“Islam
itu tertutup oleh pengikut-pengikut Islam itu sendiri”.
“Agama
adalah sejalan dengan akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak
menggunakan akal”.
“Islam
akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu
sains”. [Muhammad Abduh]
PENDAHULUAN
M
|
uhammad Abduh (محمد عبده), nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh
bin Hasan Khairullah. Lahir di Delta Nil
desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 Kalender Gregorian
(kG) dan wafat di Ikandariyah tanggal 11 Juli pada tahun 1905 kG pada umur
55/56 tahun. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan
dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan
tokoh besar Islam, Umar bin Khattab. [1]
Muhammad Abduh adalah
murid dari Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemikir Muslim dari Mesir, dan salah
satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika
di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung
gerakan Pan Islamisme dalam menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia
dan Afrika.
Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam
tahun sejak 1882, karena dituduh dalam keterlibatannya dalam Pemberontakan
Urabi. Di Lebanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan
Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersama al-Afghani menerbitkan
jurnal Islam Al-Urwatul Wutsqa - The Firmest Bond (?).
Pemikirannya banyak terinspirasi dari Ibnu
Taimiyah, selanjutnya pemikiran Muhammad
Abduh itu banyak menginspirasi organisasi-organisasi Islam lainnya,
salah satunya Muhammadiyah di Indonesia, karena Muhammad Abduh berpendapat,
Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga
ilmu sains.
Sebenarnya di abad tengah sudah dirintis,
dikembangkan dan di Baghdad dan diajarkan pula serta diaplikasikan di Andalusia
(Al-Andalus) - Eropa Selatan (semenanjung Iberia, Spanyol dan Portugal
sekarang).
Salah satunya Algoritma yang dengan itu enkripsi
data dan komputer dapat digunakan di akhir abad ke-20 sampai sekarang terus
berkembang dan dimanfaatkan Barat. Barat merintis dan menghasilkan produk-produk
seperti Laptop, Desktop, Tablet, Smartphone, Electronic Games, Whatsup,
Facebook dst, dan kini diikuti oleh Jepang dan Korea.
Perkembangan mana berkat penemuan Al-Khwarizmi
seorang ilmuan Muslim dalam angka nol, aljabar dan algoritmi. Lahir sekitar
tahun 780 di Khwārizm (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850
di Baghdad. Baca Al-Khwarizmi
Bapak Aljabar 1; Al-Khwarizmi
Bapak Aljabar 2.
Karya tulis Muhammad
Abduh yang terkenal adalah: Tafsir Juz Amma; Tafsir
Al-Qur’an Hakim, yang kemudian diteruskan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha
dalam Tafsir Qur’an Al-Manar; dan Risalah At-Tauhid terbit tahun 1897.
LATAR BELAKANG PENDIDIKANNYA
P
|
endidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh
adalah belajar Al-Qur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu
dua tahun, ia telah hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya
dimulai ketika ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di Masjid Ahmadi yang
terletak di desa Thantha. Namun karena sistem pembelajarannya
yang dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari
pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang
yang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf.
Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya
ke Universitas Al- Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada
tahun 1877. [2] Ketika menjadi mahasiswa di Al-Azhar,
pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama besar sekaligus pembaharu
dalam dunia Islam, Jamaluddin Al-Afghani, dalam sebuah diskusi.
Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada
Jamaluddin Al-Afghani dan banyak belajar darinya. Al-Afghani adalah seorang pemikir
modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan
cara-cara berfikir yang fanatik (tapi stagnan).
Udara baru yang ditiupkan oleh Al-Afghani,
berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al-Azhar yang
dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan
sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam - Mu'tazilah, maka banyak yang menuduh
dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia
menjawab: “Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ariy, maka
mengapa saya harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan hanya
berpegang kepada dalil yang ada”.
LATAR BELAKANG PEMIKIRANNYA
M
|
uhammad Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan
hidup dalam masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan yang
berasal di Eropa. Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, dalam
bukunya yang berjudul Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyid Ridha, memberikan gambaran singkat mengenai masyarakat tersebut
yakni ”suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad,
mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum karena mereka
telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga
hidup dalam masa kebekuan akal (jumud)
serta yang berlandaskan khurafat. [15]
Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya
setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu. [3]
Keadaan masyarakat Eropa tersebut sesungguhnya
telah menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan ekspedisi Prancis
(Napoleon) ke Mesir pada tahu 1798. Namun secara jelas tumbuhnya benih-benih
tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu gerbang
Al-Azhar. Waktu itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan ulamanya
telah terbagi kedalam dua kelompok, mayoritas dan minoritas.
Kelompok pertama, mayoritas, menganut pola taqlid,
yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya
sekedar dihapal, tanpa mengantarkan pada usaha penelitian, perbandingan dan
pentarjihan.
Sedangkan kelompok kedua minoritas menganut pola
tajdid (pembaharu) yang menitik
beratkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan kesadaran. [4]
Berkat pengetahuan Abduh tentang ilmu tasawuf
serta dorongan Syaikh Darwisy, gurunya, agar ia selalu mempelajari berbagai
bidang ilmu, yang diterimanya ketika usia muda dulu, maka tidak mengherankan
jika naluri Abduh yang didukung Syaikh tersebut membuat Abduh lebih condong
untuk berpihak kepada kelompok minoritas yang ketika itu dipelopori oleh
Syekh Hasan Al-Thawil yang telah mengajarkan filsafat dan logika jauh sebelum
Al-Azhar mengenalnya.
Pada sisi lain pertemuan Abduh dengan Al-Afgani
menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian
mengantarkannya untuk tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati
kehidupan masyarakatnya, serta berkomunikasi dengan pemikir-pemikir Eropa
ketika itu. [5]
CORAK PEMIKIRANNYA
C
|
orak pemikiran Muhammad Abduh adalah moderen,
reformis tapi konservatif - dalam artian - tetap berpegang teguh dan erat
kepada salafusshaleh. Bagaimana
gambaran kemoderenan, kereformasian dan kekonservatifannya damat diikuti uraian
berikut ini.
1. Modernisasi
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar
belakang pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan
Al-Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan
zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut
dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber
dari penentangannya terhadap taqlid.
Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an memerintahkan kepada ummatnya untuk
menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat
terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat
tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling
dihormati dan dipercaya.
Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea
perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria
tersebut adalah:
- Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
- Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.
- Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh
memahami Al-Qur’an, terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan
perbuatan taqlid tersebut, walaupun
menyangkut sikap kaum musyrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin,
khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu
tanpa memperhatikan hujahnya. [6]
Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman
memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri,
diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan
serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa
melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan
reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan
ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern. [7] Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan
beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Al-Qur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern
dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk
meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi
berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat.
Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal
tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran
dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. [8]
Islam menurut Abduh “harus mampu meluruskan ketimpangan-ketimpangan
dan perbedaan (dengan peradaban) Barat
serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya”. Dengan
demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat
ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk
Islam. [9]
2. Reformis
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang
corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad
Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perspektif membangun kembali. Agar
tradisi suatu masyarakat dapat survive
dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya
dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang
bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis. [10]
3. Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diangkat Muhammad Abduh
bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak
bermaksud mengubah potret diri Islam. Buku Risalah Tauhid yang di tulisnya merupakan
bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan
kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan. [11]
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi
pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan
dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi
dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak
pertama (modernisasi) lebih menekankan pada aspek selektifitas dan sikap kritis
Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban Barat. Corak kedua (reformis)
lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi
Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga (konservatif) memfokuskan
bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan
keunggulan (ajaran) Islam.
INTI PEMIKIRANNYA
I
|
nti pemikiran yang dimaksudkan seperti yang
telah dipaparkan seperti tersebut diatas maksudnya adalah sebagaimana diuraikan
dalam paparan dibawah ini:
- Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah swt untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
- Memperbaiki bahasa Arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.
- Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu. [12]
Kita melihat di sini bahwa agenda pembaharuan
dibidang bahasa, politik, dan akidah dan tuntunan umum. Dan dalam semua sisi
itu, Abduh mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti seluruhnya adalah
pendidikan Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya
pendidikan. [13]
AGENDA PEMBAHARUANNYA
U
|
ntuk melaksanakan cita-citanya itu maka
diperlukan pemurnian (purifikasi) pemahan
ajaran dan kepahaman yang ada dan berkembang saat ini yang perlu dikaji.
Kemudian jika ditemukan hal-hal yang menghambat dan melambatkan perkembangan
Islam yang dengan itu perlu diperbaiki (reformasi).
Semua upaya-upaya tersebut adalah dalam rangka peneguhan atau pembelaan
terhadap ‘kemurnian’ ajaran Islam itu sendiri (pembelaan Islam). Selanjutnya di reformasi segala apa yang ada yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
yang sebenarnya. Paparan yang dimaksud dapat diikuti seperti berikut.
1. Purifikasi
Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam telah
mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah [14] dan khurafah [15] yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslimin.
2. Reformasi
Dengan agenda reformasinya, Muhammad Abduh
berambisi untuk melenyapkan sistem dualisme dalam pendidikan di Mesir. Dia
menawarkan kepada sekolah modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan
moral. Dengan mengandalkan aspek intelektual saja sekolah modern hanya akan
melahirkan pendidikan yang merosot moralnya. [16]
Sedangkan kepada sekolah agama, seperti Al-Azhar,
Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang
mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai pionirnya, ia telah memperkenalkan
ilmu-ilmu Barat kepada Al-Azhar, disamping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam
klasik yang orisinil, seperti Muqadimah karya Ibnu Khaldun.
[17]
Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muhammad
Abduh pada Universitas almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa
kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku kelasik berbahasa Arab
yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi kewajiban belajar
juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama
Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. Usaha awal
reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan matakuliah filsafat agar
diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intlektualisme Islam
yang padam diharapkan hidup kembali.
3. Pembelaan Islam
Muhammad Abduh lewat buku Risalah Al-Tauhidnya
tetap mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan
unsur-unsur asing merupakan bukti ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad
Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan dengan menegaskan bahwa jika
pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan
selaras dengan kebenaran Illahi yang dipelajari melalui agama.
4. Reformulasi
Agenda reformulasi tersebut dilaksanakan Muhammad
Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran kaum
muslim disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan ekternal. Muhammad Abduh
dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran
manusia dari tidur panjangnya. [18]
MANHAJ PEMIKIRAN KEAGAMAANNYA
I
|
slam adalah agama yang terdiri dari beberapa
aspek yang saling berhubungan, satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah
(Teologi), Syariah (Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf). Namun dalam kesempatan
ini, penulis memilih hanya membahas sedikit manhaj pemikiran Muhammad Abduh
tentang Syariah dan Aqidah. Karena inilah yang mungkin paling mempengaruhi
seseorang dalam bertindak. [19]
1. Hukum Islam
Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi
syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan
hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan nash dan ijma. Hukum yang
pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang
seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi
melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai
dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati(mu jma’
‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum
yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Yang kedua adalah hukum
yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat
konsensus ulama di dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad,
seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan
menguraikannya sampai jelas. [20]
Disinilah peranan para mujtahid, dan dari
masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh yang merupakan cerminan dari
keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang tidak pasti tersebut.
Abduh sangat menghargai para mujtahid dari
madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbankan
kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas
serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang
biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat
menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan
sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa
berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir
dalam semua hal adalah kemustahilan.
Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa
hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak
selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat
adalah kembali kepada sumber asli. Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang
harus dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang
biasanya terdapat dalam masyarakat Islam yaitu mereka yang memilki ilmu
pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib
melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini
ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan
mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan
zaman,tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat
hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan
situasi dan kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya
masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi
terhadap hasil ijtihad terdahulu. [21]
Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus
diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan
mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya
pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang
dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara
pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahayatak lid.
Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya
pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.
Menurut Rasyid Ridha, madzhab dalam pengertian Muhammad
Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang
ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan
tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti
cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan
demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi
bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam
istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab. [22]
Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di
kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi,
menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah
mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara
yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang
membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul
dan taklid tidak bias dihindarkan.
Abduh menuding para fuqaha sesudah mujtahid
sebagai peletak batu pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah
atau memperluas hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran
agama dengan segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit.
Orang tidak bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab
yang bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab al
Qur’an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang
membawa kitab tersebut. [23]
Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin
harus berpedoman kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya
untuk menggalakkan ijtihad di kalangan intelektual dan mengikis taklid buta
dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu
dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada pendapat pemimpin agama mereka,
seperti digambarkan Allah dalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka
mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.
Tantangannya yang keras terhadap taklid
tampaknya juga dilandasi oleh pandangan teologinya yang memberikan harkat yang
tinggi kepada manusia dengan anugerah akal yang ada padanya, di samping
kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut. Dengan keduanya, seharusnya manusia
juga mampu memahami nash-nash yang mujmal. Dengan demikian manusia tidak
selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang lain tanpa memikirkan
alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut. Walaupun beliau juga mengakui
bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad. Akan tetapi bagi mereka yang awan
pun taklid tidak boleh dilakukan.
Di samping itu, agaknya apa yang dia saksikan di
Barat juga merupakan salah satu sebab tantangannya yang keras terhadap taklid.
Dia melihat kemajuan barat yang menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya
mereka dari ikatantakl id dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam
berpikir dan memahami sesuatu. Tampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu
bias diterapkan di kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat juga
dirasakan kaum muslimin dengan lebi baik.
2. Bagian Aqidah
Sebagai seorang pemikir yang termasuk
mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak
dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya,
di antaranya Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya
sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang
qada dan qadar sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga
menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun
tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar
keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah.
Rupanya, pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama,
dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini. [24]
Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang
masalah qada' dan qadar akan membawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan.
Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke
dalam kehancuran. Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.
Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin
disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik dalam pengembaraannya ke
negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang masih dalam jajahan
Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam ketika itu, yaitu
paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang justru telah membuat
mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat semakin mundur dan
tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.
Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah
manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun perbuatan yang dipilih dan
dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini
adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan
manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan kehendak bebasnya yang diberikan
Tuhan.
Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah
juga meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh
sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga
kejadian atau peristiwa yang telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari.
Sumber dari segala sebab tersebut, menurut Abduh, Allah adalah Tuhan yang
mengatur segala sesuatu menurut kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa
menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau
sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah
sunnatullah (hukum alam Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta
harus tunduk kepada setiap sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang
kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan,
justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah
menciptakan hukum alam tersebut. Dengan demikian, nasib manusia akan
sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan
lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia. [25]
Menurutnya, manusia adalah makhluk yang memiliki
kebebasan dalam memilih dan menentukan perbuatannya. Manusia dengan akalnya
mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukan, kemudian dia mengambil
keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu
dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia
secara alami mempunyai kebebasandalam menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia
tidak berbuat sesuatu kecuali setelah dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan
atas pertimbangan inilah dia mengambil keputusan melaksanakan atau tidak
melaksanakan perbuatan yang dimaksud.
Namun, manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa
batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi kebebasan manusia dengan
memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwa-peristiwa alamiah, seperti
angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. Artinya,
kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, terutama sekali karena di atas
manusia masih ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan
kebebasan manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan
segala wujud di alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistem hukum sebab
akibat yang ditetapkan-Nya. Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa
terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada manusia
sebenarnya disebabkan oleh ketidak mampuan manusia sendiri dalam menguasai dan
mengantisipasi hukum alam yang berintikan hukum sebab akibat itu. [26]
METODE PEMBAHARUANNYA
D
|
alam melakukan perbaikan Muhammad Abduh
memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau
cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan
tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat islam.
Melaui pendidikan, pembelajaran,dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan
masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam
agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam
menjalankan agama islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan
waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan
yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran
dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana telah
didefinisikan bahwa pembaharuan (tajdid) adalah kebangkitan dan penghidupan
kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana pada zaman
Rasullullah dan para sahabat. Yang selama ini sempat hilang, terlupakan, bahkan
terhapus dari tubuh umat Islam. [27]
Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad
Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau
membagi umat Islam kepada 2 bagian yaitu:
- Mereka yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka itu yang biasa disebut al-Muqallid.
- Mereka yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan Barat serta berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya, dan kemajuannya dalam bidang materi.
Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad
Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua kelompok diatas.
Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut.
Yaitu antara kelompok yang berpegang teguh pada
kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan
dalam mengikuti Barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki.
Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya:
“sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang dimaksud
dengan salaful umat di sini adalah
kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu al-Qur’an dan al-Hadist
sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus
shaleh terdahulu.
DAMPAK PEMIKIRANNYA
DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
M
|
uhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi
dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan
dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. beliaulah pendiri sekaligus
peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya
kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama
yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad
Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor. Muhammad Imarah, adalah seorang
arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah
pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin Al-Afghani.
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam
perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan
yang beliau lakukan diantaranya:
1. Reformasi Pendidikan
Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui
pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan
masyarakat mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam
mencetak muslim yang shaleh.
2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial.
Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad
Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya
perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan
beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jamiâah khairiyah islamiyah,
jami’ah ihya al-ulum al-arabiyah,dan juga jami’ah at-taqorrub baina al-Adyan.
3. Mendirikan Sekolah Pemikiran.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang
mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam
pembaharuan pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi
musuh-musuh islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini. [28]
KESIMPULAN
I
|
de-ide yang dibawa oleh Syeikh Muhammad Abduh
telah mengubah pandangan umat Islam terhadap Islam yang sering taqlid dengan sebagian sarjana Muslim
yang jumud dan pasif. Syeikh Muhammad Abduh berjasa dalam memberi gambaran yang
jelas tentang keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam bidang
pendidikan. Ide pembaharuan Syeikh Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan,
khususnya di Universitas Al-Azhar telah memberi kesan yang mendalam terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam. Antara ide tersebut ialah: mewujudkan
mata pelajaran Matematik, Geometri, Algebra, Geografi, dan Sejarah, mewujudkan
farmasi khusus untuk pelajar Universitas Al-Azhar, menyediakan gaji guru dari
perbendaharaan negara dan waqaf negara, memperbaiki asrama pelajar dengan
menekankan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan, mengganti metode pengajaran
yang bersifat hafalan kepada penalaran atau lebih dekat dengan diskusi.
Metode Muhammad Abduh dalam
pembaharuan.
Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh
memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau
cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan
tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat Islam.
Melaui pendidikan, pembelajaran, dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan
masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya.
Sehingga akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama Islam.
Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan
lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding
melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu
kebangkitan dan kemajuan.
Pembaruan pemikiran yang dilakukan Muhammad
Abduh bukanlah hanya sebuah penolakan secara satu persatu atau secara global
terhadap pemikiran-pemikaran yang telah ada, yang terdahulu. Pembaruannya juga
bukan hanya sebuah pemeliharaan terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada
tersebut. Akan tetapi pembaruan yang dilakukannya merupakan usaha untuk
memperbaiki, mengembangkan, dan menjadikan intisari pemikiran-pemikiran yang
telah ada tersebut agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Kita telah mengetahui, banyak dari kalangan
pemikir dan pengamat, di antaranya Muhammad Abduh, yang berusaha untuk
mewujudkan sebuah keadaan yang baik, sebuah kondisi yang sesuai dengan tuntunan
Islam dan dapat menghadapi tuntutan zaman. Muhammad Abduh dengan pemikirannya
berusaha untuk memperbaiki pemikiran-pemikiran yang ada. Kesalahan-kesalahan tidak terletak pada
pemikiran-pemikiran yang telah ada, tetapi terletak dalam sudut pandang
pemahaman yang dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran tersebut, yang tidak
terlepas dari pandangan yang jumud, taqlid, dan tidak berkembang sesuai dengan
tuntutan zaman.
Berbagai macam cara dan jalan yang dilakukan
Muhammad Abduh untuk memerangi hal tersebut, antara lain dengan cara melawan
keras opini kejumudan dan stagnasi masyarakat melalui pendekata-pendekatan
sastra, pembahasan-pembahasan linguistik, agar masyarakat memahami dan mengerti
kalimat dan makna kata yang tersirat dari sebuah pemikiran. Terkadang dengan
melalui pendekatan yang lebih moderat, membina masyarakat agar lebih mengerti
dan memahami, dan terlepas dari kejumudannya.
Tujuan Muhammad Abduh merupakan tujuan yang
mulia, memperbaiki sesuatu yang telah usang dan rusak dengan sesuatu yang baru.
Muhammad Abduh berusaha keras untuk mengambil jalan dan cara yang lebih bijak
untuk menengahi semua opini yang hidup di kalangan masyarakat. Dia tidak
langsung menolak mentah-mentah dan menentang opini yang salah, dan tidak
langsung menerima terhadap opini yang dianggapnya benar. Ia menyaring semuanya
dan mencernanya dengan baik melalui pemikirannya, agar semuanya sesuai dengan
tantangan zaman. Hal inilah yang membedakan dengan pemikir lainnya.
Pembaharuan di Bidang Pendidikan
Politik.
Ketertarikan Muhammad Abduh pada dunia politik
dimulai semenjak perkenalannya dengan seorang tokoh pembaharu yaitu Jamaludin
Al- Afgani pada tahun 1870 sewaktu ia masih menjadi mahasiswa di al-Azhar.
Sewaktu Al-Afgani diusir dari Mesir pada tahun 1879, karena dituduh mengadakan
gerakan menentang Khadewi Tawfiq, Muhammad Abduh dipandang ikut campur dalam
soal ini, Ia dibuang keluar Cairo. Tapi
ditahun 1880 Ia boleh kembali ke ibu kota dan kemudian diangkat menjadi
redaktur surat kabar resmi pemerintah “Al-Waqi’ Al-Misriyah”.
Al Waqi’ Al-Misriyah, surat kabar resmi
pemerintah dibawah pimpinan Muhammad Abduh, mempunyai peranan penting dalam
perjuangan rakyat Mesir melawan kolonial, dimana surat kabar bukan hanya
menyiarkan berita-berita resmi, tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan
bangsa Mesir dan senantiasa mendorong rasa nasionalisme rakyat Mesir untuk
membela negaranya.
Setelah Urabi Pasya, dari golongan nasionalis
sepenuhnya dapat mengontrol dan menguasai tentara Mesir dari perwira-perwira
Turki dan Sarkas, Inggris tidak berkenan dan menganggap berbahaya bagi
kepentingannya di Mesir, untuk itu mereka ingin menjatuhkan Urabi Pasya dengan
mengebom Alexandria dari laut pada tahun 1882. Pengeboman Inggris atas
Alexandria mendapat perlawanan sengit dari kaum nasionalis, walaupun pada
akhirnya kaum nasionalis dapat dikalahkan pasukan Inggris, Mesir pun jatuh
dibawah kekuasaan Inggris.
Dalam revolusi Urabi Pasya itu, Muhammad Abduh
turut memainkan peranan. Dia bersama-sama pemimpin lainnya ditangkap, dipenjarakan
dan kemudian dibuang keluar negeri pada tahun 1882. Pertama ke Beirut Libanon
kemudian ke Paris. Pada tahun 1884 ia bersama-sama Jamaludin Al-Afgani
mendirikan majalah “Al-Urwatul Wutsqa” di Paris.
Melalui majalah ini ia bersama Jamaludin
Al-Afgani menyusun gerakan bernama Al-Urwatul Wutsqa, yaitu gerakan kesadaran
umat Islam sedunia. Dengan perantaraan majalah itulah ditiupkannya suara kesadaran
ke seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya melepaskan cara
berpikir fanatik dan kolot serta bersatu membangun kebudayaan dunia berdasarkan
nilai-nilai Islam. Suara lantang lantang
sekali tersiar dan dengan pesat menggema ke seluruh dunia, memperlihatkan
pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga dalam tempo yang singkat kaum
imperalis menjadi gempar dan cemas. Akhirnya majalah itu ditutup pemerintah Perancis
di kala majalah itu baru terbit delapan belas nomor.
Dibidang politik kenegaraan, Abduh memiliki
ide-ide yang berbeda dengan gurunya Jamaludin Al-Afgani.
Al-Afgani menghendaki pembaharuan umat Islam melalui pembaharuan negara,
sedangkan Abduh berpendapat bahwa pembaharuan negara dapat dicapai melalui
pembaharuan umat. Abduh tidak menghendaki
jalan revolusi tapi melalui jalan evolusi. Oleh karena itu Abduh tidak
menghendaki sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat memperbaiki umat
dari dalam.
Dalam soal kekuasaan, Muhammad Abduh memandang
perlu membatasi kekuasaan dengan institusi yang jelas.
Tanpa konstitusi akan timbul tindakan sewenang-wenang. Untuk itu,
Muhammad Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan
kehidupan politik yang demokratis.
Pembaharuan dibidang Sosial Keagamaan
Menurut Muhammad Abduh, sebab yang membawa
kemunduran umat Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam.
Karena faham jumud inilah umat Islam tidak menghendaki perubahan, umat Islam
statis tidak mau menerima perubahan dan umat Islam berpegang teguh tradisi.
Untuk mencerahkan umat Islam dari kejumudan itu,
Muhammad Abduh menerbitkan majalah al-Manar. Penerbitan majalah ini diteruskan
oleh muridnya yaitu Rasyid Ridla (1865-1935) yang kemudian menjadi tafsir
Al-Manar.
Adapun pokok-pokok pemikiran Muhammad Abduh
dibidang sosial keagamaan adalah:
- Kemajuan agama Islam itu tertutup oleh umat Islam sendiri, dimana umat Islam beku dalam memahami ajaran Islam, dihapalkan lapadznya tapi tidak berusaha mengamalkan isi kandungannya. Dalam hal ini ungkapan Abduh yang terkenal didunia Islam yang artinya: “Islam itu tertutup oleh pengikut-pengikut Islam itu sendiri”.
- Akal mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam dengan itu “Agama adalah sejalan dengan akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal”. Dari akal akan terungkap misteri alam semesta yang diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Hanya dengan ketinggian akal dan ilmu manusia mampu mendudukan dirinya sebagai makhluk Allah yang tunduk berbakti kepada yang Maha Pencipta.
- Ajaran Islam sesuai dengan pengetahuan modern begitu pula Ilmu Pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam.
Dampak pemikirannya dalam pemikiran
Islam kontemporer
Mohammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi
dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan
dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. Beliaulah pendiri sekaligus
peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya
kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama
yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad
Abduh sebagai mana diungkapkan Dr. Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur
terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern.
Melebihi guru beliu Jamaluddin Al-Afghani.
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam
perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan
yang beliau lakukan diantaranya: 1. Reformasi Pendidikan; 2. Mendirikan Lembaga
dan Yayasan Sosial; 3. Mendirikan Sekolah Pemikiran; 4. Penafsiran Al-Quran.
1. Reformasi Pendidikan
Mohammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Yaitu, menjadikan
pendidikan sebagai faktor utama guna menyelamatkan masyarakat Mesir dengan cara
melakukan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang
shaleh.
2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial.
Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya
terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan
Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga
sosial. Diantaranya: Jami’ah Khairiyah
Islamiyah, Jami’ah Ihya al-Ulum
al-Arabiyah, dan juga Jami’ah
at-Taqarrub Baina al-Adyan.
3. Mendirikan Sekolah Pemikiran.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer.
Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan
akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar
menyerang umat muslim saat itu.
4. Penafsiran Al-Qur’an
Di antara pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh adalah dengan menghadirkan
buah karya penafsiran al-Qur’an. Adalah Tafir Al-Mannar yang di tulis Muhammad
Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha yang telah meberikan corak baru dalam
ilmu tafsir. Corak tafsir yang dikembangkan ini disebut Mufassirin Adabi Ijtima’i (budaya atau adab dalam masyarakat).
Corak ini menurut Muhammad Husein adz-Dzahabi menitik beratkan penjelasan
ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun
kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan segi-segi
petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan peradaban
dunia.
Diantara prinsip Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat adalah, Al-Qur’an menjadi
pokok utama, maksudnya, al-Qur’an didasarkan atas segala mazhab dan aliran
keagamaan - bukannya mazhab-mazhab dan aliran yang menjadi pokok dimana ayat-ayat
Al-Qur’an hanya dijadikan pendukung mazhab-mazhab tersebut. Kecuali itu,
Muhammad Abduh membuka lebar pintu ijtihad. Menurutnya dengan membuka pintu
ijtihad akan memberi semangat dinamis terhadap perkembangan Islam dalam seluruh
aspeknya.
Demikianlah pemaparan dari Muhammad Abduh sebagai tokoh pembaharu Islam
yang hidup diantara penghujung abad ke-19 dan di permulaan Abad ke-20. Pada
waktu itu dalam masyarakat Mesir berada di dalam kondisi-kondisi hidupnya dipertanyakannnya
yaitu “nasionalisme” (kebangsaan) ke-Mesir-annya mulai bangkit.
Sementara itu pemerintahan “ke-Khilafah-an” Islam yang sudah dimulai sejak sesudah masa Khulafa
Ar-Rashidun sudah berkembang luas sekali bukan saja Timur Tengah, tapi Afrika
(Maroko, Tunisia, Aljazair), Eropah (Andalusia, Sisilia), Asia (India, Persia, Negeri-negeri
di kawasan Balkan, ‘Negeri-negeri di lintas jalan sutra’ (Uzbekistan, Tajikistan,
China bagian Barat - Uighur). Terdiri
dari barbagai ras suku-suku bangsa yang sangat luas (beda budaya, bahasa, adat
istiadat) yang kepemimpinannya di bawah Kekhalifahan Turki Utsmani yang bukan
‘Arab atau berbahasa Arab.
Sementara itu masuklah kolonialisme
bangsa-bangsa Eropa yang menjajah belahan dunia lain termasuk negeri-negeri
berpenduduk muslim, dalam hal Mesir yaitu Perancis dan Inggris. Semuanya ini
terasa bahwa di “negeri” nya Muhammad Abduh, Mesir, tempat lahir-tumbuh-berkembang
dan asal dari nenek moyangnya sampai
saat ini “pendatangnya” lebih baik keadaannya, sementara penduduk asli tidak.
Kenapa? Karena kebiasaan dan cara pandangnya terpecah belah, jumud, statis,
stagnan. Dalam kondisi itu lahirlah Muhammad Abduh sebagai pembaharunya. Baca juga: Muhammad
Rasyid Ridha; Jamaluddin
Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 1; Jamaluddin
Al-Afghani Bapak Kebangkitan Islam 2. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Harun Nasution, Muhammad
Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 19.
[2] Ibid. hal, 19-20
[3] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya
Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 17
[4] Ibid, hal. 15
[5] Ibid, hal. 18
[6] Nur Cholis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan,
(Bandung: Mizan, 1989), hal. 172
[7] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Arruzz, 2006), hal. 258
[8] M. Qurais Shihab, Studi Kritis Tafsir Al Manar, hal. 19
[9] Ibid, hal. 20
[10] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 265
[11] Ibid, hal. 266
[12] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah,
(Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 487 – 488
[13] Muhammad Al Bahiy, Pemikiran Islam Modern, terj. Su’adi
Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 95
[14] Secara bahasa bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumya.
Secara istilah (syariat) adalah sebagaimana perkataan Imam Asy-Syatibi, “Bid’ah
adalah suatu cara yang diada-adakan di dalam agama yang menyerupai agama dengan
tujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”
Bukan termasuk bid’ah jika sesuatu itu
diada-adakan di luar agama (ibadah ghairah mahdhah) untuk kemaslahatan dunia, seperti adanya sains dan teknologi yang menghasilkan
transportasi, industri, atau yang lainnya.
“Hati-hatilah kalian
terhadap perkara yang diada-adakan (dalam ibadah mahdhah), karena setiap
perkara baru itu bid’ah. Dan setiap kebid’ahan adalah sesat, dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka” (HR Baihaqi, An Nasa’i); “Barang siapa melakukan suatu amalan (dalam
agama, ibadah maghdah) yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan
tersebut tertolak.” (HR Muslim); “Barangsiapa
yang mengada-adakan hal baru dalam urusan kami ini (agama, ibadah maghdah)
padahal bukan dari bagiannya maka ia tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim).
[15] Secara istilah, pengertian
khurafat
adalah suatu kepercayaan dan keyakinan pada segala sesuatu yang menyalahi
aturan agama Islam; Khurafat adalah
berita yang dibumbuhi dengan kedustaan.
[16] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi
Intlektual, terj. Ashin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995), hal. 70
[17] Ibid, hal. 77-78
[18] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rsullullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009),
hal. 246-247
[19] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, hlm 25.
[20] Ibid, hlm 26.
[21] Ibid, hlm 29.
[22] Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam, hlm 79.
[23] Muhammad Abduh, hlm 40.
[24] Muhammad Abduh, 42.
[25] Muhammad Abduh, hlm 50.
[26] Muhammad Abduh, hlm 51.
[27]
Nasution, Harun.1984.teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press. Hal, 172
[28] Ridho, Muhammad Rashid. Tarikh al-Ustaadz al-Imam Muhammad
Abduh. Mesir: Al-Manar. Hal, 56-57 □□
Daftar Kepustakaan:
Abduh
Muhammad. Risalah Tauhid, Cet. VII, Mesir: Dar al Manar, 1353 H
Al
Bahiy, Muhammad. Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986
Ali,
Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995
Madjid,
Nur Cholis. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989
Nasution
Harun, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:
Universitas
Indonesia, 1981
Nasution,
Harun. teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI-Press, 1984
Ridha
Muhammad Rasyid, Târîkh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, Juz I, Cet.
II, Mesir: Dar al-Manâr, 1367 H
Rahman,
Fazlur. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intlektual, terj. Ashin
Muhammad, Bandung: Pustaka, 1995
Sani,
Abdul. Lintas Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Peersada, 1998
Shihab,
M.Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid
ridha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
Suharto,Toto.
Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Arruzz, 2006
Syar’i,
Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Qutub
Sayyid, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam: Republika, 2002, Jakarta. □□□
Sumber:
http://just4th.blogspot.com/2015/06/biografi-dan-pemikiran-abduh.html
https://hikmawansp.wordpress.com/2012/01/03/muhammad-abduh-dan-pemikirannya-tokoh-pembaharuan/
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh
www.risalahislam.com
Dan sumber-sumber lainnya. □□□□