Tuesday, September 27, 2016

Hatta dan Demokrasi Kita 1





Kata Pengantar

Seorang Profesor Doktor bernama Saafroedin Bahar dalam akun facebooknya mengatakan: “Kehidupan politik di Indonesia masa kini selain tidak ada ideologi juga tidak ada polanya lagi. Semua berdasar kepentingan dan transaksi antar kelompok. Rasanya ini yang pernah disebut oleh Bung Hatta sebagai "ultra demokrasi". Demokrasi ngawur.

Ada apa dengan Demokrasi Kita? Entakkan ingatan soal sosok Bung Hatta kembali mengentak ke benak publik, ketika Senin malam lalu (24/5/2016), di salah satu talkshow, televisi Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta Prof. Moh. Mahfud MD kembali menyitir tulisan Bung Hatta yang berjudul "Demokrasi Kita" yang terbit pada tahun 1960 dan dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat.

Mahfud dalam talkshow yang menyoal "Kontroversi Pemberian Gelar Pahlawan Kepada Soeharto" itu kembali menukil tulisan tersebut yang di antaranya menyebut soal istilah "kudeta" dan "diktator" yang menjadi ancaman demokrasi saat kekuasaan negara berubah menjadi otoriter.

Mahfud mengingatkan agar sejarah dan politik tidak dilihat dalam kacamata hitam-putih. Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi pelajaran hidup.

"Mungkin banyak yang tidak tahu ketika Bung Karno mengeluarkan dekrit membubarkan DPR, Badan Konstituante, Bung Hatta menulis buku Demokrasi Kita. Di situ Bung Hatta pun mengatakan Bung Karno itu (melakukan--Red) kudeta. Artinya, kalau ada yang mengatakan Soeharto melakukan kudeta, maka sebelumnya pun sama, ’’ kata Mahfud yang mencoba menjelaskan asal usul hadirnya rezim otoriter di Indonesia.

Dan bila kemudian menukil tulisan Bung Hatta yang saat itu dimuat di Majalah Panji Masyarakat, maka itu memang merupakan kritikan yang keras atas situasi negara meski dilakukan dengan pilihan kalimat yang santun. Akibatnya, tak beda dengan era rezim Orde Baru, pada saat itu rezim Sukarno yang tengah berada di puncak kekuasaan menjadi gerah, Majalah Panji Masyarakat pun diberedel.

Berikut ini cuplikan dari tulisan Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita yang menyebut soal "kudeta" dan "diktator" seperti yang disebut Mahfud dan ramai dibincangkan dalam talkshow yang digawangi wartawan senior Karni Ilyas itu:

........ Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat, sebelum pekerjaanya membuat Undang-undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-undang Dasar tahun 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état (kudeta--Red), ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota anggota partai dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendekiawan, tentara dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden.

Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri.

Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu.....

Akhirnya enam tahun kemudian apa yang ditulis Bung Hatta terbukti....!

Bung Hatta mengatakan itu (Demokrsasi yang Ultra Demokrasi)? Mari ikuti paparan Bung Hatta tentang Demokrasi yang terakhir dilampiri auto biografi-nya. AFM






“Tetapi Sedjarah memberi peladjaran djuga pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa murni, demokrasi jang tertidur sementara akan bangun kembali” 

(Demokrasi Kita, Hatta - ditulis dalam ejaan lama].


T
ersebutlah sebuah risalah yang hadir di suatu hari pada tahun 1960. Adapun risalah yang ditulis di majalah Panji Masyarakat itu adalah karya Mohammad Hatta, yang mengakibatkan Sukarno berang. Majalah itu dilarang terbit. Tulisan berisi kritik terhadap Demokrasi Terpimpin itu mungkin menjadi salah satu renungan terbaik perihal demokrasi yang pernah kita miliki. Agaknya, Hatta kecewa dengan tabiat dan pembawaan flamboyan Sukarno, yang mempermainkan tata negara. Tetapi harapannya tidak ciut: “Demokrasi bisa tertindas sementara, karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan,” demikian tutur Hatta.

Penilaian politik yang dikemukakan oleh Bung Hatta ini mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat politik, baik didalam dan diluar negeri. Hanya sayang pada waktu itu selain “Pandji Masyarakat” dilarang terbit dan keluar pula larangan membaca, menyiarkan bahkan menyimpan buku itu. Satu pikiran yang briliant dari salah seorang Proklamator Kemerdekaan dilarang keras untuk dibaca dan diancam hukuman barang siapa kedapatan menyimpan buku tersebut.

Lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, Hatta mengingatkan kita tentang anomali demokrasi. Di tangan orang yang terlalu ultra-demokratis, demokrasi bisa menjadi kuda liar yang kehilangan kekangnya. Menurut Hatta, Sukarno sosok yang berbanding terbalik dengan tokoh Mephistopheles, tokoh rekaan Goethe dalam drama Faust. Sementara Mephistopheles adalah sosok yang berkeinginan jahat yang toh menghasilkan hal-hal yang baik, Sukarno “tujuannya selalu baik tetapi langkah-langkah yang diambilnya sering membawanya menjauh dari tujuan-tujuan itu,” demikian Hatta menulis.

Dimana-mana orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih jauh saja. Sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banyak sekali. keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak dimana-mana. Seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya irosi dan lain-lain.

Pembangunan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Indonesia yang adil yang ditunggu-tunggu masih jauh saja. Pelaksanaan outonomi daerah dengan urusan keuangan sendiri yang lama sekali menunggu menajadi sebab timbulnya pergolakan daerah. (Demokrasi Kita, Hatta)

Di setiap zaman, anomali demokrasi memiliki variannya sendiri. Tak hanya di era Sukarno, Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati tapi juga SBY. Tapi dalam risalah Demokrasi Kita yang masyhur itu, Hatta sudah memberikan pegangan bahwa kapan pun, metabolisme demokrasi bisa berlangsung secara alamiah bila dijaga oleh rasionalitas (yang integritas) dan konstitusi.

Hatta dikenal sebagai seorang penganut sosialis. Saat menjadi mahasiswa di Belanda, dasar-dasar pemikirannya dibentuk di kalangan sosialis. Ia banyak menulis di buletin kalangan sosialis macam De Vlam, De Socialist, Recht in Vrijheid. Tapi, yang mencolok dari sikap politiknya itu, ia tumbuh menjadi seorang sosialis yang rasional. Artinya, Hatta tak terseret pada suatu pemelukan paham yang membabi-buta atau penganut sosialisme yang romantik dan melankolis terhadap gelora perjuangan. Para pengamat politik bahkan menganggap bawa sesungguhnya sikap rasional Hatta “secara tak sadar” memberikan sumbangan pada pembentukan awal republik ini.

Sejarah mencatat bahwa “singa” Pujangga Baru, Sutan Takdir Alihsjahbana, adalah tokoh paling populer yang menekankan pentingnya aufklarung (pencerahan) akal budi dalam strategi kebudayaan. Itu terpancar dari polemik kebudayaan melawan pemikiran Sanusi Pane. “Tapi sesungguhnya Hatta adalah sosok pemimpin pertama yang membawa Indonesia ke arah kebudayaan yang lebih rasional,” tutur pakar ekonomi Sarbini Sumawinata kepada TEMPO.

Argumentasi Sarbini bisa dijadikan rujukan karena memang, sebelum keberangkatan Hatta ke Belanda, ia tak pernah menunjukkan tanda-tanda atau minat pada sesuatu yang berbau intuitif ketimuran. Padahal, seperti yang dicatat ahli sejarah Akira Nagazumi, hampir semua tokoh nasionalis radikal seperti Radjiman Widjodiningrat, Cipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Mohammad Yamin adalah anggota Theosophy.

Di masa itu, Theosophy dikenal sebagai sebuah organisasi kebatinan yang didirikan seorang ningrat berdarah Rusia bernama Helena Petrovna Blavatsky. Inilah sebuah zaman ketika pelbagai pergerakan berhasil memukau banyak pemuda Hindia Belanda. Namun, pemuda Hatta menolak tawaran menjadi anggota Theosophy di Batavia. Sampai akhir hayatnya, hampir tak ada artikel Hatta yang basis argumentasinya bertolak dari hal yang berbau mistisisme ketimuran.

Sebaliknya, masa kecil Sukarno di Surabaya diwarnai dengan gemblengan dalam perpustakaan teosofi lantaran ayahnya, Sukemi, adalah anggota aktif Theosophy. “Bapakku seorang teosof. Karena itu, aku boleh memasuki peti harta ini (maksudnya perpustakaan). Aku menyelam lama sekali ke dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku…,” demikian ditulis Sukarno suatu ketika. Akibatnya, kecenderungan pemikiran Sukarno yang sinkretis-mencampur-adukkan berbagai isme seperti Nasakom-adalah pancaran dari pendidikan teosofinya itu.

SIKAP yang paling khas dari Hatta adalah, ia bisa menjadi seorang rasional tanpa harus kebarat-baratan. Begitu banyak orang yang mengenalnya berkali-kali berkisah betapa tokoh yang taat beragama ini menjauhi dansa dan pelbagai “warna-warna” pergaulan Barat. Yang diambil (oleh Hatta) dari visi  Barat adalah sikap disiplin dan keterampilan berorganisasi. Sementara itu, pemikiran Hatta sangat berorientasi pada kerakyatan dan pemberdayaan hal-hal lokal melalui pergumulan yang panjang. Hatta datang ke Belanda untuk menjadi seorang komunis. Saat itu, pemikiran leftist (kiri) adalah sesuatu yang melahirkan pesona, merangsang pemikiran.

Komunisme adalah zeitgeist, suatu panggilan rohani bagi pemuda dunia ketiga. Ia seolah menjadi satu-satunya alat untuk mendongkel imperialisme. Tapi pemuda Hatta lalu cepat berjarak. Ia tampaknya lekas mengerti bahwa ada semacam tahayul ilmiah di dalam pesona komunisme. Apalagi ada karakter komunisme yang memang tak cocok dengan watak Hatta, yang sejak kecil tahan menyendiri ini: komunisme cenderung merayakan pengerahan fisik orang ramai. Ia keluar dari Liga Anti-Imperialis karena liga ini dikuasai oleh eksponen komunis.

Semenjak di Belanda, seperti pernah ditulis John Ingleson, Hatta berseteru dengan Semaun, seorang aktivis Partai Komunis Indonesia di Amsterdam pada tahun 1924. Sejak itu pula, Hatta membawa serangkaian kritiknya terhadap komunis pulang ke Indonesia, sembari dengan gigih menangkis serangan Tan Malaka terhadap Dwitunggal. “Meskipun sama-sama lahir di Minangkabau, mereka bermusuhan,” kata Harry A. Poeze, penulis biografi Tan Malaka dari KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde), Belanda, kepada TEMPO.

Konflik antara Tan Malaka dan Hatta terutama meningkat saat saat pendudukan Jepang. Ia menuduh Sukarno-Hatta berkolaborasi dengan Jepang. Banyak artikel yang memperdebatkan strategi Sukarno-Hatta terhadap Jepang: apakah yang dilakukan Sukarno-Hatta itu sebuah kolaborator atau semacam strategi? Mengapa Hatta diam saja terhadap kebijakan romusha? Adakah fasisme, yang berasal dari kata fasces (Yunani)-yang berarti onggokan anak panah orang Romawi yang diikat erat itu-telah mengikat Hatta dengan erat kepada kemauan para samurai? Tentu saja tidak. Mereka yang percaya bahwa kerja sama Sukarno-Hatta dengan Jepang adalah sebuah strategi akan selalu merujuk kesuksesan proklamasi. Proklamasi, boleh dibilang, adalah hasil puncak dari strategi itu. Sedangkan mereka yang menganggap dwitunggal itu sebagai kolaborator pasti akan mempertanyakan kebijakan romusha.

Tonggak politik Hatta setelah proklamasi adalah perannya dalam mengubah Demokrasi Presidensial ke Demokrasi Parlementer. Melalui Maklumat X Tanggal 16 Oktober 1945, Hatta meneken pergantian itu. Pakar politik Lambert Giebels, yang baru saja meluncurkan buku Biografi Sukarno, menilai tindakan tersebut sebagai sebuah kudeta diam-diam (quiet coup). “Bayangkan, hanya dengan secarik kertas dan goresan pena, sistem presidensial yang tercantum dalam UUD 1945 diubah. Setelah peristiwa memalukan itu, Sukarno sampai menenangkan diri ke Pelabuhanratu,” kata Giebels kepada TEMPO.

Di dalam buku Indonesia Free: a Political Biography of Mohammad Hatta, peneliti dari Universitas Cornell, Mavis Rose, menyatakan bahwa memang dalam pemikiran Hatta yang ideal, kekuasaan yang dibagi (secara) luas adalah yang paling mendekati cita-citanya tentang demokrasi. Pakar hukum Daniel Lev menganggap bahwa kabinet parlementer di masa lalu memang jauh lebih bermutu dibandingkan dengan sistem presidensial dalam era kepemimpinan presiden mana pun di Indonesia. “Pada periode parlementer Hatta, elite yang ada bermutu bagus. Sedangkan di masa Orde Baru, sistem parlementer memiliki citra buruk,” tutur Lev kepada TEMPO.

Mimpi Hatta yang lain adalah bentuk negara federalisme. Tapi agaknya Hatta sadar bahwa sistem federal belum populer di Jawa. Seperti yang dicatat Deliar Noer, Hatta tidak ngotot menjalankan konsep federalismenya, meski-seperti yang diakui Harry Poeze-gagasan federalisme bergelora secara diam-diam di dalam diri Hatta. Poeze mencatat bahwa Hatta melepaskan jabatan wakil presiden pada tahun 1957 karena merasa bahwa-dalam UUDS 50-tugas wakil presiden hanyalah seremonial, dan mengakibatkan awal pemusatan orang Jawa di lingkaran kekuasaan. “Semua kudeta lokal Sulawesi dan Sumatra melawan pemerintah pusat itu terinspirasi oleh mundurnya Hatta,” kata Poeze. Tapi banyak pakar sejarah dan politik yang menyayangkan mundurnya Hatta dari jabatan itu. Sebab, justru hilangnya Hatta dalam jabatan strategis itu semakin membuka jalan yang lebar bagi lahirnya Demokrasi Terpimpin.

SETELAH mundur dari pemerintah, Hatta semakin mengembangkan gagasan-gagasan ekonomi-politiknya. Dia berkembang menjadi seorang pemikir Indonesia yang berusaha bergulat menemukan visi ekonomi yang kontekstual. Ekonom Anne Both pernah mengatakan bahwa sejarah perekonomian Hindia Belanda belum pernah dikaji secara serius oleh para pemikir kita. Akibatnya, hingga kini para pemikir ekonomi Indonesia tidak melahirkan sebuah paradigma ekonomi yang mengakar.

Ini berbeda sekali dengan keadaan di Asia Selatan. Banyak pakar sejarah dan ekonom India dan Pakistan yang telah melakukan penelitian sejarah ekonomi kolonial anak benua Asia Selatan hingga berhasil melahirkan sebuah kanon pemikiran ekonomi yang ingin membebaskan diri dari permainan kekuatan pasar bebas. Tradisi ini kemudian sangat mempengaruhi pemikiran para nasionalis India. Corak pemikiran demikian, misalnya, bergaung pada ekonom seperti Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel Ekonomi 1988. “Sama seperti Sen, komitmen Hatta terhadap hak asasi ekonomi kuat sekali,” kata Chatib Basri.

Bersambung ke:  Hatta dan Demokrasi Kita 2