PENDAHULUAN
“Dan Kami (Allah) tidak menciptakan
Langit dan Bumi dan apa diantara keduanya dengan sia-sia”.
(Diciptakan alam dengan sia-sia) Itu adalah anggapan orang-orang kafir (yang
tidak mempercayai firman Allah tersebut dalam penggal pertama ayatnya ini),
maka celakalah orang-orang kafir (yang tidak percaya kepada ayat itu, sehingga
tidak peduli dengan ekosistim lingkungan alam), karena itu mereka akan masuk
neraka. [QS Shad 38:27].
Dan
carilah negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tapi
janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai kerusakan. [QS al-Qashash 28:77]
Latar Belakang
B
|
erbicara
masalah lingkungan hidup dan ekosistimnya adalah membicarakan tentang
kelangsungan hidup manusia dan alam, yaitu dengan menjaga agar alam pemberian Allah
- Tuhan Yang Maha Kasih lagi Maha Sayang kepada hamba-hamba-Nya - sebagai
khalifah-khalifah di bumi ini, tetap lestari. Melestarikan lingkungan sama
maknanya dengan menjamin kelangsungan hidup manusia dan segala apa yang ada di
alam sekitarnya. Sebaliknya, merusak lingkungan hidup, sengaja atau tidak
sengaja - apapun bentuknya, merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup alam
dengan segala isinya, tidak terkecuali manusia itu sendiri akan kena akibatnya.
Secara
eksplisit, Al-Qur’an menyatakan bahwa segala jenis kerusakan yang terjadi di
permukaan bumi ini merupakan akibat dari ulah tangan yang dilakukan oleh
manusia dalam berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya sebagaimana firman-Nya
menyebutkan, yang artinya sebagai berikut:
“Telah tampak kerusakan di darat (terdapat air di sungai
dan di danau, dihulu yang dihuni manusia) dan di laut (di hilir, tidak dihuni
manusia) disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar, yaitu mengatasi kerusakan lingkungan dengan mengembalikan
ke ekosistim semula)”, QS Ar-Rūm 30:41.
Ayat
ini, sejatinya menjadi bahan introspeksi manusia sebagai makhluk yang diberikan
oleh Allah mandat mengelola agar bumi menjadi makmur, QS 11:61, sebagaimana tata kelola lingkungan hidup yang
seharusnya dilakukan agar tidak terjadi kerusakan alam lingkungan hidupnya. Selanjutnya,
jika tidak juga dikembalikan ke ekosistim semula, dapat merusak pula hidup
seluruh lingkupan di bumi serta keseimbangan alam semesta ini
Di
dalam ajaran Islam, manusia sebagai khilafah yang telah dipilih oleh Allah di
muka bumi ini (khalifatullah filardh), QS 2:30; 6:165. Sebagai wakil
Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan
sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai
pemelihara atau penjaga alam (rabbul ’alamīn). Jadi sebagai wakil
(khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk
menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat
kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.
Manusia baik secara individu maupun kelompok tidak mempunyai hak mutlak untuk
menguasai sumber daya alam. Hak penguasaannya tetap ada pada Tuhan Pencipta.
Manusia wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah
tersebut.
Dalam
konteks ini maka perumusan fikih lingkungan hidup menjadi penting dalam rangka
memberikan pencerahan dan paradigma baru bahwa fikih tidak hanya berpusat pada
masalah-masalah ibadah dan ritual saja, tetapi bahasan fikih sebenarnya juga
meliputi tata aturan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama terhadap berbagai
realita sosial kehidupan yang tengah berkembang. [1]
Dalam makalah ini penulis bermaksud
mengkaji mengenai lingkungan hidup dalam perspektif fiqih dan urgensi dari
fiqih lingkungan itu sendiri serta prilaku yang mesti dilakukan dan dihindari
menurut konsep fiqih demi terciptanya pemanfaatan dan kelestarian lingkungan
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka
rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut: Apa
pengertian fiqh al-bi’ah? Apa urgensi
dari fiqih al-bi’ah itu? Bagaimana
pelestarian lingkungan dalam perspektif fiqh
al-bi’ah?
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas
maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: Pertama: Untuk mengetahui makna fiqh al-bi’ah; Kedua: Mengetahui urgensi dari fiqh al-bi’ah; Ketiga: Mengetahui upaya pelestarian
lingkungan dalam perspektif fiqh al-bi’ah.
PEMBAHASAN
Pengertian Fiqh al-Bi’ah
Fiqh al-Bi’ah berasal dari bahasa Arab
yang terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf dan mudhaf ilaih), yaitu
kata fiqh dan al-bi’ah. Secara bahasa “fiqh” berasal dari
kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti al-‘ilmu bis-syai’i (pengetahuan
terhadap sesuatu), al-fahmu (pemahaman) Sedangkan secara istilah, fiqh
adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
diambil daridalil-dalil tafshili (terperinci). Adapun kata “al-bi’ah”
dapat diartikan dengan lingkungan hidup. Yaitu: Kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. [2]
Dari sini, dapat kita berikan
pengertian bahwa Fiqh al-Bi’ah atau Fiqih
Lingkungan adalah seperangkat aturan tentang perilaku ekologis manusia yang
ditetapkan oleh ulama yang berkompeten berdasarkan dalil yang terperinci untuk
tujuan mencapai kemaslahatan kehidupan yang bernuansa ekologis. Yaitu, hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan
kondisi alam sekitarnya yang berkaitan dengan pengelolaan wajar (tidak merusak)
dari sumber daya alam untuk kesejahteraan
manusia.
Dari definisi fikih lingkungan
tersebut, ada empat hal yang perlu dijabarkan:
1. Seperangkat
aturan perilaku yang bermakna bahwa aturan-aturan yang dirumuskan mengatur
hubungan prilaku manusia dalam interaksinya dengan alam. Rumusan aturan
perilaku tersebut akan diwadahi dengan hukum-hukum fikih dalam lima wadah: al-wujub,
an-nadb, alibahah, al-karahah, dan al-hurmah. Dengan demikian, seperangkat
interaksi tersebut mengacu pada status hukum perbuatan mukallaf - yaitu seorang
muslim yang dikenai kewajiban
atau perintah dan menjauhi larangan agama, dalam interaksinya dengan lingkungan
hidup. Kategori-kategori aturan tersebut memiliki kekuatan spiritual bahkan
kekuatan eksekusi formal manakala aturan fikih tersebut dapat disumbangkan
kedalam proses pengembangan dan pembinaan hukum positif (hukum nasional)
tentang lingkungan hidup.
2. Maksud dari kalimat
“yang ditetapkan oleh ulama yang berkompeten” adalah bahwa, perumusan fikih
lingkungan harus dilakukan oleh ulama yang mengerti tentang lingkungan hidup
dan menguasai sumber-sumber normatif (al-Qur’an, al-Hadits, dan ijtihad-ijtihad
Ulama) tentang aturan fikih lingkungan. Dengan demikian, mujtahid (orang mencurahkan segala kemampuan dengan sungguh-sungguh
dan menguasai ilmunya) lingkungan
mesti memiliki pengetahuan ideal
normatif dan pengetahuan tentang fakta-fakta empirik lingkungan hidup dan
ekosistim. Oleh karena itu, perumusan fikih lingkungan mesti melibatkan
pengetahuan tentang ekologi.
3. Yang dimaksud dengan
“berdasarkan dalil yang terperinci” adalah bahwa penetapan hukum fikih
lingkungan harus mengacu kepada dalil. Dalil, dalam hal ini, tidak hanya
dipahami secara tekstual dalam arti nass yang syar’i, tetapi mencakup
dalil yang diekstrak atau digeneralisir dari maksud syariat.
4. Maksud dari
kalimat “untuk tujuan mencapai kemaslahatan kahidupan yang bernuansa ekologis”
adalah sesuatu yang ingin dituju oleh fikih lingkungan, yaitu kehidupan semua
makhluk Tuhan. Hal ini menggambarkan aksiologi fikih lingkungan yang akan
mengatur agar semua sepesies makhluk Tuhan dapat hidup dalam space alam
yang wajar sehingga akan memberikan daya dukung optimum bagi kehidupan bersama
yang berprikemakhlukan, rahmatan li al-‘alamin. [3]
Urgensi Fiqh Al-Bi’ah
Al-Qur’an telah memberikan informasi
spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap bumi, sebab bumi adalah
tempat kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya (Dan bumi telah
dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya, QS Ar-Rahmān 55:10). Informasi tersebut
memberikan sinyal bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan bumi dan
lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, karena hal
itu adalah amanah Allah swt yang
diberikan kepada manusia. Dengan kata lain, Islam telah memberikan sebuah
sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk
demokratis terhadap bumi (alam). Karenanya, untuk menghambat percepatan krisis
lingkungan atau kerusakan lingkungan hidup dalam ekosistim, maka upaya pengembangan
fikih lingkungan harus terus dilakukan.
Sebagai disiplin ilmu yang mengatur
hubungan manusia terhadap Tuhannya, hubungan manusia terhadap dirinya sendiri,
hubungan manusia terhadap sesama manusia, hubungan manusia terhadap lingkungan
hidup di sekitarnya, maka perumusan fikih lingkungan hidup menjadi penting
dalam rangka memberikan pencerahan dan paradigma baru untuk melakukan
pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi yang sesuai dengan
hukum-hukum syara’. Perumuskan dan pengembangan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi suatu pilihan
urgen di tengah krisis-krisis ekologis oleh keserakahan manusia dan kecerobohan
penggunaan teknologi. [4]
Dalam
rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh
al-bi’ah), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: [5]
1. Rekonstruksi makna
khalifah.
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa
menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan
pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan
penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi
ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah, QS al-Baqarah 2:30.
Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia tetapi tidak
diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap
alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah,
dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-A’rāf,
serat ke-7, ayat 56, menyebutkan yang artinya:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka
bumi, setelah (diciptakan-Nya) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak akan diterima) dan harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat
Allah sangat dekat kepada orang yang
berbuat kebaikan”. [QS al-A’rāf 7: 56]
2. Ekologi
sebagai doktrin ajaran Islam.
Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah
al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam, bahwa memelihara lingkungan sama halnya
dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah). Karena
memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah. Dalam kaidah
Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun -
Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
3. Tidak sempurna iman seseorang jika tidak
peduli lingkungan.
Keberimanan
seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga
menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam
kesempurnaan iman sebagaimana ada kalimat ungkapan yang bernilai “memelihara
lingkungan alam”, sebagai ayat kauniyyah, dalam Islam yang mengatakan: ”Kebersihan
Sebagian Dari Iman” - An-Nazhāfatu minal Īmān, yang diambil dari sabda Nabi shallallahu alayhi wa sallam dalam haditsnya: ”Ath-Thahūru Syatrul Īmān
…” - ”Bersuci (thaharah) itu setengah
daripada iman….”. [HR Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi].
4. Perusak lingkungan
adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah).
Merusak
lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah subhana wa ta’ala dalam surat Shad,
surat ke-38 ayat 27 yang artinya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
“Dan
Kami (Allah) tidak menciptakan Langit dan Bumi dan apa diantara keduanya dengan
sia-sia”. (Diciptakan alam dengan sia-sia) Itu adalah anggapan orang-orang
kafir (yang tidak mempercayai firman Allah tersebut dalam penggal pertama
ayatnya ini), maka celakalah orang-orang kafir (yang tidak percaya kepada ayat
itu, sehingga tidak peduli dengan ekosistim lingkungan alam), karena itu mereka
akan masuk neraka. [QS Shad 38:27].
Ayat
ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan
pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan terhadap
alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak
percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikan-Nya
kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini seperti yang disebutkan dalam
firman-Nya pada surat Ibrāhīm, surat ke-24 ayat 7 sebagai berikuit dalam
artinya dalam bahasa Indonsesia:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, niscaya Aku (Allah) akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”. [QS
Ibrāhīm 14: 7]
Pelestarian
Lingkungan Hidup dalam Perspektif Fiqh
Al-Bi’ah
Pemahaman
masalah lingkungan hidup (fiqh al-bi'ah)
dan penanganannya (penyelamatan dan pelestariannya) perlu diletakkan di atas
suatu pondasi moral untuk mendukung segala upaya yang sudah dilakukan dan
dibina selama ini yang ternyata belum mampu mengatasi kerusakan lingkungan
hidup yang sudah ada dan masih terus berlangsung. Fiqh lingkungan hidup
berupaya menyadarkan manusia supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup
tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawabnya dan merupakan amanat yang
diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta
yang Maha pengasih dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani
hidup di bumi ini.
1. Penguatan
Nilai Intelektual dan Spiritual
Keberhasilan
suatu proyek konservasi (pelestarian) lingkungan, sangat ditentukan oleh
dimensi intelektual dan spiritual. Dua aspek ini yang menggerakkan
tindakan-tindakan seorang manusia dan menentukan kualitas serta motivasi
kesadarannya. Menguatnya kesadaran intelektual dan spiritual terhadap
konservasi lingkungan dan pemecahan-pemecahannya akan menentukan masa depan
lingkungan hidup manusia.
Ajaran-ajaran
kearifan lingkungan yang dapat memperkuat aspek intelektual dan spiritual
diantaranya dalam konsep-konsep (makna ajaran Islam) yang berjalin berkelindan antar tauhid,
khalifatullah fil-ardh, syukr; akhirat; ihsan; amanat; dan rahmatan lil ‘alamin,
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits membantu memahami ekosistim
lingkungan hidup yang mesti dipelihara. Kalau tidak berakibat atau berpulang
kepada manusia sendiri. Rusak ekosistim lingkungan alam mengakibatkan kerugian
bagi manusia sendiri. Memperbaiki dan memelihara ekosistim lingkungan hidup
manfaatnya bagi manusia sendiri.
Konsep
Tauhid adalah matrik atau acuan seluruh tindakan manusia terhadap Tuhan
dan alam, karena itu memancarkan aspek khalifatullah fil ardh yang
secara bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam secara
baik dan seimbang. Pengelolaan ini dilakukan sebagai rasa syukr atas
Sang Pencipta dan bentuk belas kasih atau rahmatan lil ‘alamin kepada
alam lingkungan. Operasi dan implementasi tauhid, syukr, khalifatullah,
dan sikap belas kasih adalah manifestasi dari amanat dan sikap ihsan.
Dengan demikian amal-amal mereka pada akhirnya akan dimintakan
pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Yusuf
Qardhawi menguraikan konsep ihsan sebagai pilar konservasi lingkungan
yang didefinisikan ke dalam dua pengertian: Pertama, melindungi dan menjaga dengan sempurna, Kedua, ihsan berarti
memperhatikan, menyayangi, merawat serta menghormati. Qardhawi tidak
menjelaskan secara tegas bagaimana konsep ihsan beroperasi. [6]
2. Konsep
Maslahah dan Maqasid al-Syari’ah
Konsep
fiqh lingkungan yang dirumuskan oleh para intelektual muslim mencerminkan
dinamika fiqh terkait dengan adanya perubahan konteks dan situasi. Ada dua
rumusan metode yang digunakan untuk membangun fiqh lingkungan, yakni mashlahah dan maqasid asy-syari’ah.
Konsep
mashlahah berkaitan sangat erat dengan maqasid asy-syariah,
karena dalam pengertian sederhana, mashlahah merupakan sarana untuk
merawat maqasid asy-syariah. Contoh konkrit dari mashlahah ini
adalah pemeliharaan atau perlindungan total terhadap lima kebutuhan primer (ushul
al-khamsah): (1) Perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), (2) Perlindungan
jiwa (hifzh al-nafs), (3) Perlindungan akal (hifzh al-'aql), (4) Perlindungan
keturunan (hifzh al-nasl), dan (5) Perlindungan harta benda (hifzh
al-mal). Kelima hal tersebut merupakan tujuan syari’ah (maqasid
asy-syariah) yang harus dirawat. [7]
Dalam
bukunya yang berjudul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam, Dr. Yusuf
Al-Qardhawi juga menjelaskan bahwa pemeliharaan lingkungan merupakan upaya
untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Hal ini sejalan
dengan maqāsid al-syarī’ah (tujuan syariat agama) yang terumuskan dalam kulliyāt
al-khams, yaitu: hifzu al-nafs (melindungi jiwa), hifzual-aql (melindungi
akal), hifzu al-māl (melindungi kekayaan- property), hifzu al-nasb (melindungi keturunan), hifzu
al-dīn (melindungi agama). Menjaga kelestarian lingkungan hidup menurut
beliau, merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syari’at tersebut.
Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan
hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama. [8]
Dalam
konteks pelestarian lingkungan ini, Yusuf Qardhawi bahkan menegaskan penerapan
hukuman sanksi berupa kurungan (At-Ta’zir) bagi pelaku pengrusakan
lingkungan hidup yang ditentukan oleh pemerintah (Waliyyul amr), seiring
dengan hukum yang terkandung dalam hadis Rasulullah saw:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ
وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ
بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي
أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ
فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ
فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ
أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
Artinya:
“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang melakukan
pelanggaran, adalah laksana suatu kaum yang sedang menumpang sebuah kapal.
Sebagian dari mereka menempati tempat yang di atas dan sebagian yang lain
berada di bawah. Maka orang-orang yang bertempat di bawah, jika hendak
mengambil air mereka harus melewati orang yang ada di atas mereka. Maka berinisiatif
untuk membuat lobang (pada badan kapal bagian yang berada di air yaitu yang berada) pada bagian mereka, agar tidak akan mengganggu orang yang
ada di atas. Jika kehendak mereka itu dibiarkan saja, pastilah (kapal itu bocor, karena dinding kapal dilubangi, hal ini membuat kapal kemasukan air yang membuat kapal tenggelam, maka) akan binasa
seluruh penumpang kapal, dan jika mereka dicegah maka merekapun selamat (yang berada dibawah) dan
selamatlah pula orang-orang lain seluruhnya (yang berada diatas)”. [9]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
paparan di atas, dapat penulis simpulkan beberapa hal:
1. Konsep
Fikih lingkungan pada hakikatnya adalah konsep aturan-aturan yang dirumuskan
oleh Islam dalam rangka mengatur pemanfaatan yang berorientasi pada kelestarian
lingkungan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits.
2. Hubungan
manusia sebagai khalifah di muka bumi terhadap lingkungan hidupnya harus
berdasarkan atas asas pemanfaatan yang benar dan menghindarkan kerusakan.
3. Kesadaran
akan pelestarian lingkungan hidup sebagaimana yang sudah digariskan oleh fikih
Islam perlu ditanamkan kepada setiap pribadi muslim, dan menjadi tanggung jawab
bersama, lebih-lebih pemerintah sebagai pemegang regulasi dan personil penegak
hukum dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan mengantisipasi
dampak kerusakan lingkungan.
4. Pemeliharaan
lingkungan merupakan upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah
kemudharatan yang sejalan dengan maqāsid al-syarī’ah (tujuan syariat
agama) yang terumuskan dalam kulliyāt al-khams, yaitu hifzh al-din,
hifzh al-nafs, hifzh al-'aql, hifzh al-nasl, dan hifzh
al-mal. Dan segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan
hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama
B. Saran
Dengan uraian di atas sudah cukup memberikan gambaran
blue print kepada kita semua, baik
dalam tinjauan ilmiah (ayat kauniyah, sience
dari lingkungan hidup) dan ayat tinjauan qauliyah
dan fiqh (ayat-ayat dalam al-Qur’an yang bertalian dengannya, dan para
fuqaha fiqhul bi’ah seperti yang
telah diuraikan diatas sudah cukup jelas. Serta manajemen adminstratif
pemerintah sebagai penegak ketertiban dan hukumnya.
Maka dengan kesadaran itu semuanya, wajib kita
memperhatikan dengan seksama lingkungan hidup dalam ekosistim yang ada. Yang
telah rusak diperbaiki secepat mungkin sebelum sangat parah. Yang masih baik,
mari kita pelihara. Selanjutnya dalam pemanfaatan berikutnya mesti mengindahkan
aturan (peraturan) lingkungan ekosistim yang intinya adalah melestarikan
lingkungan hidup dalam ekosistim pemberian Allah Tuhan Alam Semesta, mengingat
firman-Nya dalam surat Ar-Rum, surat ke-30 ayat 4 yang artinya sebagai berikut:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut (air
sungai dan danau) disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar - yaitu memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi dengan
mengembembalikan ke ekosistim seperti keadaan sebelum tercemar)”, QS. Ar-Rum 30:41.
“Kebajikan
(kebaikan) apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah (karena sebelumnya
Allah telah memberi peringatannya kepada khalifah-khalifahnya), dan keburukan
apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan perbuatan) dirimu sendiri”, QS
an-Nisā’ 4:79. Sebagai mana peringatan dalam firman-Nya:
“Lahā
mā kasabat wa 'alaihā maktasabat” - Dia (manusia) mandapat pahala (dan
kenikmatan hidup dunia dan akhirat) dari kebajikan (menjaga kelestarian
lingkungan hidup ekosistim) yang dikerjakan, dan dia (manusia) mendapat (siksa,
ketidak sejahteraan hidup dunia dan akhirat) dari (lalai dari menjaga
kelestarian lingkungan hidup ekosistim) yang diperbuatnya, QS al-Baqarah 2:286.
“Yang
demikian itu karena sesungguh-nya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang
telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada
pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui, QS
al-Anfal 8:53.
Dengan itu manusia sebagai khalifah-khalifah di muka
bumi selaku pemakmur bumi, mesti (dan secara syar’i wajib hukumnya untuk)
melakukan pelestarian lingkungan hidup ekosistimnya dengan memperbaiki yang
telah rusak kembali seperti sedia kala. Dan selanjutnya memeliharanya agar
lingkungan hidup ekosistimnya tetap lestari. Wallahu A’lam Bish-Shawab, Billahi
Taufiq wal Hidayah. □ AFM
Daftar
Pustaka:
Abdillah, Mujiono. 2005. Fikih
Lingkunga. Yogyakarta: Unit Penerbitan dan Percetakan YKPN.
Abdullah, Mudhofir. 2011.Masail
Al-Fiqhiyyah Isu-IsuFikih Kontemporer. Yogyakarta: Teras.
Sukarni. 2011. Fikih Lingkungan
Hidup. Banjarmasin: Antasari Press.
http://kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-fikih-lingkungan-dalam-perpektif-islam1-sebuah-pengantar-detail-289.html
http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=216
http://najitama.blogspot.com/
Catatan Kaki:
[1]Sukarni, Fikih
Lingkungan Hidup (Banjarmasin: Antasari Press, 2011)
hlm. 45
[2]http://kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-fikih-lingkungan-dalam-perpektif-islam1-sebuah-pengantar-detail-289.html
[3] Mujiono Abdillah, Fikih
Lingkungan (Yogyakarta: Unit Penerbitan dan Percetakan YKPN, 2005), hlm.55-57.
[4]Mudhofir
Abdullah, Masail Al-Fiqhiyyah Isu-IsuFikih Kontemporer, (Yogyakarta:
Teras, 2011), hlm. 37
[5]http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=216
[6]Mudhofir Abdullah, Op.cit. hlm.
65-69
[7] http://najitama.blogspot.com/ diunduh
26-11-2014 pk. 10.50
[8]Yusuf Al-Qardhawi, Ri’ayatu
Al-Bi’ah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 2001) hlm. 44
[9]Lihat
shahih bukhari, hadis no. 2493, http://kalsel.muhammadiyah.or.id
Sumber:
http://ilmuayni.blogspot.com/2015/06/fiqhul-biah-fiqh-lingkungan.html□□□