M
|
erantau pada etnis Minang telah berlangsung
cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana
banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.
Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang
yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni
dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri
Seembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga
terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang
pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan
Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Batal, Bengkulu, hingga Lampung. Setelah Kesultanan Malaka jatuh
ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah
ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi
pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk
Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau
di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika
Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan
Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika
perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan,
Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961
jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali
dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali,
dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari
jumlah penduduk Jakarta waktu itu. Kini Minang perantauan hampir tersebar di
seluruh dunia, termasuk di kota-kota negara Amerika Serikat.
Perantauan Intelektual
Pada akhir abad
ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Makkah untuk mendalami agama
Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di
tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan
pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang
kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori
oleh Abdul Karim Amarullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur
Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropah. Mereka antara
lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad
Amir. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa
dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang
tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang
kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.
Sebab Merantau
Ada banyak penjelasan
terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan
matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum
perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu,
setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang
tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya,
dan anak-anak.
Para perantau yang
pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau
kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat
berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang
tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh
teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk
merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena
alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan
pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek,
sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme
[1] melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal
ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.
Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah
Minang yang mengatakan: “Karatau madang dahulu, babuah babungo alun,
marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun”, artinya: “Lebih baik pergi merantau karena di kampung belum
berguna”. Dengan pandangan seperti itu mengakibatkan pemuda Minang menjadi
pergi merantau sedari muda.
Faktor Ekonomi
Penjelasan lain
adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya
alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama
tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam
yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk
memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga.
Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan
dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang
pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke
tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang
dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi
sebagai pedagang kecil.
Selain itu,
perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh
kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan
pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas,
tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu
diolah oleh mereka. Sehingga julukan suvarnadvipa - pulau emas yang
muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk
pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang dari Arab
pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah
menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad
ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé
Pires [2] sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di
Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari
kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran
Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja
Minangkabau.
Dalam prasasti yang
ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal
inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang
dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas
kepada raja Pagaruyung. Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal
tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur
Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu
(Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya
adalah pendulang emas.
Sementara itu dari
catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas
dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih
menjumpai para pendulang emas. Sampai
abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles
untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang
berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.
Faktor Perang
"Orang Minang
merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan
yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan
luar, baik dari Jawa maupun Eropa". [Audrey R. Kahin]
Beberapa peperangan juga menimbulkan
gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik,
setelah Perang Padri, muncul Pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa
Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam Perang Belasting [4] menentang
belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927. Setelah kemerdekaan
muncul PRRI [5] yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran
masyarakat Minangkabau ke daerah lain. Dari beberapa perlawanan dan peperangan
ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan.
Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu
mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai
[6] berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa
mereka berasal dari Pagaruyung. Orang Kubu [7] menyebut bahwa orang dari
Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk
masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman
mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De
Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di
Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak
minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang
begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada
penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok
tersebut.
Merantau Dalam Sastra
Fenomena merantau
dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi
para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli,
bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan
menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak
perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh
masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain
novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti
Nurbaya dan Salah Asuhan karya
Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut,
dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat.
Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad
Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya
menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang
berjudul Kemarau, A. A. Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun
kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau
Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya
Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau
Minang juga dikisahkan dalam film Merantau
karya sutradara Inggris, Gareth Evans.
Orang
Minangkabau dan Kiprahnya
Orang Minang terkenal
sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di
seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian,
antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang.
Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia),
Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.
Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh
penting Indonesia pada abad ke-20 merupakan orang Minang. 3 dari 4 orang
pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
Keberhasilan dan
kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu
mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung
Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo
mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang
melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri
baru tersebut dari kalangan mereka. Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17,
beberapa ulama Minangkabau seperti Tuan Tunggang Parangan, Dato ri Bandang, Dato
ri Patimang, Dato ri Tiro, dan Dato Karama, menyebarkan Islam di Kalimantan,
Sulawesi, dan Kepulauan Nusa Tenggara.
Kedatangan reformis
Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Makkah memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau.
Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah, banyak melahirkan aktivis
yang berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A. R. Sutan Mansur,
Sirasjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada
periode 1920–1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah
Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun
1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional untuk wilayah Asia
Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda
yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi
asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus
Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Muhammad Hatta, menjadi
ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang
Minangkabau duduk sebagai Perdana Menteri adalah Sutan Syahrir, Mohammad Hatta,
Abdul Halim, Muhammad Natsir; Sebagai Pemangku Jabatan Presiden Republik
Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta adalah Assaat Datuk Mudo yang dikenal
sebagai Mr. Assaat [8]; Seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta); Seorang
menjadi Pimpinan Parlemen, Chaerul Saleh, dan puluhan yang menjadi menteri, di
antaranya ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, Rizal Ramli, Marzoeki Jatim, Tarmizi
Taher dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di
kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang
selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di
pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh
politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideology seperti
islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Selain menjabat
gubernur provinsi Sumatera Tengah dan Sumatera Barat, orang Minangkabau juga
duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa
Barat), Daan Jahja (Jakarta)), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku),
Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau
Gani, Mohammad Isa, dan Rosihan Arsyad (Sumatera Selatan), Eny Karim (Sumatera
Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).
Beberapa partai
politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh
Tan Malaka, Partai Sosia;is Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh
Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli,
dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai politik, politisi Minang
juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktivis
pergerakan.
Penulis Minang banyak
memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan
bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis,
Idrus, Hamka, dan A. A. Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan
Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang
paling produktif. Chairil Anwar dan Taufiq Ismail berkarya lewat penulisan
puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana dan Sutan Muhammad Zain, dua ahli tata
bahasa yang melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa
persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya
Kapal van Der Wijck, Layar Terkembang,
dan Robohnya Surau Kami, telah menjadi bahan bacaan wajib
bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya
sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis
Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus.
Selain Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus
yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik
koran wanita pertama di Indonesia.
Di samping menjadi politisi
dan penulis, kiprah Orang Minang juga cukup menonjol di bidang intelektualisme.
Kebiasaan mereka yang suka berpikir dan menelaah, telah melahirkan beberapa
pakar di dunia kedokteran, humaniora, hukum, dan ekonomi, yang kesemuanya
memberikan sumbangan besar terhadap bangsa Indonesia. Di antara mereka yang
cukup dikenal adalah Ahmad Syafii Maarif, Hazairin, Syahrir, Taufik Abdullah,
dan Azrul Azwar.
Di Indonesia dan
Malaysia, selain orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha
ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil,
rumah makan, perhotelan, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Di antara figur
pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik ALatief Corporation), Bazrizal
Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha
perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar
Corporation Malaysia).
Banyak pula orang
Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser,
penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul
Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan
produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film
dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Pemeran dan penyanyi
Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Afgan Syah Reza, Dorce
Gamalama, Marshanda, Eva Arnaz, dan Nirina Zubir. Pekerja seni lainnya, ratu
kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Selain mereka, Soekarno
M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling
sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993,
Karno's Film perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film
seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfileman Indonesia, Si Doel
Anak Sekolahan.
Di Malaysia dan
Singapura, kontribusi orang Minangkabau juga cukup besar. Pada tahun 1723, Sultan
Abdul Jalil Rahmad Syah I, duduk sebagai sultan Johor sebelum akhirnya
mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau. Di awal abad ke-18, Nakhoda Bayan,
Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil meneruka Pulau Pinang. Tahun 1773, Raja Melewar
diutus Pagaruyung untuk memimpin rantau Negeri Sembilan. Ia juga menyebarkan Adat
Perpatih dan Adat Tumenggung, yang sampai saat ini masih berlaku di Semenanjung
Malaya. Menjelang masa kemerdekaan beberapa politisi Minang mendirikan partai
politik. Di antaranya adalah Ahmad Boestaman yang mendirikan Parti Rakyat
Malaysia dan Rashid Maidin yang mengikrarkan Partai Komunis Malaya. Setelah
kemerdekaan Tuanku Abdul Rahman menjadi Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia,
sedangkan Rais Yatim, Amirsham Abdul Aziz, dan Abdul Samad Idris, duduk di
kursi kabinet. Beberapa nama lainnya yang cukup berjasa adalah Sheikh Muszaphar
(astronot pertama Malaysia), Muhammad Saleh Al-Minangkabawi (kadi besar Kerajaan
Perak), Tahir Jalaluddin Al-Azhari (ulama terkemuka), Adnan bin Saidi (pejuang
kemerdekaan Malaysia), dan Abdul Rahim Kajai (perintis pers Malaysia). Di
Singapura, Mohammad Eunos Abdullah dan Abdul Rahim Ishak muncul sebagai
politisi Singapura terkemuka, Yusof bin Ishak menjadi presiden pertama Singapura, dan Zubir
Said menciptakan lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura.
Beberapa tokoh Minang
juga memiliki reputasi internasional. Di antaranya, Roestam Effendi yang
mewakili Partai Komunis Belanda, dan menjadi orang Hindia pertama yang duduk
sebagai anggota parlemen Belanda. Di Arab Saudi, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
menjadi satu-satunya orang non-Arab yang pernah menjabat imam besar Masjidil
Haram, Makkah. Mohammad Natsir, salah seorang tokoh Islam terkemuka, pernah
menduduki posisi presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress)
dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Parokialisme: Artinya, yang
berpandangan picik, sedangkan anti-parokialisme maksudnya yang
berpandangan luas.
[2]
Tomé Pires (1465?-1524 atau 1540) adalah seorang apoteker warga
Portugis dari
Lisbon yang tinggal sejak tahun 1512
sampai tahun 1515 di Malaka ketika
Portugis berhasil mendudukinya, Portugis
adalah bangsa Eropa pertama kali
tiba di Asia Tenggara. Pires
adalah seorang
apoteker
untuk Pangeran
Afonso, putra Raja John II dari Portugis yang
kesehatannya perlu perawatan khusus.
Ia pergi juga ke
India pada tahun 1511 mencari bahan-bahan untuk obat-obatan sebagai
komoditi bernilai yang ada di Timur yang merupakan elemen penting dari apa yang
umumnya disebut "perdagangan rempah-rempah". Disamping itu di Malaka ini dia
rajin mengumpulkan dan mendokumentasikan informasi tentang daerah Melayu -
Indonesia, dan secara pribadi mengunjungi Jawa, Sumatera (dua pulau dominan
modern Indonesia) dan Maluku.
[3]Audrey R. Kahun, Seorang sejarawan Asia Tenggara, adalah editor dari Interdiciplin Journal Indonesia.
[4] Perang
belasting merupakan perang bersenjata pada 15-16 Juni 1908 yang
melibatkan rakyat Sumatera Barat melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda
akibat penerapan pajak (bahasa Belanda: belasting) langsung kepada masyarakat.
Perlawanan masyarakat atas pemberlakuan pajak langsung ini dibalas oleh
pemerintah Hindia-Belanda dengan reaksi keras mengirimkan marechaussee
(marsose) ke daerah konflik tersebut, yang akhirnya menimbulkan korban jiwa
pada masyarakat maupun tentara kolonial. Perang belasting ini diawali di
Kamang, kemudian menyebar pada kawasan lain seperti Manggopoh, Linatu Buo dan
lain-lain.
[5] PRRI,
kepanjangannya adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia merupakan
salah satu gerakan pertentangan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat
(Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya
ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad
Husein di Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Dan kemudian gerakan ini mendapat
sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di mana pada tanggal 17
Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.
Konflik
yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi
daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan
tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih merupakan
protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan kondisi
pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga
memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai
ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
[6] Orang
Sakai adalah masyarakat terasing seperti Suku Kubu.
[7] Suku
Kubu
atau juga dikenal dengan Suku Anak
Dalam atau Orang Rimba
adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya
di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi
Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut
tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke
hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka
kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung,
yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya
kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
[8] Assaat
Datuk Mudo, dikenal juga sebagai Mr. Assaat, lahir di Dusun Kampuang
nan Limo Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, tanggal 18 September
1904. Meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976, pada usia 71 tahun. Mr. Assaat adalah
seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pemangku
jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia
di Yogyakarta (1949-1950). Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam
Negeri.
Sumber:
Wikipedia dan sumber-sumber lainnya, □□□
Wikipedia dan sumber-sumber lainnya, □□□