Sunday, February 3, 2019

Ideologisasi Sejarah Islam

Oleh: Mi’raj Dodi Kurniawan [1]



“Terlepas apa motivasi sejarawan Barat atau non-Muslim dalam mempelajari sejarah Islam, ada satu hal penting yang dapat diteladani, yaitu mereka mengaktualisasikan kebutuhan untuk mengetahui (need to know) dan mengusahakan kepentingannya atas sejarah Islam.”



Pendahuluan

S
ejarah Islam – tepatnya sejarah kaum Muslim – adalah salah satu khazanah sejarah peradaban dunia yang menarik untuk diteliti, dipelajari, dielaborasi, dan dipublikasikan, bukan hanya oleh dan bagi sejarawan muslim, tetapi juga oleh dan bagi sejarawan Barat atau non-Muslim. Oleh karena itu, tidak aneh jika sampai sekarang bertebaran historiografi (karya tulis sejarah) peradaban Islam, baik di Timur maupun Barat.

Dari kalangan sejarawan muslim muncul Tarikh al-Islam Wa Thabaqat Masyahir al-A’lam karya Al-Dzahabi, Tarikh Baghdad karya Khatib al-Baghdadi, An-Nawadir al-Sulthaniyah Wa al-Mahasin al-Yusufiyah karya Bahauddin Abu-l-Mahasin Yusuf bin Rafi’, Nasb Quraisy karya Al-Zubair ibn Bakkar ibn ‘Abdullah, dan Akhbar al-‘Arab karya Abu al-Mundzir Hisyam ibn Muhammad Ibnu Al-Saib ibn Basyar al-Kalbi.

Selain itu, ada pula Muqaddimah karya Ibn Khaldun, Fakhri karya Ibn Al-Tiqtaqa’, Tarikh Thabaristan karya Ibn Isfandiar, Aja’ib al-Athar karya Abdul Rahman al-Jabarti, Tarikh al-Tamaddun al-Islami karya Jurji Zaidan, trilogi Fajr al-Islam, Duha al-Islam, dan Zuhr al-Islam karya Ahmad Amin, Al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Asir, Mu’jam al-Buldan karya Yaqut al-Hamawi, dan al-Bidayahwa al-Nihayah karya Ibn Khathir.

Selanjutnya, Tarikh al-Umam Wa al-Mulk karya Ibn Jarier al-Tabari, Tarikh al-Islam Wa Thabaqat Masyahir al-A’lam karya Al-Dzahabi, Tarikh Baghdad karya Khatib al-Baghdadi, Irshad al-Arib Ila Ma’rifat al-Abid karya Yaqut, Ujun al-Anba’ fi Tabagat al-Atibba karya Abu Usayibah, Wafayat al-A’yun karya Ibn Khallikan, Ar-Rakhiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, dan Sirah Nabawiyah karya Ibn Hisyam.

Kemudian, Al-Ishaabah Fi Tamyiizi Shahaabah karya Ibn al-Hajar Al-Asqalani, Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haikal, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda karya Hamid Al-Gadri, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia karya Azyumardi Azra, dan masih banyak lagi.

Dari kalangan sejarawan Barat atau non-muslim muncul Preaching of Islam karya T.W. Arnold, Saladin dan Moors In Spain karya Stanley Lane, History of the Arabs dan Islam and the West karya Philip K. Hitti, Islam in Modern History karya Wilfred Cantwell Smith, dan Ibn Batuta (1304-1377) dan Mohammedanism: An Historical Survey serta Shorter Encyclopedia of Islam juga Studies on the Civilization of Islam karya Hamilton Alexander Rosskeen Gibb.

Kemudian, Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina serta Muhammad: Prophet and Statesman karya W. Montgomery Watt, Het Mecca anche Feest dan De Atjehers karya C. Snouck Hurgronje, La Passion de’ al-Hallaj dan Martyr Mystique de l’Islam karya Louis Massignon, Histoire de la Litterature Arabe dan Dans les pas de Mahomet karya Blachere, Turkey: A Past and a Future karya Arnold Joseph Toynbee, dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu, karya-karya tersebut terkesan mengulangi dan mengumpulkan belaka jika hanya mengurai fokus, lokus, dan perspektif sejarah yang serupa. Kecuali, selain menyaring dan menyampaikan berbagai informasi relevan yang tersebar dari berbagai karya itu, ditawarkan pula perspektif baru, atau setidaknya informasi yang masih jarang diungkap sekaligus diberi tekanan pesan pengambilan inspirasi atau pelajaran tertentu.

Dengan kata lain, tidak melulu dan sekadar memposisikan sejarah Islam dengan pandangan retrospektif yaitu mengenang kembali, memandang balik, atau melihat ke masa silam, tetapi juga menjadikannya inspirasi. Artinya, melihat sejarah menurut sudut pandang prospektif yang bertitik tekan kepada prospeknya atau kemungkinan mewujudkan torehan masa lampau yang gemilang itu di masa kini dan masa mendatang.

Selain itu, sebenarnya para sejarawan masih dapat mengungkap fokus, lokus, dan perspektif sejarah Islam yang berbeda dengan karya-karya historiografi sebelumnya. Sebab, sulit dipungkiri, alih-alih yang sudah terungkap, bagian-bagian dan rincian sejarah Islam justru masih lebih banyak yang belum dikuak. Bagaimanapun, sejarah Islam merupakan salah satu khazanah kesejarahan yang kaya yang dimiliki dunia.


Al-Qur’an dan Sejarah

S
atu hal yang menarik dari sejumlah karya historiografi sejarah Islam itu adalah fakta bahwa para sejarawan Barat atau non-Muslim turut meneliti, mempelajari, mengelaborasi, dan mempublikasikan sejarah Islam. Artinya, bukan hanya sejarah Islam dianggap menarik, tetapi terutama mereka berkepentingan atas sejarah Islam. Menurut As-Siba’ie, terdapat beberapa hal yang mendorong mereka untuk menuliskannya, yaitu karena: keagamaan, penjajahan, perniagaan dan ekonomi, politik, dan ilmiah. [2]

Philip K. Hitti, misalnya, dalam bukunya yang berjudul Islam and the West menyatakan bahwa Nabi Muhammad merupakan seorang penipu yang lihai. Menurutnya, Islam tidak lebih daripada warisan orang Yahudi dan Kristen yang diarabisasikan dan dinasionalisasikan. Jadi, selain menuturkan sejarah Islam secara deskriptif, dalam karya historiografinya itu pun Hitti menyodorkan penafsiran bahkan penilaian yang bersifat ideologis yang sangat subjektif. [3]

Namun, terlepas pro-kontra atas motivasi sejarawan Barat atau non-Muslim dalam mempelajari sejarah Islam, ada satu hal penting yang dapat diteladani, yaitu mereka mengaktualisasikan kebutuhan untuk mengetahui (need to know) dan mengusahakan kepentingannya atas sejarah Islam. Dalam dunia ilmu pengetahuan, rasa ingin tahu adalah modal untuk berpengetahuan, sedangkan dalam dunia politik, mengusahakan kepentingan adalah modal tercapainya tujuan.

Oleh sebab itu, mudah dimengerti jika Barat digdaya di Abad Modern. Sebab, mereka bukan hanya berusaha menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga berusaha untuk mengetahui pihak lain (the other) dan mengetahui kepentingannya atas pihak lain – dalam konteks ini atas umat Islam. Dengan pengetahuan dan kepentingan ini, mereka berlaku sebagai subyek dan memperlakukan umat Islam sebagai obyek.

Dengan demikian, umat Islam maka bukan hanya harus mengetahui pihak lain dan sejarahnya, tetapi juga – terutama – harus mengetahui dirinya terlebih dahulu, termasuk sejarah dirinya sendiri. Jangan sampai alih-alih kaum Muslim, justru yang lebih mengetahui sejarah Islam adalah para sejarawan Barat atau non-Muslim.

Kalau saja kaum muslim membaca dan memahami al-Qur’an, tentu akan paham bahwa dua pertiga Kitab Suci disajikan dalam bentuk kisah (sejarah). Dengan kata lain, kisah sejarah digunakan oleh Allah SWT untuk menerangkan dan menyampaikan banyak hal. Selain itu – baik tersurat maupun tersirat, al-Qur’an menyerukan keharusan untuk mempelajari sejarah.

Berikut ini adalah beberapa ayat Al-Qur’an yang menyatakan hal itu: Kesatu, “Maka kisahkanlah kisah-kisah agar mereka berpikir” (Q.S. Al-A’raf: 176). Kedua, “Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah (umat) yang telah lalu, dan sungguh, telah Kami berikan kepadamu suatu peringatan (Al-Qur’an) dari sisi Kami” (Q.S. At-Thaaha: 99). Ketiga, “Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang bagi orang-orang yang memahaminya” (Q.S. Yusuf: 111).

Keempat, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. Ar-Rum: 41). Kelima, “Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi kemudian lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka ialah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”” (Q.S. Ar-Rum: 42).

Keenam, “Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat (pelajaran) dan peringatan bagi orang yang beriman” (Q.S. Hud: 120). Ketujuh, “Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu” (Q.S. Al-Hasyr: 18).


Manfaat Sejarah

S
ecara umum, terdapat empat manfaat mengadakan studi sejarah. Kesatu, rekreatif, yaitu studi sejarah sebagai hiburan atau mengajak para pembelajarnya untuk rekreasi, karena – dengan demikian – ia akan bertamasya ke dalam berbagai ruang, waktu, dan kisah di masa silam. Kedua, inspiratif, yaitu studi sejarah sebagai inspirasi (ilham atau ide) bagi kehidupan, karena banyak hal dapat diambil hikmahnya dari kehidupan orang-orang di masa lampau.

Ketiga, instruktif, yaitu studi sejarah sebagai pelajaran keterampilan atau pengetahuan generasi terdahulu, karena dengan menelusuri sejarah dapat menyingkap keterampilan atau pengetahuan yang dimiliki generasi terdahulu. Keempat, edukatif, yaitu studi sejarah mendidik pengkajinya, sehingga beroleh kearifan dalam melangkah di masa kini menuju masa depan, sebab – dengan demikian – dapat belajar dari pengalaman orang lain. [4]

Dengan demikian, andai mempelajari sejarah, maka kaum Muslim bukan hanya dapat menarik manfaat inspiratif dan edukatif – sebagaimana diterangkan Al-Qur’an, tetapi juga dapat memetik manfaat rekreatif dan instruktif – sebagaimana dijelaskan oleh Louis Gottschalk tadi.


Respon Sejarawan Muslim


“Mempelajari sejarah bukan hanya karena diperintahkan di dalam al-Qur’an dan bermanfaat, melainkan juga resisten karena bernuansa ideologis. Narasi yang dibangun sejarawan bukan hanya berisi fakta, melainkan juga penafsiran yang tidak netral dari kepentingan.”


A
khirnya, menarik untuk dicermati sikap para sejarawan Muslim atas sejarah Islam itu sendiri. Menarik, karena dihadapkan pada kedigdayaan Barat melalui modernisme atas dunia Islam dan munculnya karya-karya historiografi para sejarawan sekaligus orientalis Barat atau non-muslim yang tendensius, tampak bahwa respon sejarawan muslim terbagi menjadi tiga.

Kesatu, sikap apologetik. Para sejarawan muslim yang bersikap seperti ini membela kelebihan peradaban muslim klasik sebagai capaian sempurna. Namun, dengan rasa kememadaian diri (self sufficiency) di dalamnya, sikap ini terkesan retrospektif, reaksioner, idealistik, dan normatif, sehingga secara intelektual mendorong pemecahan soal Muslim kekinian ke arah retrospektif (ke masa lalu) dan menimbulkan problem abstrak, karena acap kurang relevan dengan realitas sekarang. [5]

Kedua, sikap identifikatif. Para sejarawan Muslim yang bersikap seperti ini menelusuri sejarah Muslim dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi guna merumuskan respon dan identitas Islam di masa modern. Respon ini menjadikan sejarah kaum muslim – terutama klasik – sebagai bahan inspirasi untuk merumuskan respon dan identitas muslim di zaman kontemporer. [6]

Ketiga, sikap afirmatif. Para sejarawan muslim yang bersikap seperti ini melihat sejarah kaum Muslim – terutama klasik – dengan perspektif yang menegaskan kembali kepercayaan kepada Islam sekaligus menguatkan kembali eksistensi masyarakat muslim. [7] Dengan kata lain, jika memandang sejarah Islam klasik, kalangan ini berusaha menegaskan lagi kepercayaannya kepada Islam sekaligus menguatkan lagi eksistensi masyarakat muslim di masa kini.

Dalam takarannya yang ekstrem, sulit dipungkiri bahwa sikap apologetik dan sikap identifikatif dengan sikap afirmatif bukan hanya berbeda, tetapi juga saling menegasikan dan sebagian diantaranya dianggap kurang berdaya guna bagi perbaikan nasib Muslim masa kini dan masa depan. Namun, dalam takarannya yang pas, tiga respons atau sikap tersebut bukan hanya saling melengkapi, namun juga berguna.

Sikap apologetik yang pas bukan hanya pembelaan diri atas berbagai serangan yang tak jarang kurang adil, tetapi juga melahirkan rasa percaya diri. Sikap identifikatif menimbulkan kesadaran historis dan kesadaran merumuskan respon dan identitas muslim kontemporer. Dan sikap afirmatif menegaskan lagi kepercayaan diri muslim kepada Islam dan menguatkan eksistensi masyarakat muslim kontemporer.


Ideologisasi

D
engan demikian, menjadi jelaslah bahwa mempelajari sejarah bukan hanya karena diserukan al-Qur’an dan bermanfaat, melainkan juga resisten karena bernuansa ideologis. Sebab, sejarah bukan hanya menelusuri dan menyuguhkan deskripsi peristiwa, tetapi juga di dalamnya terbuka kesempatan bagi para pengkaji dan pemaparnya untuk menyodorkan interpretasi berdasarkan pengetahuan dan kepentingannya.

Lantaran sejarah adalah ilmu mengenai kenyataan di masa lampau, maka tentu saja bukan hanya fakta atau deskripsi, tetapi juga penafsirannya itu sendiri harus dapat dibenarkan menurut teori kebenaran korespondensi. Namun, karena obyeknya sudah lewat dan penafsirannya acap bias keyakinan dan kepentingan, maka alih-alih menguji penafsiran sejarawan, yang lebih mudah dilakukan justru menguji kebenaran fakta-fakta yang disuguhkan sejarawan.

Betapa pun demikian, menguji kebenaran suatu penafsiran bukanlah kemustahilan. Kendati rentan bias keyakinan dan kepentingan sejarawan, tetapi dengan menggunakan teori kebenaran koherensi (paparannya saling menguatkan) dan teori kebenaran korespondensi (sesuai dengan obyek atau fakta), maka keyakinan dan kepentingan sejarawan yang tergambar dalam bentuk penafsiran sejarahnya akan terlihat dan dapat diterima atau ditolak.

Jadi, permasalahan resistensi dan ideologis dalam blantika historiografi sejarah Islam bukan sesuatu yang luar biasa. Sebab, dengan memberikan kesempatan bagi sejarawan untuk menawarkan penafsirannya, maka dengan sendirinya, setiap karya historiografi sejarah Islam memberikan ruang bagi sejarawan itu untuk mengelaborasi pengetahuan dan kepentingannya dalam karya historiografinya tersebut.

Kalau sudah begitu, biarkan saja khalayak membaca, menilai, dan menyaring sendiri setiap karya historiografi sejarah Islam. Terpenting bagi khalayak adalah mampu membedakan dan menilai fakta yang benar dan penafsiran yang mendekati kebenaran. Selain itu, khalayak juga penting menyadari bahwa narasi sejarah – dalam historiografi – yang dibangun sejarawan bukan hanya berisi fakta, melainkan juga penafsiran yang tidak netral dari kepentingan.

Dengan kata lain, manakala penafsiran sejarah Islam dipublikasikan, maka hal itu sama dengan sejarawan mengadakan ideologisasi (penyebarluasan pandangan). Maka menjadi kian jelas pula bahwa historiografi tidak hanya berguna atau digunakan untuk menyiarkan informasi deskriptif kesejarahan, melainkan juga untuk membangun persepsi atau narasi besar (grand naration) dan karakter (character building) khalayak.

Persoalannya, apakah pandangan tersebut benar, baik, dan indah serta didukung fakta-fakta sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini bukan hanya membutuhkan penguasaan atas pandangan dunia yang teruji kekokohannya, melainkan juga membutuhkan penguasaan atas metode penelitian sejarah, setidak-setidaknya sejak tahap heuristik (pencarian sumber) hingga kritik internal dan eksternal.

Dengan demikian, sebagai wujud syi’ar Islam, maka kaum Muslim terutama sejarawan Muslim harus mengadakan ideologisasi sejarah Islam. Bukan pembelaan membabi buta apalagi menyebarluaskan kekeliruan, melainkan ideologisasi tersebut berlandaskan pada kebenaran sejarah di atas kepentingan sejarawan. Ideologisasi sejarah Islam mestilah diperkuat dengan fakta dan metodologi sejarah serta pemikiran yang jernih.

Dan di antara banyak topik yang penting untuk dijadikan ideologisasi, sejarah Islam klasik terutama sejarah Nabi dan para sahabatnya adalah yang terpenting. Sebab, Nabi bukan saja pembawa Risalah Islam, tetapi juga dalam dunia Islam, sejarah Nabi dan para sahabatnya, merupakan yang paling ideal. Jadi, sejarah Nabi dan para sahabatnya bukan hanya harus diselamatkan dari kekeliruan dan fitnah, tetapi juga harus diutamakan untuk diideologisasikan. □



Catatan Kaki:
[1] Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.
[2] Lihat Musthafa as-Siba’ie. 1983. Akar-akar Orientalisme. Surabaya: Bina Ilmu.
[3] Silakan periksa Philip K. Hitti. 1963. Islam and the West. Van Nostrand Reinhold Inc., U.S.
[4] Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI-Press.
[5] Azyumardi Azra. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Pos-modernisme. Jakarta: Paramadina. Hlm iv-vi.
[6] Ibid.
[7] Ibid. □□

Sumber:
Copyright © 2017 — Gana Islamika.
https://ganaislamika.com/ideologisasi-sejarah-islam-1/
https://ganaislamika.com/ideologisasi-sejarah-islam-2/□□□