Oleh: Mi’raj Dodi Kurniawan
[1]
“Terlepas
apa motivasi sejarawan Barat atau non-Muslim dalam mempelajari sejarah Islam,
ada satu hal penting yang dapat diteladani, yaitu mereka mengaktualisasikan
kebutuhan untuk mengetahui (need to know) dan mengusahakan
kepentingannya atas sejarah Islam.”
Pendahuluan
S
|
ejarah Islam – tepatnya sejarah kaum Muslim –
adalah salah satu khazanah sejarah peradaban dunia yang menarik untuk diteliti,
dipelajari, dielaborasi, dan dipublikasikan, bukan hanya oleh dan bagi
sejarawan muslim, tetapi juga oleh dan bagi sejarawan Barat atau non-Muslim.
Oleh karena itu, tidak aneh jika sampai sekarang bertebaran historiografi
(karya tulis sejarah) peradaban Islam, baik di Timur maupun Barat.
Dari kalangan sejarawan muslim muncul Tarikh
al-Islam Wa Thabaqat Masyahir al-A’lam karya Al-Dzahabi, Tarikh Baghdad
karya Khatib al-Baghdadi, An-Nawadir al-Sulthaniyah Wa al-Mahasin
al-Yusufiyah karya Bahauddin Abu-l-Mahasin Yusuf bin Rafi’, Nasb Quraisy
karya Al-Zubair ibn Bakkar ibn ‘Abdullah, dan Akhbar al-‘Arab karya Abu
al-Mundzir Hisyam ibn Muhammad Ibnu Al-Saib ibn Basyar al-Kalbi.
Selain itu, ada pula Muqaddimah karya Ibn
Khaldun, Fakhri karya Ibn Al-Tiqtaqa’, Tarikh Thabaristan karya
Ibn Isfandiar, Aja’ib al-Athar karya Abdul Rahman al-Jabarti, Tarikh
al-Tamaddun al-Islami karya Jurji Zaidan, trilogi Fajr al-Islam, Duha
al-Islam, dan Zuhr al-Islam karya Ahmad Amin, Al-Kamil fi
al-Tarikh karya Ibn Asir, Mu’jam al-Buldan karya Yaqut al-Hamawi,
dan al-Bidayahwa al-Nihayah karya Ibn Khathir.
Selanjutnya, Tarikh al-Umam Wa al-Mulk
karya Ibn Jarier al-Tabari, Tarikh al-Islam Wa Thabaqat Masyahir al-A’lam
karya Al-Dzahabi, Tarikh Baghdad karya Khatib al-Baghdadi, Irshad
al-Arib Ila Ma’rifat al-Abid karya Yaqut, Ujun al-Anba’ fi Tabagat
al-Atibba karya Abu Usayibah, Wafayat al-A’yun karya Ibn Khallikan, Ar-Rakhiqul
Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, dan Sirah Nabawiyah
karya Ibn Hisyam.
Kemudian, Al-Ishaabah Fi Tamyiizi Shahaabah
karya Ibn al-Hajar Al-Asqalani, Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad
Husain Haikal, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda
karya Hamid Al-Gadri, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia karya Azyumardi Azra,
dan masih banyak lagi.
Dari kalangan sejarawan Barat atau non-muslim
muncul Preaching of Islam karya T.W. Arnold, Saladin dan Moors
In Spain karya Stanley Lane, History of the Arabs dan Islam and
the West karya Philip K. Hitti, Islam in Modern History karya
Wilfred Cantwell Smith, dan Ibn Batuta (1304-1377) dan Mohammedanism:
An Historical Survey serta Shorter Encyclopedia of Islam juga Studies
on the Civilization of Islam karya Hamilton Alexander Rosskeen Gibb.
Kemudian, Muhammad at Mecca dan Muhammad
at Medina serta Muhammad: Prophet and Statesman karya W. Montgomery
Watt, Het Mecca anche Feest dan De Atjehers karya C. Snouck
Hurgronje, La Passion de’ al-Hallaj dan Martyr Mystique de l’Islam
karya Louis Massignon, Histoire de la Litterature Arabe dan Dans les
pas de Mahomet karya Blachere, Turkey: A Past and a Future karya
Arnold Joseph Toynbee, dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu, karya-karya tersebut terkesan
mengulangi dan mengumpulkan belaka jika hanya mengurai fokus, lokus, dan
perspektif sejarah yang serupa. Kecuali, selain menyaring dan menyampaikan
berbagai informasi relevan yang tersebar dari berbagai karya itu, ditawarkan
pula perspektif baru, atau setidaknya informasi yang masih jarang diungkap
sekaligus diberi tekanan pesan pengambilan inspirasi atau pelajaran tertentu.
Dengan kata lain, tidak melulu dan sekadar
memposisikan sejarah Islam dengan pandangan retrospektif yaitu mengenang
kembali, memandang balik, atau melihat ke masa silam, tetapi juga menjadikannya
inspirasi. Artinya, melihat sejarah menurut sudut pandang prospektif yang
bertitik tekan kepada prospeknya atau kemungkinan mewujudkan torehan masa
lampau yang gemilang itu di masa kini dan masa mendatang.
Selain itu, sebenarnya para sejarawan masih
dapat mengungkap fokus, lokus, dan perspektif sejarah Islam yang berbeda dengan
karya-karya historiografi sebelumnya. Sebab, sulit dipungkiri, alih-alih yang
sudah terungkap, bagian-bagian dan rincian sejarah Islam justru masih lebih
banyak yang belum dikuak. Bagaimanapun, sejarah Islam merupakan salah satu
khazanah kesejarahan yang kaya yang dimiliki dunia.
Al-Qur’an dan Sejarah
S
|
atu hal yang menarik dari sejumlah karya
historiografi sejarah Islam itu adalah fakta bahwa para sejarawan Barat atau
non-Muslim turut meneliti, mempelajari, mengelaborasi, dan mempublikasikan
sejarah Islam. Artinya, bukan hanya sejarah Islam dianggap menarik, tetapi
terutama mereka berkepentingan atas sejarah Islam. Menurut As-Siba’ie, terdapat
beberapa hal yang mendorong mereka untuk menuliskannya, yaitu karena:
keagamaan, penjajahan, perniagaan dan ekonomi, politik, dan ilmiah. [2]
Philip K. Hitti, misalnya, dalam
bukunya yang berjudul Islam and the West menyatakan bahwa Nabi Muhammad
merupakan seorang penipu yang lihai. Menurutnya, Islam tidak lebih daripada
warisan orang Yahudi dan Kristen yang diarabisasikan dan dinasionalisasikan.
Jadi, selain menuturkan sejarah Islam secara deskriptif, dalam karya
historiografinya itu pun Hitti menyodorkan penafsiran bahkan penilaian yang
bersifat ideologis yang sangat subjektif. [3]
Namun, terlepas pro-kontra atas motivasi
sejarawan Barat atau non-Muslim dalam mempelajari sejarah Islam, ada satu hal
penting yang dapat diteladani, yaitu mereka mengaktualisasikan kebutuhan untuk
mengetahui (need to know) dan mengusahakan kepentingannya atas sejarah
Islam. Dalam dunia ilmu pengetahuan, rasa ingin tahu adalah modal untuk
berpengetahuan, sedangkan dalam dunia politik, mengusahakan kepentingan adalah
modal tercapainya tujuan.
Oleh sebab itu, mudah dimengerti jika Barat
digdaya di Abad Modern. Sebab, mereka bukan hanya berusaha menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, tetapi juga berusaha untuk mengetahui pihak lain (the
other) dan mengetahui kepentingannya atas pihak lain – dalam konteks ini
atas umat Islam. Dengan pengetahuan dan kepentingan ini, mereka berlaku sebagai
subyek dan memperlakukan umat Islam sebagai obyek.
Dengan demikian, umat Islam maka bukan hanya
harus mengetahui pihak lain dan sejarahnya, tetapi juga – terutama – harus
mengetahui dirinya terlebih dahulu, termasuk sejarah dirinya sendiri. Jangan
sampai alih-alih kaum Muslim, justru yang lebih mengetahui sejarah Islam adalah
para sejarawan Barat atau non-Muslim.
Kalau saja kaum muslim membaca dan memahami
al-Qur’an, tentu akan paham bahwa dua pertiga Kitab Suci disajikan dalam bentuk
kisah (sejarah). Dengan kata lain, kisah sejarah digunakan oleh Allah SWT untuk
menerangkan dan menyampaikan banyak hal. Selain itu – baik tersurat maupun
tersirat, al-Qur’an menyerukan keharusan untuk mempelajari sejarah.
Berikut ini adalah beberapa ayat Al-Qur’an yang
menyatakan hal itu: Kesatu, “Maka kisahkanlah kisah-kisah agar mereka
berpikir” (Q.S. Al-A’raf: 176). Kedua, “Demikianlah Kami kisahkan kepadamu
(Muhammad) sebagian kisah (umat) yang telah lalu, dan sungguh, telah Kami
berikan kepadamu suatu peringatan (Al-Qur’an) dari sisi Kami” (Q.S. At-Thaaha:
99). Ketiga, “Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan
sejarah yang penuh perlambang bagi orang-orang yang memahaminya” (Q.S. Yusuf:
111).
Keempat, “Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki
mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar)” (Q.S. Ar-Rum: 41). Kelima, “Katakanlah
(Muhammad), “Bepergianlah di bumi kemudian lihatlah bagaimana kesudahan
orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka ialah orang-orang yang
mempersekutukan (Allah)”” (Q.S. Ar-Rum: 42).
Keenam, “Dan semua kisah rasul-rasul,
Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu;
dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat
(pelajaran) dan peringatan bagi orang yang beriman” (Q.S. Hud: 120). Ketujuh,
“Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu” (Q.S. Al-Hasyr: 18).
Manfaat Sejarah
S
|
ecara umum, terdapat empat manfaat mengadakan
studi sejarah. Kesatu, rekreatif, yaitu studi sejarah sebagai hiburan
atau mengajak para pembelajarnya untuk rekreasi, karena – dengan demikian – ia
akan bertamasya ke dalam berbagai ruang, waktu, dan kisah di masa silam. Kedua,
inspiratif, yaitu studi sejarah sebagai inspirasi (ilham atau ide) bagi
kehidupan, karena banyak hal dapat diambil hikmahnya dari kehidupan orang-orang
di masa lampau.
Ketiga, instruktif, yaitu studi
sejarah sebagai pelajaran keterampilan atau pengetahuan generasi terdahulu,
karena dengan menelusuri sejarah dapat menyingkap keterampilan atau pengetahuan
yang dimiliki generasi terdahulu. Keempat, edukatif, yaitu studi sejarah
mendidik pengkajinya, sehingga beroleh kearifan dalam melangkah di masa kini
menuju masa depan, sebab – dengan demikian – dapat belajar dari pengalaman
orang lain. [4]
Dengan demikian, andai mempelajari sejarah, maka
kaum Muslim bukan hanya dapat menarik manfaat inspiratif dan edukatif –
sebagaimana diterangkan Al-Qur’an, tetapi juga dapat memetik manfaat rekreatif
dan instruktif – sebagaimana dijelaskan oleh Louis Gottschalk tadi.
Respon Sejarawan Muslim
“Mempelajari sejarah bukan hanya
karena diperintahkan di dalam al-Qur’an dan bermanfaat, melainkan juga resisten
karena bernuansa ideologis. Narasi yang dibangun sejarawan bukan hanya berisi
fakta, melainkan juga penafsiran yang tidak netral dari kepentingan.”
A
|
khirnya, menarik untuk dicermati sikap para
sejarawan Muslim atas sejarah Islam itu sendiri. Menarik, karena dihadapkan
pada kedigdayaan Barat melalui modernisme atas dunia Islam dan munculnya
karya-karya historiografi para sejarawan sekaligus orientalis Barat atau
non-muslim yang tendensius, tampak bahwa respon sejarawan muslim terbagi
menjadi tiga.
Kesatu, sikap
apologetik. Para sejarawan muslim yang bersikap seperti ini membela kelebihan
peradaban muslim klasik sebagai capaian sempurna. Namun, dengan rasa
kememadaian diri (self sufficiency) di dalamnya, sikap ini terkesan
retrospektif, reaksioner, idealistik, dan normatif, sehingga secara intelektual
mendorong pemecahan soal Muslim kekinian ke arah retrospektif (ke masa lalu)
dan menimbulkan problem abstrak, karena acap kurang relevan dengan realitas
sekarang. [5]
Kedua, sikap
identifikatif. Para sejarawan Muslim yang bersikap seperti ini menelusuri
sejarah Muslim dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi guna
merumuskan respon dan identitas Islam di masa modern. Respon ini menjadikan
sejarah kaum muslim – terutama klasik – sebagai bahan inspirasi untuk
merumuskan respon dan identitas muslim di zaman kontemporer.
[6]
Ketiga, sikap
afirmatif. Para sejarawan muslim yang bersikap seperti ini melihat sejarah kaum
Muslim – terutama klasik – dengan perspektif yang menegaskan kembali
kepercayaan kepada Islam sekaligus menguatkan kembali eksistensi masyarakat
muslim. [7] Dengan kata lain, jika memandang sejarah Islam klasik, kalangan ini
berusaha menegaskan lagi kepercayaannya kepada Islam sekaligus menguatkan lagi
eksistensi masyarakat muslim di masa kini.
Dalam takarannya yang ekstrem, sulit dipungkiri
bahwa sikap apologetik dan sikap identifikatif dengan sikap afirmatif bukan
hanya berbeda, tetapi juga saling menegasikan dan sebagian diantaranya dianggap
kurang berdaya guna bagi perbaikan nasib Muslim masa kini dan masa depan.
Namun, dalam takarannya yang pas, tiga respons atau sikap tersebut bukan hanya
saling melengkapi, namun juga berguna.
Sikap apologetik yang pas bukan hanya pembelaan
diri atas berbagai serangan yang tak jarang kurang adil, tetapi juga melahirkan
rasa percaya diri. Sikap identifikatif menimbulkan kesadaran historis dan
kesadaran merumuskan respon dan identitas muslim kontemporer. Dan sikap
afirmatif menegaskan lagi kepercayaan diri muslim kepada Islam dan menguatkan
eksistensi masyarakat muslim kontemporer.
Ideologisasi
D
|
engan demikian, menjadi jelaslah bahwa
mempelajari sejarah bukan hanya karena diserukan al-Qur’an dan bermanfaat,
melainkan juga resisten karena bernuansa ideologis. Sebab, sejarah bukan hanya
menelusuri dan menyuguhkan deskripsi peristiwa, tetapi juga di dalamnya terbuka
kesempatan bagi para pengkaji dan pemaparnya untuk menyodorkan interpretasi
berdasarkan pengetahuan dan kepentingannya.
Lantaran sejarah adalah ilmu mengenai kenyataan
di masa lampau, maka tentu saja bukan hanya fakta atau deskripsi, tetapi juga
penafsirannya itu sendiri harus dapat dibenarkan menurut teori kebenaran
korespondensi. Namun, karena obyeknya sudah lewat dan penafsirannya acap bias
keyakinan dan kepentingan, maka alih-alih menguji penafsiran sejarawan, yang
lebih mudah dilakukan justru menguji kebenaran fakta-fakta yang disuguhkan
sejarawan.
Betapa pun demikian, menguji kebenaran suatu
penafsiran bukanlah kemustahilan. Kendati rentan bias keyakinan dan kepentingan
sejarawan, tetapi dengan menggunakan teori kebenaran koherensi (paparannya
saling menguatkan) dan teori kebenaran korespondensi (sesuai dengan obyek atau
fakta), maka keyakinan dan kepentingan sejarawan yang tergambar dalam bentuk
penafsiran sejarahnya akan terlihat dan dapat diterima atau ditolak.
Jadi, permasalahan resistensi dan ideologis
dalam blantika historiografi sejarah Islam bukan sesuatu yang luar biasa.
Sebab, dengan memberikan kesempatan bagi sejarawan untuk menawarkan
penafsirannya, maka dengan sendirinya, setiap karya historiografi sejarah Islam
memberikan ruang bagi sejarawan itu untuk mengelaborasi pengetahuan dan
kepentingannya dalam karya historiografinya tersebut.
Kalau sudah begitu, biarkan saja khalayak
membaca, menilai, dan menyaring sendiri setiap karya historiografi sejarah Islam.
Terpenting bagi khalayak adalah mampu membedakan dan menilai fakta yang benar
dan penafsiran yang mendekati kebenaran. Selain itu, khalayak juga penting
menyadari bahwa narasi sejarah – dalam historiografi – yang dibangun sejarawan
bukan hanya berisi fakta, melainkan juga penafsiran yang tidak netral dari
kepentingan.
Dengan kata lain, manakala penafsiran sejarah
Islam dipublikasikan, maka hal itu sama dengan sejarawan mengadakan
ideologisasi (penyebarluasan pandangan). Maka menjadi kian jelas pula bahwa historiografi
tidak hanya berguna atau digunakan untuk menyiarkan informasi deskriptif
kesejarahan, melainkan juga untuk membangun persepsi atau narasi besar (grand
naration) dan karakter (character building) khalayak.
Persoalannya, apakah pandangan tersebut benar,
baik, dan indah serta didukung fakta-fakta sejarah? Untuk menjawab pertanyaan
ini bukan hanya membutuhkan penguasaan atas pandangan dunia yang teruji
kekokohannya, melainkan juga membutuhkan penguasaan atas metode penelitian
sejarah, setidak-setidaknya sejak tahap heuristik (pencarian sumber) hingga
kritik internal dan eksternal.
Dengan demikian, sebagai wujud syi’ar Islam,
maka kaum Muslim terutama sejarawan Muslim harus mengadakan ideologisasi
sejarah Islam. Bukan pembelaan membabi buta apalagi menyebarluaskan kekeliruan,
melainkan ideologisasi tersebut berlandaskan pada kebenaran sejarah di atas
kepentingan sejarawan. Ideologisasi sejarah Islam mestilah diperkuat dengan
fakta dan metodologi sejarah serta pemikiran yang jernih.
Dan di antara banyak topik yang penting untuk
dijadikan ideologisasi, sejarah Islam klasik terutama sejarah Nabi dan para
sahabatnya adalah yang terpenting. Sebab, Nabi bukan saja pembawa Risalah
Islam, tetapi juga dalam dunia Islam, sejarah Nabi dan para sahabatnya, merupakan
yang paling ideal. Jadi, sejarah Nabi dan para sahabatnya bukan hanya harus
diselamatkan dari kekeliruan dan fitnah, tetapi juga harus diutamakan untuk
diideologisasikan. □
Catatan Kaki:
[1]
Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis
essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.
[2]
Lihat Musthafa as-Siba’ie. 1983. Akar-akar Orientalisme. Surabaya: Bina
Ilmu.
[3]
Silakan periksa Philip K. Hitti. 1963. Islam and the West. Van Nostrand
Reinhold Inc., U.S.
[4]
Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI-Press.
[5]
Azyumardi Azra. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme, Hingga Pos-modernisme. Jakarta: Paramadina. Hlm iv-vi.
[6] Ibid.
[7] Ibid. □□
Sumber:
Copyright © 2017 — Gana Islamika.
https://ganaislamika.com/ideologisasi-sejarah-islam-1/
https://ganaislamika.com/ideologisasi-sejarah-islam-2/□□□