidak adanya prospek yang jelas bagi masyarakat Eropa. Keadaan ini merupakan wujud kekuasaan agama, yaitu gereja Kristiani yang sangat berpengaruh. Gereja serta para pendeta mengawasi pemikiran masyarakat serta juga politik. Mereka berpendapat hanya gereja saja yang pantas untuk menentukan kehidupan, pemikiran, politik dan ilmu pengetahuan. Akibatnya kaum cendekiawan yang terdiri daripada ahli-ahli sains merasa mereka ditekan dan dikawal ketat. Pemikiran mereka pun ditolak dan timbul ancaman dari gereja, yaitu siapa yang mengeluarkan teori yang bertentangan dengan pandangan gereja akan ditangkap dan didera, malah ada yang dibunuh. segala keputusan pemerintah dan  hukum negara tidak diambil berdasarkan demokrasi di parlemen seperti ketika zaman kekasiaran Roma. Keputusan tersebut diambil oleh majelis dewan Gereja. Tidak setiap individu berhak berpendapat, karena pada zaman itu yang berhak mengeluarkan pendapat-keputusan adalah para ahli agama. Bahkan segala sesuatu yang bertentangan dengan penafsiran dewan gereja merupakan pelanggaran hukum berat.

Akibatnya setiap inovasi yang berasal dari kaum ilmuan selalu digagalkan oleh dewan gereja. Yaitu tadi pokoknya bila dewan gereja tidak paham dan tidak memiliki dasar argumen yang kuat di dalam Injil maka inovasi tersebut merupakan perkara pelanggaran agama berat. Salah satu yang menjadi korbannya adalah Nicholas Coppernicus yang berakhir tragis akibat teorinya yang mengatakan Mataharilah sebagai pusat tata surya bukan bumi – Heliosentris (sedangkan kitab suci Kristen menyebutkan bumilah sebagai pusat tata surya). Akibat terlalu banyak intervensi dewan Gereja pada sendi-sendi kehidupan, termasuk juga pelarangan terhadap temuan maupun inovasi baru yang tidak ada pada Injil maka akhirnya terjadi stagnasi secara multi dimensi yang lambat laun berimbas pada timbulnya krisis multi dimensi. □□□