Thursday, February 27, 2020

Tujuan mulia harus dengan cara mulia




KATA PENGANTAR

“Innamā bu’itstu li-utammima makārimal  akhlāq”. Artinya: “Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Al-Hadits)

Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Innamā bu’itstu li-utammima shōlihal akhlāq”. Artinya, Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh.

Pada sebagian riwayat meyebutkan: “Innamā bu’itstu li-utammima makārimal  akhlāq”. Artinya: “Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia - akhlaqul karimah.”

Tujuan diturunkannya Rasulullah saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia, dengan itu agama Islam sangat menjunjung tinggi urgensi “akhlaqul karimah” dalam bersosial kemasyarakatan didalam kehidupan dunia yang dengan itu implikasinya adalah amar ma’ruf (manusia sebagai agent of development) dan nahi munkar (manusia sebagai agent of change).

Bagaimana selanjutnya, akan diterangkan oleh Imam Shamsi Ali dalam tulisannya dimedia facebook ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) North of America yang menarik perhatian kami. Atas izinnya kami muat tulisan beliau dalam blog ini seperti tersebut dibawah. □ AFM



TUJUAN MULIA
 HARUS DENGAN CARA MULIA!
Oleh: Imam Shamsi Ali *


S
emakin kita bersentuhan dengan media, khususnya media sosial, semakin kita tersadarkan betapa lalu lintas informasi yang ada semakin tidak terkontrol. Bahkan pada tingkatan tertentu sangat tidak bermoral.

Dalam dunia keterbukaan media, lalu lalang informasi semakin bebas. Bahkan terkadang tanpa batas dan aturan. Informasi yang berkeliaran bagaikan hewan buas yang siap menerkam mangsanya setiap saat. Atau bagaikan peluru nyasar tanpa tahu dari mana arahnya. Atau bagaikan virus corona yang mematikan tanpa tahu asal usulnya.

Tentu kita sadar bahwa manusia yang memang tidak mengimani hari “pertanggung jawaban mutlak” (yaumu ad-dīn) akan melakukan apa saja selama yakin tidak akan tersentuh oleh hukum dunia. Bahkan di saat mereka sadar pun tentang hukum dunia. Karena mereka tahu betul bahwa hukum dunia itu penuh intrik dan dapat dimanipulasi.

Karenanya bagi orang-orang seperti ini menyebarkan informasi-informasi yang bukan saja belum terverifikasi, bahkan terkadang sudah tahu kalau itu salah menjadi biasa. Lebih dari itu bahkan sengaja menyebarkan informasi-informasi yang salah ke tengah-tengah masyarakat.

Akibatnya terjadi kesalah pahaman, ketegangan, kekisruhan, bahkan terjadi berbagai fitnah yang membawa kepada permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat. Satu tujuan yang pasti adalah “tafrīq baenan nās” (memecah belah manusia). Lebih khusus lagi memecah belah orang-orang yang beriman.

Yang mengherankan bagi saya, sekaligus menyedihkan, adalah ketika ada orang-orang Muslim melakukan hal yang sama. Bahkan lebih menyedihkan lagi ketika itu dilakukan atas nama agama dan perjuangan.

Untuk itu saya ingin mengingatkan kembali diri saya dan kita semua untuk selalu mengingat “acuan moral” sekaligus “konsekwensi” yang diakibatkan oleh sikap tak berhati-hati (careless) dalam menyebarkan informasi atau berita.

Pertama, bahwa setiap kata yang kita sampaikan, baik secara lisan (oral) maupun tulisan (written) pasti akan dipertanggung jawabkan di hadapan Mahkamah Ilahi. “Tidaklah keluar sebuah sebuah kata darinya kecuali dicatat oleh Raqīb (malaikat pencatat kebaikan) dan Atīd (malaikat pencatat keburukan).

Kedua, tentu orang beriman sadar bahwa mengklarifikasi berita, baik untuk diri sendiri apalagi untuk disebarkan ke orang lain hukumnya wajib. Perintah itu jelas dan tegas dalam Al-Qur’an (Al-Hujurat: 6). Ayat itu berbentuk kata perintah (fi’il amar). Dan dalam kaidah ushul fiqhi kita kenal “al-amru lil-wujūb” (perintah itu hukumnya wajib).

Ketiga, kalaupun tujuan menyebarkan berita itu untuk, anggaplah untuk sebuah tujuan yang dianggap baik (mulia), misalnya untuk membela agama dan kebenaran/keadilan, maka juga terjadi pelanggaran nyata. Tujuan mulia dalam pandangan Islam tidak menghalalkan segala cara. Maka menyebarkan berita yang tidak jelas, apalagi memang bohong atas nama membela Islam adalah batil (salah).

Keempat, agama Islam menggariskan bahwa ketika kita melawan kebatilan atau merespon kepada sesuatu yang kita anggap salah maka harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih baik, lebih santun, lebih bermoral. “Lawanlah dengan cara yang terbaik” (Al-Qur’an). Karenanya ketika kebatilan direspon dengan cara yang batil, kita telah menempatkan diri pada posisi yang sama (kebatilan).

Kelima, tentu pertimbangan “integritas moral” dan “akhlakul karimah” harus selalu dikedepankan dalam upaya membela kebenaran. Umat ini jangan pernah kehilangan pijakan moralitas karena semangat membela kebenaran. Karena jika itu terjadi maka dengan sendirinya terjadi paradoks nyata. Merasa membela kebenaran tapi sekaligus merendahkan kebenaran itu sendiri.

Semoga upaya-upaya kita dalam menegakkan dan membela kebenaran selalu terjaga dalam batas-batas kebenaran itu sendiri. Jadikan “akhlakul karimah” sebagai “fondasi perjuangan” dalam membela kebenaran dan keadilan. Karena “akhlakul karimah” saat ini menjadi barang mulia yang langka dan mahal.


* New York, 26 Februari 2020.
   Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.