Monday, January 11, 2016

Kiprah Orang Minang Dirantau




M
erantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu. Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Seembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Batal, Bengkulu,  hingga Lampung. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan.  Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali, dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia, termasuk di kota-kota negara Amerika Serikat.

Perantauan Intelektual

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Makkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amarullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropah. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.

Sebab Merantau

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme [1] melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan: “Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun”, artinya: “Lebih baik pergi merantau karena di kampung belum berguna”. Dengan pandangan seperti itu mengakibatkan pemuda Minang menjadi pergi merantau sedari muda.

Faktor Ekonomi

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka. Sehingga julukan suvarnadvipa - pulau emas yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires [2] sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung. Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.
Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari  dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.  Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.

Faktor Perang

"Orang Minang merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik dari Jawa maupun Eropa". [Audrey R. Kahin]

Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri, muncul Pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam Perang Belasting [4] menentang belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927. Setelah kemerdekaan muncul PRRI [5] yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain. Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai [6] berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung. Orang Kubu [7] menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden  sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.

Merantau Dalam Sastra

Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka,  dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan karya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A. A. Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

Orang Minangkabau dan Kiprahnya

Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia pada abad ke-20 merupakan orang Minang. 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, beberapa ulama Minangkabau seperti Tuan Tunggang Parangan, Dato ri Bandang, Dato ri Patimang, Dato ri Tiro, dan Dato Karama, menyebarkan Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa Tenggara.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Makkah  memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah, banyak melahirkan aktivis yang berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A. R. Sutan Mansur, Sirasjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920–1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Muhammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai Perdana Menteri adalah Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir; Sebagai Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta adalah Assaat Datuk Mudo yang dikenal sebagai Mr. Assaat [8]; Seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta); Seorang menjadi Pimpinan Parlemen, Chaerul Saleh, dan puluhan yang menjadi menteri, di antaranya ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, Rizal Ramli, Marzoeki Jatim, Tarmizi Taher dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideology seperti islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Selain menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah dan Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta)), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani, Mohammad Isa, dan Rosihan Arsyad (Sumatera Selatan), Eny Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosia;is Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktivis pergerakan.
Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A. A. Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufiq Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana dan Sutan Muhammad Zain, dua ahli tata bahasa yang melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami, telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Selain Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Di samping menjadi politisi dan penulis, kiprah Orang Minang juga cukup menonjol di bidang intelektualisme. Kebiasaan mereka yang suka berpikir dan menelaah, telah melahirkan beberapa pakar di dunia kedokteran, humaniora, hukum, dan ekonomi, yang kesemuanya memberikan sumbangan besar terhadap bangsa Indonesia. Di antara mereka yang cukup dikenal adalah Ahmad Syafii Maarif, Hazairin, Syahrir, Taufik Abdullah, dan Azrul Azwar.
Di Indonesia dan Malaysia, selain orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik ALatief Corporation), Bazrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia).
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Afgan Syah Reza, Dorce Gamalama, Marshanda, Eva Arnaz, dan Nirina Zubir. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Selain mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfileman Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.
Di Malaysia dan Singapura, kontribusi orang Minangkabau juga cukup besar. Pada tahun 1723, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I, duduk sebagai sultan Johor sebelum akhirnya mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau. Di awal abad ke-18, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil meneruka Pulau Pinang. Tahun 1773, Raja Melewar diutus Pagaruyung untuk memimpin rantau Negeri Sembilan. Ia juga menyebarkan Adat Perpatih dan Adat Tumenggung, yang sampai saat ini masih berlaku di Semenanjung Malaya. Menjelang masa kemerdekaan beberapa politisi Minang mendirikan partai politik. Di antaranya adalah Ahmad Boestaman yang mendirikan Parti Rakyat Malaysia dan Rashid Maidin yang mengikrarkan Partai Komunis Malaya. Setelah kemerdekaan Tuanku Abdul Rahman menjadi Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia, sedangkan Rais Yatim, Amirsham Abdul Aziz, dan Abdul Samad Idris, duduk di kursi kabinet. Beberapa nama lainnya yang cukup berjasa adalah Sheikh Muszaphar (astronot pertama Malaysia), Muhammad Saleh Al-Minangkabawi (kadi besar Kerajaan Perak), Tahir Jalaluddin Al-Azhari (ulama terkemuka), Adnan bin Saidi (pejuang kemerdekaan Malaysia), dan Abdul Rahim Kajai (perintis pers Malaysia). Di Singapura, Mohammad Eunos Abdullah dan Abdul Rahim Ishak muncul sebagai politisi Singapura terkemuka, Yusof bin Ishak  menjadi presiden pertama Singapura, dan Zubir Said menciptakan lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura.
Beberapa tokoh Minang juga memiliki reputasi internasional. Di antaranya, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, dan menjadi orang Hindia pertama yang duduk sebagai anggota parlemen Belanda. Di Arab Saudi, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, menjadi satu-satunya orang non-Arab yang pernah menjabat imam besar Masjidil Haram, Makkah. Mohammad Natsir, salah seorang tokoh Islam terkemuka, pernah menduduki posisi presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. □ AFM


Catatan Kaki:

[1] Parokialisme: Artinya, yang berpandangan picik, sedangkan anti-parokialisme maksudnya yang berpandangan luas.

[2] Tomé Pires (1465?-1524 atau 1540) adalah seorang apoteker warga Portugis dari Lisbon yang tinggal sejak tahun 1512 sampai tahun 1515 di Malaka ketika Portugis berhasil mendudukinya, Portugis adalah bangsa Eropa pertama kali tiba di Asia Tenggara. Pires adalah seorang apoteker untuk Pangeran Afonso, putra Raja John II dari Portugis yang kesehatannya perlu perawatan khusus.
               Ia pergi juga ke India pada tahun 1511 mencari bahan-bahan untuk obat-obatan sebagai komoditi bernilai yang ada di Timur yang merupakan elemen penting dari apa yang umumnya disebut "perdagangan rempah-rempah". Disamping itu di Malaka ini dia rajin mengumpulkan dan mendokumentasikan informasi tentang daerah Melayu - Indonesia, dan secara pribadi mengunjungi Jawa, Sumatera (dua pulau dominan modern Indonesia) dan Maluku.

[3]Audrey R. Kahun, Seorang sejarawan Asia Tenggara, adalah editor dari Interdiciplin Journal Indonesia.
[4] Perang belasting merupakan perang bersenjata pada 15-16 Juni 1908 yang melibatkan rakyat Sumatera Barat melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda akibat penerapan pajak (bahasa Belanda: belasting) langsung kepada masyarakat. Perlawanan masyarakat atas pemberlakuan pajak langsung ini dibalas oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan reaksi keras mengirimkan marechaussee (marsose) ke daerah konflik tersebut, yang akhirnya menimbulkan korban jiwa pada masyarakat maupun tentara kolonial. Perang belasting ini diawali di Kamang, kemudian menyebar pada kawasan lain seperti Manggopoh, Linatu Buo dan lain-lain.

[5] PRRI, kepanjangannya adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia merupakan salah satu gerakan pertentangan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di mana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.
Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.

[6] Orang Sakai adalah masyarakat terasing seperti Suku Kubu.

[7] Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.

[8] Assaat Datuk Mudo, dikenal juga sebagai Mr. Assaat, lahir di Dusun Kampuang nan Limo Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, tanggal 18 September 1904. Meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976, pada usia 71 tahun. Mr. Assaat adalah seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta (1949-1950). Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.

Sumber:

Wikipedia dan sumber-sumber lainnya, □□□