MEMBANGUN KEMBALI PERADABAN ISLAM
Secara Sinergis, simultan dan
konsisten
Oleh: Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, MA
Pendahuluan
M
|
embangun
Kembali Peradaban Islam dengan sinergis, simultan dan konsisten ini merupakan
proyek yang sungguh besar. Proyek besar yang telah lama digagas dan dirintis
oleh para tokoh pemikir dan pembaharu Muslim baik di Timur Tengah mapun di
belahan bumi seperti di anak benua Indo-Pakistan, di dunia Melayu, dan di dunia
Barat adalah Membangun Kembali Peradaban
Islam. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan dan
keberhasilan yang dicapai oleh para pendahulu kita, kita berkewajiban untuk
mengambil pelajaran dari mereka dan menyusun strategi baru bagi kelanjutan
proyek tersebut.
Proyek ini semakin penting untuk dibahas
kembali dan perlu terus direalisasikan secara perlahan-lahan. Sebab
stigmatisasi masyarakat Barat terhadap Islam dan umat Islam dengan
“fundamentalisme, terrorisme, ekslusifisme” dsb yang marak akhir-akhir ini
berangkat dari asumsi bahwa Islam hanyalah denominasi agama dan kepercayaan
yang menghasilkan fanatisme. Akibat stigma ini umat Islam bersikap responsif
dan reaktif sehingga cenderung hanyut ke dalam bahasa-bahasa peperangan psikis
(psy-war) yang
tidak produktif bagi dialog peradaban. Mereka seakan melupakan fakta bahwa Islam adalah sebuah agama yang
telah terbukti mampu berkembang menjadi peradaban yang bermartabat yang kaya dengan
konsep dan sistem kehidupan yang teratur selama berabad-abad lamanya.
Masyarakat dunia kini memerlukan dialog
dalam bahasa peradaban, bukan hanya dalam bahasa agama. Disini identitas
masing-masing peradaban perlu diperkenalkan kembali, untuk kemudian ditemukan
sisi perbedaan dan persamaan agar dapat ditentukan bentuk kerjasama dan
batas-batas toleransi yang dapat dan harus dipegang.
Secara internal proyek pembangunan peradaban
Islam merupakan jawaban konprehensif bagi berbagai persoalan yang menggelayuti
kehidupan umat Islam dewasa ini. Oleh karena itu diperlukan pembahasan yang
agak radikal (dari radiksnya, dari akarnya), yaitu dengan merujuk konsep-konsep
dasarnya di atas mana peradaban Islam pernah dibangun dan akan kita bangun
kembali.
Makna Peradaban Islam
Islam yang diturunkan sebagai dīn,
sejatinya telah memiliki konsep seminal (cikal bakal)-nya peradaban. Sebab kata dīn itu
sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum,
dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum, dan
mencari pemerintah yang adil. Artinya dalam istilah dīn itu
tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika dīn (yang
sering secra awam diterjemahkan dengan arti agama – catatan dari admin) Allah yang bernama Islam itu telah
disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari
akar kata dīn dan Madinah ini
lalu dibentuk akar kata baru madana, yang
berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.
Dari akar kata madana lahir
kata benda tamaddun yang secara literal berarti
peradaban (civilization) yang berarti juga kota
berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau
kebudayaan kota (culture of the city). Di
kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun
digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam
sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah
Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun
digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun
digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda
menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat.
Namun
di Turkey orang dengan menggunakan akar madinah atau madana atau madaniyyah
menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti.
Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata Hadharah untuk
peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang
kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak
benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk
pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhIb.
Islam
sebagai Peradaban
Konon, ketika Nabi menerima laporan bahwa
ajakannya kepada Kaisar Romawi, Heraclitus untuk berpegang pada keyakinan yang
sama (kalimatun sawa’) ditolak dengan halus, nabi
hanya berkomentar pendek “sa uhajim al-rum min uqri baiti” (akan
saya perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi ini bukan genderang
perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak
menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang
dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi
yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan
Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700 an, tidak
lebih dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad (632 M), ummat Islam
telah tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya
jatuh ketangan Alexander the Great. Selanjutnya, Muslim memasuki kawasan yang
telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut
William R Cook pada tahun 711 M – 713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah
jatuh ketangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan
itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan
kawasan itu dapat menjadi Muslim. Baru pada abad ke sebelas kerajaan Kristen di
kawasan itu mulai melawan Muslim. Demitri Gutas dengan jelas mengakui:
…..pada
tahun 732 M kekuasaan dan peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan
agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia
Tengah dan anak benua India hingga Spanyol dan Pyrennes (daerah selatan
Perancis).
Gutas bahkan menyatakan bahwa dengan
munculnya peradaban Islam, Mesir untuk pertama kalinya, sejak penaklukan
Alexander the Great, dapat dipersatukan secara politis, administratif dan ekonomis
dengan Persia dan India dalam jangka waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi
dan kultural yang memisahkan dua dunia yang berperadaban, Timur dan Barat,
sebelum Islam datang yang dibatasi oleh dua sungai besar dengan mudahnya lenyap
begitu saja.
Sudah tentu proses kejatuhan Romawi tidak
disebabkan oleh faktor tunggal. Edward Gibbon dalam The
Decline And Fall Of The Roman Empire menyatakan bahwa periode kedua
dari merosot dan jatuhnya Kekaisaran Romawi disebabkan oleh lima factor. Pertama: Di era
kekuasaan Justinian banyak wewenang memberi kepada Imperium Romawi di Timur; Kedua: Adanya invasi Italia oleh Lombards; Ketiga: Penaklukan
beberapa provinsi Asia dan Afrika oleh orang Arab yang beragama Islam; Keempat: Pemberontakan
rakyat Romawi sendiri terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah; Dan
terakhir. Kelima: Munculnya
Charlemagne yang pada tahun 800 M mendirikan Kekaisaran Jerman di Barat.
Jadi penyebab kejatuhan Romawi merupakan
kombinasi dari berbagai faktor, seperti problem agama Kristen, dekadensi moral,
krisis kepemimpinan, keuangan dan militer. Dan di antara faktor terpenting
penyebab kajatuhan Romawi adalah datangnya Islam. Pernyataan Nabi yang
diplomatis itu nampaknya terbukti. Nabi tidak pernah pergi menyerang Romawi
Barat maupun Timur, tapi datangnya gelombang peradaban Islam telah benar-benar
menjadi faktor penyebab kejatuhan Romawi. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam
sebagai din yang menghasilkan tamaddun
yang
dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Sebab Islam membawa
sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, sehingga mampu membawa
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa
non Arab karena universalitas ajarannya alias kekuatan pancaran pandangan
hidupnya.
Ketika Kaisar Persia Ebrewez, cucu Kaisar
Khosru I, merobek-robek surat Nabi sambil berkata: ”Pantaskah orang itu menulis
surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku”, Nabi pun berkomentar pendek
“Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”. Dan Sabda Nabi kembali terbukti bahwa
sesudah itu putera Kaisar yang bernama Qabaz merebut kekuasaan dengan membunuh
Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian hanya berkuasa empat bulan
saja lamanya. Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh
kali dalam masa empat tahun. Ia benar-benar porak poranda. Akhirnya, rakyat
mengangkat kaisar Yazdajir dan pada masa inilah Persia tidak berdaya ketika
tentara Islam datang. Sejak itu kekaisaran Persia benar-benar runtuh.
Sebagaimana sikapnya terhadap kekaisaran
Romawi, Nabi tidak keluar rumah untuk menjatuhkan (merobek-robek) kekaisaran
Persia. Nabi hanya menyebarkan Islam yang memang merupakan peradaban yang
memiliki konsep ketuhanan, kemanusiaan dan kehidupan yang jelas dan teratur. Di
Indonesia, Islam masuk tanpa peperangan. Islam masuk dan diterima oleh
masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena
kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk kedalam pandangan hidup masyarakat
nusantara waktu itu, maka dalam kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa
Islam tersebar bukan melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan
menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya.
Tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal.
Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat
masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau
diselamatkan ummat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban
Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.
Substansi Peradaban Islam
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn
Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri,
aritmetik, astronomi, optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu
peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan.
Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu
pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas
yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umrAn. Tamadun berasal dari kata Arab
'maddana' yang berarti membangun suatu kota atau seseorang/masyarakat yang
mempunyai peradaban. Kata tamadun dapat diartikan kepada keadaan hidup
bermasyarakat yang bertambah maju. Istilah-istilah lain yang sama pengertiannya
dengan tamadun adalah: umran, hadarah, madaniyah. Dalam bahasa Inggris, istilah
yang hampir sama dengan tamadun adalah: culture dan civilisation atau
kebudayaan dalam bahasa Indonesia. Para sarjana telah membahas persamaan dan
perbedaan istilah-istilah tersebut. Istilah Tamadun banyak digunakan dalam
penulisan Tamaddun Islam. harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika
komunitas itu membesar maka akan lahir umrAn besar.
Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota.
Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan
kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya
lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara,
kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari
komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu
umrAn
bagi
Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan
papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian
(kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban
itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan
kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas
atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat
bahwa agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb
menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban
Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun
prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip
itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa),
keyakinan kepada keesaan Tuhan (tauhid),
supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material,
pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani,
penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di
Bumi berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad
Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban.
Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban
mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga
mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan
seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang
kemudian disebut sebagai peradaban itu.
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas
peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang
seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya
atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan
hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap
peradaban dunia.
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan
agama kini telah banyak yang menggunakan worldview
sebagai matrik atau framework. Ninian Smart
menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Mawdudi, Sayyid
Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam, Alparslan
Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya untuk perbandingan
ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn dengan konsep
paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview bagi
kajian sains.
Meski mereka berbeda pendapat tentang makna worldview,
mereka pada umumnya mengaitkan worldview dengan
peradaban atau seluruh aktivitas ilmiyah, sosial dan keagamaan seseorang.
Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview
sebagai “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang
yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan
moral.” Penekanannya pada fungsi worldview
sebagai motor perubahan sosial dan moral. Secara filosofis Thomas F Wall,
memaknai worldview sebagai “sistem kepercayaan
asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna
eksistensi”. Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiyah Alparslan Acikgence
memaknai worldview sebagai asas bagi setiap
perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiyah dan teknologi. Setiap
aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya
aktivitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan hidup itu.Dalam konteks
sains, hakekat worldview juga dapat dikaitkan
dengan konsep “paradigma” Thomas S Kuhn. Istilah Kuhn “perubahan
paradigma” (paradigm shift) menurut
Edwin Hung sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung
Revolution (revolusi pandangan hidup). Sebab,
paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi,
yang merupakan worldview dan framework
konseptual
yang diperlukan untuk kajian sains.Singkatnya, worldview
berkaitan erat secara konseptual dengan segala aktivitas manusia secara sosial,
intelektual dan religius. Dan yang terpenting adalah bahwa worldcview
sebagai sistem kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai memiliki
kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang
sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban
bersumber dari worldview.
Jika makna worldview adalah
konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan
asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan
memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral.
Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang memproyeksikan pandangan
Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup atau
pandangan alam Islam (worldview, al-tashawwur al-Islami, al-mabda
al-Islami) itu. Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium
pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut din, yang di
dalamnya terkandung konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview
memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-Mawdudi worldview Islam
adalah Islami Nazariyat (Islamic
Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep
keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada
keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia….secara menyeluruh”.Menurut
Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-tashawwur
al-Islami, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi
yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran
khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat
dibalik itu.” Worldview dalam istilah Shaykh
Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-Islami yang
lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai
aqidah
fikriyyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal.
Sebab baginya iman didahului dengan akal. Namun Shaykh Atif juga menggunakan
kata-kata mabda untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti
bahwa tidak selamanya berarti aqidah fikriyyah. S.M.Naquib
al-Attas mengartikan worldview Islam sebagai pandangan
Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang
menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud
yang total, maka worldview Islam berarti pandangan
Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam li al-wujud).
Jadi sebagaimana peradaban lainnya,
substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas
pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan
super-sistem yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya
pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqidah) dalam
Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan
kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu
berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan
kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan
dalam bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau
bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan
bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam.
Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban
merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia
untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi
dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk
hidup. Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu
bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat
kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh
ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di
dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf
kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan
prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal
ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang
lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang
berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam
peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban
Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.
Tradisi
intelektual Islam
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh
dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi
perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis
tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh)
terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara
berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah.
Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan alam Islam. Di dalam al-Qur’an ini
terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan
dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin dan
para ulama yang datang kemudian. Konsep ‘ilm yang
dalam al-Qur’an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama
sehingga memiliki berbagai definisi. Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan
dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam
berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang
kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks
wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual
dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan
yang disebut al-Suffah dan komunitas
intelektualnya disebut Ashhab al-Suffah. Di
lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith
Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya
masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu,
yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan
dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan
tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the
cradle of western civilization). Yang jelas, Ashhab
al-Suffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi
kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi
intelektual dalam Islam.Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan,
alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya Abu
Hurayrah, Abu Dharr al-Ghiffari, Salman al-Farisi, ‘Abd Allah ibn Mas’ud dan
lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith
ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak
lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam
berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (w.80H/ 699 M),
Muhammad ibn al-Hanafiyyah (w.81/700), Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (w.102/720) Wahb
ibn Munabbih (w.110,114/719,723), Hasan al-Bashri (w.110/728), Ja’far al-ShAdiq
(w.148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf
(w.182/799), al-Shafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan
tersebut di atas, secara epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview),
yaitu pandangan alam yang memiliki konsep-konsep yang canggih yang menjadi asas
epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut. Dengan adanya konsep yang
canggih para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat akhirnya dapat
mengembangkan istilah-istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan konsep
tersebut berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific
conceptual scheme. Dari konsep ‘Ilm ini
pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih,
Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarith, Kalam, tasawwuf dsb.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu
pengetahuan dalam Islam dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah
di Andalus Spanyol. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual
di sana sebagai berikut:
….pada
masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin
mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak
sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika
seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu
menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi
selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat,
sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana
beberapa universtias penting berada.
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya
Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle, dan juga
tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis,
karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah
berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi.Puncak kegiatan transmisi
terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut Demitri Gutas proses
transmisi (penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik
dan intelektual.Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit
penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga
dampaknya secara kultural sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan
karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar,
memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam.Jadi proses asimilasi
terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi
pemikiran Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan
pandangan hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan kedoketeran Yunani
diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Produk
dari proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran
Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya
konsep jawhar para mutakallimun dengan
konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan Alfred Gullimaune yang
menyatakan bahwa framework, ruang lingkup dan
materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani
mendominasi sistem ummat Islam. Sejatinya pemikiran Yunani tidak dominan,
sebab jika demikian maka Muslim tidak mampu melakukan proses transmisi. Oleh
karena itu Muslim lebih berani memodifikasi pemikiran Yunani ketimbang
masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim bahkan mampu
mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring
sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari
Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui
karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains dengan
agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan
tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya
kalangan teologi Kristen kedalam aliran Averoesm dan Avicennian merupakan bukti
bahwa Kristen memahami Yunani melalui pandangan hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini
bahwa pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam
di Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah
satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu
merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti
karakteristik penting peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di
Baghdad adalah semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam
menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun membahas secara panjang lebar
ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu,
seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang
(bussiness
arithmetic), ilmu hukum waris (faraidh),
geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu
fisika, kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.
Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibn
Khaldun di atas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual
bukanlah satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan
berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan
berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung
tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir adan
hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume
urbanisasi (‘umran) semakin tumbuh pula peradaban
dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam peradaban
(Hadharah)
menjadi besar yang penduduk perkotaannya meningkat.
Sumbangan
Islam kepada Barat
Untuk melihat watak atau karakteristik
peradaban Islam, ada baiknya jika dilihat dari apa yang disumbangkan Islam
kepada peradaban lain, khususnya Barat. Atau dengan perkataan lain apa yang
dimanfaatkan peradaban lain dari Islam telah menunjukkan karakter peradaban
Islam itu sendiri. Fakta sejarah membuktikan bahwa di Spanyol orang-orang
Kristen tenggelam kedalam apa yang disebut sebagai Mozarabic
Culture.Kultur Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi
sumbangan besar bagi lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris menggambarkan
bahwa kontak dan konflik antara Kristen-Yahudi dan Muslim memberi stimulus
tidak saja kepada bangkitnya ideologi dan intelektualitas Eropa Abad
Pertengahan, tapi juga imaginasinya. Maksudnya keingintahuan orang-orang
Barat tumbuh ketika menyadari bahwa Muslim memiliki pandangan hidup yang
canggih (sophisticated) dan ilmu pengetahuan yang
kaya lebih dari apa yang terdapat di dunia Latin. Inilah yang sebenarnya
terjadi.
Dari perspektif teori terbentuknya pandangan
hidupkita dapat menyatakan bahwa Spanyol adalah tempat dimana Barat menyerap
aspirasi dari Muslim bagi pengembangan pandangan hidup mereka. Atau
setidak-tidaknya, Barat memanfaatkan pertemuan mereka dengan Muslim untuk
memperkaya pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Barat
menempuh berbagai macam cara untuk mentransfer aspek-aspek penting pandangan
hidup Islam yang berupa konsep-konsep itu. Jayusi mengkaji dan menemukan bahwa
model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat ada lima: Pertama,
melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara oral oleh
orang-orang Barat. Kedua,
dengan cara kunjungan atau turisme, pada abad ke 7 M, Cordoba adalah ibukota
negara Islam yang menonjol dan merupakan kota yang paling berperadaban di
Eropa, dan karena itu orang Eropa berduyun-duyun mengunjungi tempat ini untuk
belajar dari peradaban Islam. Ketiga, waktu
itu terdapat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan yang dikirim
dari kerajaan-kerajaan di Eropa. Keempat,
dengan cara menterjemahkan karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya,
monastri-monastri Eropa, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan 13 M
memiliki ruangan penyimpan manuskrip bagi sejumlah besar karya-karya ilmiyah
orang Islam untuk mereka terjemahkan. Kelima, untuk
kelancaran proses penterjemahan raja-raja Eropa mendirikan sekolah untuk para
penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota
tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk menggali ilmu pengetahuan
Islam yang terdapat pada perpustakaan-perpustakaan bekas jajahan Muslim itu.
Namun, kebangkitan Barat tidak terjadi
langsung sesudah proses tranformasi tersebut di atas. Sebab tidak ada peradaban
yang bangkit secara mendadak dan tiba-tiba, sekurang-kurangnya diperlukan waktu
satu abad lamanya bagi suatu peradaban untuk bangkit. Islam sendiri bangkit
menjadi sebuah peradaban yang memiliki konsep-konsep kepercayaan, kehidupan,
keilmuan dan lain sebagainya sesudah beberapa abad lamanya. Dari awal
kemunculannya pada abad ke 7 M, Muslim baru dapat dianggap sebagai peradaban
yang kuat pada abad ke 10 M, di saat mana para cendekiawannya mampu menguasai
ilmu pengetahuan Yunani, Persia dan India, dan kemudian menghasilkan ilmu
pengetahuan baru yang telah disesuaikan dengan konsep-konsep penting dalam
pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan di antaranya adalah
matematika, kedokteran, farmasi, optik dan lain-lain. Ini bukan sekedar
sistematisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti yang diduga para orientalis,tapi
menyangkut hal-hal yang detail dan bahkan menghasilkan prinsip-prinsip baru
dalam bidang sains, sehingga hasilnya sains dalam Islam yang – dalam bahasa
Willian McNeil – “went beyond anything known to these ancient
preceptors“.
Dengan datangnya Islam yang menyatukan
kawasan-kawasan Timur Dekat kedalam kekhalifahan Islam, kepeloporan di bidang
sains berpindah ketangan orang-orang Islam dan bertahan hingga abad ke 12.
Namun, menurut Ahmad Y al-Hassan, professor sains di Universitas Toronto, sains
Islam masih berkembang dan Muslim masih menjadi pelopor sains pada abad ke 13
hingga ke 16, khususnya di negara-negara Islam bagian Timur. Sebab pada
tahun 1259 di Maragha didirikan Observatorium astronomi dan terus beroperasi
hingga tahun 1304. Observatorium ini memiliki perpustakaan dengan 400.000 judul
buku, dan didukung oleh para saintis yang mumpuni di bawah pimpinan Nashr
al-Din al-Tusi. Mereka itu adalah Quthb al-Din al-Shirazi, Mu’ayyid al-Din
al-Urdi, Muhyi al-Din al-Maghribi dan lain-lain. Lembaga ini bukan hanya
institusi pengkajian dalam bidang astronomi, tapi juga merupakan sebuah akademi
yang memberi kesempatan untuk kerjasama dengan lembaga lain dan bertukar
pikiran dengan saintis lain.
Lebih canggih dari Maragha adalah
observatorium yang didirikan di Samarqand. Sponsornya adalah Ulugh Beg putra mahkota
yang juga saintis. Observatorium ini selesai dibangun pada tahun 1420 dan terus
beroperasi hingga tahun 1470 an. Yang terlibat dalam pusat sains ini adalah
ahli astronomi matematika terkenal Giyath al-Din Jamshid al-KashI, QAdizada
al-Rumi dan ‘Ali ibn Muhammad al-QushjiI. Observatorium yang terakhir dalam
Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan Sultan Murad III
(1574-1595). Pendiri dan Direkturnya adalah TaqI al-Din Muhammad ibn Ma’ruf
al-Rashid al-Dimashqi.
Pusat-pusat kajian sains tersebut tidak
bertahan lama karena pada abad-abad ke 12 hingga ke 15 keadaan ekonomi dan
politik ummat Islam mulai melemah sehingga kerja saintifik kehilangan
momentumnya. Dukungan moral dari masyarakat pun semakin mengecil. Al-Hassan
berasumsi bahwa jika ummat Islam tidak kehilangan kekuatannya, dan jika ekonomi
ummat Islam tidak rusak dan jika stabilitas politik tidak terganggu dan jika
para ilmuwan itu diberi waktu lebih lama lagi untuk berkreasi, maka mereka akan
berhasil melebihi apa yang dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton.
Sebab model planetarium Ibn Shathir dan astronomer Muslim lainnya ternyata
telah membuktikan adanya sistem heliosentris lebih dulu 200 tahun dari
Cipernicus.
Sebaliknya Eropa yang pada waktu itu secara
ekonomis mulai naik, bergiat mentransfer dan mengasimiliasi buku-buku filsafat
dan sain dalam Islam. Oleh karena itu tidak heran jika karya-karya ilmuwan
Eropa Abad Pertengahan tidak lepas dari karya-karya terjemahan dari bahasa
Arab. Maka dari itu sejarawan mencatat bahwa perkembangan Eropa Barat yang
terjadi pada pertengahan abad ke 13 merupakan kombinasi elemen yang dinamakan Greco-Arabic-Latin.
Meskipun begitu di Eropa nama-nama saintis Muslim tidak menonjol bahkan tidak
banyak mereka sebut secara eksplisit. Yang pasti setelah mereka mentransfer
filsafat dan sains dari Islam Eropa pada akhir abad ke 15 konsep-konsep mereka
tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan menjadi matang dan melapangkan jalan
bagi perkembangan filsafat dan sains di Barat. Kristen di Barat menjadi
kekuatan kultural yang menonjol, dan Eropa mencatat peristiwa sejarah yang
disebut Revolusi Sains (Scientific Revolution).
Itulah sumbangan penting peradaban Islam terhadap peradaban Barat.
Meskipun demikian kita tidak bisa mengambil
kesimpulan bahwa karena konsep-konsep penting di dalam kebudayaan Barat itu
hasil adapsi dari peradaban Islam, maka kita dapat mengambil kembali begitu
saja konsep-konsep itu langsung dari Barat, tanpa proses. Sebab orang-orang
Barat mengambil konsep-konsep itu dengan proses epistemologis yang panjang yang
pada akhirnya menghasilkan konsep-konsep yang sudah tidak lagi dapat dikenali
konsep aslinya, yaitu Islam. Hal yang sama dilakukan orang Islam ketika
mengadapsi warisan Yunani. Professor Cemil Akdogan memberi contoh bahwa David
Hume, yang meniru konsep dan pandangan al-Ghazzali tentang hubungan kausalitas,
ternyata memodifikasinya sehingga menjadi sekuler, dan hasilnya berbeda dari
konsep al-Ghazzali sendiri.
Kemunduran
Peradaban Islam
Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban
Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan
begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan,
kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak
dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah
sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga
bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan
membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor
lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal –
berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal
terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran
umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus
menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20M Faktor-faktor tersebut
adalah sbb:
Faktor ekologis dan alami, yaitu
kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi
gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu.
Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai
besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis
seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi
pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama,
Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai
bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan)
disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349
terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak
geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan
target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di
antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
Faktor eksternal. Faktor
eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib,
yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an.
“Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman
pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan
materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.”Sedangkan tentara
Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan
Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil
merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan
serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
Hilangnya Perdagangan Islam Internasional
dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh
dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute
ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang
sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara
Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam
sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka.
Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi
kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19
jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk
Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat
waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274
juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah
inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.
Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul
sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban
kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan
berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat.
Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara
Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke
Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya
kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan
negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian
pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia
Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan
kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang
selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat
dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide
et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan
akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.
Itulah di antara faktor-faktor eksternal
yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn
Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis
negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone
panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar
lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India,
China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah
peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat
runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat
menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak
hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih
jelas Ibn Khaldun menyatakan:
Tindakan
amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat
dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji
cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk
tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu,
menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.
Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan
hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa
dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik
mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan
berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua
itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya
sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.
Dalam peradaban yang telah hancur,
masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya
dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai
oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha.
Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
…..mata
pencaharian mereka yang mapan telah hilang, ….jika ini terjadi terus menerus,
maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka
benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan
kehancuran peradaban.
Lebih
lanjut ia menyatakan:
Jika
kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya
juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.
Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun,
kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya
manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah
pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya
moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian
masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan
keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan
al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan
pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban
dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2)
penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4)
orientasi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak
secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9)
Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang
secara tidak tepat.
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada
masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun
berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan
politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak
terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains.
Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat
kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad,
Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti
atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu
Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.
Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik
dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran
peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa
terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn
Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya.
Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan
mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.
Membangun
Kembali peradaban Islam
Membangun kembali peradaban Islam memerlukan
beberapa prasyarat konseptual. Pertama,
memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam dimasa lalu, kedua,
memahami kondisi ummat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau
problematika yang sedang dihadapi ummat Islam masa kini. Dan ketiga,
sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci
dalam Islam. Yang pertama telah kita bahas di atas, dimana telah digambarkan
mengenai cara-cara bagaimana kejayaan peradaban Islam itu dicapai dan bagaimana
kejatuhannya itu terjadi. Sedangkan yang kedua akan
kita bahas khususnya untuk mencari solusi yang berupa langkah-langkah strategis
dan juga praktis. Pada saat yang sama kita perlu memahami Islam dengan menggali
konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat membentuk bangunan baru
peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman. Artinya dengan
konsep-konsep Islam kita dapat bersikap kritis ataupun apresiatif terhadap
konsep-konsep yang datang dari luar Islam. □
Bersambung ke: Membangun Kembali Peradaban Islam2