Kata Pengantar
Penulisan yang menyangkut dengan dīnul Islam bukanlah apa yang kita pikirkan, melainkan apa sebenarnya yang dimaksudkan dīnul Islam yang dengan itu kita pikirkan dan tuliskan.
A. Faisal Marzuki
Biasanya penulis menulis di blog ini, panjang-panjang. Penulis
menggunakan facebook hanya media
pengantar blog untuk dibaca. Cara penulisan panjang-panjang (yang memang tidak
bisa dipendek-pendekkan - sesuai dengan tajuknya). Cara ini ada yang “kurang
menyenangi”. Katanya, karena terlalu panjang dan kalau menggunakan gadgets smartphone bacanya menjadi tidak
praktis. Tapi ada pula yang berkomentar: “Saya suka tulisannya, maka saya baca”.
Komentar lain: “Saya baca tulisannya, tapi belum semua, di lain waktu saja,
tunggu waktu yang luang”. Ada lagi yang komentar begini katanya: “Bang tulisan
abang itu bagus dan saya suka, tapi bang tidak semua orang suka baca”. “Tingkat
pemikirannya belum sampai kesana”, imbuhnya. Demikianlah berbagai komentar dan keluhan
mereka yang berdialog dengan penulis. Kendatipun begitu penulis terus menulis.
Beruntungnya dengan menggunakan blog ini kita dapat
mengetahuinya dari negara-negara mana saja yang membacanya dan berapa banyak orang yang membacanya. Kita bisa juga melihat tulisan mana saja
dibaca, disertai dengan angka statistiknya dalam harian, mingguan, bulanan dan
tahunan. Alhamdulillah serasa “jerih payah” ini terobati, karena banyak dibaca publik. Penulisan ini
disemangati dan dimotivasi dari sebuah Hadits sebagai berikut: Dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً - ballaghū ‘anniy wa law ayah - “Sampaikanlah
dariku walau hanya satu ayat” (HR Bukhari).
Walaupun begitu, penulis membatasi hanya yang bersifat habblum minan nās kalaupun ibadah adalah
ibadah ghaira mahdhah dengan
ayat-ayat kauniyahnya yang berisi science
- ilmu pengetahuan, sosiologis, sejarah, lingkungan hidup (ekosistim) dan lain-lainnya.
Tidak dalam aspek hukum dan fikih yang membutuhkan keahlian khusus dan pengetahuan
khusus serta jenjang pendidikan khusus serta alat-alat analisa khusus dan sangat menguasainya. Untuk hal yang
terakhir ini penulis hanya “sami’na wa
a’thona”
Kalau
penulis menulis panjang supaya jelas dari a sampai z. Karena sering kali yang dikenal pengetahuan
Islam hanya di sekitar ritual agama saja, yang lainnya kurang. Dengan itu
tulisannya menjadi panjang, karena menerangkan bukan hanya Islam dalam tinjaun
“hamblum minAllāh”- ibadah mahdhah,
tapi meliputi pula “habblum minan nās”
- ibadah ghaira mahdhah. Malah dua pertiganya isi al-Qur’an menyangkut masalah “habblum minan nās”. [1]
Baiklah, publik (di IMAAM dan masyarakat Indonesia lainnya) di negara bagian
Maryland, Virginia, dan Washington District of Columbia berkehendak tulisannya
“jangan yang detail lagi panjang?” Namun tak terelakkan, tulisan detail dan panjang ini tetap penulis buat, karena esensinya
membutuhkan uraian panjang dalam artian memudahkan alur paparan berjalan dengan sejelas mungkin, dan diusahakan agar mudah dimengerti dan selanjutnya dilaksanakan
ajaran-Nya. Namun tulisan pendek ditulis juga melalui media facebook (tidak
melalui blog). Ternyata yang pendek ini terutama pada tajuk "Orientasi
Hidup Seorang Muslim" mendapatkan tanggapan dalam comment yang
luar biasa. Melebihi hampir tiga kali lipat tulisan pokoknya. Ini menandakan
persoalan-persoalan agama yang diketengahkan itu sangat “esensial” sekali. Kemudian
secara terpisah penulis mendapat tanggapan yang luar biasa dalam bentuk tulisannya
panjang lagi. Uraiannya sangat antusias, “explicit” dan baik sekali
untuk diketengahkan. Nah kesimpulannya penulis akan menulis panjang lagi dengan
memasukkan kiriman tulisan dari bang Kasiarudin Jalil (penulis telah minta izin
memasukkan tulisan itu). Karena jangan sampai tulisan dalam tajuk “Orientasi
Hidup Seorang Muslim” ini membuat pembaca jadi bisa “keliru” tangkap dari makna
yang seharusnya. Insya Allah penulis angkat
ke blog ini. Tajuk blog adalah “Membedah Makna Orientasi Hidup Seorang Muslim”.
Sesungguhnya, penulisan yang menyangkut dengan dīnul Islam bukanlah apa yang kita pikirkan, melainkan apa
sebenarnya yang dimaksudkan dīnul Islam
yang dengan itu kita pikirkan dan tuliskan.
Terakhir
penulis mengucapkan banyak terima kasih kapada bang Kasiarudin Jalil atas
kiriman tulisan Ustadz Umar Mansur Ar Rahimy terkait dengan tajuk
'Beribadah Tanpa Pamrih'. “Mudah-mudahan ada perbandingan dan sandingan tulisan
Abang Faisal 'Orientasi Hidup Seorang Muslim'”, demikian ucapan pengantar bang
Kasiarudin Jalil. Begitu pula bang Adzwan Di yang banyak sekali mengomentari yang sifat "provokatif" positif dalam rasa ingin taunya kuat. Juga kepada bang Dutamardin Umar yang mengomentari: "Bagus nih bang Faisal, tidak terlalu panjang. []
ORIENTASI HIDUP SEORANG MUSLIM
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, ● tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia,
● dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, ● dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak
menyukai kerusakan. [QS al-Qashash
28:77]
K
|
unci kemajuan, artinya adalah, membawa suatu wilayah
(komunitas, negara, antar negara) bersama warga masyarakat yang ada didalamnya menjadi
sejahtera, maju dan jaya, namun dalam pencapaiannya tidaklah mudah. Disamping memerlukan
kerja keras, diperlukan pula kematangan (mature,
dewasa) para warga masyarakatnya. Mereka mesti tahu orientasi hidupnya kemana.
Dengan orientasi yang telah diketahuinya itu seperti tersebut dalam surat al-Qashash
ayat 77, perlu dimasyarakatkan (disebar luaskan) yang isinya dalam bahasa
Indonesianya sebagai berikut:
“Dan
carilah (pahala) negeri akhirat [2] dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, [3] ● tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, [4] ● dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, [5] ● dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. [6] Sungguh Allah
tidak menyukai kerusakan.”
Atau
terjemahan perkatanya dari bahasa Arab - yang huruf Arabnya dituliskan dalam abjad Latin,
disertai arti dalam bahasa Indonesianya sebagai berikut:
“wabtaghi (dan carilah) - fīmā
(pada apa yang) - ātākallāhu (Allah berikan kepadamu) - addāra (kampung, kampung
halaman, village) - al
ākhirata (akhirat) - wa lā tansa (dan janganlah kamu
lupa) - nashībaka (bagianmu) - minad dunyā ( dari dunia, di dunia)
- wa ahsin (dan berbuat baiklah) - kamā
(sebagaimana) - ahsanallāhu (Allah telah berbuat baik) - ilayka (kepadamu) - wa lā
tabghi (dan janganlah berbuat) - alfasāda (kerusakan) -fil
ardhi (di bumi) - innallāha (sesungguhnya Allah) - lā
yuhibbu (tidak menyukai) - almufsidīn (orang-orang yang membuat
kerusakan).
Tidak sampai disitu saja, tapi juga memerlukan kesinambungan,
konsistensi, kebersamaan, kesepahaman, kesabaran, keikhlasan dan dalam
penegakkannya. Selanjutnya yang paling utama, perlu pula
akhlak integritas serta moralitas, dan ini harus terus ditingkatkan serta
dimantapkan. Tanpa akhlak integritas serta moralitas, boleh-boleh saja akan terjadi: Lain kata lain tindakan; Seharusnya berbuat untuk publik masyarakat yang dipimpimnya tapi lebih dulu untuk kepentingan pribadi dan golongannya; Semestinya bekerja untuk kepentingan nasional, tapi orang luar yang diuntungkan; Berjanji dengan sumpah, tapi tidak lagi konsisten dengan janji atau sumpahnya - Maaf, kekayaan negara dan rakyat warga negaranya dijadikan sumber pemerasan. Ini yang akan terjadi tanpa adanya akhlak integritas dan moralitas.
Dengan orientasi, semangat serta telah mempunyai “kunci”
seperti tersebut diatas, disertai adanya partisipasi dan koneksifitas positif
antara sesama warga dan manajemen atau administratif pemerintahan, serta akhlak integritas dan moralitas ditegakkan, Insya Allah,
Yang Maha Kuasa akan mendatangkan ridha-Nya yang membawa kemajuannya sebagai realisasi
dari do’a yang selalu diucapkan setiap Muslim "Rabbanā ātina fid dun-yā hasanataw, wa fil ākhirati
hasanataw, wa qinā ‘adzāban nār - Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan (pula) di akhirat dan
peliharalah kami dari azab neraka, QS al-Baqarah ayat 2:201. Insya Allah
sebagai mana peringatan dalam firman-Nya: “Lahā mā kasabat wa 'alaihā maktasabat”
- Dia (manusia) mandapat pahala (dan kenikmatan hidup dunia dan akhirat) dari
kebajikan (“kunci”) yang di kerjakan (dipakai), dan dia (manusia) mendapat
(siksa, ketidak sejahteraan hidup dunia dan akhirat) dari (kejahatan,
mismanagement, lalai dalam beribadah mahdah dan ghaira mahdah) yang
diperbuatnya, QS al-Baqarah 2:286.
Demikianlah semoga bermanfaat atas pentadabburan kita dari
ayat 77 surat al-Qashash. Dengan dikaitkan kepada ayat-ayat
201 dan 286 dari surat al-Baqarah, maka
tujuan hidup muslim hidup di dunia semakin jelas. Yaitu, membawa kebaikan serta
kemajuan umat Muslim baik dan umat lainnya (Islam sebagai rahmatan lil’alamin) baik di dunia, maupun
kelak di akhirat bagi yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Billahit Taufiq wal Hidayah. [Faisal
Marzuki]
Penjelasan
Istilah dan Ayat:
[1] “Habblum minan Nās”.
Hubungan sesama manusia menjadi kewajiban kita disamping “Habblum minAllāh”. Kedudukan “Habblum
minan Nās” sebagaimana yang peringatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah disampaikan beliau secara
serius dalam salah satu khutbahnya:
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah subhana wa ta’ala berfirman kepadamu: Anjurkanlah olehmu berbuat
baik (murū bilma’rūf) dan laranglah perbuatan yang munkar (wanhaw ‘anil
munkari), agar jangan datang suatu saat dimana kamu berdo’a tetapi Aku (Allah)
tidak menjawab do’amu; kamu meminta tetapi Aku (Allah) tidak kabulkan; kamu
memohon pertolongan, tetapi Aku (Allah) tidak memberi pertolongan.”
Itulah jawab-Nya! Itulah yang menyebabkan pintu do’a jadi
tertutup. Bukan karena melalaikan hubungan dengan Allah secara konvensional,
seperti shalat, shiyam dan sebagainya, akan tetapi karena meremehkan hubungan
sesama manusia - “habblum minan nās”, sebagai anggota masyarakat yang turut bertanggung jawab atas
keselamatan hidup bermasyarakat (habblum minan nās) itu sendiri. Yakni tugas
“Amar Ma’ruf (Agent of Development) dan Nahi Munkar (Agent of Change)”. Tugas: “Menegakkan Kebajikan, memberantas
kemunkaran”. Itulah posisi dan itulah peranan duniawi umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjadi “shibghah” (identitas) bagi kepribadian Umat Islam.
[2] “Dan carilah (pahala) negeri akhirat”.
Maksud penggalan pertama ayat 77 dari surat ke-28, surat al-Qashash ini adalah,
untuk masalah akhirat kita tidak boleh berpangku tangan saja, sementara dunia
kita cari dengan sangat giatnya.
Memang
masalah-masalah yang menyangkut dengan dunia “abstact” seperti hari “akhirat”
sulit di tangkap kalau hati dan kesadaran di diri kita tidak digunakan atau
dibangkitkan, ketimbang dorongan naluri "mempertahankan diri" dan mengejar
“kemewahan” hidup yang secara otomatis (tanpa disuruh-suruh) bekerja dengan sendirinya dalam hal yang menyangkut kebutuhan makan, minum,
pakaian, pemondokan, alat transportosi, pekerjaan, uang, perhiasan dst,
dst-nya.
Pernah
ada orang tua kewalahan terhadap pertanyaan anaknya: “Untuk apa kita shalat,
toh tanpa itu kita hidup”. Anak ini tidak sadar bahwa manusia tidak akan hidup
selamanya. Bahwa setelah “mati” manusia nantinya diminta pertanggungan jawab
dari apa saja yang dilakukan selama hidup di dunia. Apa pernah dalam menjalani
hidupnya merugikan orang lain dan membuat kerusakan di muka bumi? Bahkan
melupakan nikmat yang diberikan oleh Pencipta-nya berikut lingkungan hidup yang asri serta alam
semesta ini yang mendukung kehidupan di bumi, tanpa bersyukur kepada-Nya melalui iman, ibadah dan berbuat kebajikan (baik yang bermanfaat).
Bahwasanya
apa yang menjadi perbuatannya di dunia mempunyai efek kepada kehidupan kini dan hari
akhir nanti. Juga karena sifat hubungan manusia dengan alam dunia yang membawa kesejahteraan hidup atau kah kesengsaraan hidup. Dan alam akhirat seperti Surga
dan Neraka-kah yang diperoleh di hari Pembalasan? Mesti diajari juga - sebagai
keyakinan hidup. Tuhan, selaku Pencipta dan Pemelihara serta Penyedia fasilitas
hidup manusia dan lingkungan hidup serta alam semesta, kehadiran-Nya mesti
diketahui. Perintahnya mesti ikuti. Larangannya jangan dikerjakan. Dan menjaga
hubungan baik dengan Allah Tuhan Pencipta melalui Shalat dan ibadah-ibadah yang lain yang kelak akan
mendatangkan petunjuk dan berkah dalam menjalankan kehidupan tidak di dunia
saja, tapi di akhirat juga sebagai pelabuhan terakhir dari kehidupan ini.
Bahwa
Allah Maha Pencipta menurunkan aturan-aturan hidup, sebagai mana kotapraja atau
negara menurun peraturan dan undang-undang (hukum) seperti membayar pajak dan
mengikuti peraturan-peraturannya. Bagi pelanggar-pelanggar aturan hukum akan kena
hukum denda, masuk penjara, bahkan hukuman mati bagi pelanggarnya - tergantung seberapa besar dan jenis pelanggaran hukum yang dilakukannya. Maksud itu
semua adalah agar ada ketertiban dari anggota masyarakat di suatu kota dan desa
atau negara. Begitu pula Tuhan Pencipta Pemelihara kehidupan manusia di alam
semesta ini.
Rukun
Iman dan Rukun Islam, al-Qur’an, Al-Hadits dan kitab-kitab agama lainnya mesti
dipelajari dan pengetahuan yang didapat mesti dilaksanakan disamping pengetahuan umum (kauniyah dan muamalah). Semua itu mempunyai
efek bagi manusia. Kalihatannya “abstrak” atau dalam bahasa agama “ghaib”.
Ghaib tidak kelihatan dan tidak bisa diraba, bukan berarti tidak ada, tapi ada.
Contoh kalau kita memandang langit atmosfir bumi yang kita lihat biru dan ada awannya pada siang hari. Science bisa bercerita
lebih dari sekedar yang kita sebutkan itu. Jadi, apa yang disebut “abstrak”
atau “ghaib”, bukan tidak ada, tapi ada. Dunia maya. Dimana file facebook atau blog atau Whatsup
atau Youtube, berada dimana, kita tidak tahu, atau tidak bisa diraba dengan tangan, dan tidak bisa dilihat dengan mata secara fisik.
Yang kita tahu, kalau ada smartphone
atau Ipad dan Komputer bisa kita akses. Begitu pula ajaran Islam dalam shalat,
do’a, dzikir, sedekah, membantu seseorang, berbuat kebajikan lainnya, dst, dst, banyak manfaatnya, dan berpengaruh positif di diri kita, tapi sering kita tidak sadari.
[3] “dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu”. Yang dianugerah-kan kepada kita dapat diketahui
melalui firman-Nya dalam surat As-Sajdah surat ke-32 ayat 19: “… dan Dia
(Allah) menjadikan kamu pendengaran - yaitu daya simak dari apa yang didengar;
penglihatan - yaitu daya memahami apa yang dilihat; hati - yaitu daya kesadaran, merasakan,
dan menghayati, dari apa yang didengar oleh telinga, dan apa yang dilihat oleh
mata). (Tetapi) kamu sedikit kali bersyukur - artinya tidaklah banyak orang yang
menyadari fungsi yang sebenarnya dari apa yang didengar, dilihat dan dirasakan.
Adanya
Tuhan Maha Pencipta dapat dipelajari dari Kitab al-Qur’an dalam surat al-A’rāf
surat ke-7 ayat 172 yang mengatakan adanya kesaksian manusia terhadap Tuhan
pada saat ditiupkan ruh ke dalam cabang bayi. Allah bertanya: “Bukankah Aku ini Tuhanmu”, mereka
menjawab: Benar (Engkaulah Tuhan kami) kami menjadi saksi”. Kesadaran akan
adanya Tuhan telah ada sejak cabang bayi tumbuh - yang kemudian menurunkan pula ajaran-Nya melalui Nabi dan Rasul yang
diberi Kitab Suci menjadi pedoman hidup bagi manusia, kesadaran mana disebut sebagai kesadaran
Primordial yaitu kesadaran “fitrah” - bawaan manusia. Saat menghadapi kesulitan
hidup ada kecenderungan memohon kepada Yang Ghaib yaitu Tuhan - timbulnya
Kesadaran Primordial Transedental.
Tahun
1997, VS Ramachandran, Direktur Centre for Brain and Cognition Universitas San
Diego, California, USA melakukan penelitian. Orang-orang yang memiliki
pengalaman spiritual dihubungkan dengan alat EEG, kemudian diberi nasehat
religious, aktifitas Lobus Temporal meningkat. Dengan itu para peneliti
menyim-pulkan adanya mesin syaraf
di Lobus Temporal yang dirancang untuk berhubungan dalam soal keagamaan. Dengan
itu terbukti bahwa keyakinan agama sudah terpatri (hard wire) di dalam otak
manusia. Dalam hal ini membuktikan kebenaran surat al-A’raf ayat 172 diatas.
Oleh sebab itu dalam Islam, akal
memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan berarti akal diberi
kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk
menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan
selalu cocok dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala, dalam
permasalahan apa pun.
Akal adalah nikmat besar yang Allah subhanahu
wa ta’ala titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah
ini menunjukkan akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat
menakjubkan. Oleh karenanya, dalam banyak ayat, Allah subhanahu wa ta’ala
memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya,
“Dan Dia
menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang
itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar ada
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (ya’qilūn).” (QS an-Nahl: 12)
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang
berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang
bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami
melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang
rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir (ya’qilūn).” (QS ar-Ra’d:
4)
Sebaliknya Allah subhanahu wa ta’ala
mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya,
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan - na’qilu, (peringatan itu), niscaya tidaklah kami
termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (QS al-Mulk: 10)
[4] Tapi
janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Allah tidak menafikan kehidupan
manusia di dunia. Yaitu perlu memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian,
pemondokan, alat transportosi, sekolah, training, madrasah, bekerja selaku pegawai atau buruh,
usaha dalam industri dan jasa, usaha pertanian, usaha perkebunan, perikanan, pertambangan,
perdagangan, memilik uang, memiliki perhiasan dst, dst-nya selagi tidak berlebih-lebihan. Kalau
ada kelebihan lakukan infaq dan sadaqah disamping zakat yang memang suatu
kewajiban, memberikan santunan kepada fakir, miskin, dan yatim piatu dan
lain-lain seperti yang telah diatur oleh agama. Malah manusia di posisikan Allah sebagai khalifah-khalifah di bumi sebagai pemakmurnya, tapi tidak melupakan melakukan ibadah kepada-Nya. Dan tidak melakukan kerusakan di bumi, melainkan sebagai "agent of development" - amar ma'ruf dan "agent of change" - nahi munkar.
[5] Dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu. Lihat [1] dan [4].
[6] Dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Lihat [1] dan [2] serta [4].
Pembahasan Ayat
Sebagai Rujukan Membedah Makna
Sebagai Rujukan Membedah Makna
Orientasi
Hidup Seorang Muslim
Pertanyaan: Ada pertanyaan mengenai ayat 77 dari surat Qashash
surat ke- 28: "carilah pahala" dst-nya. Bukankah
pahala itu merupakan reward atas
perbuatan baik kita dan karena itu, kurang tepat kalau dikatakan carilah.
Kalau setiap perbuatan baik niatnya adalah untuk mendapatkan
pahala, ini terkesan kita melakukan perbuatan baik itu ada pamrihnya. Pamrih
untuk diberi pahala oleh Tuhan.
Tuhan memberikan reward
berupa pahala adalah atas niat bukan perbuatan. Jadi, kalau niatnya untuk
mendapatkan pahala, menurut penanya sudah sama dengan menyogok Tuhan.
Point penanya, mari kita melakukan perbuatan baik dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya bukan untuk mendapatkan pahala, biar Tuhan yg menilai dan memberikan reward.
Jawaban: Suatu pertanyaan yang menarik dan bagus. Untuk menjawabnya
mari kita kembalikan ke bahasa aslinya
yaitu bahasa Arab sebagai berikut: “a’ūdzu billāhi minash shaythānir rajīm -
bismillāhir rahmānir rahīm” ~ “wabtaghi (dan carilah) - fīmā
(pada apa yang) - ātākallāhu (Allah berikan kepadamu) - addāra (kampung, kampung
halaman, village) - al ākhirata (akhirat) - wa lā tansa (dan janganlah kamu
lupa) - nashībaka (bagianmu) - minad dunyā ( dari dunia, di dunia)
- wa
ahsin (dan berbuat baiklah) - kamā (sebagaimana) - ahsanallāhu
(Allah telah berbuat baik) - ilayka (kepadamu) - wa lā
tabghi (dan janganlah berbuat) - alfasāda (kerusakan) - fil
ardhi (di bumi) - innallāha (sesungguhnya Allah) - lā
yuhibbu (tidak menyukai) - almufsidīn (orang-orang yang membuat
kerusakan).
Pertanyaan penanya “carilah pahala” sepatutnya tidaklah demikian susunan pertanyaannya. Sebaiknya atau tepatnya adalah “carilah (pahala) negeri akhirat”, sedang (pahala) adalah tambahan dari penafsir Alfatih yang saya kutip dari buku Al-Qur’an Tafsir Per Kata Alfatih.
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat”. Maksud penggalan pertama ayat 77 dari surat ke-28, surat al-Qashash ini adalah, untuk masalah akhirat kita tidak boleh berpangku tangan saja, sementara dunia kita cari dengan sangat giatnya.
Memang
masalah-masalah
yang menyangkut dengan dunia “abstact” seperti hari “akhirat”
sulit di tangkap kalau hati dan kesadaran di diri kita tidak digunakan
atau
dibangkitkan - yaitu ada perintah carilah (pahala) negeri akhirat, ketimbang dorongan naluri "mempertahankan diri" dan
mengejar
“kemewahan” hidup yang secara otomatis (tanpa disuruh-suruh) bekerja
dengan sendirinya dalam hal yang menyangkut kebutuhan makan, minum,
pakaian, pemondokan, alat transportosi, pekerjaan, uang, perhiasan dst,
dst-nya.
Perlu pula diketahui bahwa ayat ini diturun di (periode) Makkah. Masyarakat Makkah yang belum paham tentang Islam. Mereka masih mensyarikatkan Tuhan dengan yang lain. Mereka percaya Tuhan, tapi percaya juga dengan tuhan-tuhan patung. Tuhan-tuhan patung mana diletakkan di dalam Ka’bah. Oleh sebab itu mereka disebut kaum musyrikin Makkah. Sebagian besarnya bekerja sebagai pedagang. Kalau kaum pedagang cara berfikirnya adalah untung atau rugi. Begitu pula jika ditawarkan kepada mereka “agama tauhid” yang tidak ada dalam kamus fikirannya bahwa Tuhan itu Esa. Yang mereka tahu adalah Tuhan itu Banyak yang diwujudkan dalam bentuk patung-patung. Nah, bahasa firman-Nya dalam Kitab Suci Al-Qur’an tergantung kepada keadaan atau orang yang akan didakwahi itu. Sesuai dengan tingkat cara berfikirnya. Jadi gaya dakwahnya seperti itu - digambarkan seperti “untung-rugi” yang diketengahkan bagi masyarakat pedagang Makkah ini, yaitu pahala “reward”. Lain halnya dengan Penanya yang kesadarannya agamanya tinggi, yaitu menerima dengan ikhlas dan tanpa pamrih seperti yang disebutkan penanya, “mari kita melakukan perbuatan baik dengan ikhlas se ikhlas-ikhlasnya bukan untuk mendapatkan pahala, biar Tuhan yg menilai dan memberikan reward”, itu betul sekali. Namun lagi-lagi bahwa berdakwah yang efektif itu selalu disesuai dengan keadaan (tingkat berfikir, tingkat kesadaran) masyarakat yang hendak didakwahi, kalau tidak tertolak.
Penanya: “Kalau setiap perbuatan baik niatnya adalah untuk mendapatkan pahala, ini terkesan kita melakukan perbuatan baik itu ada pamrihnya. Pamrih untuk diberi pahala oleh Tuhan.” Kemudian paragrap berikutnya dituliskan: “Tuhan memberikan reward berupa pahala adalah atas niat bukan perbuatan. Jadi, kalau niatnya untuk mendapatkan pahala, menurut penanya sudah sama dengan menyogok Tuhan.”
Jawaban: Sebenarnya apa yang kita kerjakan seluruhnya yang
baik-baiknya sangat dominan, katakanlah 99% baik, dan 1% ada yang khilaf, kalau
ditimbang-timbang dengan nikmat yang telah diberikan kepada manusia, sebenarnya
tidak sebanding antara amalan-amalan yang kita lakukan 99% kebaikannya dan 1%
saja keburukan dan ini tidak disengaja lagi - khilaf. Banyak kisah-kisah
seperti ini dalam hadits diungkapkan. Jadi yang dicari adalah ridha-Nya,
disamping hukum sebabnya mesti dijalankan pula, karena perintah-Nya seperti
itu, ada usaha untuk berbuat - menjalankannya. Jadi kita lakukan perintahnya
dengan ikhlas. Tapi hasilnya benar yang disebutkan Penanya yaitu dengan humble
- bersahaja, kita serahkan kepada keridhaan-Nya.
Kalau disebut kata “sogok” kepada Tuhan tidak mungkin,
karena Allah itu Maha-Maha-Maha Kaya - “Al Ghaniy”. Perbendaharaannya melebihi
dari ciptaannya. Ciptaan yang kita kenal secara sains baru kurang dari 1%. Baca
Penciptaan Alam Semesta Dalam
Enam Masa , Subhanallāh, Allāhu Akbar.
Penanya
menjelaskan: Oke, tapi apapun itu,
sebaiknya kita tidak berpikir sedikitpun tentang pahala sewaktu kita akan
mengerjakan perbuatan baik. Biarlah Tuhan yg menilainya.
Yang
lain berkomentar: Benar,
usaha kita hanyalah mendapatkan ridha Allah. Pahala biar menjadi urusan-Nya.
Nah
kesimpulannya penulis memasukkan tulisan terpisah dari kiriman bang Kasiarudin
Jalil dari tulisan Ustadz Umar Mansur Ar Rahimy terkait dengan
“Beribadah Tanpa Pamrih?” Mudah-mudahan ada perbandingan dan sandingan tulisan
Abang Faisal dalam tajuk “Orientasi Hidup Seorang Muslim”. Ia mengikuti terus bahasan tajuk diatas. Karena jangan
sampai tulisan penulis ini membuat orang jadi bisa salah atau keliru tangkap
dari makna yang seharusnya terutama yang berkaitan dengan “beribadah tanpa
perlu pamrih” dari penanya yang perlu dibahas seperti tajuk dibawah. Layak
dimasukkan tulisan sandingan ini karena penulis berpendapat bahwa penulisan dalam
perihal dīnul Islam bukanlah apa yang
kita pikirkan, melainkan apa sebenarnya yang dimaksudkan dīnul Islam yang dengan itu kita pikirkan dan tuliskan, karena
dalil-dalil-nya lengkap. Pikiran kita selayaknya mendahulukan dalil, karena dalil-dalil inilah yang akan membimbing pemikiran kita dalam menyusun pencabaran tulisan ini.
Berdialog
dengan Tuhan Pencipta sepantasnya jujur dan terus terang dan tidak tersembunyi,
karena sebenarnya Allahu Maha Tahu baik apa yang ada dalam hati manusia baik tersembunyi (ghaib) apalagi yang
terang (nyata), QS Al-Hasyr 59:22.
Nah
ikutilah tulisan yang bertajuk “Beribadah Tanpa Pamrih?” dibawah ini sebagai
sandingan dari tajuk Membedah Makna Orientasi Hidup Seorang Muslim. Terutama yang berkaitan dengan pertanyaan penanya dalam pembahasan ayat rujukan diatas mengenai beribadah itu tanpa pamrih.
BERIBADAH
TANPA PAMRIH?
B
|
eribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa pamrih, tidak
mengharapkan pahala atau surga dan tidak pula karena takut neraka, ikhlas
semata-mata karena cinta dan ridha Allah. Bahkan dengan penuh percaya diri, ada
yang berani taruhan dengan Allah dengan mengatakan: “Ya Allah, jika aku
beribadah kepada-Mu karena mengharapkan Surga, maka jauhkanlah aku darinya, dan
jika aku beribadah karena takut neraka, masukkanlah aku ke dalamnya”.
Yang lain mengatakan: “Aku rela
dimasukkan ke dalam neraka asalkan mendapat ridha Allah”.
Yang lain mengatakan “Beribadah
karena iming-iming pahala adalah ibadahnya para pedagang”.
Dan banyak lagi
ungkapan-ungkapan yang sepintas begitu
manis di telinga tapi pahit akibatnya. Kata-kata tersebut sebenarnya (maaf) penuh
dengan kesombongan, kebodohan, dan kebohongan.
Kenapa saya mengatakan
kata-kata tersebut adalah bentuk kesombongan? Karena dalam Al-Qur'an Allah banyak sekali menawarkan kepada kita kenikmatan
dunia dan akhirat bagi yang taat kepada-Nya.
“Sesungguhnya
Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka … Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah
kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah 9:111).
Tapi seakan mereka mengatakan: “Tidak
perlu Engkau membelinya Ya Allah, aku berikan untuk-Mu gratis!”
Allah
berfirman yang artinya: “Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrāhīm 14:7)
Tapi mereka seakan mengatakan: “Tidak
perlu Engkau mengancamku Ya Allah, aku tidak takut dengan siksaan-Mu”.
Rasulullah
sallallāhu 'alaihi wasallam bersabda
yang artinya: “Apabila kalian meminta kepada Allah, mintalah Surga Firdaus”.
(Sahih Al-Bukhari)
Tapi mereka seakan mengatakan: “Rasulullah
gimana sih, ngajarin umatnya nggak ikhlas?!”
Para
Rasul mengatakan pada ummatnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an yang artinya: “Sesungguhnya
Aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika Aku mendurhakai Tuhanku”.
(QS Al-An'ām 6:15).
Tapi mereka seakan mengatakan: “Para
Rasul nggak ikhlas, beribadah takut neraka”!
Apakah mereka merasa bahwa cara
beribadah yang mereka umbarkan, lebih baik dari pada cara ibadah yang
ditawarkan oleh Allah, lebih baik dari yang diajarkan oleh para Rasul-Nya,
lebih baik dari yang dipraktekkan oleh para salafussaleh?
Apakah mereka tidak tahu, kalau Allah tidak membutuhkan ibadah dari para hamba-Nya?
Allah
berfirman dalam sebuah Hadits Qudsi yang artinya: “ Wahai hamba-Ku, kalau
seandainya orang pertama dari kalian sampai yang terakhir, dari kalangan
manusia dan jin, semuanya bertaqwa dengan sebaik-baik taqwa diantara kalian,
itu semua tidak akan menambah sedikitpun kekuasaan-Ku.
Wahai
hamba-Ku, kalau seandainya orang pertama dari kalian sampai yang terakhir, dari
kalangan manusia dan jin, semuanya bejat dengan sebejat-bejat diantara kalian,
itu semua tidak akan mengurangi sedikitpun kekuasaan-Ku ". (Sahih Muslim)
Apakah mereka tidak tahu, kalau
ibadah yang kita persembahkan kepada Allah manfaatnya untuk diri kita sendiri?
Allah-lah yang menciptakan
kita, memiliki kita, mengatur kita, memenuhi semua kebutuhan kita. Semua itu
semata-mata agar kita beribadah kepada Allah semata. Sudah kewajiban kita beribadah
kepada Allah sebagai bentuk rasa syukur.
BERIBADAH BERARTI BERSYUKUR,
YANG BERSYUKUR MASUK SURGA. TIDAK BERIBADAH BERARTI KUFUR, YANG KUFUR MASUK
NERAKA.
Apakah mereka tidak tahu, kalau
ibadah yang kita lakukan tidak akan pernah cukup untuk membalas nikmat yang
diberikan Allah kepada kita?
Kita pun bisa beribadah dengan
penuh cinta dan ikhlas tidak lepas dari hidayah dan taufiq dari Allah. Jadi apa
sih artinya ibadah kita buat Allah?
Apakah mereka tidak tahu kalau janji-janji Allah berupa pahala dan surga bagi yang taat, hanyalah secuil dari kebesaran rahmat, karunia, kemurahan, dan kasih sayang Allah kepada makluk-Nya?
Allah memasukkan orang yang
ta'at ke dalam surga bukan karena amalannya, bukan harga dari amalannya, bukan
karena mereka berhak, tapi semata karena rahmat, kemurahan dan ridha Allah.
Sedangkan ahli maksiat dimasukkan ke dalam neraka, karena keadilan Allah.
Dengan demikian …
MENGHARAPKAN SURGA BERARTI
MENGHARAPKAN RIDHA, RAHMAT DAN KEMURAHAN DARI ALLAH
Siapa sih kita, sampai tidak
mau menerima dan mengharapkan karunia dan kemurahan dari Allah?
Dalam sebuah hadits qudsi Allah
subhanahu wa ta'ala berkata kepada Surga:
أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي
Anta rahmatiy
arhamu bika man asyā-u min ‘ibādiy
“Engkau
adalah rahmat-Ku, Aku merahmati denganmu siapa saja yang Aku kehendaki dari
hamba-hamba-Ku.”
Dan
berkata kepada Neraka:
إِنَّمَا أَنْتِ عَذَابِي أُعَذِّبُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي
Innamā
anta ‘adzābiy a’adzabu bika man asyā-u min ‘ibādiy
"Engkau
adalah azab-Ku, Aku menyiksa denganmu siapa saja yang Aku kehendaki dari
hamba-hambaKu." [Sahih Bukhari dan Muslim]
Apakah mereka tidak tahu, kalau
meminta pahala dan surga dari Allah sama sekali tidak menafikan keikhlasan?
Karena yang berhak mendapat
pahala dan Surga hanya orang-orang yang beribadah dengan ikhlas, dan orang
beribadah dengan ikhlas pasti akan masuk Surga. Itulah janji Allah yang tidak
akan mungkin Ia ingkari. Di akhirat cuma ada dua tempat, Surga bagi mereka yang
mendapat rahmat dan ridha dari Allah, dan Neraka bagi mereka yang dimurkai oleh
Allah.
Yang tidak menginginkan Surga
berarti tidak menginginkan ridha Allah, dan yang tidak takut masuk Neraka,
berarti tidak takut murka Allah. Yang tidak menginginkan ridha Allah dan tidak
takut murka-Nya, berarti tidak cinta kepada Allah.
Apakah mereka tidak tahu, kalau
meminta apa saja dari Allah berupa pahala, Surga, dijauhkan dari Neraka, adalah
salah satu bentuk ibadah kepada Allah? Karena do'a adalah ungkapan
ketergantungan kita kepada-Nya.
Dan Tuhanmu berfirman:
“Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku (berdo'a kepada-Ku) akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina
dina". (QS Gāfir 40:60).
Rasulullah bersabda yang
artinya: "Berdo'a adalah ibadah". (HR Abu Daud)
Realitanya, ….
Tidak satu makluk pun yang
tidak membutuhkan Allah, kita beribadah kepada Allah karena kita membutuhkan
Allah, dan Allah tidak membutuhkan kita.
Saya rasa semua umat Islam setiap harinya tidak kurang dari 27 kali membaca surah Al-Fatihah yang di dalamnya terdapa ayat yang artinya:
“Hanya
Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Dan mungkin sering berdo’a sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah:
اللهم ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
Allāhumma Rabbanā ātina fid dun-yā hasanataw, wa fil ākhirati hasanataw, wa qinā ‘adzāban nār
Allāhumma Rabbanā ātina fid dun-yā hasanataw, wa fil ākhirati hasanataw, wa qinā ‘adzāban nār
“Ya
Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat (surga) dan
peliharalah kami dari siksa neraka”. (Sahih Al-Bukhari)
Bukankah ini semua sebuah
pamrih …?
Cinta kepada Allah bukanlah
ucapan semata, semua orang bisa mengatakannya. Makanya Allah menurunkan satu
ayat dalam Al-Qur'an untuk menguji kebenaran cinta seorang hamba kepada-Nya.
Allah berfirman yang artinya:
"Katakanlah
(Ya Muhammad kepada ummatmu): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Āli ‘Imrān 3:31)
Pernahkah Rasulullah mengajarkan
kita untuk beribadah tanpa mengharapkan apa-apa dari Allah?
Mari simak dengan seksama
mungkin Firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini untuk mengetahui jawabannya:
"Dan
tidaklah kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira
(bagi yang beriman dengan Surga) dan memberi peringatan (bagi yang kufur dengan
Neraka)". Barangsiapa yang beriman (kepada mereka) dan memperbaiki
(amalannya), Maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka
bersedih hati ". (QS Al-An’ām 6:48)
Wallahu a’lam!
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ ، وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَل
وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ ، وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ
وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ ، وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ
Allāhumma
innī as-alukal jannah, wa mā qarraba ilayhā min qaulin aw ‘amala, wa a’ūdzu
bika minan nāri, wa mā qarraba ilayhā min qawlin aw ‘amalin.
Ya Allah! … Aku (hamba) meminta
(memohon) kepada-Mu Surga dan apa yang bisa mendekatkanku (hamba) kepadanya
dari perkataan dan perbuatan ... dan aku (hamba) berlindung kepada-Mu dari Neraka dan apa yang bisa
mendekatkanku (hamba) kepadanya dari perkataan dan perbuatan! [Ustadz Umar
Mansur Ar Rahimy]
Sumber:
https://www.facebook.com/faisal.marzuki.165