Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan
Judul: Mengapa Negara Gagal – Awal Mula Kekuasaan,
Kemakmuran, dan Kemiskinan
Pengarang: Daron
Acemoglu dan James A. Robinson
Penerjemah: Arif Subianto
Pengantar : Komarudin Hidayat
Penerbit: Elex
Media Komputindo
Tahun: 2014
Tebal : 582 hal
Pendahuluan
M
|
Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan.
Pertama kali diterbitkan pada tahun 2012,
adalah buku non-fiksi oleh pakar ekonomi Turki-Amerika Daron Acemoglu dari
Institut Teknologi Massachusetts, dan
ilmuwan politik Inggris James A. Robinson dari Universitas Chicago.
Buku ini menerapkan
wawasan ekonomi kelembagaan, ekonomi pembangunan dan sejarah ekonomi untuk
memahami mengapa negara berkembang secara berbeda, yang
satu berhasil mengakumulasi kekuatan dan
kemakmuran dan yang lainnya gagal, melalui berbagai studi kasus historis.
Dalam lima belas bab, Acemoglu dan Robinson mencoba untuk
meneliti faktor mana yang bertanggung jawab atas keberhasilan dan
kegagalan politik dan ekonomi negara. Mereka berpendapat bahwa penjelasan yang
ada tentang kemunculan kemakmuran dan kemakmuran, misalnya
bisa terjadi karena geografi, iklim,
budaya, agama, atau ketidaktahuan para pemimpin politik yang tidak cukup pengetahuannya yang dengan itu tidak tepat atau tidak mampu dalam menjelaskannya.
Acemoglu dan Robinson mendukung tesis mereka dengan
membandingkan studi kasus di beberapa negara. Mereka mengidentifikasi negara-negara yang serupa
dengan banyak faktor yang disebutkan di atas, namun karena pilihan politik dan
institusional yang berbeda menjadi yang satu kurang sejahtera dan yang lainnya lebih sejahtera. Contoh yang paling tajam adalah Korea,
yang dibagi menjadi Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 1953. Kedua
ekonomi negara tersebut telah berbeda sepenuhnya, Korea
Selatan menjadi salah satu negara terkaya di Asia sementara Korea Utara tetap
berada di antara negara-negara yang paling miskin. Contoh lebih lanjut termasuk
kota perbatasan Nogales (Sonora, Meksiko) dan Nogales (Arizona, AS). Dengan
merujuk kota-kota perbatasan, penulis menganalisis dampak lingkungan
kelembagaan terhadap kemakmuran rakyat dari wilayah geografis dan budaya yang
sama,
tapi berbeda perkembangan ekonominya.
Tesis utama Acemoglu dan Robinson adalah bahwa kemakmuran
ekonomi sangat bergantung terutama pada inklusivitas institusi ekonomi dan
politik. Institusi "inklusif" ketika banyak orang memiliki pendapat
dalam pengambilan keputusan politik yang berlawanan dengan kasus di mana sekelompok kecil orang
mengendalikan institusi politik dan tidak mau berubah, diperbandingkan mereka yang
berpendapat bahwa sebuah negara demokratis dan pluralistik yang berfungsi
menjamin aturan hukum – hasilnya berbeda. Penulis berpendapat bahwa yang institusi inklusif mempromosikan kemakmuran ekonomi
karena mereka menyediakan struktur insentif yang memungkinkan bakat dan gagasan
kreatif dihargai, akan ekonominya akan berhasil.
Sebaliknya, para penulis menggambarkan institusi
"ekstraktif" sebagai institusi yang mengizinkan elit untuk memerintah
dan mengeksploitasi orang lain, mengekstrak kekayaan dari orang-orang yang
bukan elite, maka negara-negara yang memiliki sejarah lembaga ekstraktif
belum bisa
makmur -
menurut mereka, karena pengusaha dan warga negara kurang memiliki insentif
untuk berinvestasi dan berinovasi. Salah satu alasannya adalah bahwa elit yang
berkuasa takut akan “merubah cara yang sudah ada” (creative
destruction) - sebuah istilah yang
diciptakan oleh ekonom Austria Joseph Schumpeter - proses pemusnahan institusi
lama dan buruk yang terus berlanjut saat menghasilkan yang baru dan yang baik.
Kerusakan materiil akan membuat kelompok baru yang bersaing memperebutkan
kekuasaan melawan elit penguasa, yang akan kehilangan akses eksklusif mereka
terhadap sumber ekonomi dan keuangan sebuah negara.
Penulis menggunakan contoh kemunculan pluralisme
demokratik di Inggris Raya setelah Revolusi Agung tahun 1688 sebagai kritis
bagi Revolusi Industri. Buku ini juga mencoba menjelaskan perkembangan ekonomi
baru-baru ini di China menggunakan kerangka kerjanya. Masa lalu China tidak
bertentangan dengan argumen buku ini: terlepas dari rezim otoriter China,
pertumbuhan ekonomi di China disebabkan oleh kebijakan ekonomi yang semakin
inklusif oleh Deng Xiaoping, arsitek kebijakan pembukaan China setelah Revolusi
Kebudayaan.
Menurut kerangka Acemoglu dan Robinson, pertumbuhan
ekonomi akan mengubah distribusi sumber daya ekonomi dan dengan demikian
mempengaruhi institusi politik. Oleh karena itu, terlepas dari pertumbuhan
pesat saat ini, jika China tidak memperbaiki inklusivitas politiknya, China
diperkirakan akan runtuh seperti Uni Soviet pada awal 1990an.
Pembahasan
Sudah banyak teori yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa, antara lain hipotesis geografi, kebudayaan dan kebodohan.
● Hipotesis
geografi menyatakan bahwa penyebab kesenjangan adalah kondisi geografis, antara
lain iklim tropis menyebabkan penduduknya malas, penguasanya zalim, dan
merupakan sarang penyakit sehingga produktivitas rendah, atau mempengaruhi
keanekaragaman spesies tumbuhan dan hewan yang dapat mendorong kemajuan.
● Hipotesis kebudayaan mendasarkan pada perbedaan
antara budaya Eropa, yang memiliki sifat-sifat yang mendorong kemajuan, dan
budaya lainnya yang tidak memiliki sifat tersebut.
● Sedangkan
hipotesis kebodohan mendasarkan pada kesalahan kebijakan yang diambil oleh
pemimpin negara-negara tersebut.
Acemoglu
dan Robinson berpendapat lain. Menurut mereka, penyebab utama kesenjangan
adalah institusi politik di masing-masing negara, karena institusi politik
itulah yang akan menentukan institusi ekonomi suatu negara, dan selanjutnya
mempengaruhi kemajuan perekonomiannya.
Tesis dari buku ini sangat sederhana: Institusi ekonomi inklusif akan mendorong kreativitas dan kemajuan ekonomi suatu bangsa,
sebaliknya, institusi ekonomi ekstraktif akan memiskinkan.
Sayangnya, sebagian besar bangsa-bangsa di dunia ini
memiliki institusi ekonomi ekstraktif, sehingga sulit mencapai kemakmuran,
khususnya tidak dapat mengambil manfaat ketika terjadi revolusi industri.
Sementara itu Inggris dapat menjadi pelopor revolusi
industri karena telah memiliki institusi politik yang inklusif, yang telah
dimulai dengan adanya Magna Charta pada tahun 1490.
Penulis
mendefinisikan institusi ekonomi inklusif sebagai sistem yang memungkinkan adanya
jaminan kepemilikan atas asset dan properti serta adanya peluang ekonomi yang
merata bagi seluruh masyarakat. Hal ini hanya dapat terjadi apabila terdapat
kepastian hukum, pelayanan publik, dan kebebasan mengikat kontrak. Oleh karena
itu institusi ekonomi tergantung kepada institusi politik, karena penegakan
hukum dan penyediaan pelayanan publik merupakan tugas negara. Dan institusi
politik yang dapat mendukung institusi ekonomi inklusif adalah sistem yang
bersifat demokratis atau yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat luas
dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, sehingga
masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap pemimpin atau pemerintahnya, serta
mencegah terjadinya penindasan, yang merupakan ciri dari negara yang memiliki institusi ekonomi
ekstraktif
Menurut
penulis, revolusi industri terjadi di Inggris karena adanya satu episode
sejarah dan perbedaan kecil. Wabah pes pada tahun 1348 membuat jumlah petani
jauh berkurang, sehingga mereka berani menuntut perlakuan yang lebih baik dari
para bangsawan tuan tanah, bahkan melakukan pemberontakan pada tahun 1381.
Meskipun pemberontakan tersebut gagal, namun keadaan telah berubah, karena para
petani mendapat perlakuan lebih baik sehingga lambat laun sistem feudal lenyap.
Wabah pes di Eropa Timur juga menimbulkan kelangkaan tenaga kerja, namun tuan tanah disana melakukan penindasan
lebih kejam sehingga para petani semakin miskin dan institusi ekonomi
ekstraktif terus bertahan selama berabad-abad.
Inggris
dapat melahirkan revolusi industri karena pada abad 17 telah memiliki institusi
ekonomi inklusif. Namun hal tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan
melalui berbagai tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan
Glorious Revolution pada tahun 1688. Pemberontakan tersebut mengurangi
kekuasaan raja dan memberi wewenang parlemen Inggris untuk menentukan struktur
ekonomi. Setelah revolusi, pemerintah menjamin hak kepemilikan atas asset dan
properti, hak paten, dan membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya,
kanal dan kereta api. Selain itu pungutan pajak secara semena-mena dan monopoli
dihapuskan. Hal ini mendorong inovasi dan perkembangan teknologi.
Keadaan di
atas tidak terjadi di negara-negara Eropa lainnya dimana monarki masih berkuasa
penuh, misalnya di Spanyol dan Prancis. Sementara itu di Eropa Timur, bahkan
sampai dengan tahun 1800 institusi ekonomi politik masih bersifat ekstraktif, karena para tuan
tanah masih menerapkan sistem serfdom atau perbudakan terhadap para
petani. Perbedaan kecil pada abad 14 –
yaitu lebih kuatnya petani dan buruh di Eropa Barat dari pada di Eropa Timur –
mengakibatkan persitiwa wabah pes menghasilkan hal yang berbeda pada abad 17,
18 dan 19: yaitu lenyapnya feodalisme di Eropa Barat dan penindasan kedua di Eropa
Timur.
Sepanjang
sejarah, institusi ekonomi ekstraktif terdapat pada banyak negara. Sistem ini
juga dapat menghasilkan pertumbuhan dan kemakmuran, meskipun bersifat
sementara, asalkan terdapat sentralisasi politik, yang memungkinkan negara
menegakkan ketertiban umum. Dalam sistem ini
penguasa menentukan alokasi sumber daya dengan menindas rakyat yang
hasilnya digunakan untuk memicu pertumbuhan serta memakmurkan pihak-pihak di
lingkaran kekuasaan. Misalnya, di Karibia para elite mendorong produksi gula
dengan menindas budak, sedangkan di Uni Soviet pemerintah mendorong pertumbuhan
industri dengan merelokasi sumber daya agrikultur. Namun pertumbuhan tersebut
akan terbatas masanya, karena tanpa adanya penghancuran kreatif – munculnya
kelompok baru yang mampu meraih
kemakmuran tetapi berpotensi mengurangi kemakmuran dan hak-hak istimewa
kelompok elite - dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan terhenti, sebagaimana
terjadi di Uni Soviet. Selain itu, terkonsentrasinya kemakmuran hanya pada
segelintir elite penguasa menimbulkan keinginan pihak lain melakukan kekerasan
untuk merebut kekayaan tersebut. Hal ini banyak terjadi pada negara-negara
Afrika, dimana sebagian besar para pemimpinnya melakukan penindasan dan
pemerasan terhadap rakyatnya, bahkan melebihi kaum penjajah, sehingga sering
terjadi perang saudara untuk memperebutkan sumber daya sementara rakyat semakin
miskin.
Pemerintahan
yang bersifat absolut pada umumnya memiliki institusi ekonomi yang bersifat
ekstraktif, yang sifatnya selain menindas rakyat juga menolak teknologi baru,
sehingga menghambat kemajuan dan kemakmuran.
Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejarah
kekaisarann Ottoman (Turki), Spanyol, Austria-Hungaria, Rusia, Cina, Etiopia,
dan Somalia. Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan mesin cetak sejak tahun
1485 (tahun 1460 sudah ada percetakan di Prancis), dan percetakan baru
diizinkan berdiri tahun 1727. Namun buku yang akan dicetak harus melalui sensor
ketat, antara lain diperiksa dulu oleh para ahli hukum syariah, hakim dan
ulama. Tidak mengherankan sebuah percetakan yang sempat berdiri akhirnya tutup
pada tahun 1797 setelah mencoba bertahan selama 45 tahun dan menerbitkan hanya
24 buku, dan tingkat buta huruf mencapai 98%.
Sementara
itu di Rusia satu persen kelompok ningrat menguasai petani dan pekerja dengan
penindasan, sedangkan di Spanyol kerajaan memonopoli perdagangan, tidak
melindungi hak rakyat atas kekayaan,dan menghalangi masuknya teknologi baru.
Demikian pula kekaisaran Habsburg dan
Rusia, keduanya melestarikan feodalisme, menghambat industrialisasi dan
memonopoli perdagangan. Sedangkan Cina melarang perdagangan internasional dan
pelayaran sejak tahun 1436. Namun negara yang institusi ekonominya paling
ekstraktif adalah Etiopia, dimana raja sangat berkuasa, sehingga semua tanah adalah
miliknya dan dapat diambil sewaktu-waktu dari rakyat yang sedang menggarap
tanah tersebut, dan ketika muncul bangsa Eropa yang mencari budak, kerajaan
langsung memonopoli bisnis tersebut serta menindas rakyat lebih kejam.
Kedua penulis
juga menguraikan mengenai hal-hal yang membuat kondisi koloni Eropa di Amerika
dan Australia berbeda dengan wilayah koloni lainnya. Mengapa di kedua wilayah
tersebut, muncul institusi ekonomi yang inklusif sedangkan di wilayah lain
tidak? Apakah karena mereka bangsa kulit putih juga? Tidak. Hal tersebut karena
jumlah penduduk asli di kedua wilayah tersebut sangat sedikit, sehingga tidak
dapat dieksploitasi, karena itu penduduk kulit putih yang menghuni kedua koloni
tersebut harus bersusah payah membangun institusi ekonomi yang inklusif.
Sementara itu di wilayah lain yang banyak penduduknya, penjajah dapat
menciptakan institusi ekstraktif yang sama sekali baru atau mengambil alih yang
telah ada (misalnya kerajaan lokal) untuk mengeruk kekayaan alam dan
memiskinkan rakyatnya (penduduk asli), misalnya yang terjadi di Maluku.
Kesimpulannya,
bangsa-bangsa yang memiliki pemerintahan bersifat absolut tidak memiliki
institusi politik yang dapat mengontrol perilaku para pemimpinnya, sehingga
institusi ekonominya akan bersifat ekstraktif, yang mengakibatkan kekayaan
terkonsentrasi pada segelintir elit, memiskinkan dan menindas rakyat,
menciptakan kekerasan karena perebutan kekuasaan (dan kekayaan) dan pengurasan
sumber daya (alam) suatu negara.
Memang, apabila kita meneliti sejarah
bangsa-bangsa, hal ini terlihat sangat jelas, di Afrika misalnya, dimana hampir
seluruh pemerintahnya bersifat korup dan menindas rakyat, demikian pula pada
banyak negara Asia. Di negara-negara ini tingkat kepercayaan antar warga sangat
rendah dan korupsi sangat tinggi. Tidak beda jauh dengan Indonesia, dimana
sangat sulit menemukan orang yang dapat dipercaya atau memiliki integritas.
Berdasarkan kenyataan ini, teori Acemoglu
dan Robinson masih belum dapat menjawab pertanyaan mendasar: Mengapa begitu
banyak bangsa yang demikian sulit untuk membentuk institusi politik ekonomi
yang inklusif? Apakah karena bangsa-bangsa tersebut rakyatnya memang demikian
lemah, atau pada dasarnya juga memiliki sifat korup yang tercermin dari para
pemimpin dan atau pemerintahnya?
Mengapa
sampai kini pemimpin bangsa-bangsa Afrika jauh lebih ekstraktif dari pada Asia?
Apakah karena rakyat Afrika jauh lebih lemah dari Asia? Mengapa kudeta dan
perang saudara lebih mudah terjadi di Afrika dari pada di Asia? Mengapa bangsa
Eropa Barat dapat mencapai revolusi yang memungkinkan tahap dimilikinya
institusi politk ekonomi inklusif, sedangkan banyak bangsa lain tidak, bahkan
meskipun telah didorong dengan adanya tekanan internasional?
Mengapa
Negara Gagal memberikan cukup banyak informasi dan sejarah yang
menarik untuk direnungkan. Guns, Germs
and Steel - yang banyak dikritik kedua penulis – memberikan teori tentang
asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa yang terjadi di masa awal
peradaban. Acemoglu dan Robinson mencoba menerangkan kondisi di masa kini.
Penutup
Mengapa Negara Gagal benar-benar sebuah buku yang
hebat. Acemoglu dan Robinson berhasil membedah salah satu masalah terpenting
dalam ilmu sosial - sebuah pertanyaan yang selama berabad-abad telah memeras
otak para filsuf terkemuka - sekaligus menyodorkan jawaban yang sederhana namun
bernas dan sangat bermutu. Buku yang meramu kajian sejarah, ilmu politik dan
ekonomi dengan apik ini dijamin akan mengubah cara kita memandang dan menyikapi
pembangunan ekonomi. Mengapa Negara Gagal adalah buku yang wajib Anda baca.” ―
Steven Levitt, penulis buku Freakonomics “Anda punya tiga alasan untuk menyukai
buku. Isinya membahas isu kesenjangan pendapatan nasional antarnegara di era
modern, yang mungkin merupakan masalah global terbesar dewasa ini. Buku ini
juga penuh dengan kisah-kisah menarik yang dapat Anda jadikan bahan obrolan
yang mengasyikkan—misalnya kisah tentang Botswana yang berjaya sebagai negara
termaju di Afrika, sementara Sierra Leone masih terpuruk dalam kemelaratan.
Buku ini benar-benar bahan bacaan yang memikat. Seperti saya, Anda akan
terpukau dan tak tidak mau berhenti membaca, dan ketagihan untuk membacanya
berkali-kali.”
Jared
Diamond, pemenang hadiah Pullitzer, penulis buku-buku laris Guns, Germs, and
Steel dan Collapse . Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, mengapa masih
ada negara yang kaya dan negara yang miskin? Mengapa kesenjangan pendapatan dan
sosial antara negara kaya dan negara miskin bisa sangat jauh berbeda,
sampai-sampai eksistensi negara miskin dibayangi oleh cap “Negara Gagal”? Buku
ini mengupas bagaimana sebuah negara dapat sukses atau pun gagal, terlepas dari
faktor demografis, geografis, dan lain-lain. Sebuah pembahasan menarik tentang
hidup bernegara dan berpolitik yang dapat dinikmati bahkan bagi awam politik
sekali pun.
Namun,
masih ada banyak hal yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menjawab
pertanyaan di atas dengan memuaskan, seperti pembahasan “pembiaran ada korup”
walaupun ada lembaganya tapi tidak efektif hasilnya – karena kaum elit
pemerintahan terlibat didalamnya? Begitu juga Pemilihan Umum yang cara
pelaksaannya belum seutuhnya berintegritas, kandidat yang belum memadai kapabelitas
dalam pengikut sertaan orang banyak, begitu pula para elit politisi? Gagalnya
penegakkan hukum ? - hal yang esensial bagi negara untuk maju dan kuat. □ AFM
ravibooks.blogspot.com
en.wikipedia.com
gramedia.com
Elex Media Preview □□