KATA PENGANTAR
Keadilan
adalah salah satu nilai kemanusiaan yang asasi. Memperoleh keadilan adalah hak
asasi bagi setiap manusia. Adil ialah tidak berat sebelah, jujur, tidak
berpihak dan sama rata. Keadilan mengandung unsur kejujuran, kelurusan,
keikhlasan yang tidak berat sebelah.
Allah Subhāna Wa Ta’ālā
berfirman
dalam Al-Qur’an: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran", QS An-Nahl 16:90.
Allah
Subhāna Wa Ta’ālā
memerintahkan manusia berlaku adil, termasuk dalam memutuskan suatu perkara dan
memberikan kesaksian dan bergaul dalam komunitas. Keadilan dalam hukum adalah
keadilan yang dapat mewujudkan ketenteraman, kebahagiaan dan ketenangan secara
wajar bagi masyarakat. Hal seperti itulah yang diingatkan
Allah Rabb Al-‘Ālamīn dalam Firman-Nya dalam Surah An-Nisā’ ayat 135
menerangkan bagaimana cara menegakkan keadilan yang semestinya.
Keadilan adalah ketetapan Allah
bagi kosmos atau alam semesta (universe)
ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan
hukum seluruh hajat alam semesta sebagaimana keteraturan tatasurya dimana kita
hidup. Matahari, Bumi dan Bulan dan planit-planit lainnya beredar di jagat raya
dengan teratur (tidak saling bertabrakan yang membuat ‘chaos’ - kiamat sebelum
waktunya). Oleh karenanya, melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan
dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia
yang hidup di muka Bumi - kalau tidak mengetahui Keadilan Dalam Ajaran Islam.
Paparan
‘amazing’ yang mencerdaskan selanjutnya dapat diikuti berikut ini yang terdiri
dari: (1) Kata Pengantar ini, (2) Pendahuluan, (3) Perintah Allah, (4) Ajaran Islam
Dalam Keadilan, (5) Penegakan Keadilan Dalam Sejarah Islam, (6) Penutup (Kesimpulan).
KEADILAN
Dalam Ajaran Islam
Oleh:
Ahmad Faisal Marzuki
PENDAHULUAN
alam
kitab suci Al-Qur’an digunakan beberapa istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafadz-lafadz tersebut jumlahnya banyak dan
berulang-ulang. Diantaranya lafad al-adl
dalam Al-Qur’an dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Lafad al-qisth terulang sebanyak 24 kali.
Lafadz al-wajnu terulang sebanyak 23
kali. Dan lafad al-wasth sebanyak 5
kali.
Adil
adalah sifat Allah Subhāna Wa
Ta’ālā (SWT). Untuk menegakkan
keadilan orang harus menjadi saksi demi Allah, sekalipun itu akan mengganggu
kepentingan kita sendiri, seperti yang dapat kita bayangkan, atau kepentingan
mereka yang dekat kepada kita atau yang kita sayangi. Peribahasa Latin
menyatakan, “Keadilan harus berjalan sekalipun langit akan runtuh.”
Keadilan
Islam lebih tinggi daripada keadilan formal menurut hukum Romawi atau
hukum yang mana pun yang dibuat manusia. Ia menembus sampai ke
lubuk perasaan yang paling dalam, karena kita melakukannya seolah kita
berada di hadapan Allah SWT, Yang
mengetahui segala benda, segala kerja dan gerak hati.
PERINTAH ALLAH
Allah SWT memerintahkan manusia berlaku adil,
termasuk dalam memutuskan suatu perkara dan memberikan kesaksian. Keadilan
dalam hukum adalah keadilan yang dapat mewujudkan ketenteraman, kebahagiaan dan
ketenangan secara wajar bagi masyarakat.
Firman
Allah SWT dalam Surah An-Nisā’ ayat
135 menerangkan bagaimana cara menegakkan keadilan yang semestinya yang
artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau
terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah
Mahateliti (mengetahui secara detail) terhadap segala apa yang kamu kerjakan.
(QS An-Nisā’ 4:135)
Ayat
135 Surah An-Nisā’ ini sampai dijadikan patokan atau pedoman dalam menegakkan
keadilan yang sangat fundamental oleh Law School (Fakultas Hukum) Harvard
University dan di pampangkan ditembok gedung perpustakaannya agar dilihat dan
menjadi perhatian bagi setiap para hadirin yang berada di dalam perpustakaannya
- kerena begitu agung kalimat-kalimat yang terkandung didalamnya yang dapat
menjadi pelajaran yamg sangat sangat sangat berharga sekali - mereka terjemahkan ayat Al-Qur’an itu kedalam bahasa
mereka sendiri yaitu bahasa American
English sebagai berikut:
O ye who
believe!
Stand out
firmly for justice, as witnwsses
To Allah,
even as agaonst
Yourselves,
or your parents,
or your
kin, and whether
It be
(against) rich or poor;
For Allah
can best protect both.
Qur’an, Surah An-Nisa 4:35
Memang jauh sebelum kemerdekaan Amerika dari pemerintahan
kolonial Kerajaan Inggris tahun 1776, founding father America, Thomas Jefferson
telah terpikat tentang kedalaman isi ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama baginya
telah memberikan pencerahan dan banyak ide dalam bidang hukum dan konstitusi
(undang-undang dasar) Amerika. Kendatipun beliau beragama Kristen Protestan,
namun dasar-dasar penyusunannya diambil dari Kitab Suci Al-Qur’an. Khususnya
telah memberi masukan yang sangat berharga bagi hak-hak manusia menjadi merdeka
dan maju sebagaimana yang diimplementasikannya bagi kemerdekaan bangsa yang
disebut Amerika Serikat (United States of America) ini.
Memang sebenarnya, Kitab Al-Qur’an bukan saja bermanfaat
bagi Muslim, tapi juga bermanfaat bagi umat manusia - ajarannya universal. Bagi
mereka diluar Islam, Al-Qur’an telah lama sebagai sumber inspirasi bagi Ilmu
Pengetahuan seperti dalam bidang Hukum; Ekonomi; Angka Matematika; Aljabar; Algaritma;
Kosmologi; Astronomi; Kimia; Kedokteran; Farmasi; Embryologi; Sociologi;
Sejarah dan Antropologi; Kemanusian dan Keadilan; Pengetrapan konsep-konsep
ajaran Islam yang menekankan betapa pentingnya dalam berkeluarga, berkomuniti,
bernegara dan antar negara perlu menegakkan kejujuran, keadilan, amanah,
tanggung jawab, menepati janji sebagai kesalehan sosial kemasyarakatan dalam
bernegara. Bahkan antar negara.
Denise
A. Spellberg, dalam bukunya Thomas Jefferson’s Qur'an - Islam and the Founders,
mengungkapkan
sedikit tapi penting mengenai dimensi yang diketahuinya dari hasil
penelitiannya dari kisah kebebasan beragama Amerika, yaitu, sebuah drama dimana
ajaran Islam memainkan peran yang mengejutkan.
Pada
tahun 1765, sebelas tahun sebelum menyusun Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat, Thomas Jefferson membeli sebuah buku Al-Qur’an, terjemahan dari George
Sale (warga Inggris dan tinggal disana) asli dari teks Arab. Dari mulai membaca
teks Al-Qur’an inilah Jefferson dalam seumur hidup berminat mengetahui lebih jauh
dan lebih dalam lagi tentang ajaran Islam - terutama dalam bidang hukum. Untuk
itu ia menambah lagi literatur perpustakaan buku-buku yang dibelinya lagi
berkaitan dengan Islam dalam bahasa Timur Tengah (Arab), termasuk sejarahnya
dan ajaran sosial kemasyarakatan.
Dari
situ ia banyak membuat catatan-catatan hasil studinya yang berkaitan khususnya
dalam hukum sebagai studi banding dengan hukum umum Inggris yang ada. Jefferson
juga berusaha untuk memahami Islam meskipun itu bukan berasal dari keyakinan
kepercayaannya, sebagaimana umumnya kebanyakan mereka yang berkepercayaan
Protestan sezamannya, baik yang berada di Inggris maupun di Amerika. Tapi tidak
seperti kebanyakan dari mereka, bahwa tahun 1776 Jefferson telah bisa
membayangkan Muslim bisa dan dapat sebagai warga negara masa depan negara
barunya (Amerika Serikat dari pemerintahan kolonialis Kerajaan Inggris).
Berdasarkan
penelitian, disebutkan bagaimana pendapat beberapa pendiri Amerika Serikat
diantara mereka, terutama Jefferson tentang ide-ide masa depan Amerika Serikat.
Yang menarik dari ide itu adalah adanya ide-ide cemerlang tentang toleransi
Muslim. Boleh jadi ide itu timbul karena ketertarikannya kepada ajaran hukum
Islam telah sedemikian majunya dibanding dengan hukum-hukum yang ada pada waktu
itu, baca (klik --->) Thomas
Jefferson dan Qur'an
|
THE KORAN By Geoge Sale
|
Dengan itu menandakan Muslim ini
cerdas, karena sistim hukum lebih adil dan baik dari yang ada. Yang jelas saat
itu umumnya telah menjadi landasan perdebatan praktis yang murni spekulatif
bagi landasan pemerintah Amerika masa datang tentang kehadiran umat Islam.
Padahal ketika itu kehadiran umat Islam di tanah koloni Inggris yang bernama
Amerika ini belum jelas. Umat Islam masih imaginer ketika itu. Kendatipun
kemudiannya, saat ini, masyarakat Amerika Serikat menganggap orang paling luar
dalam masyarakat Barat.
AJARAN ISLAM DALAM KEADILAN
Setiap
Mu’min – bahkan seluruh manusia - diseru untuk menjadi penegak keadilan yang
sempurna lagi sebenar-benarnya, menjadi saksi karena Allah, yakni
selalu merasakan kehadiran Ilahi, memperhitungkan segala langkah dan
menjadikannya demi karena Allah. Persaksian yang ditunaikan juga hendaknya demi
karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan
nilai-nilai Ilahi. Didahulukannya perintah penegakan keadilan atas kesaksian
karena Allah - tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’ruf,
tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksanakan ma’ruf yang diperintahkannya
itu - termasuk dirinya sendiri - ia lalai. Setiap mu’min niscaya melaksanakan
keadilan atas dirinya sendiri, baru menjadi saksi yang mendukung atau
memberatkan orang lain. Hal inilah yang diingatkan Allah Rabb Al-‘Ālamīn dari
Surah An-Nisa
ayat 35 itu.
Bahkan
keadilan adalah ketetapan Allah SWT bagi
kosmos atau alam jagat raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan
adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh alam jagat raya. Oleh karenanya
melanggar keadilan adalah melanggar keteraturan hukum kosmos kita - seperti halnya
keteraturan tata surya yang masing-masing harmonis (tidak saling berbenturan) -
dimana dosa ketidak adilan (ketidak teraturan) akan mempunyai dampak kehancuran
tatanan peradaban masyarakat manusia. Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur’an Al-Karīm dalam Surah Al-Mā’idah ayat 8 yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai
penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti (mengetahui secara detail) apa yang
kamu kerjakan". (QS Al-Mā’idah 5:8)
Ada
beberapa faktor yang menunjang keadilan, diantaranya, dalam mengambil
keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan karena pengaruh hawa nafsu,
ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah Shalallāhu ‘Alaihi Wasallam
(SAW) dalam salah satu sabdanya
mengingatkan agar janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan
marah. Dalam emosi yang tidak stabil, biasanya seseorang tidak adil dalam membuat
keputusan.
Selanjutnya,
memperluas pandangan dengan melihat persoalannya secara objektif. Yaitu, mengumpulkan
data dan fakta, sehingga dalam keputusan menjadi seadil mungkin.
Jika
adil adalah sifat dan sikap fadhilah
(utama), maka sebagai kebalikannya adalah sikap dzalim. Dzalim berarti
menganiaya, tidak adil dalam memutuskan perkara, berarti berat sebelah. Yaitu,
mengambil hak orang lain lebih dari batasnya, atau memberikan hak orang lain
kurang dari semestinya. Ada sebuah syair Arab yang baik sekali maknanya yang
perlu untuk kita cermati bersama yang artinya: “Aku mengenal keburukan bukan
untuk berbuat keburukan. Namun aku mengenalnya agar bisa menjauhinya. Karena
orang yang tidak mengenal keburukan, biasanya akan terjerumus ke dalamnya.”
Sikap dzalim
itu diancam Allah SWT sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya yang artinya:
Dan berilah mereka peringatan akan hari yang semakin dekat (hari
kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan
kesedihan. Tidak ada seorang pun teman
setia bagi orang yang dzalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang
diterima (pertolongannya)". (QSAl-Mu’min/Gāfir 40:18).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman
lagi yang artinya:
Wahai Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam
neraka, maka sungguh, Engkau telah menghinakannya, dan tidak ada bagi seorang penolong
pun bagi orang yang dzalim. (QS Āli-‘Imrān 3:192).
Dalam
hal ini, para ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku
dzalim, yaitu karena, cinta atau benci. Barang siapa yang mencintai seseorang,
biasanya ia berlaku berat sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena
cinta kepada anak-anaknya atau sebaliknya, maka sekalipun anaknya salah atau
bapaknya salah, anak atau bapaknya itu dibelanya.
Demikian
pula kebencian kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat
kebaikan orang itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya. Selanjutnya adalah kepentingan
diri sendiri atau kelompok (golongan)-nya. Karena perasaan egois diri atau
kelompok, maka keuntungan pribadi atau golongannya yang terbayang menyebabkan
seseorang berat sebelah (tidak adil atau dzalim).
Terakhir, pengaruh
luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian, kewibawaan,
kepasihan berbicara dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang menjadi berat
sebelah (tidak adil) dalam tindakannya.
Pengaruh-pengaruh
tersebut dapat menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak objektif. Oleh
karena itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kedzaliman bisa muncul
karena adanya beberapa faktor, diantaranya: Pertama:
Kondisi orang tersebut pada saat itu. Kedua: Luas
dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki. Ketiga: Latar
belakang pengalaman yang dialaminya. Keempat:
Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan. Kelima:
Adanya pengaruh dari luar (external).
Sebagai
gambaran dari mesti menegakkan keadilan Rasululah SAW memberi peringatan keras sebagai kepala negara dan hakim,
beliau selalu menerapkan keadilan dengan betul, hingga beliau pernah menyatakan
yang artinya:
"Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku
potong tangannya". (HR Bukhori)
Subhanallah!
Rasulullah dengan tegas menyatakan tidak adanya pilih kasih dalam menegakkan
keadilan, sekalipun terhadap anaknya sendiri yang dikasihinya.
Kedzaliman
terbagi dua, yaitu mendzalimi diri sendiri, dan mendzalimi orang lain.
Mendzalimi diri sendiri ada dua bentuk yaitu syirik dan perbuatan dosa atau
maksiat. Mendzalimi orang lain adalah menyakiti perasaan orang lain,
mensia-siakan atau tidak menunaikan hak orang lain yang wajib ditunaikan. Dzalim secara
istilah mengandung pengertian “Berbuat aniaya terhadap diri sendiri atau orang
lain dengan cara-cara batil yang keluar dari jalur keadilan yang merupakan
salah satu azaz dalam syariat Agama Islam.” Allah berfirman dalam Al-Qur’an
yang artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia (Allah) melarang (melakukan)
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran". (QS An-Nahl 16:90).
PENEGAKAN KEADILAN DALAM SEJARAH
ISLAM
● Kisah Khalifah dan
Warganya.
Sebuah baju besi milik Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallāhu
‘Anhu (RA) terjatuh dari untanya dan dipungut oleh seorang Yahudi warga
Madinah. ‘Ali bin Abi Thalib RA yang tidak lupa ciri-ciri baju besinya
melihat baju besi itu yang ada di tangan orang itu dan memintanya
kembali. Sayangnya, orang Yahudi ini tidak mau
mengembalikan baju besi itu. Ia tetap bersitegang mengaku bahwa baju itu
miliknya. Dalam menhadapi persoalan itu, dicapailah kesepakatan di antara mereka agar diselesaikan
di pengadilan. Di sana, akan diputuskan siapa yang berhak atas kepemilikan baju
besi tersebut.
Syuraih
adalah seorang hakim muslim terkenal. Ia yang akan mengadili perkara tersebut. ‘Ali RA yang pada saat itu menjadi
Amirul Mu’minīn (Kepala Pemerintahan), datang ke persidangan, begitu pula orang
Yahudi warga Madinah ini.
Setelah
mendengar argumen kedua belah pihak yang bertikai, hakim Syuraih berkata kepada
‘Ali RA:
“Untuk menguatkan tuntutan anda, bawalah dua orang saksi yang benar-benar bisa
memberi keterangan meyakinkan bahwa baju besi ini memang milik Anda”. ‘Ali bin Abi Thalib RA pun akhirnya mengajukan pembantunya bernama
Qundur, dan puteranya Hasan. Hakim Syuraih berkata: “Saya bisa menerima
kesaksian Qundur, tetapi tidak bisa menerima kesaksian Hasan, karena Hasan
adalah putra Anda”. ‘Ali RA berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda Hasan dan Husein adalah penghulu di
Surga”. Dengan suara yang lembut tapi penuh wibawa, Syuraih menjawab: “Ya, memang
benar, tapi saya tetap tidak bisa menerima kesaksiannya - karena dianggap
bias”. Syuraih tetap dengan keputusannya, tidak dapat menerima kesaksian dari ‘Ali bin Abi Thalib RA sekalipun Khalifah (Amirul Mu’minīn, Kepala
Pemerintahan).
Diputuskanlah
oleh Syuraih bahwa baju besi itu adalah milik orang Yahudi. Ia memenangkan
orang Yahudi itu atas Amirul Mukminīn ‘Ali
bin Abi Thalib RA sebab bukti-bukti menunjukkan
demikian, yaitu tidak bisa memberikan kesaksian yang lengkap bahwa itu miliknya
- hanya kesaksian Qundur saja. ‘Ali RA
menerima keputusan itu dengan lapang hati. ‘Ali RA menyadari bahwa ia tidak dapat
menghadirkan saksi untuk memperkuat tuntutannya itu.
Melihat
jalannya persidangan dan adegan yang mengharukan itu, begitu lapang hatinya ‘Ali bin Abi Thalib RA Amirul Mu’minīn, walaupun sebagai Penguasa -
Kepala Pemerintahan, menerima keputusan hakim Syuraih. Orang Yahudi itu pun
lalu berkata kepada majelis persidangan: “Sesungguhnya baju besi ini
benar-benar milik Amirul Mu’minīn. Aku memungutnya sewaktu baju itu terjatuh dari
untanya”. Mendengar ucapan itu ‘Ali bin
Abi Thalib RA sebagai
Amirul Mu’minīn terkejut. Tapi orang Yahudi itu meneruskan ucapannya dengan
membaca dua kalimat syahadat. Dari peristiwa yang baru saja dialaminya itulah,
orang Yahudi tersebut malah mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Karena
menerima keadilan Islam. Tatkala ‘Ali RA
mendengar orang Yahudi itu membaca syahadat, dengan segera pula ia menyatakan:
“Kalau begitu baju besi ini kuhadiahkan kepadamu”. Selain itu, ‘Ali RA juga memberi hadiah kepada pria
Yahudi itu uang sebanyak 900 dirham atas kejujuran pengakuannya itu.
● Kisah lain adalah di masa perang Khandaq. Umat
Islam pernah ditantang perang tanding satu lawan satu oleh Amr bin Abd Wad Al-Amiri,
dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para sahabat tentang
siapa yang akan memenuhi tantangan ini. Para sahabat terlihat gentar. Nyali
mereka surut. Dalam situasi ini ‘Ali bin Abi Thalib RA maju, menyanggupi
ajakan Amr bin Abd Wad. Melihat ‘Ali RA yang masih terlalu muda, Nabi Muhammad
SAW lantas mengulangi tawarannya
kepada para sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya ‘Ali RA yang
menyatakan berani melawan sang jawara Quraisy itu.
Amr bin
Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Namun faktanya, selama
perkelahian posisi Amr bin Abd Wad selalu terpojok di tangan ‘Ali RA. Akhirnya paha kekarnya Amr bin Abd
Wad pun kena telak dari ayunan pedang ‘Ali RA,
Amr bin Abd Wad tumbang ke tanah. Kemenangan Ali sudah di depan mata. Hanya
dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang. Dalam situasi
terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri memberontak dan tiba-tiba ia
meludahi wajah ‘Ali RA. Menanggapi
hinaan ini, diluar dari kebiasaan umum ‘Ali RA
justru menyingkir dan mengurungkan niat membunuh hingga beberapa saat. “Saat
dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku.
Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah SWT,”
kata ‘Ali RA menjawab kegelisahan
sebagian sahabat atas sikapnya diluar kebiasaan umum, namun alasannya sungguh
luar biasa agungnya, karena seperti yang disebutkannya yaitu “Aku tidak ingin
membunuhnya lantaran ego amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan
membunuhnya semata karena Allah SWT.
Meskipun
Amr bin Abd Wad akhirnya gugur di tangan ‘Ali RA, proses peperangan ini memberikan beberapa pelajaran. Perjuangan
dan pembelaan Islam harus didasarkan pada ketulusan iman, bukan kebencian dan
kemarahan. Sahabat Rasulullah SAW yang kelak menjadi khalifah keempat
ini juga menjernihkan bahwa spirit ketuhanan adalah satu-satunya landasan, mengalahan
nafsu keinginan di balik ego pribadi dan golongan.
● Kisah keadilan bagi semua golongan. Sejak
diangkat menjadi gubernur Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab RA, Amr bin Ash menempati sebuah istana
megah yang di depannya terhampar sebidang tanah kosong berawa-rawa, dan
diatasnya hanya terdapat sebuah gubuk reyot yang hampir roboh. Selaku gubernur,
ia menginginkan agar di atas tanah tersebut, didirikan sebuah masjid yang indah
dan mewah agar seimbang dengan istananya. Apalagi Amr bin Ash tahu bahwa tanah
dan gubuk itu ternyata milik seorang warga dari ras Yahudi yang bukan Arab.
Maka Yahudi kakek tua pemilik tanah itu dipanggil menghadap istana untuk
merundingkan rencana Gubernur Amr bin Ash.
Dalam
pertemuan itu Gubernur ingin membeli tanah milik seorang Yahudi, sekalian
gubuknya. Gubernur menawarkan harga diatas harga normal, dengan harapan Yahudi
tersebut mau menjualnya. Dengan tanah ini gubernur hendak membangun masjid
diatasnya. Namun warga pemilik tanah ini enggan menjualnya. Karena gebernur
menginginkan sekali tanah tersebut, tawarannya dinaikkan beberapa kali lipat.
Namun warga pemilik tanah ini tetap tidak mau menjualnya. Berungkali gubernur
menaikkan harga tawarannya namun warga Yahudi ini menggelengkan kepalanya,
“Tidak akan saya jual, Tuan.” Walaupun didesak berulang-ulang kali, tetap tidak
mau menjualnya.
Maka
sepeninggal kakek beragama Yahudi itu, Amr bin Ash memutuskan melalui ‘Surat Perintah’
untuk mengambil tanah serta membongkar gubuk reyotnya yang ada di atas tanah
tersebut. Setelah itu didirikanlah masjid besar di atas tanahnya dengan alasan
kepentingan bersama dan memperindah pemandangan daerah sekitarnya. Yahudi
pemilik tanah dan gubuk tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan
penguasa. Ia cuma mampu menangis dalam hati. Namun ia tidak putus asa
memperjuangkan haknya. Ia bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur
tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab RA.
Sungguh
ia tak menyangka, Khalifah yang namanya sangat tersohor itu tidak mempunyai
istana yang mewah. Ia bahkan diterima Khalifah di halaman masjid Nabawi, di
bawah sebatang pohon kurma yang rindang.
“Ada
keperluan apa Tuan datang jauh-jauh kemari dari Mesir?” Tanya Khalifah Umar RA.
Yahudi tua itu gemetaran berdiri di depan Khalifah, tetapi Amirul Mukminīn
(Kepala Negara) yang bertubuh tegap itu menatapnya dengan pandangan sejuk
membuatnya percaya diri sehingga dengan lancar ia dapat menyampaikan
keperluannya. Yahudi tua ini menuturkan keadaan dirinya, yaitu dari semenjak
kerja kerasnya seumur hidup untuk dapat membeli tanah dan membangun gubuk kecil
tempat tinggalnya, sampai perampasan hak miliknya oleh gubernur Amr bin Ash dan
dibangunnya masjid megah diatas tanah miliknya.
Mendengar
kisah itu, Umar bin Khattab RA
mendadak merah padam mukanya. Dengan murka ia berkata, “Perbuatan Amr bin Ash
sudah keterlaluan.” Sesudah agak reda
emosinya, Umar RA lantas
menyuruh Yahudi tersebut mengambil sebatang tulang dari tempat sampah yang
teronggok di dekatnya. Yahudi itu ragu melakukan perintah tersebut. Apakah ia salah
dengar? Tapi karena saking wibawanya Khalifah Umar RA, apa yang dikatakannya ia lakukan. Dan kemudian tulang itu
diambil dan diserahkan kepada beliau. Oleh
Khalifah, tulang itu digoreti huruf alif lurus dari atas ke bawah, lalu
dipalang di tengah-tengahnya menggunakan ujung pedangnya. Kemudian tulang itu
diserahkan kepada si kakek seraya berpesan, “Tuan, bawalah tulang ini baik-baik
ke Mesir, dan berikanlah pada gubernurku Amr bin Ash.”
Yahudi
itu semakin bertanya-tanya. Ia datang jauh-jauh dari Mesir dengan tujuan
memohonkan keadilan kepada Kepala Negara, namun apa yang ia peroleh? Sebuah
tulang, berbau busuk lagi. Kemudian tulang itu cuma digoret-goret dengan ujung
pedang. Apakah Khalifah Umar RA tidak
waras? Hatinya berkata seperti itu, karena tidak mengerti apa maksud dari
Khalifah.
Kemudian
kakek ini berkata: “Maaf, Tuan Khalifah.” Ucapnya tidak puas. “Saya datang
kemari menuntut keadilan, namun bukan keadilan yang Tuan berikan. Melainkan
sepotong tulang yang tak berharga. Bukankah ini penghinaan atas diri saya?”
Mendengar perkataan itu Umar RA tidak
marah. Ia meyakinkan dengan penegasannya, “Wahai, kakek Yahudi. Pada tulang
itulah terletak keadilan yang Tuan inginkan.” Maka, walaupun sambil mendongkol
dan mengomel sepanjang jalan, kakek Yahudi itu lantas berangkat menuju tempat
asalnya dengan berbekal sepotong tulang belikat unta.
Anehnya,
begitu tulang yang tak bernilai tersebut diterima oleh Gubernur Amr bin Ash,
tak disangka mendadak tubuh Amr bin Ash menggigil dan wajahnya menyiratkan
ketakutan yang amat sangat. Seketika itu pula ia memerintahkan segenap anak
buahnya untuk merobohkan masjid yang baru siap, dan supaya dibangun kembali
gubuk milik kakek Yahudi serta menyerahkan kembali hak atas tanah tersebut.
Anak
buah Amr bin Ash sudah berkumpul seluruhnya. Masjid yang telah memakan dana
besar itu hendak dihancurkan. Tiba-tiba kakek Yahudi mendatangi Gubernur Amr
bin Ash dengan terburu-buru. “Ada perlu apalagi, Tuan?” Tanya Amr bin Ash. Kali
ini berubah sikap menjadi lembut dan
penuh hormat. Dengan masih terengah-engah, Yahudi itu berkata: “Maaf,
Tuan. Jangan dibongkar dulu masjid itu. Izinkanlah saya menanyakan perkara
pelik yang mengusik rasa penasaran saya.” “Perkara yang mana?” Tanya gubernur,
tidak mengerti maksud kakek itu. “Apa sebabnya Tuan begitu ketakutan dan
menyuruh untuk merobohkan masjid yang dibangun dengan biaya yang sungguh sangat
besar sekali, hanya lantaran menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar?”
Gubernur
Amr bin Ash berkata pelan: “Wahai kakek Yahudi! Ketahuilah, tulang itu adalah
tulang biasa, malah baunya busuk. Tetapi karena dikirimkan Khalifah, tulang itu
menjadi peringatan yang amat tajam dan tegas dengan dituliskannya huruf alif
yang dipalang di tengah-tengahnya.” “Maksudnya?” Tanya si kakek makin
keheranan. “Tulang itu berisi ancaman Khalifah kepada Amr bin Ash. Ingatlah
kamu. Siapapun engkau sekarang, betapapun tingginya pangkat dan kekuasaanmu,
suatu saat nanti kamu pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang
lurus, adil di atas dan di bawah, Sebab, jika
engkau tidak bertindak lurus, kupalang di tengah-tengahmu, kutebas batang
lehermu.”
Yahudi
itu menunduk terharu, karena ia mengerti sekarang apa yang dimaksud khalifah
memberikan tulang yang telah digores itu kepada gubernur. Dengan itu, ia kagum
atas sikap khalifah yang tegas, dan sikap gubernur yang patuh dengan atasannya
hanya dengan menerima sepotong tulang. Benda yang rendah itu berubah menjadi
putusan hukum yang ‘keramat’ dan ditaati di tangan para penguasa yang beriman.
Maka Kakek Tua Yahudi itu kemudian menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai
wakaf. Setelah kejadian itu, ia langsung menyatakan masuk Islam.
PENUTUP
Demikianlah
makna yang sebenar-benarnya yang ditegakkan dalam Ajaran Islam “tajam ke bawah
dan tajam pula ke atas” - adil tidak pandang bulu sebagaimana dalam sebuah
hadits mengatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti
Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya", HR Bukhori. Subhanallah!
Rasulullah SAW dengan tegas
menyatakan tidak adanya pilih kasih dalam menegakkan keadilan sekalipun dengan
anaknya - yang benar ya benar, yang salah ya salah.
Setiap
Mu’min - bahkan seluruh manusia - diseru untuk menjadi penegak keadilan yang
sempurna lagi sebenar-benarnya, menjadi saksi karena Allah, yakni selalu merasakan
kehadiran Ilahi, memperhitungkan segala langkah dan menjadikannya demi karena
Allah. Persaksian yang ditunaikan juga hendaknya demi karena Allah, bukan untuk
tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Ilahi.
Didahulukannya
perintah penegakkan keadilan atas kesaksian karena Allah - tidak sedikit orang
yang hanya pandai memerintahkan yang ma’ruf, tetapi ketika tiba gilirannya
untuk melaksanakan ma’ruf yang diperintahkannya itu ia lalai. Setiap mu’min
niscaya melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung
atau memberatkan orang lain. Hal inilah yang diingatkan Allah Rabb Al-‘Ālamīn
dalam
Firman-Nya dalam Surah An-Nisā’ ayat 135 menerangkan bagaimana cara menegakkan
keadilan yang semestinya yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau
terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah
Mahateliti (mengetahui secara detail) terhadap segala apa yang kamu kerjakan.
(QS An-Nisā’ 4:135)
Bahkan
ayat 135 Surah An-Nisā’ ini sampai dijadikan patokan atau pedoman dalam
menegakkan keadilan yang sangat fundamental oleh Law School (Fakultas Hukum)
Harvard University dan di pampangkan ditembok gedung perpustakaannya agar
dilihat oleh para hadirin yang berada di
dalam perpustakaannya yang diterjemahkan dalam bahasa American English sebagai berikut:
O ye who believe! Stand out firmly for justice, as witnwsses to
Allah, even as against yourselves, or your parents, or your kin, and whether it
be (against) rich or poor; For Allah can best protect both. Qur’an, Surah
An-Nisa 4:35
Bahkan
keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam jagat raya ciptaan-Nya,
karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum
seluruh alam jagat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar
hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan
peradaban masyarakat manusia.
Untuk
mencegahnya tatanan peradaban masyarakat manusia dari kehancuran itulah Allah SWT menurunkan petunjuk-putunjuk dan
ajaran-ajaran seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisā’ ayat 135 mesti
dijalankan dengan konsekwen seperti yang telah diuraikan sebelumnya guna
menegakkan negeri yang mendatangkan berkah-Nya yang dibangun diatas pondasi yang kuat, yaitu: “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr” -
(Negerimu) adalah negeri yang (menjadi) baik (nyaman, makmur) sedang Tuhanmu
adalah Tuhan yang maha pengampun (karena penduduknya menegakkan keadilan).” Yaitu, prinsip-prinsip dasar yang benar (kebenaran) dan
prinsip-prinsip dasar yang adil (keadilan) sebagai Firman-Nya menyebutkan yang
artinya:
Dan di antara kaum Musa ada itu terdapat suatu umat
yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan (dasar) kebenaran dan dengan itu
(pula) mereka berlaku adil menjalankan keadilan. (QS Al-A’rāf 7:159).
Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan, ada
umat yang memberi petunjuk dengan (dasar) kebenaran, dan dengan itu (pula)
mereka menjalankan keadilan. (QS Al-A’rāf 7:181).
Semoga tulisan dalam blog yang mencerdaskan
kehidupan manusia sebagai khalifah-khalifah di muka bumi - Dialah (Allah-lah) yang menkadikan kamu sebagai
khalifah-khalifah di bumi, QS Fāthir 35:39.
Yaitu membangun pribadi-pribadi yang
menegakkan keadilan terhadap dirinya sendiri, maupun selain dari dirinya,
sebagaimana Islam mengajarkan. Yaitu berguna sebagai insan yang utuh dan handal
selaku pemakmur kehidupan di bumi berdasarkan azaz hidup ‘baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafūr’. Kisah penegakkan keadilan
yang telah dipaparkan tersebut menjadi pelajaran hidup yang berharga bagi
kita semua. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah,
Was-Salāmu ‘Alaikum Wa-Rahmatullāhi
Wa-Barakātuh. □ AFM.
REFERENSI:
http://www.muhammadiyah.or.id/9-content-190-det-tafsir-alquran.html
http://www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/10/thomas-jeffersons-quran.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2020/10/makna-shalat.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2017/04/sungguh-shalat-membangun-peradaban.html
(Draf Buku) Shalat Membangun Peradaban,
A. Faisal Marzuki.
Thomas Jefferson dan Qur'an
Thomas Jefferson’s Qur'an – Islam and the
Founders, Denise A. Spellberg, Alfred A. Knopf, Publisher, New York, 10/2013.
Terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an ke
bahasa Indonesia diambil dari ALFATIH - Al-Qur’an Tafsir Per Kata Di Sarikan
Dari Tafsir Ibnu Katsir. □□