Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa orang
yang berakal bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia: “Sungguh pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi mereka yang berakal (ūlil albāb).”
[QS Yūsuf 12:111)
Dipelajarinya sejarah berbagai bangsa,
kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan
petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan ini. “Tidak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal (ūlul albāb).” [QS
Āli ‘Imrān 3:7]
KATA PENGANTAR
Banyak tokoh ahli
sejarah seperti Charles Peter Hill [1] mengatakan mempelajari sejarah banyak
kegunaannya seperti memuaskan rasa ingin tahu; dapat membandingkan kehidupan
zaman sekarang dengan masa lampau.
Demikian pula Nugroho Notosusanto [2] mengungkapkan bahwa dengan mempelajari sejarah akan memiliki wawasan sejarah. Dengan wawasan sejarah dapat mengkonsepkan proses sejarah yang berguna untuk mengantisipasi masa depan.
Demikian pula Nugroho Notosusanto [2] mengungkapkan bahwa dengan mempelajari sejarah akan memiliki wawasan sejarah. Dengan wawasan sejarah dapat mengkonsepkan proses sejarah yang berguna untuk mengantisipasi masa depan.
Notosusanto
melanjutkan, dengan demikian mempelajari sejarah banyak kegunaannya dan manfaatnya,
antara lain sebagai berikut:
1) Memberikan Kesadaran Waktu: Kesadaran waktu yang dimaksud ialah kehidupan dengan segala perubahan, pertumbuhan, dan perkembangannya terus berjalan melewati waktu. Kesadaran itu dikenal juga sebagai kesadaran akan adanya gerak sejarah. Kesadaran tersebut memandang peristiwa-peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang terus bergerak dari masa silam bermuara ke masa kini dan berlanjut ke masa depan.
2) Memberi Pelajaran: Sejarah memberikan pelajaran, sering kita mendengar ucapan: “belajarlah dari sejarah”. Dengan mempelajari sejarah seseorang atau suatu bangsa, kita akan bercermin dan menilai peristiwa-peristiwa masa lampau yang merupakan keberhasilan (prestasi) dan peristiwa-peristiwa masa lampau yang merupakan kegagalan. Peristiwa-peristiwa sejarah pada masa lampau, baik yang positif maupun negatif dijadikan hikmah. Untuk nilai-nilai positif yakni keberhasilan-keberhasilan kita pertahankan dan kita tingkatkan, sebaliknya untuk nilai-nilai negatif, kesalahan-kesalahan masa silam tidak terulang lagi. Dengan ini jelas bahwa sejarah memberikan pelajaran yang dapat memberikan kearifan dan kebijaksanaan bagi yang mempelajarinya.
3) Sumber Inspirasi (Ilham): Inspirasi berarti memberikan ilham atau semangat yang berkaitan dengan pelajaran sejarah yang dapat diambil (diteladani) kelebihannya dan mengelakkan (memperbaiki) segala kekurangannya.
1) Memberikan Kesadaran Waktu: Kesadaran waktu yang dimaksud ialah kehidupan dengan segala perubahan, pertumbuhan, dan perkembangannya terus berjalan melewati waktu. Kesadaran itu dikenal juga sebagai kesadaran akan adanya gerak sejarah. Kesadaran tersebut memandang peristiwa-peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang terus bergerak dari masa silam bermuara ke masa kini dan berlanjut ke masa depan.
2) Memberi Pelajaran: Sejarah memberikan pelajaran, sering kita mendengar ucapan: “belajarlah dari sejarah”. Dengan mempelajari sejarah seseorang atau suatu bangsa, kita akan bercermin dan menilai peristiwa-peristiwa masa lampau yang merupakan keberhasilan (prestasi) dan peristiwa-peristiwa masa lampau yang merupakan kegagalan. Peristiwa-peristiwa sejarah pada masa lampau, baik yang positif maupun negatif dijadikan hikmah. Untuk nilai-nilai positif yakni keberhasilan-keberhasilan kita pertahankan dan kita tingkatkan, sebaliknya untuk nilai-nilai negatif, kesalahan-kesalahan masa silam tidak terulang lagi. Dengan ini jelas bahwa sejarah memberikan pelajaran yang dapat memberikan kearifan dan kebijaksanaan bagi yang mempelajarinya.
3) Sumber Inspirasi (Ilham): Inspirasi berarti memberikan ilham atau semangat yang berkaitan dengan pelajaran sejarah yang dapat diambil (diteladani) kelebihannya dan mengelakkan (memperbaiki) segala kekurangannya.
Jadi kalau
penulis mengekpos sejarah suatu bangsa atau golongan kebetulan dalam artian
"negatif" bukanlah berarti “memburukkan”, akan tetapi maksudnya adalah mengambil
hikmahnya. Dengan itu agar generasi mendatang dapat mengambil “pelajarannya”
seperti apa yang dikatakan dua ahli sejarah diatas. □ AFM
S
|
eperti tajuk diatas, sejarah
Eropa memiliki bentangan waktu yang panjang dimulai dari zaman paleolithikum
ribuan tahun yang lalu. Secara garis besar, sejarah Eropa dibagi menjadi 3
periode, yaitu: Eropa klasik, Eropa pertengahan, dan Eropa modern. Di sini kita
akan membahas tentang Eropa abad pertengahan pada masa abad kegelapan.
Abad
pertengahan adalah periode sejarah yang terjadi di daratan Eropa yang ditandai
sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat pada
abad ke-5 hingga munculnya monarkhi-monakhi nasional. Dimulainya penjelajahan
samudera, kebangkitan humanisme, serta reformasi Protestan dengan dimulainya renaissance pada tahun 1517.
Abad
pertengahan sering diwarnai dengan kesan-kesan yang tidak baik. Hal ini mungkin
disebabkan oleh banyaknya kalangan yang memberikan stereotipe kepada abad
pertengahan sebagai periode buram sejarah Eropa mengingat dominasi kekuatan
agama Kristiani yang begitu besar sehingga menghambat perkembangan ilmu
pengetahuan, prinsip-prinsip moralitas yang agung membuat kekuasaan agama Kristiani
menjadi begitu luas dan besar di segala bidang.
ZAMAN KEGELAPAN (The Dark Ages)
Abad
kegelapan merupakan sebuah zaman antara runtuhnya Kekaisaran Romawi dan Renaisannce atau munculnya kembali peradaban
lama. Dari masa sebelum masehi yang kental dengan Filsafat Relativisme
(Kebenaran) Sofisme Yunani Kuno, berlanjut ke apa yang kemudian dinamakan Jaman
Abad Pertengahan yang berlangsung lama, kurang lebih selama lima belas Abad,
dari sekitar Abad ke-1 sampai Abad ke-15.
Masa
ini disebut juga sebagai Era atau masa Medieval (Medieval ages) atau juga Abad Kegelapan (The Dark Ages) dan dimulai setelah masa Nabi Isa bin Maryam as menapakkan kaki di muka Bumi dan
berdakwah. Beliau dikenal juga sebagai Isa bin (anak) Maryam, yang dengan
sejumlah perkecualian dan catatan perbedaan mendasar adalah hampir dapat
dikenal sama juga sebagai Yesus Kristus atau Yesus dari Nazareth dalam khazanah
Kristen. Dari nama daerah dimana Isa as
dibesarkan di Nazareth inilah nama lain dari Kristen ini disebut sebagai kaum
Nasrani.
Kegemparan
akan datangnya ’Yesus dari Nazareth’ yang tak memiliki ayah dan nasabnya
ditahbiskan kepada Maryam (Maria), ibunya, dan dalam hidup singkatnya (umur 30
tahun diangkat menjadi Nabi dan menjalankan tugasnya selama 3 tahun) menampilkan berbagai mukjizat luar-biasa itu,
mengguncang peradaban manusia di sekitarnya saat itu, dan banyak orang yang
kemudian berspekulasi akan kenyataan ini.
Di masa
ini, lahir pula agama Kristen, dan ide-idenya mendominasi relung kehidupan
masyarakat Eropa dan pengikutnya, termasuk para Pemikirnya. Dan wajah peradaban
Barat pada Abad Pertengahan ini, karenanya, didominasi oleh Filsafat Kristen.
Filsafat
Kristen atau Abad Pertengahan ini, antara lain bertokohkan Filsuf Plotinus,
(Santo atau Saint) Augustinus atau Augustine, (Saint) Anselmus, Robert
Grosseteste, Roger Bacon, Albert Agung, Thomas Aquinas, dsb. Yang kesemuanya
sepakat mengedepankan iman dogmatis - tak boleh dibantahi. Kristiani, dan
telaahnya pun bersifat religius-dogmatis. Akibat pengaruh hebat dan dominan
Agama Kristen yang didominasi oknum kaum Gerejawan dan Monarki Baratnya dengan
segala ragam tafsir dogmatisnya.
Dan tak
pelak pemanfaatan Platonisme ala Yunani Kuno (dicetuskan Plato) yang
mengajarkan bahwa kebenaran itu sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada
Tuhan namun berjenis dan berbungkus baru, yang disebut sebagai Neo-Platonisme,
menjadi gencar dan ditahbiskan sepenuhnya tanpa telaah kristis kepada iman
Kristiani. Ini, mau tak mau mendukung pula klaim dogmatis akan kebenaran
Kristen.
Para
ahli Filsuf dan Agamawan mereka di saat itu karenanya teguh bermottokan ”Credo et intelligam” atau ”Keyakinan
(keimanan agama) berkedudukan di atas pemikiran (logika), keyakinan mengungguli
pemikiran” atau lebih mudahnya, ”Yakini dulu sesuatu, baru carikan alasan untuk
menjelaskannya”.
Maka,
dengan sendirinya, Akal (di Barat) benar-benar kalah pada masa ini (terutama
terlihat pada isi Filsafat dari Plotinus, Augustinus, Anselmus). Bahkan potensi
pemanfaatan akal diganti mutlak oleh Augustinus dengan Iman dogmatis, sebelum
penghargaan terhadap potensi Akal sempat muncul kembali kemudian pada masa
Thomas Aquinas di akhir masa Abad Pertengahan itu.
Dan
karenanya pula, Aquinas kemudian ditentangi hebat dan dibenci sebagian besar
masyarakat Gereja yang terlanjur menjadi pendukung jalur hati iman
Kristiani yang dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan di atas adalah
iman mutlak dogmatis Kristiani yang tidak mengindahkan telaah kritis akal.
Ini
juga tak pelak menyebabkan masyarakat Barat di masa itu secara luas menjadi
percaya dan beriman dogmatis akan ‘rasa hati’ (atau yang adalah agama, Kristen,
lebih tepatnya Kristen Katolik, bagi mereka), karena menurut mereka agama
adalah rasa hati dan Filsafat adalah pemikiran. Filsafat dan Agama itu sendiri,
satu hal yang di masa sesudahnya terutama masa Thomas Aquinas, dicoba untuk
disatu-padukan namun menemui sejumlah kendala sampai masa Modern merebak.
Keyakinan
Kristiani yang mendominasi di masa Abad Pertengahan ini, menjadikannya tidak
boleh atau tidak mudah untuk dapat dikritiki, sekaligus membuat kedudukan
mereka yang berada dalam struktur otoritas agamanya menjadi tinggi dan tak
dapat disalahkan. Dan karenanya ini juga membuat mereka makmur secara ekonomi
juga sebagai pemegang mandat negara dengan mandat Otokrasi dan Teokrasi
Kristiani.
Dan
kenyataan ini bagi sebagian orang lain, misalnya rakyatnya yang mereka pimpin,
artinya juga adalah kesemena-menaan yang diorganisasikan. Kekuasaan absolut
negara dan pusat-pusat kesejahteraan masyarakat saat itu dipegang mutlak oleh
Gereja dan Kerajaan, dengan pajak sistem Feodalisme berdasarkan tafsir mereka
terhadap iman Kristiani dan bahwa Gereja adalah wakil Tuhan di Bumi dan bahwa
sistem pemerintahan yang terbenar adalah Kerajaan Kristiani penyokongnya.
Golongan Ksatria, dan Raja adalah pelindung rakyat dan rakyat harus membayar
pajak kepada mereka yang penafsirannya seringkali dianggap semena-mena oleh
rakyat.
Tak
pelak juga, maka, perkembangan ilmu-pengetahuan yang biasanya berdasarkan
kepada gelitikan pemikiran, rasa penasaran, kebertanya-tanyaan pemikiran pun menjadi lambat pula. Pendeknya,
potensi telaah akal pada masa ini dihambati.
Di saat
Zaman Kegelapan, segala keputusan pemerintah dan hukum negara tidak diambil
berdasarkan demokrasi di parlemen seperti ketika zaman Kekaisaran Romawi.
Keputusan tersebut diambil oleh Majelis Dewan Gereja. Tidak setiap individu
berhak berpendapat, karena pada zaman itu yang berhak mengeluarkan pendapat
keputusan adalah para ahli agama. Gagasan tentang dark age (abad gelap) berasal dari Petrarch (seorang humanis, cendekiawan
dan penyair Italia) pada tahun 1330-an. Dia menulis tentang orang-orang yang
hidup sebelum dia, ia berkata: "Di tengah kesalahan bersinar seorang
genius, mata mereka melihat dengan tajam meskipun mereka dikelilingi oleh
kegelapan yang sangat pekat". Para penulis yang beragama Kristen,
termasuk Petrarch sendiri telah lama menggunakan kiasan "terang melawan
gelap" untuk menggambarkan "kebaikan melawan kejahatan".
Petrarch adalah orang pertama yang menggunakan kiasan dan memberikan makna
sekuler dengan membalikkan penerapannya. Zaman klasik telah lama dianggap
sebagai zaman "gelap" karena kurangnya kekristenan yang dilihat oleh
Petrarch sebagai zaman "cahaya" karena prestasi dan pencapaian
kultural, sedangkan pada zaman Petrarch, diduga kurang prestasi budaya sehingga
Petrarch memandangnya sebagai zaman kegelapan.
Abad
pertengahan merupakan zaman dimana Eropa sedang mengalami masa suram. Berbagai
kreativitas sangat diatur oleh gereja. Dominasi gereja sangat kuat dalam
berbagai aspek kehidupan. Agama Kristen sangat mempengaruhi berbagai kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah. Seolah Raja tidak mempunyai kekuasaan, justru
malah Gereja-lah yang mengatur pemerintahan. Berbagai hal diberlakukan demi
kepentingan gereja, tetapi hal-hal yang merugikan Gereka akan mendapat balasan
yang sangat kejam. Contohnya, pembunuhan Copernicus mengenai teori tatasurya
yang menyebutkan bahwa matahari pusat dari tata surya, tetapi hal ini bertolak
belakang dari gereja sehingga Copernicus dibunuhnya.
Pemikiran
manusia pada Abad Pertengahan ini mendapat doktrinasi dari Gereja. Hidup
seseorang selalu dikaitkan dengan tujuan akhir (ekstologi). Kehidupan manusia
pada hakekatnya sudah ditentukan oleh Tuhan. Maka tujuan hidup manusia adalah
mencari keselamatan. Pemikiran tentang ilmu pengetahuan banyak diarahkan kepada
teologi (theology). Pemikiran
filsafat berkembang sehingga lahir “filsafat
scholastic” yaitu suatu pemikiran filsafat yang dilandasi pada agama dan
untuk alat pembenaran agama. Oleh karena itu disebut dark ages atau zaman kegelapan.
Abad
pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa. Pada masa ini agama
berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk
pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah berkembang di zaman
klasik dipinggirkan dan dianggap sebagai ilmu sihir yang mengalihkan perhatian
manusia dari pemikiran ketuhanan.
Eropa
dilanda Zaman Kegelapan sebelum tiba Zaman Pembaharuan. Yang dimaksud Zaman
Kelam atau Zaman Kegelapan ialah zaman masyarakat Eropa menghadapi kemunduran
intelektual dan kemunduran ilmu pengetahuan. Menurut Ensikopedia Amerikana,
zaman ini berlangsung selama 600 tahun, dan bermula antara zaman kejatuhan
Kerajaan Romawi dan berakhir dengan kebangkitan intelektual pada abad ke-15
Masehi.
Gelap
juga dianggap sebagai tidak adanya prospek yang jelas bagi masyarakat Eropa.
Keadaan ini merupakan wujud kekuasaan agama, yaitu gereja Kristiani yang sangat
berpengaruh. Gereja serta para pendeta mengawasi pemikiran masyarakat serta
juga politik. Mereka berpendapat hanya gereja saja yang pantas untuk menentukan
kehidupan, pemikiran, politik dan ilmu pengetahuan. Akibatnya kaum cendekiawan
yang terdiri daripada ahli-ahli sains merasa mereka ditekan dan dikawal ketat.
Pemikiran mereka pun ditolak dan timbul ancaman dari gereja, yaitu siapa yang
mengeluarkan teori yang bertentangan dengan pandangan gereja akan ditangkap dan
didera, malah ada yang dibunuh. segala keputusan pemerintah dan hukum
negara tidak diambil berdasarkan demokrasi di parlemen seperti ketika zaman
kekasiaran Roma. Keputusan tersebut diambil oleh majelis dewan Gereja. Tidak
setiap individu berhak berpendapat, karena pada zaman itu yang berhak
mengeluarkan pendapat-keputusan adalah para ahli agama. Bahkan segala sesuatu
yang bertentangan dengan penafsiran dewan gereja merupakan pelanggaran hukum
berat.
Akibatnya
setiap inovasi yang berasal dari kaum ilmuan selalu digagalkan oleh dewan
gereja. Yaitu tadi pokoknya bila dewan gereja tidak paham dan tidak memiliki
dasar argumen yang kuat di dalam Injil maka inovasi tersebut merupakan perkara
pelanggaran agama berat. Salah satu yang menjadi korbannya adalah Nicholas
Coppernicus yang berakhir tragis akibat teorinya yang mengatakan Mataharilah
sebagai pusat tata surya bukan bumi – Heliosentris (sedangkan kitab suci
Kristen menyebutkan bumilah sebagai pusat tata surya). Akibat terlalu banyak
intervensi dewan Gereja pada sendi-sendi kehidupan, termasuk juga pelarangan
terhadap temuan maupun inovasi baru yang tidak ada pada Injil maka akhirnya
terjadi stagnasi secara multi dimensi yang lambat laun berimbas pada timbulnya
krisis multi dimensi. □□□