Thursday, January 19, 2017

Membangun Kembali Peradaban Islam 2





MEMBANGUN KEMBALI PERADABAN ISLAM
Secara Sinergis, simultan dan konsisten (2)

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, MA


Kondisi Ummat Islam


S
etelah perang dunia kedua banyak negara Islam yang telah merdeka dan kemudian mengembangkan kembali ekonomi mereka yang telah hancur. Dengan keterbatasan yang ada sejatinya ekonomi ummat Islam dewasa ini masih berpotensi untuk bangkit. Dengan letak geografis yang menurut Ibn Khaldun ideal, kini negara-negara Islam menduduki daerah-daerah yang kaya minyak dan sumber alam lainnya. Selain itu, ummat Islam masih mampu melahirkan figur-figur pemimpin politik yang handal, pakar-pakar dalam berbagai bidang sains seperti pakar nuklir, pakar industri pesawat terbang, pakar bedah syaraf dunia, peraih hadiah noble bidang fisika dan lain sebagainya. Yang lebih penting lagi adalah bahwa peradaban Islam memiliki sumber rujukan, al-Qur’an dan Hadith yang dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force) yang tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis:

Bangsa-bangsa datang dan pergi. Kerajaan-kerajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers), pembangun peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang mempersatukan mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau tidak cenderung untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan di sisi lain berupaya untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai kekayaan spiritual mereka yang sangat berharga?

   Jadi, secara optimistik sejatinya kondisi ummat Islam secara umum pada dekade ini tidaklah seburuk kondisi ummat Islam pada saat kekhalifahan Islam jatuh ke tangan musuh. Namun, jika kita lebih bersikap introspektif maka akan kita temui bahwa umat Islam kini belum mampu berprestasi seperti, apalagi mengungguli, prestasi ummat Islam di zaman dulu. Muslim kini lebih banyak menguasai ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Berikut ini akan diidentifikasi apa akar masalah yang menggelayuti ummat Islam saat ini dan apa langkah-langkah yang perlu diprioritaskan untuk segera diambil dalam rangka membangun peradaban Islam.

Identifikasi Masalah Umat

   Salah satu ciri terpenting peradaban Islam adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Dan ini telah terbukti bahwa perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing. Salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti adalah merosotnya prestasi cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu, pada dekade ini banyak tokoh cendekiawan dan pemimpin Muslim yang perduli akan kemunduran ummat Islam yang mencoba menawarkan pemikiran pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi ummat.

   Jika digambarkan secara umum pemikiran pembaharuan atau pembenahan ummat Islam maka akan kita dapati beberapa kelompok.

   Pertama: Kelompok cendekiawan yang berusaha memperbaharui bidang sosial dan politik, seperti misalnya Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Mohammad Rasyid Ridha (1865-1935), Dr. Abdurrazzaq Sanhuri Pasha (1895-1971), [ketiganya dari Mesir], Abu al-A’la al-Maududi dan sebagainya.

   Kedua: Kelompok cendekiawan yang menitikberatkan pada pendidikan dan pemahaman ulang ajaran Islam agar sesuai dengan tantangan modern. Termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), Sir Syed Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan sebagainya. Di antara kelompok ini (Ahmad Khan, Abduh) berkesimpulan bahwa kelemahan umat Islam adalah di bidang sains dan teknologi. Untuk mengatasi masalah ini mereka tidak hanya menempuh jalur pendidikan, tapi menyarankan agar Muslim melakukan interpretasi ulang agama Islam dengan menekankan aspek intelektual agar ummat bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru yang ada di Barat.

   Ketiga: Kelompok cendekiawan yang berusaha membenahi ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Mereka itu adalah Sultan Selim III (1789-1807), Sultan Mahmud II (1807-1839) hingga ke Pasha Muhammad ‘Ali di Mesir (1803-1849) dan sebagainya. Mereka menyadari pentingnya pendidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan karena itu reformasi pendidikan adalah cara yang terbaik untuk membangkitkan ummat Islam. Mereka malah menekankan bidang militer dan ilmu teknik, yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang ilmu yang lain.

   Keempat: Kelompok cendekiawan yang bergiat mencari konsep-ekonomi Islam dan bahkan di antaranya mendirikan lembaga-lembaga ekonomi ummat, seperti lembaga keuangan Islam, bank Islam, ekonomi syariah dsb di antara tokohnya adalah Umer Chapra, Khursyid Ahmad dsb.

   Keempat trend pembaharuan tersebut tidak dapat dipahami secara rigid, artinya kelompok yang menekankan politik dipastikan tidak memperhatikan pendidikan, dan kelompok yang menekankan pembenahan ekonomi tidak memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan. Muhammad Ali misalnya, selain membenahi pendidikan ia juga mengembangkan ekonomi dan juga bergerak dalam bidang politik. Pengelompokan di atas hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa masing-masing kelompok memberi prioritas kepada bidang tertentu yang menjadi andalannya. Implikasinya akan dapat dilihat dari langkah-langkah yang diambil dari masing-masing kelompok. Ada yang bersifat praktis dengan target jangka pendek, ada pula yang strategis yang dampaknya baru akan dirasakan dalam jangka panjang.

   Tidak sepenuhnya berbeda dari kelompok-kelompok di atas, al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973, melihat bahwa kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan ini. Ia menyatakan:

Kini sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.

   Apa yang disimpulkan oleh al-Attas di atas adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu problem yang dihadapi ummat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitias politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masyarakat dan pemimpin, maka di zaman kita sekarang ini tantangan ekstern dan internnya lebih kompleks dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.

   Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.

   Jadi tantangan eksternal ummat Islam dewasa ini yang berbentuk ilmu pengetahuan itu adalah derasnya arus pemikiran Barat yang masuk kedalam pemikiran Muslim dalam bentuk konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nalai Barat. Berikut akan dijelaskan problem ekternal dan internal sekaligus.

Tantangan Pemikiran dan Dampaknya

   Berpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan pandangan hidup adalah ujung tombak dan soko guru suatu peradaban, maka tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa. Sedangkan Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan dan dipraktekkan sehingga membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan konsep-konsep yang berguna bagi pembentukan kehidupan yang aman, tenteram dan damai.

   Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya.

   John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan pluralisme agama adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim. Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia. Untuk mempermudah gambaran tentang peradaban Barat modern dan postmodern berikut diagram tentang modernisme dan postmodernisme.

   Dampak dari paham, aliran dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam (epistemologi) cukup besar. Secara etimologis istilah modernisasi telah menggantikan istilah tajdid dalam Islam. Secara epistemologis modernisme dengan rasionalismenya telah mempengaruhi cendekiawan Muslim untuk menekankan penggunaan rasio – dalam pengertian reason bukan ‘aql – dalam memahami masalah-masalah keagamaan. Fazlur Rahman misalnya mengakui bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis.

   Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada tokoh cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam ia berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa.

   Istilah-istilah yang digunakan adalah murni Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Banyak persoalan yang perlu dijelaskan. Jika yang ia maksud modernisasi adalah tajdid, tentu membawa banyak persoalan. Jika yang ia maksud adalah sekedar peningkatan taraf hidup Muslim maka ia tidak serta merta berarti taqarrub kepada Allah. Demikian pula dalam memahami makna rasionalisasi. Ia pisahkan rasionalisasi dari rasionalisme, yang berarti penggunaan akal. Jika demikian maka dalam pendapat ini tidak ada yang baru. Al-Qur’an telah memerintahkan penggunaan akal dalam berbagai ayatnya. Yang diperlukan sekarang bukan hanya sekedar menggunakan akal, tapi bagaimana konstruk epistemologi Islam yang harus dibangun. Sebab konsep akal dalam Islam tidak sama dengan rasio dalam pengertian Barat, dan menggunakan akal atau berfikir (yatafakkar) dalam al-Qur’an harus dibarengi dengan berzikir menggunakan qalb (yadhkuru).

   Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah “menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya” kemudian diperkuat dengan idenya tentang “liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam” dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis. Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam.

   Menurut Nurcholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian. Disini Nurcholish seakan akan ingin agar kehidupan dunia ini tidak dianggap hina dan rendah oleh ummat Islam sehingga lari dari padanya. Implikasinya tentu ia berharap agar kehidupan dunia ini dianggap mulia dan tinggi serta harus dihadapi. Tapi ternyata ia justru memisahkan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya memuliakan dan mennggikan kehidupan dunia itu. Disini sekularisasi masih berarti pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam materi (disenchantment of nature). Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat (kata, kalimat, tanda symbol) yang merupakan manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan.

   Sekularisasi justru mendorong orang untuk tidak menghormati alam dan kehidupan dunia. Telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di atas muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia ‘menuhankan dirinya’ untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam.

   Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akhirat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisisme (secularizationism).

   Sejalan dengan gagasan rasionalisasi dan sekularisasi Nurcholish Madjid, Dr.Harun Nasution mencanangkan gagasan rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Canada dengan thesis berjudul “Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”. Latar belakang pendidikannya dan pergaulannya dengan ulama-ulama di Mesir memperluas pengetahuannya tentang tradisi pemikiran Islam. Karya-karyanya  yang ia tulis setelah kepulangannya dari Canada dijadikan buku teks terutama dilingkungan IAIN.

   Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologis Mu’tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash’ariyyah. Asumsinya bahwa teologi ummat Islam yang dipakai ummat Islam pada kejayaannya di zaman Abbasiya adalah teologi rasional Mu’tazilah. Ia bahkan mengatakan bahwa selama ummat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash’ariyyah, maka hampir mustahil untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash’ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu’tazilah.

   Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan dan tidak berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu’tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi masih perlu pembuktian lebih jauh. Sebab setelah al-Mutawakkil, yang bukan Mu’tazilah berkuasa, peradaban Islam masih terus eksis dan prestasinya lebih baikdari al-Ma’mun pendukung Mu’tazilah. Al-Hassan menyatakan:

But with his ortodoxy and fanaticism….al-Mutawakkil like al-Ma’mun was patron of science and scholarship and re-opened the Dar al-Hikmah, granting fresh endowment. The best work of translation was done during his regn. He was generous patron of scientific research. The best work of Dar al-Hikmah was done under alk-Mutawakkil.

   Kritiknya terhadap teologi Ash’ari yang hanya difokuskan pada qada dan qadar hanya menunjukkan pembelaan terhadap teologi Mu’tazilah saja. Dan ini lebih cenderung membatasi pemikiran Islam hanya pada diskursus yang terjadi dalam Kalam. Ini justru mempersempit Islam itu sendiri. Selain itu gagasan Islam Rasional tidak mendalam sampai kepada pembahasa tentang arti, peranan dan kedudukan akal dalam Islam dalam kaitannya dengan wahyu. Dalam salah sub bab dalam bukunya Islam Rasional yang berjudul: “Masalah Akal dan Akhlak” ia tidak menjelaskan masalah secara mendalam. Demikian pula dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam, ia banyak mengutip ayat-ayat tentang pentingnya berfikir rasional dan mengungkapkan berbagai pandangan ulama terdahulu dan kita hampir tidak dapat menemukan konsep Harun sendiri tentang hubungan keduanya secara teoritis dan konseptual. Jadi teologi rasionalnya Harun masih dalam tingkat gagasan dan belum berupa konsep baru apalagi untuk disebut sebagai Neo-Mu’tazilah.

   Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme, pluralisme, equality (persamaaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi  framework pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan orientalis di Barat.

   Cara berfikir dichotomis yang melihat Islam dengan pandangan ganda Islam historis-Islam normatif, Islam liberal dan Islam literal, kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan kontekstual adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia Barat. Pendekatan seperti ini pada gilirannya akan mempersulit kita dalam mengkonseptualisasikan epistemologi Islam dan konsep otoritas dalam Islam. Terbukti dengan berfikir dichotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin kritis terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi secara kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan Nurcholish bahwa ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan alasan yang tepat untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur dogmatisnya, bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun aksioma-aksioma itu dipegang melebihi agama.

   Walhasil, Upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang menekuni khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media. Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadahi untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung mengkopi konsep-konsep Barat modern dan postmodern.

   Kerancuan di sana sini tidak dapat dihindarkan. Sebab makna dan tujuan ilmu serta beberapa konsep ilmu yang di miliki umat Islam itu tercampur oleh pendekatan kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Paham, ide, nilai dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akibatnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan menggunakan pemahaman, nilai, ide, pendekatan dan bahkan terminologi Barat. Konsep yang dihasilkan, boleh jadi tidak lagi compatible dengan pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar pemikiran atau konsep tapi implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan akhirnya akan membentuk pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah terbaratkan, maka bidang-bidang lain akan ikut dengan sendirinya.

   Untuk itu apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian atau kontemporer. Namun masalahnya ummat Islam sendiri masih menghadapi problem internalnya.

Problem pendidikan Islam

   Selain problem keilmuan yang berasal dari masuknya konsep-konsep, ide-ide dan paham-paham asing, secara internal ummat Islam juga memiliki problem yang tidak kalah seriusnya. Problem yang pertama adalah lemahnya tradisi pengkajian ilmu-ilmu pengetahuan doktrinal maupun pengetahuan spekulatif. Kelemahan ini mengakibatkan miskinnya konsep-konsep baru yang rasional sehingga isu-isu yang dibawa oleh kelompok modernis ataupun rasionalis yang sebenarnya tidak berasal dari tradisi intelektual Islam dianggap sebagai sesuatu yang baru dan dianggap menyegarkan. Padahal ia lebih merupakan adopsi dari pandangan Barat ataupun Orientalis yang masih perlu dikritisi. Tapi lagi-lagi tradisi kritik (naqd) belum menjadi mekanisme intelektual yang mapan.

   Masalah ini menjadi lebih serius lagi jika dikaitkan dengan pembentukan disiplin ilmu baru dalam Islam. Tradisi mengadakan kajian dalam satu bidang pemikiran Islam belum bisa tumbuh sebagaimana kajian dalam bidang ilmu-ilmu sekuler, karena kekurangan sumber daya manusia ataupun belum wujudnya komunitas untuk itu. Ini berarti keahlian cendekiawan kita masih belum terklassifikasikan dalam disiplin ilmu tersendiri. Satu konsep dalam satu bidang kajian masih bercampur campur dengan konsep-konsep dalam bidang lain dan bahkan konsep-konsep yang diambil dari konsep asing masih belum sempurna diasimilasikan kedalam pandangan hidup Islam. Nampaknya semua cendekiawan dapat berbicara tentang semua masalah karena dianggap mengerti semua masalah, sehingga kita sulit menemukan seorang cendekiawan yang menekuni satu bidang khusus dan menghasilkan konsep-konsep Baru. Dalam perkembangan selanjutnya ketika masyarakat ilmiah semakin dewasa dalam memahami Islam spesialisasi dalam suatu bidang ilmu agama menjadi tuntutan masyarakat yang tidak dapat dihindarkan dan dari situ akan muncul disiplin ilmu Baru dalam Islam yang lahir dari pandangan hidup Islam.

   Oleh sebab itu, klassifikasi ilmu yang dicanangkan al-Ghazzali yang berupa fardhu ‘ayn dan fardhu kifayah dapat dikembangkan dalam konteks kekinian. Ilmu fardhu ‘ayn dapat diartikan sebagai compulsory subject bagi mahasiswa atau pelajar Muslim yang berupa ilmu-ilmu agama yang asasi tergantung tingkat pendidikannya. Tingkat universitas misalnya TafsIr, hadith, syari’ah, teologi (ilmu Kalam), metafisika dapat dimasukkan kedalam ilmu fardhu ‘ain. Ilmu Fardhu Kifayah adalah ilmu yang tidak mesti dituntut oleh semua Muslim, termasuk di dalamnya ilmu manusia, ilmu alam, ilmu terapan, perbandingan agama, kebudayaan Islam dan Barat, ilmu bahasa dan sastra, sejarah Islam dsb. Pembagian ilmu fardhu ‘ayn dan fardhu kifayah ini tidak perlu difahami secara dikhotomis, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat kebenarannya. Ia harus dilihat dalam perspektif kesatuan integral atau tauhidi, di mana yang pertama merupakan asas dan rujukan bagi yang kedua.

   Tapi masalahnya dalam kurikulum pendidikan Islam, pengajaran ilmu-ilmu fardhu ‘ayn yang berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu berhenti pada jenjang pendidikan rendah atau menengah dan tidak dilanjutkan pada tingkat universitas. Konsep hirarki ilmu pengetahuan ilmu fardhu ‘ayn dan fardhu kifayah itu belum banyak dikenal di kalangan lembaga pendidikan Islam, jikapun dikenal ia masih banyak disalahpahami atau masih belum dikonseptualisasikan serta dipraktekkan secara akademis. Pembagian ini perlu ditekankan pada jenjang perguruan tinggi. Sebab masalahnya berkaitan dengan konsep ilmu (epistemologi).

   Untuk mengidentifikasi problem ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, ada baiknya dibahas situasi pada 3 institusi pendidikan Islam, yaitu pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam.

Sistem pendidikan pesantren  

   Pesantren di Indonesia terdiri dari dua sistem yaitu tradisional dan modern. Keduanya mempunyai missi tafaqquh fI al-din, artinya lembaga pendidikan yang bertujuan khusus mempelajari agama. Pada pesantren tradisional missi ini dijabarkan secara kurikuler dalam bentuk kajian kitab kuning yang terbatas pada Fiqih, Aqidah, Tata Bahasa Arab, Hadith, Tasawwuf dan Tarekat, Akhlak, dan Sirah. Sementara itu bagi pesantren modern missi ini diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang diorganisir dengan menyederhanakan kandungan kitab kuning sehingga bersifat madrasi dan melengkapinya dengan mata pelajaran ilmu-ilmu yang biasa disebut “ilmu pengetahuan umum”.

   Pesantren tradisional yang mengkhususkan diri pada kajian ilmu fardhu ‘ayn terpaksa mengorbankan ilmu fardhu kifayah dalam pengertian ‘ulum al-naqliyyah. Bahkan kajian ilmu fardhu ‘ayn dengan kekayaan kitabnya itu belum dapat memainkan perannya yang berarti terhadap kajian disiplin ilmu fardhu kifayah di lembaga pendidikan Islam lainnya atau pendidikan sekuler. Selain itu karena kelemahan metodologis pesantren tradisional takhashshush pada satu bidang ilmu tertentu terlalu kaku, sehingga menyulitkan kerja-kerja integrasi ilmu fardu ayn dan fardhu kifayah. Di pesantren ini sangat sedikit sekali, atau bahkan mungkin tidak ada, kajian ‘ulum al-‘aqliyyah seperti logika, filsafat, metafisika, kalAm, kedokteran dan lain-lain. Ringkasnya, secara umum pembagian hirarki ilmu fardhu ‘ayn dan fardhu kifayah tidak nampak jelas, bahkan ilmu fardhu kifayah yang melibatkan kajian tentang alam dan hakekat manusia hampir tidak mendapat tempat dalam kurikulum pesantren tradisional itu sendiri.

   Pesantren modern yang memahami tafaqquh fi al-din dalam bentuk gabungan ilmu fardhu ‘ayn dan fardhu kifayah memang berhasil memberikan wawasan yang lebih luas dibanding pesantren tradisional, namun sesungguhnya gabungan itu bukan merupakan hasil integrasi ‘ulum al-naqliyyah dan ‘ulum al-‘aqilyyah yang didesain secara konseptual. Mata pelajaran Fisika misalnya masih belum dikaitkan dengan mata pelajaran Usuluddin, mata pelajaran Sejarah Dunia tidak mengandung Sejarah Islam atau peranan ummat Islam dalam sejarah dunia dan sebagainya. Jadi kurikulum pesantren modern bukan merupakan hasil dari konsep ilmu yang integral, tapi lebih merupakan kajian serempak ilmu fardhu ‘ayn dan fardhu kifayah. Jadi, masih terbuka kemungkinan akan adanya pandangan dikotomis para santrinya. Meskipun begitu sebenarnya dengan sistem madrasi-nya yang mengharuskan pengajaran banyak materi mabadi’ al-‘ulum (ilmu-ilmu kunci) pesantren modern berpotensi untuk memproduk generalis dan lebih kondusif untuk menanamkan pandangan hidup Islam dibanding pesantren tradisional. Kedua sistem pendidikan pesantren ini sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk diarahkan mengkaji ilmu pengetahuan Islam secara integral. Namun hal itu tergantung kepada kapasitas kyai, ulama dan asatidhah-nya.

Sistem Pendidikan Madrasah

   Sistem pendidikan madrasah yang dikembangkan pemerintah sebenarnya diharapkan mampu menciptakan pelajar-pelajar yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sekaligus. Sistem pendidikan madrasah mulanya didesain sebagai konvergensi kurikulum pendidikan pondok dan sekolah umum yang sedikit banyak serupa dengan kurikulum pesantren modern. Namun pengembangan program-program khusus atau jurusan tertentu yang memisahkan ilmu fardhu ‘ayn dan ilmu fardhu kifayah dengan tanpa konsep yang jelas, peran madrasah dalam mengeliminir dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam semakin tidak nampak. Di sisi lain kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat dari fakta dimana prestasi kebanyakan murid-murid madrasah dalam bidang “ilmu-ilmu agama” masih tertinggal jauh dari prestasi santri-santri pondok pesantren dan dalam bidang “ilmu-ilmu umum” pula mereka tidak bisa mengimbangi prestasi murid-murid sekolah umum. Selain itu, sejauh ini nampaknya ilmu pengetahuan umum (sekuler) tidak diajarkan dalam perspektif ilmu agama.

Sistem Perguruan tinggi Islam

   Terlepas dari peran kemasyarakat yang dimainkan oleh sistem pesantren, kekurangan yang paling menonjol adalah ketidakmampuan keduanya dalam mengembangkan tingkat tingginya atau perguruan tingginya. Yakni perguruan tinggi yang khas dibangun sebagai kelanjutan tradisi intelektual Islam atau sekurang-kurangnya dibangun berdasarkan pada tradisi keilmuan di pesantren. Padahal dulu hampir semua pesantren memiliki program tingkat tingginya, yang di pesantren tradisional disebut khawash dan di pesantren modern disebut pesantren tinggi, meskipun tidak dilembagakan secara formal. Program itu kini sudah sangat jarang, kalaupun tidak boleh dikatakan tidak ada. Kini di beberapa pesantren program itu telah diganti dengan sekolah tinggi atau institut yang mengikuti kurikulum Departemen Agama yang sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan kelanjutan dari kurikulum pesantren. Ada pula pesantren yang mendirikan universitas dengan fakultas yang mengikuti kurikulum Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dan produknya tentu yang tidak jauh beda dengan universitas umum. Gagasan dan usaha untuk menghidupkan program Ma’had ‘Aly sebagai lanjutan pendidikan pesantren ternyata terhalang oleh kemiskinan konsep dan sumber daya manusia.

   Jenjang pendidikan tinggi dalam bentuk institut atau universitas yang merupakan lanjutan bagi kajian ilmu-ilmu keislaman di pesantren nampaknya belum terwujud. Akibatnya khazanah ilmu pengetahuan Islam tidak dikaji secara intensif, apalagi dikaji dan difahami dalam konteks kekinian. Di Universitas-universitas Islam fakultas-fakultas agama (fardhu ‘ayn) tidak berperan menjadi rujukan atau menjadi asas bagi fakultas-fakultas umum (fardhu kifayah), ia justru dimarjinalkan.