Monday, December 18, 2017

Stockholm Syndrome




K
Kelihatannya "Stockholm Syndrome" - yaitu kecenderungan fihak yang kalah dan lemah untuk menyerah total kepada fihak yang kuat - tidak hanya berlaku untuk perseorangan, tetapi juga berlaku secara kolektif.

Kondisi semacam itu tidak normal dalam bernegara, Karena dalam bernegara diabad modern itu dibangun dari sendi  “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat”.

   Untuk “melawan Stockholm Syndrome”, diperlukan kepribadian serta keyakinan yang kuat dan tegar serta kecerdasan dan kecerdikan untuk melanjutkan perlawanan sewaktu kalah, dan membalikkan kekalahan menjadi kemenangan.

Tentumya perlawanan yang dimaksud disini adalah perlawanan kepada kebathilan dan kedzaliman serta kesewenang-wenangan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

   Namun dalam pelaksanaannya diperlukan kearifan dan kejujuran serta kelapangan dada agar kesatuan dan persatuan tetap terjaga dengan baik, dan ini diperlulan pendidikan (education) dalam berbangsa.

Kata Nelson Mandela: “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” - Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia.


Riwayat Stockholm Syndrome

   Sindrom Stockholm adalah suatu kondisi yang menyebabkan sandera mengembangkan logika atau perasaan bahwa perampok yang menyenderanya tidak bersalah - cari selamat.  Sebenarnya ketika itu berjalan suatu proses kejiwaan korban tersendera yaitu aliansi perasaan psikologis dengan perampok  bank yang menyendera mereka sebagai strategi untuk dapat bertahan atau selamat dari kemungkinan penyiksaan atau pembunuhannya selama kejadian perampokan, sementara bagi perampok sendera ini adalah sebagai perisai (tameng) dari ancaman kelompok kepolisian yang bersenjata siap tembak.

Perasaan ini, yang dihasilkan dari ikatan yang terbentuk antara perampok dan tawanannya selama waktu yang mencekam yang dihabiskan bersama perampok (yang tentunya bersenjata) dengan korban atau tawanannya. Umumnya dianggap tidak masuk akal karena bahaya atau risiko yang dialami oleh para korban. Sindrom Stockholm secara umum terdiri dari "ikatan emosional yang kuat yang berkembang antara dua orang di mana satu orang sebentar-sebentar melecehkan, mengalahkan, mengancam, menyalahgunakan, atau mengintimidasi yang lain." Sistem Database Barikade Penembak FBI menunjukkan bahwa sekitar delapan persen korban menunjukkan bukti sindrom Stockholm.

   Secara resmi nama sindrom Stockholm disematkan pada tahun 1973, ketika empat sandera diambil sebagai perisai (keselamatan perampok) saat perampokan bank di Stockholm, Swedia.

Akibat psikologisnya adalah para sandera membela para penculik mereka setelah dibebaskan dan tidak setuju untuk bersaksi di pengadilan terhadap mereka. Sindrom Stockholm seolah-olah bersifat paradoks karena sentimen simpati yang dirasakan para tawanan terhadap lawan mereka adalah kebalikan dari rasa ketakutan dan pelecehan yang mungkin dirasakan penonton terhadap para penculik.

Ada empat komponen utama yang pada umumnya mengarah pada pengembangan sindrom Stockholm:
  • Perkembangan perasaan positif penyanderaan terhadap penculik mereka;
  • Tidak ada hubungan penyanderaan sebelumnya;
  • Sebuah penolakan oleh sandera untuk bekerja sama dengan pasukan polisi dan otoritas pemerintah lainnya;
  • Keyakinan seorang sandera terhadap kemanusiaan penculik mereka, karena ketika korban memiliki nilai yang sama dengan penindasan oleh penyendera, mereka tidak lagi dianggap sebagai ancaman.

   Sindroma Stockholm dianggap sebagai "penyakit yang diperebutkan" antara penyendera yang bersalah dengan para penegak hukum yang melindungi orang-orang yang tidak bersalah, karena banyak keraguan petugas penegak hukum tentang legitimasi kondisi (Sindroma Stockholm) tersebut. 


Sejarah

   Nils Bejerot, seorang ahli kriminologi dan psikiater asal Swedia menciptakan istilah tersebut setelah polisi Stockholm meminta bantuannya untuk menganalisis reaksi para korban terhadap perampokan bank tahun 1973 dan status mereka sebagai sandera. Karena gagasan tentang pencucian otak bukanlah konsep baru, Bejerot, yang berbicara tentang "sebuah berita yang diputar setelah pelepasan tawanan" secara naluriah mengurangi reaksi para sandera terhadap hasil pencucian otak oleh perampok penyendera mereka. Dia menyebutnya Norrmalmstorgssyndromet, yang berarti "The Norrmalmstorg Syndrome"; kemudian dikenal di luar Swedia sebagai Sindrom Stockholm (Stockholm Syndrome). Ini pada awalnya didefinisikan oleh psikiater Frank Ochberg untuk membantu penyembuhan keadaan faktor kejiwaan korban atas situasi yang terjadi dari akibat penyenderaan tersebut.


Pemulihan

   Memulihkan dari sindrom Stockholm biasanya melibatkan "konseling psikiatri atau psikologis," dengan tujuan akhir membuat pasien menyadari bahwa tindakan dan perasaan mereka berasal dari teknik (adanya perasaan untuk dapat) bertahan hidup manusia yang inheren atas situasi yang mencekamnya. Konseling bertujuan untuk mengembalikan keadaan normal ke dalam pemulihan kehidupan korban, dan untuk memastikan bahwa mereka dapat berfungsi dengan cara yang tidak karena rasa takut atau kepentingan semata-mata untuk bertahan hidup.


Penutup

   Demikianlah dunia dengan segala hiruk pikuknya. Memang kalau kita tidak ada pengetahuan, keimanan, percaya diri yang memadai mudah menjadi korban sindrom Stockholm. Kuncinya adalah kearifan hidup yang dibina oleh ajaran agama yang hak oleh guru yang kompeten melalui pendidikan. Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia. □ AFM


Sumber:
Prof Saafroedin Baahar
Wikipedia
Sumber lainnya
Image upload.wikimedia.org□□