K
|
Kelihatannya "Stockholm Syndrome"
- yaitu kecenderungan fihak yang kalah dan lemah untuk menyerah total kepada
fihak yang kuat - tidak hanya berlaku untuk perseorangan, tetapi juga berlaku
secara kolektif.
Kondisi semacam itu tidak normal dalam
bernegara, Karena dalam bernegara diabad modern itu dibangun dari sendi “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat”.
Untuk “melawan Stockholm Syndrome”, diperlukan kepribadian serta
keyakinan yang kuat dan tegar serta kecerdasan dan kecerdikan untuk melanjutkan
perlawanan sewaktu kalah, dan membalikkan kekalahan menjadi kemenangan.
Tentumya perlawanan yang dimaksud
disini adalah perlawanan kepada kebathilan dan kedzaliman serta
kesewenang-wenangan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Namun dalam pelaksanaannya diperlukan kearifan dan kejujuran serta
kelapangan dada agar kesatuan dan persatuan tetap terjaga dengan baik, dan ini
diperlulan pendidikan (education) dalam
berbangsa.
Riwayat Stockholm Syndrome
Sindrom Stockholm adalah
suatu kondisi yang menyebabkan sandera mengembangkan logika
atau perasaan bahwa perampok yang menyenderanya tidak
bersalah - cari selamat.
Sebenarnya ketika itu berjalan suatu
proses kejiwaan korban tersendera yaitu aliansi
perasaan psikologis dengan
perampok bank yang menyendera
mereka sebagai strategi untuk dapat bertahan atau selamat dari kemungkinan penyiksaan
atau pembunuhannya selama kejadian
perampokan, sementara bagi perampok sendera ini
adalah sebagai perisai (tameng) dari ancaman kelompok kepolisian yang
bersenjata siap tembak.
Perasaan ini, yang
dihasilkan dari ikatan yang terbentuk antara perampok dan tawanannya selama waktu yang mencekam yang dihabiskan bersama perampok (yang tentunya
bersenjata) dengan korban atau tawanannya. Umumnya dianggap tidak masuk akal karena bahaya atau
risiko yang dialami oleh para korban. Sindrom Stockholm secara umum terdiri
dari "ikatan emosional yang kuat yang berkembang antara dua orang di mana
satu orang sebentar-sebentar melecehkan, mengalahkan, mengancam,
menyalahgunakan, atau mengintimidasi yang lain." Sistem Database Barikade Penembak
FBI menunjukkan bahwa sekitar delapan persen korban menunjukkan bukti sindrom
Stockholm.
Secara resmi nama sindrom Stockholm disematkan pada tahun 1973, ketika empat sandera diambil sebagai
perisai (keselamatan perampok) saat
perampokan bank di Stockholm, Swedia.
Akibat psikologisnya adalah para sandera membela para penculik mereka
setelah dibebaskan dan tidak setuju untuk bersaksi di pengadilan terhadap
mereka. Sindrom Stockholm seolah-olah
bersifat paradoks karena sentimen simpati yang dirasakan para tawanan terhadap
lawan mereka adalah kebalikan dari rasa ketakutan
dan pelecehan yang mungkin dirasakan penonton terhadap para penculik.
Ada empat komponen
utama yang pada umumnya mengarah pada pengembangan sindrom Stockholm:
- Perkembangan perasaan positif penyanderaan terhadap penculik mereka;
- Tidak ada hubungan penyanderaan sebelumnya;
- Sebuah penolakan oleh sandera untuk bekerja sama dengan pasukan polisi dan otoritas pemerintah lainnya;
- Keyakinan seorang sandera terhadap kemanusiaan penculik mereka, karena ketika korban memiliki nilai yang sama dengan penindasan oleh penyendera, mereka tidak lagi dianggap sebagai ancaman.
Sindroma Stockholm dianggap sebagai "penyakit yang
diperebutkan" antara penyendera yang bersalah
dengan para penegak hukum yang melindungi orang-orang yang tidak bersalah, karena banyak keraguan petugas penegak hukum tentang
legitimasi kondisi (Sindroma Stockholm) tersebut.
Sejarah
Nils Bejerot, seorang ahli
kriminologi dan psikiater asal Swedia menciptakan istilah tersebut setelah
polisi Stockholm meminta bantuannya untuk menganalisis reaksi para korban
terhadap perampokan bank tahun 1973 dan status mereka sebagai sandera. Karena
gagasan tentang pencucian otak bukanlah konsep baru, Bejerot, yang berbicara
tentang "sebuah
berita yang diputar setelah pelepasan tawanan" secara naluriah mengurangi
reaksi para sandera terhadap hasil pencucian otak oleh perampok
penyendera
mereka. Dia menyebutnya Norrmalmstorgssyndromet,
yang berarti "The Norrmalmstorg
Syndrome"; kemudian dikenal di luar Swedia sebagai Sindrom Stockholm (Stockholm Syndrome). Ini pada
awalnya didefinisikan oleh psikiater Frank Ochberg untuk membantu penyembuhan
keadaan faktor kejiwaan korban atas situasi yang terjadi dari akibat
penyenderaan tersebut.
Pemulihan
Memulihkan dari sindrom
Stockholm biasanya melibatkan "konseling psikiatri atau psikologis,"
dengan tujuan akhir membuat pasien menyadari bahwa tindakan dan perasaan mereka
berasal dari teknik (adanya
perasaan untuk dapat) bertahan hidup manusia
yang inheren atas situasi yang mencekamnya. Konseling bertujuan untuk mengembalikan keadaan normal
ke dalam pemulihan kehidupan korban, dan untuk memastikan bahwa mereka dapat
berfungsi dengan cara yang tidak karena rasa takut atau kepentingan semata-mata
untuk bertahan hidup.
Penutup
Demikianlah dunia
dengan segala hiruk pikuknya. Memang kalau kita tidak ada pengetahuan,
keimanan, percaya diri yang memadai mudah menjadi korban sindrom Stockholm.
Kuncinya adalah kearifan hidup yang dibina oleh ajaran agama yang hak oleh guru
yang kompeten melalui pendidikan. Pendidikan
adalah senjata paling ampuh yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia. □ AFM
Sumber:
Prof Saafroedin Baahar
Wikipedia
Sumber lainnya
Image upload.wikimedia.org□□