Pengantar
Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Abdullah) dalam bukunya
“Tasawuf Modern” menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat akan memahaminya
sebagai hidup menjauh dari dunia dan lebih fokus ke akhirat saja. Kekayaan
dijauhi, kekuasaan diabaikan. Hidup sepenuhnya untuk beribadah saja.
Pemahaman seperti itu bisa dipahami mengingat pada awal munculnya, para
pengamal tasawuf, dikenal sebagai sufi yang memilih untuk menjauh dari dunia,
menepi dan mengasingkan diri, sibuk berdzikir dan beribadah maghdoh saja.
Tasawuf dalam buku Buya Hamka ini tidaklah dimaknai seperti itu. Buya Hamka
memaknai tasawuf atau sufi sejalan dengan Al-Junaid
al-Baghdadi yang mengartikan tasawuf sebagai ‘kehendak memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersihkan bathin) yang
mana ini mudah untuk dipahami karena tasawuf identik dengan taskiyatun-nafs (pembesihan jiwa). Ini lah
sebenarnya tujuan awal hadirnya ta-sawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan
mempertinggi derajat akhlaq atau budi pekerti dengan
menekan segala kelobaan (memiliki sebanyak-banyaknya) dan kerakusan, apa lagi dengan jalan untuk mencapainya
mengha-lalkan dengan segala cara.
Bahasan selanjutnya mari ikuti blog ini. Selamat menyimak, semoga
bermanfaat hendaknya bagi kita semuanya. Billāhit Taufiq wal Hidāyah. □ AFM
TASAWUF
MODEREN BUYA HAMKA
Oleh: Ahmad Faisal Marzuki
B |
uya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Abdullah) dalam bukunya
“Tasawuf Modern” menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat akan memahaminya sebagai hidup menjauh dari dunia dan lebih fokus ke
akhirat saja. Kekayaan dijauhi, kekuasaan diabaikan. Hidup sepenuhnya untuk
beribadah saja.
Pemahaman seperti itu bisa dipahami mengingat pada awal munculnya, para
pengamal tasawuf, dikenal sebagai sufi yang memilih untuk menjauh dari dunia,
menepi dan mengasingkan diri, sibuk berdzikir dan beribadah maghdoh saja.
Tasawuf dalam buku Buya Hamka ini tidaklah dimaknai seperti itu. Buya Hamka
memaknai tasawuf atau sufi sejalan dengan Al-Junaid
al-Baghdadi yang meng-artikan tasawuf sebagai ‘kehendak memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (mem-bersihkan bathin) yang
mana ini mudah untuk dipahami karena tasawuf identik dengan taskiyatun-nafs (pembesihan jiwa). Ini lah
sebenarnya tujuan awal hadirnya tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan
mempertinggi derajat akhlaq atau budi pekerti dengan
menekan segala kelobaan (memiliki sebanyak-banyaknya) dan kerakusan, apa lagi dengan jalan untuk mencapainya
menghalalkan dengan segala cara.
Dengan pemahaman seperti itu, bagi Buya Hamka tidak ada yang salah
dengan bekerja keras dalam mendapatkan harta atau berupaya tanpa kenal lelah
untuk menggapai kuasa. Justru ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong
ummatnya untuk mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan,
ketinggian, dan keagungan dalam hidup.
Namun
jangan salah menempatkannya. Kekayaan, kekuasaan, dan segala kesenangan dunia
ditempatkan sebagai jalan atau ladang ibadah, bukan tujuan. Dalam menggapai
kebahagiaan misalnya, kekayaan adalah jalan, bukan keba-hagiaan itu sendiri.
Perjalanan kita di dunia ibarat pelayaran
kapal yang singgah di sebuah pulau yang indah. Namun sejak awal nakhoda sudah
mengingatkan bahwa izin turun hanya untuk berjalan-jalan sejenak. Silahkan
melihat-lihat, tapi jangan lalai bila datang penggilan hendak melanjutkan
pelayaran sesuai skedul.
Setengah orang, diikutinya perintah nakhoda
itu, dia turun ke daratan, mengambil barang-barang sekedar yang diperlukan,
tidak membuang-buang tempo. Setelah selesai dia pun kembali ke kapal.
Setengahnya lagi terpedaya dan terlambat naik, sehingga tempat duduknya telah
diganti orang lain.
Adapun yang sebagian itu dan
inilah yang terbesar, lalai dan lengah, terpedaya dan lupa bahwa perjalanannya
masih jauh. Tertarik dia dengan keindahan yang ada di pulau itu, sehingga
disangkanya tidak ada lagi keindahan dan kecantikan sesudah itu. Telah
berkali-kali lonceng berbunyi tanda menyuruh naik ke kapal, dia masih acuh tak
acuh. Tiba-tiba datang masa waktunya, kapal membongkar sauhnya dan mereka
tertinggal dalam pulau itu.
Maka, agar tidak salah langkah saat mengarungi dunia, agama harus menjadi pijakan. Hidup dengan berpedoman pada agama itulah jalan kebahagiaan sejati. Bahwa takdir kaya atau miskin, sebagai penguasa atau rakyat jelata, sukses atau gagal dalam usaha tidak menghalangi untuk hidup bahagia. Karena baginya, semuanya merupakan jalan untuk menggapai kebahagian sejati di akhirat nanti.
Tasawuf modern bagi Buya Hamka adalah penerapan
dalam sifat qanaah (sifat syukur dan ridho), ikhlas, siap fakir tetapi tetap semangat dalam bekerja. Selain dari itu seorang sufi di abad moderen juga juga dituntut
untuk bekerja secara giat dengan diniati karena Allah swt. Buya Hamka memberi panduan
dalam beretika atau bersikap bagi seorang sufi berdasarkan profesi profesi
masing-masing. Terdapat etika di bidang pemerintahan, binis dan ekonomi,
serta kedokteran. Buya Hamka menulis etika untuk guru, murid, dokter, pengacara,
pengarang (penulis). Jika seorang muslim dengan beberapa profesi tersebut dapat
mengaplikasikan nilai-nilai Islam maka Ia bisa disebut seorang sufi di abad moderen.
Sebagaimana
yang disebutkan Buya Hamka begitu pula Syekh Abdul Kadir Jailani. Syekh Abdul
Kadir Jailani menyeru kepada murid-muridnya untuk bekerja keras dalam
kehidupan. Ketasawufan atau kesufian tidak berarti membelakangi kehidupan (di
dunia). - Disebutkan dalam firman Allah swt dalam Surat ke-28, Al-Qashash
ayat 77: “Dan carilah negeri Akhirat (dengan beribadah kepadaNya) dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (iman-taqwa, akhlaq, hikmah, ilmu, tenaga, waktu, akal, rezeki, kesehatan). Tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu (selaku pemakmur bumi dengan membangun
peradaban) di dunia (sebagai ladang ibadah).” - Dalam
berdakwah Syekh Abdul Kadir Jailani berpegang teguh pada kebenaran dan prinsip
perjuangan. Beliau tidak segan-segan memberi nasehat kepada penguasa. Ketika
itu penguasanya adalah Khalifah al-Muktafi mengangkat Ibnu Muzahim yang dikenal
sebagai seorang yang lalim (sewenang-wenang) sebagai hakim, Abdul Kadir Jailani
naik mimbar dan berkhutbah lebih kurang sebagai berikut: “Wahai
Amirul Mukminin, Tuan angkat seorang yang terkenal paling lalim menjadi kadi
(hakim) bagi kaum muslimin. Apakah jawaban Tuan nanti bila ditanya hal itu oleh
Allah Yang Maha Penyayang?” Khalifah gemetar dan menangis
mendengar khotbah tersebut. Setelah itu ia memecat langsung kadi yang telah
diangkatnya itu. □ AFM
Sumber:
Draf Buku, “Limabelas
Surat Pengajaran Syekh Abdul Kadir Jailani”, Ahmad Faisal Marzuki. □□