MEMBANGUN KEMBALI
PERADABAN ISLAM
Secara Sinergis,
simultan dan konsisten (2)
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, MA
Kondisi
Ummat Islam
S
|
etelah
perang dunia kedua banyak negara Islam yang telah merdeka dan kemudian
mengembangkan kembali ekonomi mereka yang telah hancur. Dengan keterbatasan
yang ada sejatinya ekonomi ummat Islam dewasa ini masih berpotensi untuk
bangkit. Dengan letak geografis yang menurut Ibn Khaldun ideal, kini
negara-negara Islam menduduki daerah-daerah yang kaya minyak dan sumber alam
lainnya. Selain itu, ummat Islam masih mampu melahirkan figur-figur pemimpin
politik yang handal, pakar-pakar dalam berbagai bidang sains seperti pakar
nuklir, pakar industri pesawat terbang, pakar bedah syaraf dunia, peraih hadiah
noble bidang fisika dan lain sebagainya. Yang lebih penting lagi adalah bahwa
peradaban Islam memiliki sumber rujukan, al-Qur’an dan Hadith yang dapat
berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force) yang
tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis:
Bangsa-bangsa datang dan pergi.
Kerajaan-kerajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus
mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers), pembangun peradaban dalam Islam dan
perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang mempersatukan mereka menjadi satu
ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau tidak cenderung untuk mempertahankan
individualitas mereka, sedangkan di sisi lain berupaya untuk mengikat diri
mereka dengan Islam yang universal sebagai kekayaan spiritual mereka yang
sangat berharga?
Jadi, secara optimistik sejatinya kondisi
ummat Islam secara umum pada dekade ini tidaklah seburuk kondisi ummat Islam
pada saat kekhalifahan Islam jatuh ke tangan musuh. Namun, jika kita lebih
bersikap introspektif maka akan kita temui bahwa umat Islam kini belum mampu
berprestasi seperti, apalagi mengungguli, prestasi ummat Islam di zaman dulu.
Muslim kini lebih banyak menguasai ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh kebudayaan
dan pandangan hidup Barat. Berikut ini akan diidentifikasi apa akar masalah
yang menggelayuti ummat Islam saat ini dan apa langkah-langkah yang perlu
diprioritaskan untuk segera diambil dalam rangka membangun peradaban Islam.
Identifikasi
Masalah Umat
Salah satu ciri terpenting peradaban Islam
adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Dan ini telah terbukti
bahwa perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim
dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing. Salah satu
pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti adalah merosotnya prestasi
cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun ada
pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Oleh
karena itu, pada dekade ini banyak tokoh cendekiawan dan pemimpin Muslim yang
perduli akan kemunduran ummat Islam yang mencoba menawarkan pemikiran
pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi ummat.
Jika digambarkan secara umum pemikiran
pembaharuan atau pembenahan ummat Islam maka akan kita dapati beberapa
kelompok.
Pertama: Kelompok
cendekiawan yang berusaha memperbaharui bidang sosial dan politik, seperti
misalnya Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Mohammad Rasyid Ridha (1865-1935),
Dr. Abdurrazzaq Sanhuri Pasha (1895-1971), [ketiganya dari Mesir], Abu al-A’la
al-Maududi dan sebagainya.
Kedua: Kelompok
cendekiawan yang menitikberatkan pada pendidikan dan pemahaman ulang ajaran
Islam agar sesuai dengan tantangan modern. Termasuk dalam kelompok ini adalah
Muhammad Abduh (1849-1905), Sir Syed Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan sebagainya.
Di antara kelompok ini (Ahmad Khan, Abduh) berkesimpulan bahwa kelemahan umat
Islam adalah di bidang sains dan teknologi. Untuk mengatasi masalah ini mereka
tidak hanya menempuh jalur pendidikan, tapi menyarankan agar Muslim melakukan
interpretasi ulang agama Islam dengan menekankan aspek intelektual agar ummat
bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru
yang ada di Barat.
Ketiga: Kelompok
cendekiawan yang berusaha membenahi ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam.
Mereka itu adalah Sultan Selim III (1789-1807), Sultan Mahmud II (1807-1839)
hingga ke Pasha Muhammad ‘Ali di Mesir (1803-1849) dan sebagainya. Mereka
menyadari pentingnya pendidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan
karena itu reformasi pendidikan adalah cara yang terbaik untuk membangkitkan
ummat Islam. Mereka malah menekankan bidang militer dan ilmu teknik, yang
kemudian diikuti oleh cabang-cabang ilmu yang lain.
Keempat: Kelompok
cendekiawan yang bergiat mencari konsep-ekonomi Islam dan bahkan di antaranya
mendirikan lembaga-lembaga ekonomi ummat, seperti lembaga keuangan Islam, bank
Islam, ekonomi syariah dsb di antara tokohnya adalah Umer Chapra, Khursyid
Ahmad dsb.
Keempat trend pembaharuan tersebut tidak
dapat dipahami secara rigid, artinya kelompok yang
menekankan politik dipastikan tidak memperhatikan pendidikan, dan kelompok yang
menekankan pembenahan ekonomi tidak memperhatikan pengembangan ilmu
pengetahuan. Muhammad Ali misalnya, selain membenahi pendidikan ia juga
mengembangkan ekonomi dan juga bergerak dalam bidang politik. Pengelompokan di
atas hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa masing-masing kelompok memberi
prioritas kepada bidang tertentu yang menjadi andalannya. Implikasinya akan
dapat dilihat dari langkah-langkah yang diambil dari masing-masing kelompok.
Ada yang bersifat praktis dengan target jangka pendek, ada pula yang strategis
yang dampaknya baru akan dirasakan dalam jangka panjang.
Tidak sepenuhnya berbeda dari
kelompok-kelompok di atas, al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum
Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973, melihat bahwa
kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti
permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan ini. Ia
menyatakan:
Kini
sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi
ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran
kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam
telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang
dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi
pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan
makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan
pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri
yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari
pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.
Apa yang disimpulkan oleh al-Attas di atas
adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu problem yang dihadapi ummat Islam
adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitias
politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masyarakat dan pemimpin,
maka di zaman kita sekarang ini tantangan ekstern dan internnya lebih kompleks
dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa
peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan
dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan
hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi
sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup
adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah pula jika
disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya ilmu
pengetahuan Islam.
Jadi tantangan eksternal ummat Islam dewasa
ini yang berbentuk ilmu pengetahuan itu adalah derasnya arus pemikiran Barat
yang masuk kedalam pemikiran Muslim dalam bentuk konsep-konsep kunci yang sarat
dengan nilai-nalai Barat. Berikut akan dijelaskan problem ekternal dan internal
sekaligus.
Tantangan
Pemikiran dan Dampaknya
Berpegang pada prinsip bahwa ilmu
pengetahuan dan pandangan hidup adalah ujung tombak dan soko guru suatu
peradaban, maka tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu
pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah
peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu
filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen
yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa. Sedangkan Islam adalah peradaban yang
lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan
hidup yang sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan dan dipraktekkan
sehingga membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan
rasional diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan
konsep-konsep yang berguna bagi pembentukan kehidupan yang aman, tenteram dan
damai.
Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari
dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah
aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak
empat abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang
kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad
industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya
pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme,
empirisisme, cara berfikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian
kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut
Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme
liberalisme, sekularisme dan sebagainya.
John Lock, salah seorang filosof Barat
modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan pluralisme
agama adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam
modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim. Sedangkan
postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap
modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari
modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme,
relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender
equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan
sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme,
rasionalisme dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting
peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia. Untuk mempermudah gambaran
tentang peradaban Barat modern dan postmodern berikut diagram tentang
modernisme dan postmodernisme.
Dampak dari paham, aliran dan pemikiran yang
dibawa modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam
(epistemologi) cukup besar. Secara etimologis istilah modernisasi telah
menggantikan istilah tajdid dalam Islam. Secara
epistemologis modernisme dengan rasionalismenya telah mempengaruhi cendekiawan
Muslim untuk menekankan penggunaan rasio – dalam pengertian reason bukan ‘aql – dalam
memahami masalah-masalah keagamaan. Fazlur Rahman misalnya mengakui bahwa kaum
modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan
masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis.
Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada
tokoh cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan
terminologi Islam ia berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu
pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan.
Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub)
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Istilah-istilah yang digunakan adalah murni
Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Banyak
persoalan yang perlu dijelaskan. Jika yang ia maksud modernisasi adalah tajdid, tentu
membawa banyak persoalan. Jika yang ia maksud adalah sekedar peningkatan taraf
hidup Muslim maka ia tidak serta merta berarti taqarrub kepada
Allah. Demikian pula dalam memahami makna rasionalisasi. Ia pisahkan
rasionalisasi dari rasionalisme, yang berarti penggunaan akal. Jika demikian
maka dalam pendapat ini tidak ada yang baru. Al-Qur’an telah memerintahkan
penggunaan akal dalam berbagai ayatnya. Yang diperlukan sekarang bukan hanya
sekedar menggunakan akal, tapi bagaimana konstruk epistemologi Islam yang harus
dibangun. Sebab konsep akal dalam Islam tidak sama dengan rasio dalam
pengertian Barat, dan menggunakan akal atau berfikir (yatafakkar) dalam
al-Qur’an harus dibarengi dengan berzikir menggunakan qalb (yadhkuru).
Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran
Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu
sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah
“menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan
ummat Islam untuk mengukhrawikannya” kemudian diperkuat dengan idenya tentang
“liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam” dengan memandang negatif
tradisi dan kaum tradisionalis. Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey
Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan
tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam
ajaran Islam.
Menurut Nurcholish, konsep tentang dunia
sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan
duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga,
sekularisasi adalah proses penduniawian. Disini Nurcholish seakan akan
ingin agar kehidupan dunia ini tidak dianggap hina dan rendah oleh ummat Islam
sehingga lari dari padanya. Implikasinya tentu ia berharap agar kehidupan dunia
ini dianggap mulia dan tinggi serta harus dihadapi. Tapi ternyata ia justru
memisahkan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya memuliakan dan mennggikan
kehidupan dunia itu. Disini sekularisasi masih berarti pengosongan nilai-nilai
ruhani dari alam materi (disenchantment of nature).
Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat (kata,
kalimat, tanda symbol) yang merupakan manifestasi lahir ataupun batin dari
Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia
memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan.
Sekularisasi justru mendorong orang untuk
tidak menghormati alam dan kehidupan dunia. Telah mengikis dan menghilangkan
hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis
antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia
akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di
atas muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga
demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah
menjadikan manusia ‘menuhankan dirinya’ untuk kemudian berlaku tidak adil
terhadap alam.
Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi
agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan
akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Pembatasan ini tetap saja
bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen
adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja
mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia
mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama
adalah urusan dunia dan akhirat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus.
Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi
sekularisisme (secularizationism).
Sejalan dengan gagasan rasionalisasi dan
sekularisasi Nurcholish Madjid, Dr.Harun Nasution mencanangkan gagasan
rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN.
Berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia
menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies
McGill, Canada dengan thesis berjudul “Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi
Muhammad Abduh”. Latar belakang pendidikannya dan pergaulannya dengan
ulama-ulama di Mesir memperluas pengetahuannya tentang tradisi pemikiran Islam.
Karya-karyanya yang ia tulis setelah kepulangannya dari Canada dijadikan
buku teks terutama dilingkungan IAIN.
Hanya sayangnya ia mengangkat kembali
doktrin teologis Mu’tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash’ariyyah.
Asumsinya bahwa teologi ummat Islam yang dipakai ummat Islam pada kejayaannya
di zaman Abbasiya adalah teologi rasional Mu’tazilah. Ia bahkan mengatakan
bahwa selama ummat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup
fatalistik berdasarkan doktrin Ash’ariyyah, maka hampir mustahil untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash’ariyyah perlu
diganti dengan teologi Mu’tazilah.
Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan
dan tidak berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu’tazilah adalah teologi
yang berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi masih perlu
pembuktian lebih jauh. Sebab setelah al-Mutawakkil, yang bukan Mu’tazilah
berkuasa, peradaban Islam masih terus eksis dan prestasinya lebih baikdari
al-Ma’mun pendukung Mu’tazilah. Al-Hassan menyatakan:
But
with his ortodoxy and fanaticism….al-Mutawakkil like al-Ma’mun was patron of
science and scholarship and re-opened the Dar al-Hikmah, granting fresh
endowment. The best work of translation was done during his regn. He was
generous patron of scientific research. The best work of Dar al-Hikmah was done
under alk-Mutawakkil.
Kritiknya terhadap teologi Ash’ari yang
hanya difokuskan pada qada dan qadar hanya
menunjukkan pembelaan terhadap teologi Mu’tazilah saja. Dan ini lebih cenderung
membatasi pemikiran Islam hanya pada diskursus yang terjadi dalam Kalam. Ini
justru mempersempit Islam itu sendiri. Selain itu gagasan Islam Rasional tidak
mendalam sampai kepada pembahasa tentang arti, peranan dan kedudukan akal dalam
Islam dalam kaitannya dengan wahyu. Dalam salah sub bab dalam bukunya Islam
Rasional yang berjudul: “Masalah Akal dan Akhlak” ia tidak
menjelaskan masalah secara mendalam. Demikian pula dalam bukunya Akal
dan Wahyu dalam Islam, ia banyak mengutip ayat-ayat tentang
pentingnya berfikir rasional dan mengungkapkan berbagai pandangan ulama terdahulu
dan kita hampir tidak dapat menemukan konsep Harun sendiri tentang hubungan
keduanya secara teoritis dan konseptual. Jadi teologi rasionalnya Harun masih
dalam tingkat gagasan dan belum berupa konsep baru apalagi untuk disebut
sebagai Neo-Mu’tazilah.
Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara
eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang
kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution
cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong
menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme,
pluralisme, equality (persamaaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah
terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend
pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan
perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan
opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework
pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang
pernah belajar dengan orientalis di Barat.
Cara berfikir dichotomis yang melihat Islam
dengan pandangan ganda Islam historis-Islam normatif, Islam liberal dan Islam
literal, kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan
kontekstual adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia
Barat. Pendekatan seperti ini pada gilirannya akan mempersulit kita dalam
mengkonseptualisasikan epistemologi Islam dan konsep otoritas dalam Islam.
Terbukti dengan berfikir dichotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin
kritis terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi
secara kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan
Nurcholish bahwa ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan
alasan yang tepat untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada
unsur-unsur dogmatisnya, bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun
aksioma-aksioma itu dipegang melebihi agama.
Walhasil, Upaya-upaya pembaharuan pemikiran
di dunia Islam, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan
gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang menekuni khusus dalam
mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan
gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media. Jika pun ada
komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadahi untuk suatu proyek
pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon
merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung mengkopi konsep-konsep Barat
modern dan postmodern.
Kerancuan di sana sini tidak dapat
dihindarkan. Sebab makna dan tujuan ilmu serta beberapa konsep ilmu yang di
miliki umat Islam itu tercampur oleh pendekatan kebudayaan dan pandangan hidup
Barat. Paham, ide, nilai dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini
bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akibatnya, Muslim berbicara ilmu
pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan menggunakan
pemahaman, nilai, ide, pendekatan dan bahkan terminologi Barat. Konsep yang
dihasilkan, boleh jadi tidak lagi compatible dengan
pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar pemikiran atau konsep tapi
implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan akhirnya akan membentuk
pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah terbaratkan, maka bidang-bidang
lain akan ikut dengan sendirinya.
Untuk itu apa yang diperlukan dalam kajian
Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan
menguasai pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat khususnya tentang
pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar
ummat Islam melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam
konteks kekinian atau kontemporer. Namun masalahnya ummat Islam sendiri masih
menghadapi problem internalnya.
Problem
pendidikan Islam
Selain problem keilmuan yang berasal dari
masuknya konsep-konsep, ide-ide dan paham-paham asing, secara internal ummat
Islam juga memiliki problem yang tidak kalah seriusnya. Problem yang pertama
adalah lemahnya tradisi pengkajian ilmu-ilmu pengetahuan doktrinal maupun
pengetahuan spekulatif. Kelemahan ini mengakibatkan miskinnya konsep-konsep
baru yang rasional sehingga isu-isu yang dibawa oleh kelompok modernis ataupun
rasionalis yang sebenarnya tidak berasal dari tradisi intelektual Islam
dianggap sebagai sesuatu yang baru dan dianggap menyegarkan. Padahal ia lebih
merupakan adopsi dari pandangan Barat ataupun Orientalis yang masih perlu
dikritisi. Tapi lagi-lagi tradisi kritik (naqd) belum
menjadi mekanisme intelektual yang mapan.
Masalah ini menjadi lebih serius lagi jika
dikaitkan dengan pembentukan disiplin ilmu baru dalam Islam. Tradisi mengadakan
kajian dalam satu bidang pemikiran Islam belum bisa tumbuh sebagaimana kajian
dalam bidang ilmu-ilmu sekuler, karena kekurangan sumber daya manusia ataupun
belum wujudnya komunitas untuk itu. Ini berarti keahlian cendekiawan kita masih
belum terklassifikasikan dalam disiplin ilmu tersendiri. Satu konsep dalam satu
bidang kajian masih bercampur campur dengan konsep-konsep dalam bidang lain dan
bahkan konsep-konsep yang diambil dari konsep asing masih belum sempurna
diasimilasikan kedalam pandangan hidup Islam. Nampaknya semua cendekiawan dapat
berbicara tentang semua masalah karena dianggap mengerti semua masalah, sehingga
kita sulit menemukan seorang cendekiawan yang menekuni satu bidang khusus dan
menghasilkan konsep-konsep Baru. Dalam perkembangan selanjutnya ketika
masyarakat ilmiah semakin dewasa dalam memahami Islam spesialisasi dalam suatu
bidang ilmu agama menjadi tuntutan masyarakat yang tidak dapat dihindarkan dan
dari situ akan muncul disiplin ilmu Baru dalam Islam yang lahir dari pandangan
hidup Islam.
Oleh sebab itu, klassifikasi ilmu yang
dicanangkan al-Ghazzali yang berupa fardhu ‘ayn dan fardhu
kifayah dapat dikembangkan dalam konteks kekinian. Ilmu fardhu
‘ayn dapat diartikan sebagai compulsory subject bagi
mahasiswa atau pelajar Muslim yang berupa ilmu-ilmu agama yang asasi tergantung
tingkat pendidikannya. Tingkat universitas misalnya TafsIr,
hadith, syari’ah, teologi (ilmu Kalam), metafisika dapat dimasukkan
kedalam ilmu fardhu ‘ain. Ilmu Fardhu
Kifayah adalah ilmu yang tidak mesti dituntut oleh semua Muslim,
termasuk di dalamnya ilmu manusia, ilmu alam, ilmu terapan, perbandingan agama,
kebudayaan Islam dan Barat, ilmu bahasa dan sastra, sejarah Islam
dsb. Pembagian ilmu fardhu ‘ayn dan fardhu
kifayah ini tidak perlu difahami secara dikhotomis, karena ia
hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat
kebenarannya. Ia harus dilihat dalam perspektif kesatuan integral atau
tauhidi, di mana yang pertama merupakan asas dan rujukan bagi yang
kedua.
Tapi masalahnya dalam kurikulum pendidikan
Islam, pengajaran ilmu-ilmu fardhu ‘ayn yang
berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu berhenti pada
jenjang pendidikan rendah atau menengah dan tidak dilanjutkan pada tingkat
universitas. Konsep hirarki ilmu pengetahuan ilmu fardhu
‘ayn dan fardhu kifayah itu
belum banyak dikenal di kalangan lembaga pendidikan Islam, jikapun dikenal ia
masih banyak disalahpahami atau masih belum dikonseptualisasikan serta
dipraktekkan secara akademis. Pembagian ini perlu ditekankan pada jenjang
perguruan tinggi. Sebab masalahnya berkaitan dengan konsep ilmu (epistemologi).
Untuk mengidentifikasi problem ilmu
pengetahuan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, ada baiknya
dibahas situasi pada 3 institusi pendidikan Islam, yaitu pesantren, madrasah
dan perguruan tinggi Islam.
Sistem
pendidikan pesantren
Pesantren di Indonesia terdiri dari dua
sistem yaitu tradisional dan modern. Keduanya mempunyai missi tafaqquh
fI al-din, artinya lembaga pendidikan yang bertujuan khusus
mempelajari agama. Pada pesantren tradisional missi ini dijabarkan secara
kurikuler dalam bentuk kajian kitab kuning yang
terbatas pada Fiqih, Aqidah, Tata Bahasa Arab, Hadith, Tasawwuf dan Tarekat,
Akhlak, dan Sirah. Sementara itu bagi pesantren modern missi ini diwujudkan
dalam bentuk kurikulum yang diorganisir dengan menyederhanakan kandungan kitab
kuning sehingga bersifat madrasi dan melengkapinya dengan
mata pelajaran ilmu-ilmu yang biasa disebut “ilmu pengetahuan umum”.
Pesantren tradisional yang mengkhususkan
diri pada kajian ilmu fardhu ‘ayn terpaksa
mengorbankan ilmu fardhu kifayah dalam
pengertian ‘ulum al-naqliyyah. Bahkan
kajian ilmu fardhu ‘ayn dengan kekayaan kitabnya
itu belum dapat memainkan perannya yang berarti terhadap kajian disiplin ilmu fardhu
kifayah di lembaga pendidikan Islam lainnya atau pendidikan sekuler.
Selain itu karena kelemahan metodologis pesantren tradisional takhashshush pada
satu bidang ilmu tertentu terlalu kaku, sehingga menyulitkan kerja-kerja
integrasi ilmu fardu ayn dan fardhu
kifayah. Di pesantren ini sangat sedikit sekali, atau bahkan
mungkin tidak ada, kajian ‘ulum al-‘aqliyyah
seperti logika, filsafat, metafisika, kalAm,
kedokteran dan lain-lain. Ringkasnya, secara umum pembagian hirarki ilmu fardhu
‘ayn dan fardhu kifayah tidak
nampak jelas, bahkan ilmu fardhu kifayah yang
melibatkan kajian tentang alam dan hakekat manusia hampir tidak mendapat tempat
dalam kurikulum pesantren tradisional itu sendiri.
Pesantren modern yang memahami tafaqquh
fi al-din dalam bentuk gabungan ilmu fardhu
‘ayn dan fardhu kifayah memang
berhasil memberikan wawasan yang lebih luas dibanding pesantren tradisional,
namun sesungguhnya gabungan itu bukan merupakan hasil integrasi ‘ulum
al-naqliyyah dan ‘ulum al-‘aqilyyah yang
didesain secara konseptual. Mata pelajaran Fisika misalnya masih belum
dikaitkan dengan mata pelajaran Usuluddin, mata pelajaran Sejarah Dunia tidak
mengandung Sejarah Islam atau peranan ummat Islam dalam sejarah dunia dan
sebagainya. Jadi kurikulum pesantren modern bukan merupakan hasil dari konsep
ilmu yang integral, tapi lebih merupakan kajian serempak ilmu fardhu
‘ayn dan fardhu kifayah. Jadi,
masih terbuka kemungkinan akan adanya pandangan dikotomis para santrinya.
Meskipun begitu sebenarnya dengan sistem madrasi-nya
yang mengharuskan pengajaran banyak materi mabadi’ al-‘ulum (ilmu-ilmu
kunci) pesantren modern berpotensi untuk memproduk generalis dan lebih kondusif
untuk menanamkan pandangan hidup Islam dibanding pesantren tradisional. Kedua
sistem pendidikan pesantren ini sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk
diarahkan mengkaji ilmu pengetahuan Islam secara integral. Namun hal itu
tergantung kepada kapasitas kyai, ulama dan asatidhah-nya.
Sistem
Pendidikan Madrasah
Sistem pendidikan madrasah yang dikembangkan
pemerintah sebenarnya diharapkan mampu menciptakan pelajar-pelajar yang
mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
sekaligus. Sistem pendidikan madrasah mulanya didesain sebagai konvergensi
kurikulum pendidikan pondok dan sekolah umum yang sedikit banyak serupa dengan
kurikulum pesantren modern. Namun pengembangan program-program khusus atau
jurusan tertentu yang memisahkan ilmu fardhu ‘ayn dan
ilmu fardhu kifayah dengan tanpa konsep yang
jelas, peran madrasah dalam mengeliminir dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam
semakin tidak nampak. Di sisi lain kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat
dari fakta dimana prestasi kebanyakan murid-murid madrasah dalam bidang
“ilmu-ilmu agama” masih tertinggal jauh dari prestasi santri-santri pondok
pesantren dan dalam bidang “ilmu-ilmu umum” pula mereka tidak bisa mengimbangi
prestasi murid-murid sekolah umum. Selain itu, sejauh ini nampaknya ilmu
pengetahuan umum (sekuler) tidak diajarkan dalam perspektif ilmu agama.
Sistem
Perguruan tinggi Islam
Terlepas dari peran kemasyarakat yang
dimainkan oleh sistem pesantren, kekurangan yang paling menonjol adalah
ketidakmampuan keduanya dalam mengembangkan tingkat tingginya atau perguruan
tingginya. Yakni perguruan tinggi yang khas dibangun sebagai kelanjutan tradisi
intelektual Islam atau sekurang-kurangnya dibangun berdasarkan pada tradisi
keilmuan di pesantren. Padahal dulu hampir semua pesantren memiliki program
tingkat tingginya, yang di pesantren tradisional disebut khawash
dan
di pesantren modern disebut pesantren tinggi, meskipun
tidak dilembagakan secara formal. Program itu kini sudah sangat jarang,
kalaupun tidak boleh dikatakan tidak ada. Kini di beberapa pesantren program
itu telah diganti dengan sekolah tinggi atau institut yang mengikuti kurikulum
Departemen Agama yang sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan kelanjutan dari
kurikulum pesantren. Ada pula pesantren yang mendirikan universitas dengan
fakultas yang mengikuti kurikulum Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dan
produknya tentu yang tidak jauh beda dengan universitas umum. Gagasan dan usaha
untuk menghidupkan program Ma’had ‘Aly
sebagai lanjutan pendidikan pesantren ternyata terhalang oleh kemiskinan konsep
dan sumber daya manusia.
Jenjang pendidikan tinggi dalam bentuk
institut atau universitas yang merupakan lanjutan bagi kajian ilmu-ilmu
keislaman di pesantren nampaknya belum terwujud. Akibatnya khazanah ilmu
pengetahuan Islam tidak dikaji secara intensif, apalagi dikaji dan difahami
dalam konteks kekinian. Di Universitas-universitas Islam fakultas-fakultas
agama (fardhu ‘ayn) tidak berperan menjadi
rujukan atau menjadi asas bagi fakultas-fakultas umum (fardhu
kifayah), ia justru dimarjinalkan. □
Bersambung ke: Membangun Kembali Peradaban Islam3