M
|
urad
Hofmann (Murad Wifred Hofmann) lahir pada 6 Juli 1931 di Aschaffenburg, Jerman,
dengan nama Wilfred Hofmann, dari sebuah keluarga Katholik. Pendidikan
Universitasnya dilalui di Union College, New York. Pada tahun 1957 ia meraih
gelar Doktor dalam bidang Undang-undang Jerman, dari Universitas Munich. Dan
pada tahun 1960, ia meraih gelar magister dari Universitas Harvard dalam bidang
Undang-undang Amerika. Ia kemudian bekerja di kementerian luar negeri Jerman,
semenjak tahun 1961 hingga tahun 1994. Ia terutama bertugas dalam masalah
pertahanan nuklir. Ia pernah menjadi direktur penerangan NATO di Brussel (1983
- 1987),
Duta Besar Jerman di Aljazair (1987 - 1990), dan
terakhir Duta Besar Jerman di Maroko (1990 - 1994). Kini bersama isterinya,
seorang muslimah asal Turki, ia menikmati masa-masa pensiun di Istanbul. Sambil
berpikir dan mengarang buku.
Pandangan Hofmann tentang Islam
Islam
adalah agama yang rasional dan universal. Ia bisa diterima dan sesuai dengan
akal sehat. Agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Sebab, kendati
diturunkan di Jazirah Arabia, agama Islam bukan hanya untuk orang Arab, tetapi
juga bisa diterima oleh orang yang bukan Arab (Ajam).
Bahkan, ilmu-ilmu dan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran, sesuai dengan pandangan hidup umat manusia. Karena itu, tak heran, bila agama yang dibawa oleh Muhammad saw ini, dengan mudah diterima oleh orang-orang yang senantiasa menggunakan akal pikirannya. Itulah yang dialami Dr Murad Wilfried Hofmann. Ia menerima agama Islam, disaat kariernya berada di puncak.
Bahkan, ilmu-ilmu dan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran, sesuai dengan pandangan hidup umat manusia. Karena itu, tak heran, bila agama yang dibawa oleh Muhammad saw ini, dengan mudah diterima oleh orang-orang yang senantiasa menggunakan akal pikirannya. Itulah yang dialami Dr Murad Wilfried Hofmann. Ia menerima agama Islam, disaat kariernya berada di puncak.
Pengalamannya
sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk
mempelajari Islam, terutama Al-Qur’an. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan
belajar mempraktekkan ibadah-ibadahnya.
Keislaman
Hoffman dilandasi oleh rasa keprihatinannya pada dunia barat yang mulai
kehilangan moral. Agama yang dulu dianutnya dirasakannya tak mampu mengobati
rasa kekecewaan dan keprihatinannya akan kondisi tersebut.
Apalagi, ketika ia bertugas menjadi Atase di Kedutaan besar Jerman di Aljazair, ia menyaksikan sikap umat Islam Aljazair yang begitu sabar, kuat dan tabah menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan dari umat lain. Atas dasar itu dan sikap orang Eropa yang mulai kehilangan jati diri dan moralnya, Hofmann memutuskan untuk memeluk Islam.
Ia merasa terbebani dengan pemikiran manusia yang harus menerima dosa asal (turunan, warisan) dan adanya Tuhan selain Allah. Mengapa Tuhan harus memiliki anak dan kemudian disiksa dan dibunuh di kayu salib untuk menyelamatkan diri sendiri. “Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak punya kuasa,” tegasnya.
Bahkan, sewaktu masa dalam masa pencarian Tuhan, Hofmann pernah memikirkan tentang keberadaan Allah. Ia lalu melakukan analisa terhadap karya-karya filsuf seperti Wittgenstein, Pascal, Swinburn, dan Kant, hingga akhirnya ia dengan yakin menemukan bahwa Tuhan itu ada. Ia kemudian bertanya: “Bagaimana Allah berkomunikasi dengan manusia dan membimbingnya?” Disini ia menemukan adanya wahyu yang difirmankan Tuhan. Dan ketika membandingkan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, yang umatnya diberi wahyu, Hoffman menemukannya dalam Islam, yang secara tegas menolak adanya dosa warisan.
Ketika manusia berdo’a, mereka harusnya tidak berdo’a atau meminta kepada tuhan lain selain Allah, sang Pencipta. “Seorang Muslim hidup di dunia tanpa pendeta dan tanpa hierarki keagamaan; ketika berdo’a, ia tidak berdo’a melalui Yesus, Maria, atau orang-orang suci, tetapi langsung kepada Allah,” tegasnya.
Karena itulah, saya melihat bahwa agama Islam adalah agama yang murni dan bersih dari kesyirikan atau adanya persekutuan Allah dengan makhluknya. “Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”, ujarnya.
Pada tanggal 11 September 1980, di Bonn, setelah lama ia rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin mendekatkan dirinya kepada keimanan, dengan terharu ia mengungkapkan dalam memoar-nya (edisi bahasa Indonesia: Pergolakan Pemikiran): “Aku harus menjadi seorang Muslim!” Maka pada tanggal 25 September 1980, di Islamic Center Colonia, ia dengan pasti mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ia
memilih nama baru nama baru bagi dirinya: “Murad”. Muhammad Asad, seorang
Muslim Austria, yang sebelumnya bernama Leopold Weist, dalam pengantarnya
terhadap memoar Murad Hofmann, yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia
dengan judul “Pergolakan Pemikiran”, lebih jauh menjelaskan makna filosofis
nama tersebut: “Murad artinya ‘yang dicari’, dan pengertiannya yang lebih luas
adalah ‘tujuan’, yaitu tujuan tertinggi hidup Willfred Hoffman.”
Murad
Hoffman telah menulis beberapa buku tentang Islam. Pada tahun 1985 ia menulis
memoarnya, yang diterbitkan pada bahasa Inggris pada tahun 1987, dalam bahasa
Perancis pada tahun 1990, dalam bahasa Arab pada tahun 1993, dan bahasa
Indonesia pada tahun 1998 (dengan judul Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian
Muslim Jerman).
Karya Tulis Buku-buku Hofmann
Bukunya
yang menggegerkan; Der Islam als Alternative, juga telah diterbitkan dalam
edisi bahasa Inggris dan bahasa Arab, pada tahun 1993. Annie Marie Schimmel
dengan hangat memberikan kata pengantar dalam buku tersebut, dan dengan antusias
menutup pengantarnya itu sambil menyitir Goethe: “Jika Islam berarti ketundukan dengan penuh ketulusan, maka atas dasar
Islamlah selayaknya kita hidup dan mati!” Memang, menurut pengamatan Murad Hofmann,
sebentar lagi Schimmel akan terus terang memeluk Islam.
Yang
menarik dari Murad Hofmann adalah, ketika ia sedang menjadi duta besar Jerman
di Maroko, pada tahun 1992, ia mempublikasikan bukunya yang menggegerkan
masyarakat Jerman: Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif). Dalam
buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang
sudah kropos dan kehilangan justifikasinya, namun ia secara eksplisit
mengatakan bahwa alternatif Islam bagi masyarakat Barat adalah suatu
keniscayaan.
Seperti
ia ungkapkan dalam prakata bukunya tersebut: “Islam tidak menawarkan dirinya
sebagai alternatif yang lain bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena
memang hanya Islamlah satu-satunya alternatif itu!” Oleh karena itu, tidak aneh
ketika buku itu belum terbit saja telah menggegerkan masyarakat Jerman. Mulanya
adalah wawancara televisi saluran I dengan Murad Hofmann; dan dalam wawancara
tersebut, Hofmann bercerita tentang bukunya yang –ketika itu– sebentar lagi
akan terbit.
Saat
wawancara tersebut disiarkan, seketika gemparlah seluruh media massa dan
masyarakat Jerman. Dan serentak mereka mencerca dan menggugat Hofmann, hingga
sebelum mereka membaca buku tersebut. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh media
massa murahan yang kecil, namun juga oleh media massa yang besar semacam Der
Spigel. Malah pada kesempatan yang lain, televisi Jerman men-shooting Murad Hofmann
saat ia sedang melaksanakan shalat di atas sajadahnya, di kantor Duta Besar
Jerman di Maroko, sambil dikomentari oleh sang reporter: “Apakah logis jika
Jerman berubah menjadi Negara Islam yang tunduk terhadap hukum Tuhan?”
Dalam
buku Trend Islam 2000, Murad Hoffman mencoba menatap potensi futuristik
peradaban Islam. Dengan tujuh bagian kajian, ia memulai dengan melihat tiga
sikap kaum Muslimin terhadap masa depan mereka. Pertama: kelompok yang pesimis, yang melihat bahwa perjalanan
sejarah pada dasarnya selalu menurun. Kedua:
kelompok yang melihat sejarah umat Islam seperti gelombang yang terdiri dari
gerakan naik turun. Ketiga: kelompok
yang amat optimis, yang melihat bahwa sejarah Islam terus menuju kemajuannya. Ketiga
kelompok tersebut, masing-masing mempunyai sandarannya dari teks agama Islam.
Sedang Hofmann sendiri mengajak kita untuk
bersikap optimis, menatap mentari esok dengan semangat dan usaha. Maka
ia mulai mencari faktor-faktor yang mendorong optimisme tersebut, kemudian
dibandingkan dengan situasi agama Kristen dan Yahudi, sambil membaca hubungan
Islam dan Barat. Kemudian ia kembali bertanya, apakah mungkin membangkitkan
Islam kembali? Untuk menjawab itu, ia mengajukan skala prioritas pembaruan yang
harus dilaksakanakan sebagai prasyarat kebangkitan itu, yaitu: ● perbaikan mutu pendidikan dan
teknologi, ● melepaskan
belenggu kaum perempuan, ● perbaikan
dalam hak-hak asasi manusia, ● merumuskan
teori negara dan ekonomi, ● memberikan
sikap tegas terhadap sihir dan khurafat, ● dan
memperbaiki sarana transportasi dan komunikasi (adanya jalur komunikasi dan musyawarah
antar organisasi muslim) di dunia Islam. Sambil dengan tegas membedakan antara:
Islam sebagai agama dan sebagai (agama dan) peradaban, sunnah yang sahih dan yang tidak, syari’ah
dan pemahaman fuqaha (fiqh), serta al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia terutama
memberikan prioritas pada perbaikan pendidikan dan kemampuan teknologi. Karena
masa depan kita, ia menambahkan, diciptakan dari dua bidang ini, demikian
pendapatnya.
Namun
setelah menyaksikan kondisi negara-negara Islam atau negara yang berpenduduk
mayoritas Muslim, ia tampak kecewa, karena mendapati mereka ternyata masih jauh
dari kesiapan untuk melakukan perbaikan-perbaikan itu. Hal itulah, barangkali
yang menyebabkan ia menulis dalam pengantar buku Trend Islam 2000: “Jika aku
telah berhasil mengemukakan sesuatu, maka sesuatu itu adalah suatu realitas
yang pedih!”
“Dengan
kondisi negara-negara Islam seperti itu”, tambahnya pada penutup buku Trend
Islam 2000, “kita justru menjumpai kesuburan dan vividitas peradaban yang
diperlukan untuk membangkitkan Islam telah berpindah dari pusat-pusat
tradisional ke tempat-tempat seperti Los Angeles, Washington, Leichter, Oxford,
atau Colon dan Paris. Oleh karena itu, tidak aneh jika nanti gerakan
kebangkitan dan pembaruan Islam justru dipimpin oleh pemikir-pemikir Islam dari
negara-negara non-Muslim!”
Sejak
berkomitmen memeluk Islam pada 1980, Murad Wilfred Hoffman, sebagai mualaf
sekaligus tokoh birokrat-intelektual Jerman, banyak mengalami pro dan kontra di
negara asalnya. Namun, semua itu dihadapinya sebagai bagian dari ijtihadnya -setelah
pengumuman keislamannya- guna mencapai “Jalan Menuju Makkah”, yaitu meraih
keridhaan Allah swt.
Dalam
buku ini, Murad memaparkan pengalaman-pengalamannya yang penuh hikmah dalam
melaksanakan syariat Islam, seperti: shalat, ibadah haji, kurban, zakat, puasa,
qadha dan qadar, sampai perenungannya terhadap syahadat.
Beberapa
buku Wilfred Hofmann yang kemudiannya bernama Murad Wilfred Hofmann, setelah ia
memeluk Islam, telah dipublikasikan di Indonesia, diantaranya: ● Trend Islam 2000, ● Pergolakan Pemikiran: Catatan
Harian Muslim Jerman, ● Jalan
Menuju Mekkah.
Tentunya
banyak pelajaran yang berharga dari perjalanan spiritual dan mental tokoh
kenamaan Jerman ini.
Kegiatan Hofmann dalam organisasi Islam
Internasional
Saat
ini Murad Hofmann sudah aktif ikut dalam konferensi-konferensi Islam
Internasional yang diadakan oleh organisasi-organisasi Islam. Jadi sudah
dikelompokkan sebagai tokoh Islam Internasional. Dan setahun lepas, ia
mendapatkan bintang penghargaan dari pemerintah Mesir atas jasa-jasanya dalam
pemikiran Islam.
Hofmann
juga banyak terlibat aktif dalam organisasi keislaman, seperti OKI. Ia
senantiasa menyampaikan pemikiran-pemikiran briliannya untuk kemajuan Islam.
Pada pertengahan September 2009 lalu, ia dinobatkan sebagai Muslim Personality of The Year (Muslim
Berkepribadian Tahun Ini), yang diselenggarakan oleh Dubai International Holy
Quran Award (DIHQA). Penghargaan serupa pernah diberikan pada Syekh Dr Yusuf
al-Qaradhawi.
Beberapa
Alasan Hoffman Memilih Islam
Ada beberapa alasan yang membuat Murad Wilfried Hofmann akhirnya keluar dari Katholik dan memilih Islam. Dan alasan-lasan itu sangat membekas dalam pikirannya.
Sentuhan pertamanya dengan dunia Islam
adalah ketika mulai bekerja sebagai seorang atase di kedutaan Jerman untuk
Aljazair tahun 1961. Di sana ia berada dalam situasi perang
gerilya antara tentara Perancis dengan tentara Aljazair, Algerian National
Front, yang telah berjuang untuk kemerdekaan negaranya selama 8 tahun.
Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kekejaman dan pembantaian massal yang dialami rakyat Aljazair. Setiap hari, hampir selusin orang dibunuh dari jarak dekat - dengan "gaya eksekusi" - hanya karena mereka orang Arab atau karena berbicara tentang masalah kemerdekaan.
"Saya menyaksikan kesabaran dan ketabahan orang-orang Aljazair menghadapi penderitaan yang sangat ekstrim, kepatuhan mereka yang tinggi selama bulan Ramadhan, keyakinan diri bahwa bisa merdeka, dan juga rasa perikemanusiaan mereka di tengah penderitaan yang dialaminya sendiri."
"Saya selalu penasaran mengapa orang Aljazair begitu disiplin, meskipun mereka menderita." Ia merasa bahwa agama merekalah yang menjadikan mereka kuat seperti itu. "Karena itu, saya lantas membaca kitab suci mereka, Al-Qur'an," katanya bercerita. "Saya tidak pernah berhenti membacanya, hingga saat ini."
Karya seni Islam adalah hal kedua yang menarik perhatiannya. Dulu ia sangat senang dengan seni dan keindahan tarian balet. Namun, hal itu lantas tersapu sejak ia mengenal karya seni Islam. "Saya terkesan dengan arsitektur Islam dan Arab di Spanyol dan Tunisia, tempat saya biasa berlibur. Itu merupakan seni yang tinggi dibandingkan dengan seni Yunani dan Romawi yang dingin."
"Rahasianya seperti tersimpan pada kehadiran Islam yang kental dan universal, sebagai sebuah agama dalam segala manifestasi artistiknya, kaligrafi, ornamen Arab, motif karpet, arsitektur masjid dan bangunan, serta perencanaan kota. Saya memikirkan kecermerlangan masjid yang menyingkirkan semua hal berbau klenik, tata letaknya yang sangat demokratis."
“Saya juga memikirkan tentang kualitas introspektif istana-istana Muslim, kemampuan mereka menghadirkan surga di taman yang teduh, air mancur dan aliran air. Juga tentang stuktrur fungsi sosial yang rumit di kota pusat Islam dulu, yang menyerap semangat dalam bermasyarakat, keterbukaan pasar, suasana panas dan angin, dan menjamin ikatan kuat antara masjid dengan pusat kesejahteraan untuk orang miskin, sekolah, penginapan, pasar dan wilayah pemukiman.”
“Apa yang saya rasakan adalah, Islam begitu membahagiakan di banyak tempat ... dalam hal-hal nyata yang kelihatan efek harmoni Islam, cara hidup Islam, dan cara Islam merawat dan memperlakukan sebuah tempat, semuanya meninggalkan kesan di hati dan pikiran.”
Namun, yang memberikan pengaruh besar pada Hofmann untuk menerima Islam,
mungkin sebenarnya adalah pengetahuannya tentang sejarah dan doktrin Kristen.
Ia menyadari ada perbedaan nyata antara apa yang dipercayai oleh pemeluk agama
Kristen dengan apa yang diajarkan oleh dosen sejarah di universitas. Ia tidak
bisa menerima adopsi yang dilakukan oleh gereja atas doktrin yang dibuat oleh
Saint Paul mengenai sejarah Yesus. “Ia (Saint Paul), seseorang yang yang belum
pernah bertemu dengan Yesus. Tapi dengan kristologinya yang ekstrim, ia
mengganti pandangan asli dan benar Yudeo-Kristen tentang Yesus!”
Sangat sulit baginya menerima bahwa manusia dibebani “dosa asal” dan tuhan merelakan putranya sendiri untuk disiksa dan dibunuh demi menyelamatkan umat ciptaannya. “Saya jadi menyadari, betapa dahsyat bahkan merupakan hujatan besar demi membayangkan tuhan tunduk menyerah di hadapan ciptaannya sendiri, bahwa ia tidak bisa berbuat apapun untuk mengatasi masalah - yang dianggap disebabkan oleh Adam dan Hawa - tanpa harus memperanak seorang putra dan dikorbankan dengan cara berdarah-darah seperti itu. Dan bahwa tuhan menderita karena ciptaannya sendiri, yaitu manusia.”
Hofmann juga bertanya tentang keberadaan Tuhan. Setelah menganalisa buah karya para filosof seperti Wittgenstein, Pascal, Swinburn, and Kant, ia menyimpulkan adanya pengakuan intelektual atas keberadaan Tuhan.
Apabila
beliau mengetahui bahwa banyak ahli falsafah dan cendekiawan termashyur di
dunia masa silam adalah beragama Islam.
Mereka adalah seperti Ibnu Sina,
Ibnu Khaldun, Al-Ghazali, Ibnu Rush dan lain-lain lagi. Pemikiran beberapa
orang ahli falsafah terkenal kini turut
dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Khaldun yang menjadi pelopor ilmu sosiologi dan
sejarawan pertama.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana Tuhan berkomunikasi dengan manusia sehingga mereka bisa dibimbing. Hal ini membuat ia mengakui perlu adanya wahyu. Tapi mana yang benar, kitab suci Yahudi, Kristen atau Islam?
Ia menemukan jawaban atas pertanyaan penting itu di dalam Al-Qur'an. “(Yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” [QS An-Najm 53:38]. Ayat itu membuka mata dan menjadi jawaban atas dilemanya. Sangat jelas baginya bahwa Al-Qur’an menolak ide beban “dosa asal” dan harapan “campur tangan” dari orang-orang kudus.
“Seorang Muslim hidup di dunia tanpa pendeta dan tanpa hirarki keagamaan. Ketika berdo’a ia tidak berdo’a melalui Yesus, Bunda Maria atau melalui orang kudus lainnya. Tapi langsung kepada Tuhan, sebagai seorang umat yang benar-benar bebas. Dan ini adalah agama yang bebas dari misteri.” Menurut Hofmann, seorang Muslim adalah manusia beriman yang bebas, “Par Excellence”, artinya: better or more than all others of the same kind (lebih baik atau lebih dari semua yang ada dari jenis yang sama)
"Saya mulai melihat Islam dari sudut pandangnya sendiri, sebagai sebuah kepercayaan terhadap Allah yang benar, yang tidak dicampuri oleh hal lain, yang murni, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satupun yang menyamainya." Dalam masalah ketuhanan yang dipercayai serta disembah oleh banyak suku-suku dan masalah trinitas, menurut Hofmann, “Al-Qur'an menunjukkan konsep Tuhan yang paling jernih, paling mudah, paling abstrak - yang demikian secara historis paling maju - dan paling sedikit sifat antropomorfiknya (anthropomorphic, memiliki karakteristik manusia).”
“Pernyataan ontologis Al-Qur’an -yaitu ontologism, adalah sistem ideologi yang menyatakan bahwa Allah dan ide-ide Ilahi adalah objek pertama dari kecerdasan, dan intuisi tentang Allah adalah tindakan pertama dari pengetahuan intelektual kita, sebagaimana ajaran etisnya, bagi saya sangat masuk akal, ‘bagaikan emas’, sehingga tidak ada tempat untuk meragukan kebenaran misi kenabian Muhammad saw. Orang yang memahami sifat manusia pasti mampu menerima kebijaksanaan yang terkandung dalam perintah dan larangan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia melalui Al-Qur'an.”
Saat putranya berulang tahun yang ke-18, Hofmann memberikan 12 halaman tulisan, di mana ia menulis tentang apa yang diyakini sebagai agama yang benar. Ia meminta seorang imam di Cologne, Muhammad Ahmad Rasul untuk memeriksa tulisannya. Pria itu mengatakan kepada Hofmann bahwa ia seorang Muslim, jika benar-benar mempercayai apa yang ditulisnya.
Beberapa hari kemudian ia pun bersyahadat. Tepatnya pada 25 September 1980. Ia mulai menulis banyak buku, kajian buku dan ratusan artikel mengenai Islam di Jerman.
Dr. Hofmann terus melanjutkan karirnya sebagai seorang diplomat Jerman dan pejabat NATO selama 15 tahun setelah ia memeluk Islam. "Saya tidak mengalami diskriminasi dalam profesi saya," katanya.
Tahun 1984, tiga setengah tahun setelah ia pindah agama, presiden Jerman Dr. Carl Carstens menganugerahinya penghargaan “Order of Merit of the Federal” Republic of Germany. Pemerintah Jerman membagikan bukunya “Diary of German Muslim” ke seluruh perwakilan Jerman di negara Muslim, sebagai alat untuk analisa.
Kewajiban dalam pekerjaannya tidak menghalanginya untuk melaksanakan ajaran Islam. Dalam jamuan formal, dengan sopan ia akan menolak tawaran minuman beralkohol seperti anggur merah. Sebagai seorang diplomat, seringkali ia harus menjamu tamu-tamu asingnya untuk makan siang. Hofmann selalu menghadiri acara makan siang itu, namun piring di depannya akan tetap dibiarkan kosong, selama bulan Ramadhan.
Tahun 1995, dengan sukarela ia mengundurkan diri sebagai diplomat, mendedikasikan diri untuk kegiatan keislaman. Ia memberikan ratusan kuliah di seluruh penjuru Amerika Serikat dan Eropa. “Saya tidak pernah mengatakan apa yang ingin saya bicarakan. Saya selalu bertanya pada peserta apa yang ingin mereka bicarakan." “Mereka lebih memahami tentang negara mereka”, katanya memberi alasan.
Hofmann
tidak mengubah nama aslinya “Wilfried”, yang berarti pria yang mempunyai
keinginan kuat untuk perdamaian. “Istri saya orang Turki, dia memilihkan nama Islam saya, Murad”, katanya
bercerita.
Hofmann mengajak semua Muslim agar menyampaikan tentang Islam secara bijak, mengatakan Islam “yang sesungguhnya Islam”, bukan Islam “yang sebenarnya bukan Islam”. “Lebih baik membicarakan Islam dan jazz, daripada Islam dan terorisme.”
Hikmah Jalan Kehidupan Hofmann
Dalam satu kesempatan diskusi mengenai
bahaya alkohol pada kehidupan pribadi dan masyarakat, Ia menceritakan
kecelakaan yang pernah dialaminya akibat alkohol. Ketika masih kuliah di New
York tahun 1951, ia melakukan perjalanan dari Atlanta ke Mississippi. Ketika
sampai di Holy Spring, Mississippi, tiba-tiba dari arah depan ada sebuah
kendaraan yang dikemudikan supir mabok meluncur cepat, kecelakaan pun terjadi.
Hofmann kehilangan 19 buah gigi dan mulutnya tidak lagi berbentuk.
Setelah menjalani operasi dagu dan bibir bawah, dokter bedah menemuinya dan berkata, "Biasanya, tidak ada yang selamat dalam kecelakaan seperti itu. Tuhan mempunyai sebuah rencana istimewa untukmu, kawan!"
Ketika
ia meninggalkan rumah sakit di Holy Spring, dalam keadaan pincang, lengan
tangan digendong, lutut dibalut perban dengan warna iodine, dan wajah bagian
bawah yang dijahit, ia bertanya-tanya apa gerangan makna dari ucapan ahli bedah
itu.
“Akhirnya
30 tahun kemudian, pada hari saya menyatakan iman dalam Islam, makna sebenarnya
mengapa saya bisa tetap hidup ketika itu, manjadi jelas bagi saya sekarang ini!”
□ AFM
Saksikan pula video youtube Dr. Murad Wilfried Hofmann: Islam - A Rational Faith, dengan mengklik tanda https-nya. https://youtu.be/81oT_kyHZCg
Sumber:
● www.eramuslim.co ● www.hidayatullah.com ●
REPUBLIKA.CO.ID ● Dan sumber-sumber lainnya.□□□