KATA PENGANTAR
Penulisan yang menyangkut dengan dīnul Islam bukanlah apa yang kita pikirkan, melainkan apa sebenarnya yang dimaksudkan dīnul Islam yang dengan itu kita pikirkan dan tuliskan. [A. Faisal Marzuki]
Menulisnya penulis disemangati dan dimotivasi
dari sebuah Hadits sebagai berikut: Dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً - ballaghū ‘anniy wa law ayah - “Sampaikanlah
dariku walau hanya satu ayat.” [HR Bukhari]
Walaupun begitu, penulis membatasi hanya yang
bersifat habblum minan nās kalaupun
ibadah adalah ibadah ghaira mahdhah
dengan ayat-ayat kauniyahnya yang berisi science
- ilmu pengetahuan, sosiologis, sejarah, lingkungan hidup (ekosistim),
peradaban dan lain-lainnya. Tidak dalam aspek hukum dan fikih yang membutuhkan
keahlian khusus dan pengetahuan khusus serta jenjang pendidikan khusus serta
alat-alat analisa khusus dan sangat menguasainya. Untuk hal yang terakhir ini
penulis hanya “sami’na wa a’thona”
Kalau penulis menulis panjang supaya jelas. Karena
sering kali yang dikenal pengetahuan Islam kebanyakan dalam ibadah mahdhah (di
sekitar ritual agama), yang lainnya ada tapi masih kurang. Dengan itu
tulisannya menjadi panjang, karena menerangkan bukan hanya Islam dalam tinjaun
“hamblum minAllāh”, tapi meliputi
pula “habblum minan nās” - ibadah
ghaira mahdhah. Malah dua pertiganya isi al-Qur’an menyangkut masalah “habblum minan nās”.
ORIENTASI HIDUP
SEORANG MUSLIM
Oleh: A. Faisal Marzuki
K
|
unci kemajuan adalah membawa suatu wilayah tempat
tinggal (komunitas, negara, antar negara) bersama warga masyarakat yang ada
didalamnya menjadi sejahtera, maju dan jaya, namun dalam pencapaiannya tidaklah
mudah. Disamping memerlukan kerja keras, diperlukan pula kematangan (mature, dewasa) para warga
masyarakatnya. Mereka mesti tahu orientasi hidupnya kemana. Dengan orientasi
yang telah diketahuinya itu perlu dimasyarakatkan (disebar luaskan).
Sebagai bahan untuk memahami bagaimana orientasi
hidup seorang muslim di dunia ini kami ambilkan dari tiga ayat dari dua surah
sebagai berikut:
Firman-Nya dalam Surah al-Qashash ayat 77:“wabtaghi
- dan carilah; fīmā - pada apa yang (pahala); ātākallāhu
- Allah berikan kepadamu; addāra - kampung,
kampung halaman, village; al ākhirata - akhirat); wa lā tansa - dan janganlah kamu lupa; nashībaka - bagianmu - minad dunyā ( dari dunia, di dunia); wa ahsin - dan berbuat baiklah; -
kamā - sebagaimana; - ahsanallāhu - Allah telah berbuat
baik; ilayka - kepadamu; wa lā
tabghi - dan janganlah berbuat; alfasāda
- kerusakan; fil ardhi - di bumi; innallāha - sesungguhnya Allah; lā
yuhibbu - tidak menyukai; almufsidīn - orang-orang yang membuat
kerusakan.
Arti keseluruhan dalam bahasa Indonesia menjadi “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu, tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di
dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah
tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
(QS Al-Qashash 28:77)
Selanjutnya firman-Nya yang lainnya menyebutkan
sebagai do’a yang diucapkan setiap Muslim "Rabbanā ātina fid dun-yā hasanataw, wa fil ākhirati
hasanataw, wa qinā ‘adzāban nār - Ya
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan (pula) di
akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka. (QS al-Baqarah 2:201).
Terakhir firman-Nya menyebutkan: “Lahā mā kasabat wa
'alaihā maktasabat” - Dia (manusia)
mandapat pahala (dan kenikmatan hidup dunia dan akhirat) dari kebajikan yang di
kerjakan (“kunci
hidup yang sukses”), dan dia (manusia) mendapat (siksa, ketidak sejahteraan hidup
dunia dan akhirat) dari (kejahatan, mismanagement, lalai dalam beribadah mahdah
dan ghaira mahdah) yang diperbuatnya (“hidup yang tidak sukses”).
(QS Al-Baqarah 2:286).
Ketiga ayat ini sangat menarik untuk dipahami
sebagai “Orientasi Hidup Seorang Muslim” selama hidup di dunia, karena kehidupan
manusia di dunia sebenarnya sebagai ladang ibadah yang mempunyai efek (akibat,
konsekwensi) hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Yang akan kita tadaburi adalah 3 ayat dari 2
surah sebagai berikut:
●“Dan carilah
(pahala) negeri akhirat [1] ● dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, [2] ● tapi janganlah kamu
lupakan bagianmu di dunia, [3] ● dan berbuat baiklah
(kepada orang lain), [4] ● sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, [5] ● dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. [6] ● Sungguh Allah tidak
menyukai orang yang berbuat kerusakan.” [7] (QS Al-Qashash 28:77)
● Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan (pula) di akhirat dan peliharalah
kami dari azab neraka. [8] (QS al-Baqarah 2:201).
● Dia
(manusia) mandapat pahala (dan kenikmatan hidup dunia dan akhirat) dari
kebajikan yang di kerjakan (“kunci hidup yang sukses”), [9] ● dan dia (manusia)
mendapat (siksa, ketidak sejahteraan hidup dunia dan akhirat) dari (kejahatan,
mismanagement, lalai dalam beribadah mahdah dan ghaira mahdah) yang
diperbuatnya (“hidup yang tikdak sukses”). [10]. (QS Al-Baqarah 2:286).
PENJELASANNYA
“Habblum minan Nās”.
Hubungan sesama manusia menjadi kewajiban kita disamping “Habblum minAllāh”.
Penggalan ayat dalam Surah Al-Qashash 28 ayat 77
yang menyebutkan: “dan berbuat baiklah (kepada orang lain), [4] ● sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu. [5]”
Kedua penggalan ayat ini mengandung unsur “hubungan
sesama manusia”, disebut juga “habblum
minan nās” yang Allah tekankan sekali bagi setiap Muslim yang mesti pedomani
disamping “hubungan dengan Allah” (habblum minAllāh).
Pertama: Kedudukan “Habblum
minan Nās” sebagai yang disebutkan dalam penggalan ayat 77 dalam Surah
ke-28, Al-Qashash ini yang menyebutkan: “dan berbuat baiklah (kepada orang
lain), [4] “sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, [5] ● dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di bumi. [6] ● Sungguh Allah tidak menyukai orang yang
berbuat kerusakan.” [7]
Kedua: Kedudukan
“Habblum minan Nās” sebagaimana
peringatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam yang pernah disampaikan beliau secara serius dalam salah satu khutbahnya
yang artinya sebagai berikut:
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah subhana wa ta’ala berfirman kepadamu:
Anjurkanlah olehmu berbuat baik (murū
bilma’rūf) dan laranglah perbuatan yang munkar (wanhaw ‘anil munkari), agar jangan datang suatu saat dimana kamu
berdo’a tetapi Aku (Allah) tidak menjawab do’amu; kamu meminta tetapi Aku
(Allah) tidak kabulkan; kamu memohon pertolongan, tetapi Aku (Allah) tidak
memberi pertolongan.”
Itulah jawab-Nya! Itulah yang menyebabkan pintu
do’a jadi tertutup. Bukan karena melalaikan hubungan dengan Allah secara
konvensional, seperti shalat, shiyam dan sebagainya, akan tetapi karena
meremehkan hubungan sesama manusia - “habblum
minan nās”, sebagai anggota masyarakat yang turut bertanggung jawab atas
keselamatan hidup bermasyarakat (habblum
minan nās) itu sendiri. Yakni tugas “Amar
Ma’ruf (Agent of Development) dan
Nahi Munkar (Agent of Change)”. Tugas: “Menegakkan Kebajikan, memberantas
kemunkaran”. Itulah posisi dan itulah peranan duniawi umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjadi “shibghah” (identitas) bagi kepribadian Umat Islam.
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat”.
Maksud penggalan [1] ayat 77 dari Surah ke-28, Al-Qashash
ini - “Dan carilah (pahala) negeri akhirat,” adalah untuk masalah akhirat kita
tidak boleh berpangku tangan saja, sementara dunia kita cari dengan sangat
giatnya.
Memang masalah-masalah yang menyangkut dengan “alam
yang abstact” seperti hari “akhirat”
sulit di tangkap kalau hati dan kesadaran di diri kita tidak digunakan atau
dibangkitkan, ketimbang dorongan naluri "mempertahankan diri" dan
mengejar “kemewahan” hidup yang secara otomatis (tanpa disuruh-suruh) bekerja
dengan sendirinya dalam hal yang menyangkut kebutuhan makan, minum, pakaian,
pemondokan, alat transportosi, pekerjaan, uang, perhiasan dst, dst-nya.
Pernah ada orang tua kewalahan terhadap
pertanyaan anaknya: “Untuk apa kita shalat, toh tanpa itu kita hidup”. Anak ini
tidak sadar bahwa manusia tidak akan hidup selamanya. Bahwa setelah “mati”
manusia nantinya diminta pertanggungan jawab dari apa saja yang dilakukan
selama hidup di dunia. Apa pernah dalam menjalani hidupnya merugikan orang lain
dan membuat kerusakan di muka bumi? Bahkan melupakan nikmat yang diberikan oleh
Pencipta-nya berikut lingkungan hidup yang asri serta alam semesta ini yang
mendukung kehidupan di bumi, tanpa bersyukur kepada-Nya melalui iman, ibadah
dan berbuat kebajikan (baik, bermanfaat,
di ridhai-Nya).
Bahwasanya apa yang menjadi perbuatannya di
dunia mempunyai efek kepada kehidupan kini dan hari akhir nanti. Juga karena
sifat hubungan manusia dengan alam dunia yang membawa kesejahteraan hidup atau
kah kesengsaraan hidup. Dan alam akhirat seperti Surga dan Neraka-kah yang
diperoleh di hari Pembalasan? Mesti diajari juga - sebagai keyakinan hidup.
Tuhan, selaku Pencipta dan Pemelihara serta
Penyedia fasilitas hidup manusia dan lingkungan hidup serta alam semesta,
kehadiran-Nya mesti diketahui. Perintahnya mesti diikuti. Larangannya jangan
dikerjakan. Dan menjaga hubungan baik dengan Allah Tuhan Pencipta melalui
Shalat dan ibadah-ibadah yang lain yang kelak akan mendatangkan petunjuk dan
berkah dalam menjalankan kehidupan tidak di dunia saja, tapi di akhirat juga
sebagai pelabuhan terakhir dari kehidupan ini.
Bahwa Allah Maha Pencipta menurunkan
aturan-aturan hidup, itu suatu kemestian agar tatakehidupan manusia teratur dan
baik. Sebagaimana juga, kotapraja atau negara menurun peraturan dan
undang-undang (hukum), seperti membuat dan mengikuti peraturan-peraturannya.
Bagi pelanggar-pelanggar aturan hukum akan kena hukum denda, masuk penjara,
bahkan hukuman mati bagi pelanggarnya - tergantung seberapa besar dan jenis
pelanggaran hukum yang dilakukannya. Maksud itu semua adalah agar ada
ketertiban dari anggota masyarakat di suatu kota dan desa atau negara. Begitu
pula Tuhan Pencipta Pemelihara kehidupan manusia di alam semesta ini membuat
peraturan yang dikenal dengan kata-kata: haram, halal, mubah dan makruh.
Rukun Iman dan Rukun Islam, al-Qur’an, Al-Hadits
dan kitab-kitab agama mesti dipelajari dan pengetahuan yang didapat mesti
dilaksanakan disamping pengetahuan umum (kauniyah dan muamalah). Semua itu
mempunyai efek bagi manusia. Kalihatannya
“abstrak” atau dalam bahasa agama “ghaib”.
Ghaib tidak kelihatan dan tidak bisa diraba,
bukan berarti tidak ada, tapi ada. Contoh kalau kita memandang langit atmosfir
bumi yang kita lihat biru dan ada awannya pada siang hari. Science bisa bercerita lebih dari sekedar yang kita sebutkan itu.
Jadi, apa yang disebut “abstrak” atau “ghaib”, bukan tidak ada, tapi ada. Dunia
maya, dimana file facebook atau blog
atau What’sup, berada dimana? Kita tidak tahu atau tidak bisa diraba dengan
tangan, dan tidak bisa dilihat dengan mata secara fisik. Yang kita tahu, kalau
ada Smartphone atau I-pad dan
Komputer bisa kita akses.
Begitu pula ajaran Islam dalam shalat, do’a,
dzikir, sedekah, membantu seseorang, berbuat kebajikan lainnya, dst, dst,
banyak manfaatnya, dan berpengaruh positif di diri kita, tapi sering kita tidak
sadari.
“dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu”.
Maksud penggalan [3] ayat 77 dari Surah ke-28, Al-Qashash
- “dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu”. Yang dianugerahkan
kepada kita dapat diketahui melalui Firman-Nya dalam Surah ke-32, As-Sajdah ayat
19:
“… dan
Dia (Allah) menjadikan kamu pendengaran - yaitu daya simak dari apa yang didengar; penglihatan - yaitu daya memahami apa yang dilihat; hati - yaitu daya kesadaran, merasakan, dan menghayati, dari
apa yang didengar oleh telinga, dan apa yang dilihat oleh mata. (Tetapi) kamu sedikit kali
bersyukur - artinya tidaklah banyak orang
yang menyadari fungsi yang sebenarnya dari apa yang didengar, dilihat dan
dirasakan.
Adanya Tuhan Maha Pencipta dapat dipelajari dari
Kitab Al-Qur’an dalam Surah ke-7, Al-A’rāf ayat 172 yang mengatakan adanya
kesaksian manusia terhadap Tuhan pada saat ditiupkan ruh ke dalam cabang bayi. Allah bertanya: “Bukankah
Aku ini Tuhanmu”, mereka menjawab: Benar (Engkaulah Tuhan
kami) kami menjadi saksi”. (QS Al-A’rāf 7:172)
Kesadaran akan adanya Tuhan telah ada sejak
cabang bayi tumbuh - yang kemudian menurunkan pula ajaran-Nya melalui Nabi dan
Rasul yang diberi Kitab Suci menjadi pedoman hidup bagi manusia, kesadaran mana
disebut sebagai kesadaran ‘primordial’ yaitu kesadaran ‘fitrah’ - bawaan
manusia. Saat menghadapi kesulitan hidup ada kecenderungan memohon kepada Yang
Ghaib yaitu Tuhan - timbulnya kesadaran primordial
transedental.
Tahun 1997, VS Ramachandran, Direktur Centre for Brain and Cognition
Universitas San Diego, California, USA melakukan penelitian. Orang-orang yang
memiliki pengalaman spiritual dihubungkan dengan alat EEG, kemudian diberi
nasehat religious, aktifitas lobus temporal
meningkat. Dengan itu para peneliti menyimpulkan adanya mesin syaraf di lobus temporal yang dirancang untuk
berhubungan dalam soal keagamaan. Dengan itu terbukti bahwa keyakinan agama
sudah terpatri (hard wire) di dalam otak manusia. Dalam hal ini
membuktikan kebenaran Surah Al-A’rāf ayat 172 diatas.
Oleh sebab itu dalam Islam, akal memiliki posisi
yang sangat mulia. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa
batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana mestinya (agar akal itu tidak liar, tidak akal-akalan). Bagaimanapun,
akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah subhānahu wa
ta’ālā, dalam permasalahan apa pun.
Akal adalah nikmat besar yang Allah subhānahu
wa ta’ālā titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah
ini menunjukkan akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat
menakjubkan. Oleh karenanya, dalam banyak ayat, Allah subhānahu wa
ta’ālā memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di
antaranya:
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar ada
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (ya’qilūn). (QS An-Nahl 16:12)
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan
kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang
tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian
tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir (ya’qilūn). (QS Ar-Ra’d
13:4)
Sebaliknya Allah subhānahu wa ta’ālā
mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya,
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
- na’qilu, (peringatan itu), niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al-Mulk
67:10)
Tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.
Maksud penggalan [4] ayat 77 dari Surah ke-28, Al-Qashash
- “Tapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia”. Allah tidak menafikan
kehidupan manusia di dunia. Yaitu perlu memenuhi kebutuhan makan, minum,
pakaian, pemondokan, alat transportosi, sekolah, training, madrasah, bekerja
selaku pegawai atau buruh, usaha dalam industri dan jasa, usaha pertanian,
usaha perkebunan, perikanan, pertambangan, perdagangan, memiliki uang, memiliki
perhiasan dst, dst-nya selagi mendapatkannya dengan tidak cara curang, korupsi,
menipu, mencuri, dst.
Kalau ada kelebihan lakukan infaq dan sadaqah
disamping zakat yang memang suatu kewajiban, memberikan santunan kepada fakir,
miskin, dan yatim piatu dan lain-lain seperti yang telah diatur oleh agama.
Malah manusia di posisikan Allah subhānahu
wa ta’ālā sebagai khalifah-khalifah di bumi sebagai pemakmurnya, tapi tidak
melupakan melakukan ibadah kepada-Nya. Dan tidak melakukan kerusakan di bumi,
melainkan sebagai ‘agent of development’
- amar ma'ruf dan ‘agent of change’ - nahi munkar.
PENUTUP
O
|
rientasi hidup seperti yang dijelaskan diatas
perlu kesinambungan, konsistensi, kebersamaan, kesepahaman, kesabaran,
keikhlasan dan dalam penegakkannya. Selanjutnya yang paling utama, perlu pula
akhlak-integritas serta moralitas, dan ini harus terus ditingkatkan serta
dimantapkan. Tanpa akhlak integritas serta moralitas, boleh-boleh saja akan
terjadi: Lain kata lain tindakan; Seharusnya berbuat untuk publik masyarakat
yang dipimpimnya tapi lebih dulu untuk kepentingan pribadi dan golongannya;
Semestinya bekerja untuk kepentingan nasional, tapi orang luar yang
diuntungkan; Berjanji dengan sumpah, tapi tidak lagi konsisten dengan janji
atau sumpahnya - Maaf, kekayaan negara dan rakyat warga negaranya dijadikan
sumber pemerasan. Ini yang akan terjadi tanpa adanya akhlak integritas dan
moralitas.
Dengan adanya orientasi, semangat ini, berarti sebagai
seorang Muslim telah mempunyai “kunci sukses” seperti tersebut diatas, disertai
adanya partisipasi dan konektifitas positif antara sesama warga dan manajemen
atau administratif pemerintahan, serta akhlak integritas dan moralitas
ditegakkan, Insya Allah, Yang Maha Kuasa akan mendatangkan ridha-Nya yang
membawa kemajuannya sebagai realisasi dari do’a yang selalu diucapkan setiap
Muslim "Rabbanā ātina fid dun-yā
hasanataw, wa fil ākhirati hasanataw,
wa qinā ‘adzāban nār - Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan (pula) di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka, QS al-Baqarah
ayat 2:201. Insya Allah sebagai mana peringatan dalam firman-Nya: “Lahā mā kasabat wa
'alaihā maktasabat” - Dia (manusia) mandapat pahala (dan kenikmatan hidup
dunia dan akhirat) dari kebajikan yang di kerjakan (“kunci hidup yang sukses”), dan dia (manusia) mendapat (siksa, ketidak sejahteraan
hidup dunia dan akhirat) dari (kejahatan, mismanagement, lalai dalam beribadah
mahdah dan ghaira mahdah) yang diperbuatnya (“hidup
yang tidak sukses”), QS al-Baqarah 2:286.
Demikianlah semoga bermanfaat atas pentadabburan
kita dari ayat 77 Surah al-Qashash. Dengan dikaitkan kepada ayat-ayat 201 dan
286 dari Surah al-Baqarah, maka tujuan hidup muslim hidup di dunia semakin
jelas. Yaitu, membawa kebaikan serta kemajuan umat Muslim dan tentunya
mempunyai efek pula umat lainnya (Islam sebagai rahmatan lil’alamin) baik di dunia, maupun kelak di akhirat bagi
yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Billāhit
Taufiq wal Hidāyah. Germantown, MD, 10 Shawwal
1441 AH / 2 June 2020 CE. □ AFM