KATA PENGANTAR
“Innamā
bu’itstu li-utammima makārimal akhlāq”.
Artinya: “Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Al-Hadits)
Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah meriwayatkan
bahwa Rasulullah bersabda: “Innamā bu’itstu li-utammima shōlihal akhlāq”. Artinya,
Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak
yang saleh.
Pada sebagian riwayat meyebutkan: “Innamā bu’itstu
li-utammima makārimal akhlāq”. Artinya: “Sungguh
aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia - akhlaqul karimah.”
Tujuan diturunkannya Rasulullah saw adalah untuk menyempurnakan akhlak
manusia, dengan itu agama Islam sangat menjunjung tinggi urgensi “akhlaqul
karimah” dalam bersosial kemasyarakatan didalam kehidupan dunia yang dengan itu
implikasinya adalah amar ma’ruf (manusia
sebagai agent of development) dan nahi munkar (manusia sebagai agent of change).
Bagaimana selanjutnya, akan diterangkan oleh
Imam Shamsi Ali dalam tulisannya dimedia facebook ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia) North of America yang menarik perhatian kami. Atas izinnya
kami muat tulisan beliau dalam blog ini seperti tersebut dibawah. □ AFM
TUJUAN MULIA
HARUS DENGAN CARA MULIA!
Oleh: Imam Shamsi Ali *
S
|
emakin kita bersentuhan dengan media, khususnya
media sosial, semakin kita tersadarkan betapa lalu lintas informasi yang ada
semakin tidak terkontrol. Bahkan pada tingkatan tertentu sangat tidak bermoral.
Dalam dunia keterbukaan media, lalu lalang
informasi semakin bebas. Bahkan terkadang tanpa batas dan aturan. Informasi
yang berkeliaran bagaikan hewan buas yang siap menerkam mangsanya setiap saat.
Atau bagaikan peluru nyasar tanpa tahu dari mana arahnya. Atau bagaikan virus
corona yang mematikan tanpa tahu asal usulnya.
Tentu kita sadar bahwa manusia yang memang tidak
mengimani hari “pertanggung jawaban mutlak” (yaumu ad-dīn) akan melakukan apa saja selama yakin tidak akan
tersentuh oleh hukum dunia. Bahkan di saat mereka sadar pun tentang hukum
dunia. Karena mereka tahu betul bahwa hukum dunia itu penuh intrik dan dapat
dimanipulasi.
Karenanya bagi orang-orang seperti ini
menyebarkan informasi-informasi yang bukan saja belum terverifikasi, bahkan
terkadang sudah tahu kalau itu salah menjadi biasa. Lebih dari itu bahkan
sengaja menyebarkan informasi-informasi yang salah ke tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya terjadi kesalah pahaman, ketegangan,
kekisruhan, bahkan terjadi berbagai fitnah yang membawa kepada permusuhan dan
perpecahan dalam masyarakat. Satu tujuan yang pasti adalah “tafrīq baenan nās” (memecah belah
manusia). Lebih khusus lagi memecah belah orang-orang yang beriman.
Yang mengherankan bagi saya, sekaligus
menyedihkan, adalah ketika ada orang-orang Muslim melakukan hal yang sama.
Bahkan lebih menyedihkan lagi ketika itu dilakukan atas nama agama dan
perjuangan.
Untuk itu saya ingin mengingatkan kembali diri
saya dan kita semua untuk selalu mengingat “acuan moral” sekaligus
“konsekwensi” yang diakibatkan oleh sikap tak berhati-hati (careless) dalam menyebarkan informasi
atau berita.
Pertama, bahwa setiap kata yang kita sampaikan, baik
secara lisan (oral) maupun tulisan (written) pasti akan dipertanggung
jawabkan di hadapan Mahkamah Ilahi. “Tidaklah keluar sebuah sebuah kata darinya
kecuali dicatat oleh Raqīb (malaikat pencatat kebaikan) dan Atīd (malaikat
pencatat keburukan).
Kedua, tentu orang beriman sadar bahwa mengklarifikasi
berita, baik untuk diri sendiri apalagi untuk disebarkan ke orang lain hukumnya
wajib. Perintah itu jelas dan tegas dalam Al-Qur’an (Al-Hujurat: 6). Ayat itu
berbentuk kata perintah (fi’il amar).
Dan dalam kaidah ushul fiqhi kita kenal “al-amru
lil-wujūb” (perintah itu hukumnya wajib).
Ketiga, kalaupun tujuan menyebarkan berita itu untuk,
anggaplah untuk sebuah tujuan yang dianggap baik (mulia), misalnya untuk
membela agama dan kebenaran/keadilan, maka juga terjadi pelanggaran nyata. Tujuan mulia dalam pandangan Islam tidak menghalalkan
segala cara. Maka menyebarkan berita yang tidak jelas, apalagi memang
bohong atas nama membela Islam adalah batil (salah).
Keempat, agama Islam
menggariskan bahwa ketika kita melawan kebatilan atau merespon kepada sesuatu
yang kita anggap salah maka harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih baik,
lebih santun, lebih bermoral. “Lawanlah dengan cara yang terbaik”
(Al-Qur’an). Karenanya ketika kebatilan direspon dengan cara yang batil, kita
telah menempatkan diri pada posisi yang sama (kebatilan).
Kelima, tentu pertimbangan “integritas moral” dan “akhlakul
karimah” harus selalu dikedepankan dalam upaya membela kebenaran. Umat ini
jangan pernah kehilangan pijakan moralitas karena semangat membela kebenaran.
Karena jika itu terjadi maka dengan sendirinya terjadi paradoks nyata. Merasa
membela kebenaran tapi sekaligus merendahkan kebenaran itu sendiri.
Semoga upaya-upaya kita dalam menegakkan dan
membela kebenaran selalu terjaga dalam batas-batas kebenaran itu sendiri. Jadikan “akhlakul karimah” sebagai “fondasi perjuangan”
dalam membela kebenaran dan keadilan. Karena “akhlakul karimah” saat ini
menjadi barang mulia yang langka dan mahal. □
* New York, 26 Februari 2020.
Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.