PENDAHULUAN
J
|
udul buku ‘A
World Without Islam’ - terjemahan literalnya: Suatu Dunia Tanpa Islam. Namun - sesuai dengan
makna isi buku - terjemahannya yang lebih tepat dari judul buku ini (setidaknya oleh
penerjemah) adalah ‘Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam?’ Buku ini ditulis oleh Graham E. Fuller,
seorang guru besar sejarah di Simon Fraser University Kanada, ini sangat
kontroversial. Mengapa dia harus membahas tentang pengandaian ketiadaan Islam
di tengah adanya kecamuk global terhadap Islam - apa hikmahnya?
Meskipun begitu, kehadiran buku ini dengan sudut
pandang yang berbeda dari kaca mata kebanyakan pemikir Barat sendiri, ditulis
cermat berdasarkan pengkajian yang cukup dalam oleh seorang intelektual Barat
yang memiliki pengalaman dan tinggal serta bekerja di Dunia Islam selama dua decade.
Kekhususan buku yang ditulis oleh Graham E.
Fuller menjadi sangat membuat penasaran. Bahkan banyak “tidak disukai” oleh
kalangan pemikir Barat yang kelihatannya lebih pro kepada teorinya Samuel P.
Huntington seperti yang dipaparkan dalam bukunya ‘The Clash of Civilizations
and the Remaking of World Order’ -
‘Benturan Antarperadaban dan Masa
Depan Politik Dunia’ yang “mengenyampingkan” peran (peradaban)
Islam - terlebih lagi karena 9/11 yang menusuk tajam rasa super power Barat
terhadap peristiwa itu, sementara Graham E. Fuller tidak.
Empat belas bab yang ada di buku ini, ditulis
dengan gaya penuturan yang segar dan provokatif. Tak hanya itu, dari paparan
buku ini didapatkan beberapa pencerahan tentang sumber-sumber konflik yang
mengganggu keharmonisan dunia saat ini. Buku ini diawali dengan catatan tentang
pandangan antara ‘agama-agama Abraham’ serta kawasan Arabia sebagai titik awal
pembahasan. Pandangan Yahudi terhadap Islam dan Kristen, perspektif Islam terhadap
Yahudi dan Kristen, kemudian pandangan-pandangan Yahudi dan Kristen terhadap
Islam, membuka cakrawala pembaca tentang sudut pandang sejarah keberadaan
agama-agama ini.
Keterkaitan antara kondisi sosial, terutama
perkembangan politik terhadap perkembangan agama-agama di masa lalu menjadi
salah satu landasan pembahasan. Dalam buku ini isu agama yang berkembang
dibahas secara kontekstual, tidak terlepas dari struktur dan situasi kehidupan
manusia yang memeluknya.
Penulis The
Future of Political Islam Graham E. Fuller bersama Ralph E. Lapp ini juga
mampu mengutarakan berbagai rentetan sejarah yang terjadi di agama-agama samawi
lainnya. Seperti yang tertuang dalam Bab V membawa pembaca untuk meninjau ulang
dengan apa yang terjadi saat Perang Salib. Jika selama ini Perang Salib selalu
diasosiasikan dengan permasalahan agama, Graham E. Fuller mencoba meninjau
perang bersejarah ini dari sudut pandang berbeda. Bahwa sangat mungkin ada
kekuatan-kekuatan dahsyat lainnya yang bekerja: sebuah dorongan untuk perluasan
kekuasaan dan perkembangan-perkembangan politik, ekonomi, dan sosial yang
melatarbelakangi terjadinya perang besar tersebut.
Fuller kemudian bertanya kepada pembaca;
“Andaikata Islam tidak ada - alasan yang jelas bagi petualangan Perang Salib -
mungkinkah sebuah bentuk Perang Salib Barat melawan Timur masih terjadi?” Salah
satu hal yang membuat buku ini semakin menarik adalah bagaimana Fuller membuat
uraian sejarah tentang proses pertemuan Islam dengan agama bahkan kaum-kaum
tertentu yang pernah ada di muka bumi. Ada lima bab di bagian dua yang secara
gamblang mengungkapkan pertemuan-pertemuan Islam di batas-batas peradabannya,
mulai dari Romawi, Rusia, Eropa, India, hingga China.
Di negara terakhir yang disebutkan, kembali
Fuller menulis bahwa beberapa permasalahan yang terjadi di sana bukanlah Islam
sebagai penyebab utamanya. Penganut Islam Han China telah terintegrasi dan
secara kreatif membangun hubungan-hubungan antara budaya Muslim dan budaya
China, keragaman etnis di China-lah yang menjadi masalah, bukan Islam. Demikian
seperti ditulis Graham E. Fuller di akhir Bab XI.
Lalu di mana posisi Islam di era modern seperti
sekarang? Tiga bab yang tersisa di bagian akhir buku dengan judul asli ‘A World Without Islam’ ini memberi
gambaran tentang wajah Islam yang mengalami fluktuasi saat menghadapi isu
kolonialisme, nasionalisme, jihad, terorisme, sampai dengan tanggapan terhadap
kebijakan-kebijakan baru dengan dunia Islam.
Buku ini ibarat kumpulan saripati atas
kajian-kajian yang dilakukan oleh berbagai pemikir tentang sejarah dan perkembangan
agama-agama yang ada di dunia. Referensi yang dijadikan sumber tulisan yang ada
di buku ini begitu berbobot, beberapa hasil pemikiran dan kajian dari kampus,
lembaga, maupun tokoh yang terbiasa memunculkan hasil kajian yang memiliki expertise di bidangnya disadur dan
dikutip di dalam buku yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan ini.
Meskipun demikian, buku ini menghasilkan
kesimpulan yang cukup berbeda dan mungkin di luar nalar berpikir sebagian orang
Barat. Graham E. Fuller berargumen bahwa andai dunia tanpa Islam, tetap saja
Barat akan menyerang Timur Tengah walaupun tidak ada Perang Salib, karena yang
mendorongnya sedemikian kuat adalah nafsu imperialismenya. India mungkin tidak
memiliki kekayaan seperti sekarang jika saja tidak mewarisi budaya Islam Mughal.
Perpecahan tetap terjadi antara Gereja Ortodoks dengan Gereja Roma. Serta aksi
bom bunuh diri mungkin tetap ada, karena bukan muslim yang pertama kali
melakukannya. Sehingga tak heran jika penulis yang juga mantan Wakil Ketua
National Intelligence Council di CIA ini menganggap bahwa buku ini adalah salah
satu buku yang menawarkan sejarah alternatif, selain sejarah yang selama ini
kita pelajari bahkan telah diyakini keberadaannya.
ANALISA ISI BUKU
B
|
uku ini hadir dan terbit di Barat (Eropa dan
Amerika) di mana di sana beredar pemahaman yang salah kaprah tentang Islam.
Islam masih diasosiasikan sebagai biang keladi segala macam teror dan konflik
dunia saat ini, juga masa lalu. Pertama: Fuller melalui buku ini mencoba menjelaskan
bahwa betulkah faktor Islam yang membuat segala jenis teror dan konflik dunia?
Selanjutnya, yang kedua: Bagaimana bila Islam tidak pernah hadir di muka bumi
ini, Apakah teror dan konflik yang pernah dan sedang berlangsung dalam sejarah
akan hilang?
Membedah Sejarah Konflik
P
|
enceritaan Fuller sangat menarik dan berbeda
dari buku-buku yang membahas tentang “konflik Islam-Barat” dan semacamnya.
Fuller membedah sejarah konflik dengan teliti, lalu menghilangkan satu
bagiannya - Islam, kemudian Fuller juga berani menyimpulkan “prediksi jalannya
sejarah tanpa Islam” tersebut. Fuller seperti yang dia jelaskan dalam buku ini,
menyatakan bahwa mungkin tidak semua orang sepakat dengan kesimpulan yang akan
ia hasilkan, namun metode dan data-data sejarah yang dipakai bisa jadi bukti
kuat untuk orang mempunyai “prediksi lain” tapi sejatinya “akan serupa”
setidaknya membuat penilaian orang pada sejarah konflik Islam-Barat akan sama
sekali berbeda.
Fuller berangkat pada asumsi bahwa kejadian
sejarah, tidak pernah memiliki faktor tunggal, selalu melibatkan banyak faktor
yang saling terkait, tiap faktor itu penting, tetapi bila satu faktor
dihilangkan, faktor yang lain akan berinteraksi dengan faktor-faktor lainnya
untuk menjadi penyebab dari suatu kejadian sejarah. Dan bukan tidak mungkin
kejadian yang timbul tidak jauh berbeda. Begitupun yang terjadi dengan
kejadian-kejadian dalam sejarah Timur Tengah masa lampau dan saat ini maupun
dalam kejadian-kejadian yang disebut sebagai konflik antara Islam dengan Barat.
Fuller memulai narasinya dengan menjelaskan
tentang evolusi agama (teologis) yang berlangsung di Timur Tengah, dimana
perkembangan evolusi dari kehadiran agama Yahudi, Kristen Ortodoks, lalu Islam,
yang menyebabkan tidak ada shock teologis
di Timur Tengah. Secara doktrin teologis, Islam tidak berbeda jauh dengan
agama-agama pendahulunya, semisal Yahudi yang menyerukan monoteisme dan hidup
menjalani hukum-hukum Tuhan, kemudian hadirnya Kristen Ortodoks yang lebih
mementingkan keimanan daripada hukum-hukum ala ajaran Yahudi. Sedangkan kaum
Yahudi jelas tidak mudah menerima ajaran Kristen dengan Trinitasnya, dan banyak
komunitas Timur Tengah masa pra- Islam ada persamaan dengan Yahudi dalam hal
pemahaman terhadap konsep ketuhanan monoteisme - karena bersumber dari
kepercayaan Ibrahim sebagai “the father”
dari Yahudi-Kristen-Islam dibanding Trinitas. Islam lahir seolah sebagai
penghubung, di satu sisi mementingkan hukum (syariat) di sisi lain mementingkan
pula keimanan dalam konsep monoteisme yang “simple”.
Pun dalam ajaran dasar masing-masing, sangatlah dijunjung tinggi toleransi
terhadap penganut keyakinan lain.
Konflik baru terjadi setelah “kekuasaan”
menggunakan agama sebagai dalih untuk menyatakan mana yang benar mana yang
salah, mana yang murni mana yang bid’ah. Penguasa Romawi menggunakan ajaran
Kristen untuk menyebut penganut Yahudi bukan sebagai agama tersendiri akan
tetapi sebagai kaum yang menolak ajaran Yesus. Paus di masa Perang Salib dalam
seruannya tidak menyebut sama sekali Islam (muslim sebagai agama tersendiri)
akan tetapi disebut sebagai pelaku bid’ah (seolah sekte yang menyimpang dari
Kristen).
Pun dalam tradisi Romawi baik di Roma maupun di
Konstantinopel, begitu banyak sekte-sekte di luar versi resmi ajaran Kristen
(Roma Katolik) yang difatwakan Dewan Gereja (Roma Katolik). Diluar ajaran Roma
Katolik mengalami penindasan, pembunuhan, dan sebagainya karena mereka dianggap
sebagai pelaku bid’ah, tidak murni lagi ajarannya. Menurut Fuller, Hal ini pun
terjadi dalam sejarah Timur Tengah maupun Islam, dimana konflik yang terjadi
bukanlah murni karena ajaran Islam itu mengharuskan adanya konflik yang
demikian, akan tetapi karena kepentingan politik (kekuasaan) dan ekonomi.
Misalnya, peperangan negara-negara Timur Tengah melawan Turki Utsmani jelas
bukan lagi konflik karena agama walau tiap penguasa Arab (Timur Tengah)
berusaha menggunakan retorika agama dalam menjatuhkan legitimasi kekuasaan
Turki Utsmani.
Bahkan konflik panjang antara Romawi (Katolik)
dengan Konstantinopel (Ortodoks) jelas bukan konflik antara agama karena
dilakukan sesama penganut Kristen, namun lebih kepada konflik politik dimana
faktor agama hanya dipakai sebagai pemersatu ke dalam, dan pembeda ke luar. Pun
dalam konflik kerajaan Jerman (Protestan) dengan Romawi (Katolik), sedikit
banyak karena faktor politik dan ekonomi. Bahkan dengan berani memprediksi,
jika Islam tidak pernah lahir di Timur Tengah, secara geopolitik Timur Tengah
akan didominasi penganut Kristen Ortodoks dimana Konstantinopel sebagai
penguasanya, dan Perang Salib kemungkinan akan tetap lahir, mungkin dengan
kadar dan dimensi yang berbeda antara Roma (Katolik) melawan Konstantinopel
(Ortodox). Kita tentu tahu fakta sejarah Perang Salib ketiga dimana Tentara Salib
yang berangkat dari Eropa yang awalnya bertujuan membebaskan Palestina dari
Penguasaan Muslim, berujung pada peperangan dengan Konstantinopel (Ortodox) dan
pasukan dari Eropa berhasil merebut tahta Konstantinopel untuk sementara waktu.
Jelas perebutan monopoli (pengaruh) Kepausan antara Roma dan Kontantinopel yang
menyebabkan kedua kubu Kristen ini terus saling berperang bahkan di saat musuh
(Islam) berhasil merebut kota suci dimana Yesus dilahirkan. Dalam konteks
menjelaskan tentang Perang Salib, Fuller dengan sangat piawai membedah
faktor-faktor sejarah apa sajakah yang memungkinkan itu terjadi dan mencoba
menghilangkan faktor Islam, lalu memprediksi jalannya sejarah tanpa “faktor
(Islam)” tersebut, hingga sampai pada kesimpulan yang disebut di atas, bahwa
Perang Salib dalam skala dan dimensi yang berbeda sangat mungkin akan tetap
terjadi walau tanpa adanya “faktor Islam” sekalipun.
Retorika Anti-Barat
F
|
uller kemudian mencoba membedah faktor adanya
retorika anti-Barat yang menurut sebagian besar orang Barat, merupakan bawaan
dari ajaran Islam itu sendiri. Fuller menjelaskan, bahwa retorika dan ideologi
anti-Barat menyebar dari Asia, Afrika, hingga Amerika Latin, dengan beragam
ideologi, dari mulai nasionalisme, komunisme, dan lainnya. Bahkan di Timur-Tengah
sendiri, ideologi Marxisme dianut sebagian aktor dan menggemakan retorika
anti-Amerika. Ideologi nasionalisme-Arab (disebut sebagai Naserisme di Mesir,
Sudan dan sekitarnya), mengikuti penyeru utamanya Presiden Gamal Abdul Naser;
atau Ba’athisme di Suriah, Irak, dan sekitarnya mengikuti nama partai Ba’ath)
pernah menjadi pemersatu anti-Barat (anti-Amerika, anti-Inggris, anti-Israel).
Dan layaknya agama Kristen menjadi budaya dan pemersatu identitas di Amerika
Latin kemudian memunculkan perlawanan anti-Barat yang khas Amerika Latin dengan
warna Kristennya, hal serupa sangat wajar terjadi di Timur-Tengah, dimana
identitas budaya (dan agama: Islam) menjadi pemersatu bagi perlawanan
anti-Barat untuk mendapat dukungan dan simpati publik lebih luas.
Bantahan Fuller Terhadap Huntington
F
|
uller kemudian coba membantah hipotesa Samuel
Huntington tentang konflik peradabannya yang menjelaskan dimana garis-garis
perbatasan antar peradaban akan menjadi garis-garis berdarah. Fuller mencoba
membedah hubungan dan konflik antara Islam dengan Rusia, India, China, dan
Eropa.
Hubungan Islam dan Rusia
Dalam konteks hubungan Islam dengan Rusia,
Fuller menjelaskan terlebih dahulu tentang klaim Rusia sebagai Romawi-Ketiga,
penguasa yang paling berhak menjadi penerus ajaran Kristen (setelah keruntuhan
Kerajaan Romawi, dan Konstantinopel di
bawah Turki Utsmani), Kerajaan Rusia resmi menganut Kristen-Ortodoks dan
mempromosikan diri sebagai kelanjutan penguasa Konstantinopel. Dalam perjalanan
sejarahnya, tarik-menarik antara kepentingan Gereja-Ortodoks untuk lebih
memperlihatkan sifat Ortodoks pada Rusia atau sifat plural dimana di sebagian
negara taklukan Rusia terdapat komunitas (saat ini negara) berpenduduk
mayoritas Muslim dengan bahasa dan budaya lebih dekat kepada Turki dibanding
Rusia. Jumlah penduduk Muslim yang besar (terutama di daerah taklukan, ini
menyebabkan terbesar dibanding negara Eropa lainnya) membuat Rusia memilih
bentuk kebijakan yang lebih prulalistik dalam konteks keagamaan. Sedangkan
konflik dengan negara taklukan, seperti misalnya Rusia versus Chechnya,
pastilah terjadi dan itu tidaklah khas Kristen-Ortodoks melawan Islam.
Kemunculan komunisme di Rusia (yang berubah menjadi Uni Soviet) menambah suram
konflik dengan negara taklukan yang beragama Islam, dan hingga kini trauma dan
kecurigaan mendalam umat Islam pada Rusia (bekas negara Komunis) masih belum
lah hilang.
Setelah sebagian besar negara pecahan Soviet
merdeka dan membentuk negara sendiri, konflik Rusia dengan “Islam” mungkin
tinggal sedikit, yaitu misalnya Chechnya, dimana konflik lama bahkan sebelum
Rusia berubah menjadi Uni Soviet. Perjuangan politik secara damai dari pejuang
Checnhya guna mendapatkan kemerdekaan, diinfiltrasi oleh pejuang-pejuang dari
gerakan radikal-Islam dari luar Chechnya pasca perang Soviet-Afghanistan. Jelas
hubungan Rusia dan Islam sangat lah kompleks dan mengalami pasang surut, akan
tetapi tidak dalam kondisi garis perbatasan yang berdarah-darah seperti yang
disebutkan Huntington.
Terlebih, dalam konteks perimbangan adikuasa
dunia, Rusia masih diharapkan terutama oleh negara Timur-Tengah untuk mengerem
kebijakan Amerika. Fuller pun memperlihatkan posisi yang sering berseberangan
antara Eropa (Kristen-Katolik) dengan Rusia (Kristen-Ortodoks) yang memperlihatkan
bahwa konflik yang terjadi tidak bisa disederhanakan dengan Islam versus Rusia
begitu saja.
Hubungan Islam dan India
Dalam membedah hubungan antara Islam dengan
India. Fuller memperlihatkan perbedaan penerimaan Islam di wilayah selatan India
(Gujarat) dengan wilayah utara India. Proses penerimaan Islam pada komunitas
Hindu India di wilayah selatan relatif berlangsung damai, karena Islam masuk
melalui interaksi sosial (dakwah) antara komunitas pedagang Arab atau Turki
dengan penduduk setempat. Berbeda dengan penaklukan wilayah selatan India
kemudian berdiri dinasti Mughal, dan ini bukanlah khas konflik Islam-Hindu,
karena dimanapun konflik antara budaya penakluk dengan budaya pribumi yang
ditaklukan sesuatu yang tak terelakkan. Konflik diperparah oleh kedatangan
Inggris dimana pada awalnya Inggris lebih memihak komunitas Hindu daripada
komunitas Muslim, walau pada akhirnya Inggris mengakui kesalahan tersebut
karena komunitas Hindu pun akan melalukan perlawanan kepada Inggris. Akan
tetapi, keberpihakan awal Inggris kepada komunitas Hindu dimanfaatkan gerakan
Radikal-Hindu untuk melakukan balas dendam yang sudah lama dipendam kepada
komunitas Muslim. Hingga India merdeka, persoalan ini belum lah berakhir, akan
tetapi, solusi pendirian negara Pakistan (Islam) yang terpisah dengan India
(Hindu) hanya menambah derita komunitas Islam di India yang semakin menjadi
minoritas. Konflik diperparah dengan terlibatnya Pakistan dalam melatih,
mendanai, dan menyusupkan kelompok-kelompok anti-India. Kekerasan antara
Hindu-Muslim seringkali menjadikan komunitas Muslim sebagai korban yang paling
banyak dan paling rawan karena berada pada posisi minoritas. Jelas dalam kasus
India, Islam bukan lah ideologi yang secara superior ingin menghabisi dan
menciptakan konflik dengan yang lain, akan tetapi Islam justru menjadi kelompok
minoritas yang mencoba mempertahankan diri (baik secara budaya, eksistensi,
maupun agama). India dengan Taj Mahal dan peninggalan pengetahuan di masa
Dinasti Mughal (Islam) merupakan sejarah tersendiri yang sulit untuk tidak
disebutkan mewarnai India saat ini.
Hubungan Islam dan China
Dalam konteks hubungan Islam dengan China,
Fuller pun mencoba menarasikan, bahwa hubungan Islam dan China pun kompleks dan
tidak bisa disimplifikasi sebagai perbatasan yang berdarah-darah. Hubungan
Islam dengan China dimana penganut Islam mampu diterima dan bahkan berperan
aktif dalam sejarah Kerajaan China terlihat dari kisah masyhur Laksamana Cheng
Ho. Akan tetapi, di akhir kerajaan China dimana Dinasti Tang yang berasal dari
etnis Manchu, dijadikan alat propaganda menjelang revolusi China yang dipimpin
oleh Sun Yat Sen. Sun Yat Sen mencoba memprosikan nasionalisme Han dimana etnis
Han dianggap lebih layak berkuasa di China dibanding penguasa saat itu (etnis Manchu)
walau pada akhirnya Sun Yat Sen meluaskan nasionalisme etnisnya tidak hanya
pada etnis Han. Akan tetapi, budaya Han jelas mendominasi China. Dimana etnis
Uighur (mayoritas berada di provinsi Xinjiang) beragama Islam dan dengan budaya
lebih dekat ke keturunan Turki, semisal negara-negara sekitarnya yang pecahan
Soviet. Revolusi Mao menambah runyam permasalahan perbedaan budaya ini. Namun
itu bukan lah khas China versus Muslim karena hal yang sama terjadi pada
penduduk Tibet yang mayoritas beragama Budha dengan budaya yang berbeda pula
dengan budaya Han. Bahkan hingga kini pemimpin spiritual Tibet dan sebagian
besar pendukungnya masih hidup di pengasingan.
Seperti halnya hubungan Rusia dengan komunitas
radikal-Islam, China pun tergiur bergabung dalam agenda perang melawan
terorisme guna menjadi justifikasi melakukan represi dan diskriminasi pada
komunitas Uighur. Jelas itu menambah dimensi konflik. Akan tetapi, China
bersama Rusia sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, diharapkan oleh sebagian
komunitas Islam menjadi penyeimbang baru bagi dominasi Amerika. Bukan tidak
mungkin hubungan China-Islam akan berubah menjadi lebih positif, begitu juga
hubungan Rusia-Islam bila negara-negara Islam mempergunakan pengaruh politik
(dan ekonominya) bagi perbaikan-perbaikan yang ada misalnya untuk penyelesaian
konflik di Chechnya (Rusia) maupun Uighur (China). Karena kerjasama politik dan
ekonomi semacam itu sangat dimungkinkan dan kondisi demikian jauh dari gambaran
perbatasan yang berdarah.
Hubungan Eropa dan Islam
Permasalahan Muslim
di Eropa. Muslim di Eropa awalnya datang sekitar tahun
1960-an sebagai pekerja kasar, karena orang-orang Eropa tidak mau bekerja kasar
lagi. Mereka datang ke Eropa, sebagian besar dari Timur Tengah (termasuk dari
Afrika Utara), Asia Selatan, Turki, hingga kini. Sekitar 5% dari penduduk Eropa
adalah Muslim, terbesar berada di Prancis sekitar 4.5 juta lebih, di Jerman
sekitar lebih dari 3 juta, di Inggris sekitar 1.6 juta, dan di negara-negara
Eropa lain lebih kecil dari itu, dan selanjut kelahiran di Eropa dari keluarga
pendatang.
Kenapa Muslim saat itu berbondong-bondong ke
Eropa? Banyak faktor, antara lain lapangan kerja yang terbatas dan kalau ada
gaji atau upah yang diterima tidak memadai. Dengan itu artinya mencari
kesempatan hidup yang lebih baik dari negeri asal. Faktor lain karena birokrasi
pemerintahan yang korup sehingga pelayanan kepada warganya tidak memadai
sebagai negara yang mestinya mensejahterakan hidup warga negaranya. Disamping
itu penuh dengan konflik intern negara, yang membuat warganya tidak betah
tinggal di negaranya.
Eropa sebagai bangsa dengan budaya yang mapan
yang berbeda dengan Amerika sebagai negara imigran, para pendatang mengalami
masalah dalam memperlakukan imigran Muslim. Selain karena sebagian berasal dari
kalangan rendahan (baik pendidikan, pekerjaan, ekonomi) juga perbedaan budaya
yang dialami kelompok Muslim juga menyebabkan ada shock budaya.
Kebanyakan para imigran Muslim ini akhirnya
hidup berkelompok, membangun solidaritas antar sesamanya, dalam rangka bertahan
hidup (baik ekonomi maupun budaya) di tengah masyarakat Eropa yang sudah mapan.
Dan menurut John L. Esposito, dalam bukunya Future of Islam, fenomena ini biasa
terjadi di kalangan imigran, tidaklah khas “Muslim”, bukanlah artinya Muslim tidak
mau berbaur dengan warga Eropa. Bahkan para imigran awal Amerika dari Inggris
berkelompok menurut koloni-koloninya, tidak langsung berbaur melebur menjadi
satu kesatuan. Itu pula dialami nenek moyang Esposito yang imigran asal Italia,
berkelompok sesamanya.
Permasalahan makin runyam saat Amerika
mengumumkan perang melawan terorisme, tidak lupa Bush beretorika itu sebagai
Perang Salib dan disambut hangat oleh negara-negara Eropa sekutu Amerika,
terlebih fakta pelaku pembajakan pesawat 9-11 lahir dan hidup di Eropa. Dan
sejak saat itu, Muslim Eropa, imigran Muslim, seolah berbeda dengan imigran
yang lain dan patut dicurigai sebagai teroris, terlebih sikap tidak mau membaur
dengan budaya Eropa.
Tariq Ramadhan, salah seorang intelektual Muslim
Eropa, pernah menyampaikan bahwa masalah utamanya adalah pemerintah (Eropa)
tidak punya kebijakan sosial yang mumpuni untuk menyelesaikan masalah sosial
ekonomi penduduk miskin (sebagian imigran Muslim Eropa berstatus tersebut) sehingga
lebih suka mengarahkan telunjuk ke pihak lain bahwa penyebabnya adalah “mereka”
(imigran Muslim Eropa sendiri).
Di sisi lain, warisan ingatan masyarakat Eropa
tentang Islam dan budaya Islam sangat minim (jika tidak dibilang negatif)
karena sejarah perjumpaan Islam dan Eropa pada masa lalu tidak terwariskan
secara utuh, Eropa di masa kejayaannya setelah Abad Kegelapan lenyap, mengalami
penciutan ingatan hubungan Eropa-Muslim dalam Ilmu Pengetahuan (kedokteran,
matematik, teknologi, ilmu sosial dan filsafat) seperti yang diingat hanya
Perang Salib (perang dengan Islam - Muslim). Sedangkan dalam penjelajahannya ke
dunia baru (yang pada akhirnya diikuti dengan penjajahannya) Eropa menemukan
dan menjuluki negeri-negeri Muslim sebagai tidak beradab, barbar, dsb.
Perjumpaan Eropa-Islam di jantung Eropa tidak banyak terwariskan, selain (apa
yang disebut Eropa sebagai Penjajahan) Turki Utsmani di Balkan, dan (penjajahan
Muslim) di Spanyol. Sebagiannya “merasa trauma abad tengah Eropa yang gelap”
dengan itu tidak mau mengakui adanya kejayaan dan peranan Islam di Eropa,
kecuali merasa hanya dari peradaban Yunani dan Romawi yang notabene bangsa
Eropa juga. Bahwasanya ada fakta-fakta yang baru terungkap kemudiannya yaitu
ilmu pengetahuan dari dunia Islamlah yang banyak berperan dalam kebangkitan
Eropa di masa lalu, terlambat diakui dan terkubur dalam puing-puing prasangka
baru akibat gencarnya wacana perang melawan terror.
PR (Pekerjaan Rumah) bagi masyarakat Eropa
dimana memiliki budaya yang sudah mapan, bagaimana kembali berubah dalam dunia
yang faktanya berubah. Eropa sekarang bukan hanya diisi oleh Eropa yang dulu,
dan sudah berubah dengan susunan masyarakat yang lebih multikultur. Dan tentu
sulit bagi masyarakat dengan budaya yang sudah mapan (terlebih sudah lama
merasa superior) untuk mengakui bahwa ada masyarakat dengan budaya berbeda yang
hidup di sekitarnya yang patut dihormati.
Tidaklah perlu memaksa Muslim Eropa untuk
mengakui atau mendeklarasikan dirinya sebagai apa dalam hal identitasnya,
apakah sebagai Muslim (dengan karakteristik budaya-nya) apakah sebagai Eropa,
atau sebagai apa. Apalagi fakta bahwa Muslim Eropa pun beragam, hampir
separuhnya berasal dari Arab, kemudian Turki, Asia Selatan, dst. Imigran Muslim
Prancis sebagian besar berasal dari Afrika Utara (negara bekas jajahan
Prancis). Di Jerman sebagian besar asal Turki, bahkan sekarang banyak asal
Eropa Timur dan Balkan. Di Inggris banyak asal Asia Selatan (bekas jajahan
Inggris). Bahkan sebagian Muslim Eropa yang lahir di Eropa (dari ibu-bapak
imigran) berbicara dalam bahasa negara-negara Eropa dan tidak lagi menggunakan
bahasa asalnya. Dengan itu Eropa seharusnya, fokus membuka diri dan berubah
mengakui masyarakat Eropa yang multikultur, tidak berhenti dengan kemapanan
yang sudah ada.
Di sisi lain, pemerintah negara-negara Eropa,
seharusnya fokus menyelesaikan permasalahan sosial-ekonomi bagi masyarkat
miskin (sebagiannya imigran Muslim dan keturunannya) dengan kebijakan-kebijakan
sosial yang tepat, tidak malah melemparkan telunjuk ke imigran sebagai biang
masalah, apalagi jika retorika seperti itu hanya untuk menarik pemilih saat
kampanye pemilihan umum. Terlebih setelah ekonomi Eropa mengalami krisis,
pemerintah (Eropa) seharusnya fokus membenahi ekonominya, karena banyak
kekecewaan-kekecewaan dari masyarakat Eropa walaupun secara salah mengarahkan
telunjuk kepada Muslim Eropa, yang sebagiannya dituduh merebut mata pencaharian
orang Eropa atau sebagai beban ekonomi negara yang harus memberikan
bantuan-bantuan sosialnya.
Perlu diingat, Eropa masa lalu, komunitas Yahudi
mengalami diskriminasi kewarganegaraan yang parah dalam masyarakat Eropa yang
Kristen, dan sebagai pertahanan diri menghadapi diskriminasi, Yahudi pun
berkelompok satu sama lain untuk mempertahankan budaya dan ekonominya dari
diskriminasi Eropa. Dan Eropa (khususnya Jerman) pernah melakukan kesalahan
fatal dalam menangani komunitas Yahudi Eropa. Yaitu, pertama, membunuhi orang
Yahudi (hingga dalam bahasa orang Jerman diburu seperti tikus got). Kedua
memberikan kompensasi tindakan brutalnya terhadap komunitas Yahudi, Eropah
memfasilitasi program imigrasi besar-besaran warga Yahudi Eropa menduduki tanah
Palestina sebagai negara jajahan Eropa (Inggris) yang diambil dari Turki.
Dengan itu ribuan orang Palestina harus dan terpaksa merelakan tanahnya untuk
diduduki. Sebagiannya, mengungsi ke luar dari negrinya (hingga sekarang).
Seharusnya Eropa belajar dari itu untuk tidak mengulangi hal yang sama.
Dan bilamana Eropa (sesuai konstitusi Eropa)
mampu memberikan jaminan demokrasi, kebebasan berekspresi, perlindungan
terhadap minoritas, seharusnya lah hal yang sama diberlakukan terhadap Muslim
Eropa. Jika Eropa tidak ingin orang miskin dari negara-negara Muslim
berbondong-bondong datang ke Eropa dan menetap, maka Eropa harus menghentikan
dukungannya kepada rezim diktator atau mendukung salah satu dari kelompok
“perang saudara” di negara-negara Islam.
Sedangkan bagi Muslim Eropa, PR pun tidak kalah
banyak, hingga kini para imigran Muslim Eropa tidak pernah berhenti berusaha
untuk diterima sebagai bagian dari masyarakat Eropa, walau ditengah tingkat
pendidikan yang rendah, diskriminasi, prasangka, dll. Tentu tidak mudah, tapi
sebagiannya terlihat misalnya dengan lahirnya anak-anak mereka dan hidup dengan
bahasa masyarakat Eropa tidak lagi menggunakan bahasa ibu asal negaranya. Akan
tetapi permalahan budaya pun belumlah selesai, imigran Muslim Eropa berada
diantara pilihan-pilihan dalam keadaan yang sulit, apakah berasimilasi penuh
dalam masyarakat Eropa, artinya meninggalkan seluruh budaya Muslim negara asal,
ataukah menarik diri dan tidak mau berinteraksi sama sekali dengan budaya Eropa
untuk melindungi budaya (dan agamanya). Tariq Ramadhan, dalam buku Teologi
Dialog Islam-Barat, merumuskan bahwa masyarakat imigran Eropa bisa untuk menjadi
Muslim sekaligus Eropa, karena ajaran-ajaran Islam mengharuskan Muslim
berkontribusi positif dalam lingkungannya tanpa menghilangkan identititas
budayanya, menyerap modernitas masyarakat Eropa, namun di sisi lain tidak
mengambil ekses dan perilaku negatif masyarakat Eropa yang tidak sesuai dengan
Islam dan budaya Muslim. Dan itu bisa dilakukan tentu dengan keterlibatan aktif
dua pihak, Eropa dan Muslim, masyarakat Eropa tidak bisa diam begitu saja hanya
meminta Muslim memahami mereka tanpa berlaku hal yang sebaliknya juga.
Pun, masyarakat muslim secara umum harusnya
lebih punya keinginan untuk merumuskan dialog yang kontruksif dalam pergaulan
global daripada menarik diri dan menjuluki peradaban lain sebagai tidak islami
secara keseluruhan, yang pada akhirnya menjadi tanah yang subur bagi
pemikiran-pemikiran radikal termasuk di jantung Eropa sendiri.
Penggunaan Kekerasan Teror
Fuller kemudian beranjak menjelaskan tentang
penggunaan teror (kekerasan), kekerasan
bukanlah khas Islam, bahkan daftar organisasi teroris yang dicatat di Eropa
sebelum peristiwa 11 September 2001, sebagian di dominasi oleh organisasi
komunis, ultra-kanan, dan fasis. Konflik kekerasan (perang) paling mutakhir di
abad 20 yaitu Perang Dunia pertama dan kedua bukanlah karena alasan agama,
apalagi Islam.
KESIMPULAN
D
|
i akhir narasinya, Fuller mencoba memberikan
solusi, lalu jika semua konflik di Timur-Tengah atau konflik dengan Barat bukan
karena faktor Islam, lalu apa yang harus dilakukan Barat? Solusi yang
ditawarkan Fuller tidaklah asing dan baru, hanya berupa pengulangan-pengulangan
yang sering disebutkan para kritikus kebijakan Barat lainnya, diantaranya:
1. Barat harus menghentikan intervensi baik
secara militer maupun secara politik kepada negara-negara Islam, karena
intervensi tersebut hanya akan menjadi pembenaran bagi propaganda anti-Barat.
2. Barat harus berhenti mendukung
diktator-diktator di Timur-Tengah (negara Islam), dan mendorong adanya
demokratisasi.
3. Barat harus membiarkan actor-aktor demokrasi
lokal mencari jalannya sendiri bagi terbentuknya demokrasi yang cocok bagi
mereka.
4. Barat harus menghilangkan cara-cara represi
bagi penindakan terhadap terorisme dan lebih mengutamakan instrumen hukum.
5. Barat harus mencari penyelesaian persoalan
Palestina dengan segera karena permasalahan Palestina selalu digunakan gerakan
radikal sebagai justifikasi sikap anti-Barat.
6. Anggaran bagi perang melawan teror, hendaknya
dialihkan untuk lebih membantu negara-negara Islam dalam kerangka memberikan
pelayanan kepada publik seperti penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, dan
lainnya, agar negara memiliki legitimasi dan kepercayaan di mata rakyatnya
sehingga rakyatnya tidak tertarik bergabung dengan kelompok-radikal.
Terlepas dari kritik-kritik dari kalangan Barat
sendiri, buku ini sangat menarik karena metode Fuller yang berbeda dan berani
dalam memberikan narasi sejarah alternatif seandainya “Dunia Tanpa Islam”,
konflik-konflik di dunia tetap saja terjadi. Billahit Taufiq wal-Hidayah □ AFM
Saksikan
pula video Vimeo ini (24:36 menit, klik --->) A World Without Islam by Graham
Fuller on Vimeo Setelah itu klik lagi tanda panahnya yang
ada pada website Vimeo ini.
Biografi Graham E. Fuller:
Graham E. Fuller, Profesor
Sejarah di Simon Fraser University di Vancouver, Canada. Dia memiliki gelar BA dan MA dari Harvard - dalam studi
Rusia dan Timur Tengah. Bekerja
20 tahun sebagai petugas operasi CIA, tujuh belas tahunnya berkantor di luar negeri yaitu di Turki, Lebanon, Arab Saudi, Yaman, Afghanistan dan
Cina. Kemudian menjadi Wakil Ketua Dewan Intelejen Nasional di
CIA, dengan tanggung jawab keseluruhan untuk peramalan strategis tingkat
nasional.
Setelah meninggalkan dinas pemerintahan Fuller adalah
seorang Ilmuwan Politik Senior di RAND Corporation selama 12 tahun, dan banyak menulis publikasi berbagai masalah terutama
masalah (geo) politik. Dalam publikasinya menulis tentang Islam
dan politiknya di
berbagai negara, geopolitik dunia Muslim. Dia dapat berbicara dalam beberapa bahasa Timur Tengah (Arab), Rusia dan Cina.
Ia
juga menulis banyak buku dan artikel tentang
geopolitik Timur Tengah dan Asia Selatan, termasuk The Center of the Universe:
Geopolitik Iran; Geopolitik Islam dan Barat; Turki -
Wajah Timur: Geopolitik Baru Turki dari Balkan ke Asia
Tengah; Arab Syiah; dan Masa Depan Politik Islam, 2003; Republik Turki Baru
- Peran Penting Turki di Timur Tengah, 2008.
Buku terbarunya adalah A World Without Islam, 2010. □□
Sumber:
- Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam? - Sebuah Narasi Sejarah Alternatif, Diterjemahkan dari A World Without Islam karya Graham E. Fuller, Penerbit PT Mizan Pustaka, Cetakan II, Februari 2015.
- http://www.kompasiana.com/ariflukman/apa-jadinya-dunia-tanpa-islam_55a18410177b61de07f6601f
- https://pijarkecillibrary.wordpress.com/2015/01/31/ulasan-buku-apa-jadinya-dunia-tanpa-islam/
- https://pijarkecillibrary.wordpress.com/2015/01/09/permasalahan-muslim-eropa/□□□